1. Kesalahan
Untuk suatu pelanggaran pidana adalah satu syarat mutlak, bahwa selain
daripada perbuatan itu melawan hukum, perbuatan itu sebagai pelanggaran
larangan atau perintah itu juga diancam dengan hukuman, yaitu Undang-undang
telah menetapkan bahwa tidak ditaati larangan atau perintah itu diancam dengan
suatu hukuman tertentu sebagai akibat hukum. Unsur subjektif dari norma-norma
pidana berupa kesalahan (mens rea) sipelanggar norma pidana itu.49
Kesalahan itu umumnya ialah dengan dikehendaki dan dengan sengaja
ataupun oleh karena kealpaan menimbulkan suatu akibat, yang terjadinya
terlarang, sebab hanya dalam hal demikian sipelanggar norma pidana itu dapat
dipersalahkan, itu berarti bahwa sipelanggar norma pidana itu dapat bertanggung
jawab dan hal ini adalah suatu syarat mutlak.50
Kesalahan seperti dimaksudkan diatas ini, mempunyai dua bentuk yaitu :
sengaja (dolus) dan kelalaian (culpa). Ada pengecualian mengenai aturan, bahwa
harus ada kesalahan pada sipelanggar norma pidana itu, terkadang mengenai
49
elemen-elemen tertentu dari suatu norma pidana tertentu tidak diperlukan
kesalahan (schuldverband). 51
Dengan singkat kesalahan itu merupakan yang dikehendaki dan orang
yang mengetahui. Berdasarkan dua istilah inilah doktrin mengenai kesengajaan itu
berasal. Menurut teori kehendak, kesengajaan adalah kehendak yang diajukan
untuk melakukan perbuatan, artinya untuk mewujudkan perbuatan itu memang
telah dikehendaki sebelum seseorang itu sungguh-sungguh berbuat.52
Sengaja sebagai tujuan adalah jika akibat dijadikan tujuan oleh pembuat. Corak
ini biasa terjadi dan juga menurut pembicaraan sehari-hari, segala perbuatan
yang dilakukan sedemikianlah dikatakan ”dilakukan dengan sengaja”. Tujuan
sesuatu perbuatan harus dibedakan dari motifnya, ialah akibatnya yang lebih
jauh, yang dimaksudkan untuk menggerakkan pembuat melakukan
perbuatannya.
Dalam doktrin hukum pidana, dikenal ada tiga bentuk kesengajaan, yaitu :
a. kesengajaan sebagai maksud/tujuan (opzet als oogmerk)
53
51
Ibid, hal.39
52
Andi Hamzah,Op.cit., hal. 93.
53
C.S.T.Kansil, Christine.S.T.Kansil, Latihan Ujian Hukum Pidana, (Jakarta: Sinar Grafika, 1994) , hlm. 180.
Bentuk kesengajaan sebagai maksud sama artinya dengan menghendaki
(willen) untuk mewujudkan suatu perbuatan (tindak pidana aktif),
mengkehendaki untuk tidak berbuat/melalaikan kewajiban hukum (tindak
pidana pasif) dan atau juga mengkehendaki timbulnya akibat dari perbuatan itu
(tindak pidana materil). Vos Utrecht memberikan definisi sengaja maksud
“Sengaja sebagai maksud terjadi jikalau pembuat delik menghendaki akibat perbuatannya dengan kata lain, andai kata pembuat sebelumnya sudah mengetahui bahwa akibat perbuatanya tidak akan terjadi, maka sudah tentu ia tidak pernah melakukan perbuatannya. Contoh: A memecahkan kaca Etalase sebuah toko penjual buah-buahan, supaya dapat mengambil buah-buah yang dipamerkan. Memecahkan kaca dilakukan dengan sengaja sebagai maksud. Akibat perbuatan A ialah pecahnya kaca yang dikehendakinya, supaya A dapat mengambil buah-buahan. Andaikata A mengetahui bahwa kaca tidak akan pecah kalau dipukulnya, maka sudah tentu ia tidak akan melakukan perbuatan itu. Sengaja A dalam memecahkan kaca adalah sengaja sebagai maksud. Selanjutnya, mengambil buah-buahan dibelakang kaca itu menjadi bayangan yang ditimbulkan setelah kaca pecah, perbuatan memecahkan adalah oogmerk atau maksud A, sedangkan mengambil buah-buahan sesudah kaca pecah menjadi motif atau alasan. Motif dan maksud (alasan) tidaklah boleh dikacaukan”.54
Menurut teori ini berdasarkan alasan psikologis tidak mungkin suatu
akibat itu dapat dikehendaki. Manusia hanya bisa menginginkan,
mengharapkan atau membayangkan (voorstellen) kemungkinan akibat yang
terjadi. Dirumuskan bahwa “sengaja” adalah apabila suatu akibat dibayangkan
sebagai maksud, dan oleh karena itu perbuatan tersebut dilakukan oleh yang
bersangkutan sesuai dengan bayangan yang telah dibuatnya lebih dahulu.55
Corak kesengajaan ini adalah yang paling sederhana, yang perbuatan pelaku
memang dikehendaki dan ia juga menghendaki (atau membayangan) akibatnya
yang dilarang. Kalau akibat yang dikehendaki atau dibayangkan ini tidak Tingkatan sengaja atau corak sengaja menurut para ahli, kesengajaan sebagai
maksud /tujuan ini dikatakan sengaja sebagai niat atau tujuan ( oggmerk),
Akibat delik adalah motif utama untuk suatu perbuatan, yang seandainya tujuan
itu tidak ada, maka perbuatan tidak akan dilakukan. Jongkers mengatakan
bahwa sengaja ini adalah bentuk yang paling murni dan bersahaja.
54
akanmelakukan berbuat. Contoh: dengan pistolnya X dengan sengaja
mengarahkan dan menembakkan pistol itu kepada Y dengan kehendak matinya
Y.
Ditinjau sebagai delik formal hal ini berarti bahwa ia sudah melakukan
perbuatan itu dengan sengaja, sedang perbuatan itu memang dikehendaki atau
dimaksud demikian. Dan jika ditinjau sebagai delik Materill hal ini berarti
bahwa akibat kematian orang lain itu memang dikehendaki atau dimaksudkan
agar terjadi.56
Kesengajaan sebagai kepastian atau dikenal dengan istilah opzet bij
zekerheidsbewustijn adalah dapat diukur dari perbuatan yang sudah mengerti dan menduga bagaimana akibat perbuatannya atau hal-hal mana nanti akan
turut seta mempengaruhi akibat perbuatannya. Pembuat sudah mengetahui
akibat yang akan terjadi jika ia melakukan suatu perbuatan pidana. b. Kesengajaan sebagai kepastian (opzet bij zekerheidsbewustzijn)
57
Menurut teori ini “sengaja” adalah kehendak untuk melakukan suatu
perbuatan/tindakan dan kehendak untuk menimbulkan suatu akibat karena
perbuatannya itu. Dengan perkataan lain, dapat diakatakan sebagai “sengaja
“ apabila suatu perbuatan itu dikehendaki, dan akibat perbuatan itu
benar-benar menjadi maksud dari perbuatan yang dilakukan. Contoh: A
mengarahkan pistolnya yang berisi peluru kepada B dan menembakkannya,
56
Ibid hlm. 98 57
Mahrus Ali, Dasar-Dasar Hukum Pidana, (Jakarta Timur: Sinar Grafika, 2012), hlm. 175.
sehingga B mati. Ada kesengajaan bila A benar-benar menghendaki
kematian B.58
Tingkatan sengaja atau corak sengaja Menurut para ahli, Kesengajaan
sebagai kepastian (opzet bij zekerheidsbewustzijn) dikatakan juga sebagai
sengaja dengan kesadaran pasti terjadi. Corak kesengajaan dengan sadar
kepastian bersandar pada akibatnya. Akibat itu dapat merupakan delik
tersendiri ataupun tidak. Tetapi di samping akibat tersebut ada akibat lain
yang tidak dikehendaki yang pasti akan terjadi. Contoh: X melihat arloji
mahal dibalik jendela kaca toko ia ingin mencurinya, jadi maksud
sebenarnya adalah mencurinya, jadi maksud sebenarnya adalah mencuri
tetapi untuk dapat mengambil arloji itu mau ia harus memecahkan kaca
jendela tersebut. Ini bukan merupakan kehendaknya, tetapi akibat pecahnya
kaca itu pasti terjadi.59
Sengaja sebagai kemungkinan yang juga dinamai “sengaja bersyarat” atau
“dolus eventualis”. Seperti pada hal “sengaja bersifat kepastian”, begitupun
jika suatu perbuatan dilakukan dengan dolus eventualis, maka ada dua
akibat: satu yang ditujukan oleh pembuat dan satu berinsyaf kemungkinan
atau agaknya akan terjadi jika dilaksanakan tujuannya.
c. Kesengajaan sebagai kemungkinan (opzet bij mogelijkheidsbewustzijn).
60
Kesengajaan untuk melakukan perbuatan yang diketahuinya bahwa ada
akibat lain yang mungkin dapat timbul yang ia tidak inginkan dari
perbuatan, namun begitu besarnya kehendak untuk mewujudkan perbuatan,
58
Teguh Prasetyo, Op.,Cit., hlm. 96 59
ia tidak mundur dan siap mengambil resiko untuk melakukan perbuatan
tersebut.
Tingkatan sengaja atau corak sengaja Menurut para ahli, Kesengajaan
sebagai kemungkinan (opzet bij mogelijkheidsbewustzijn). Dikatakan juga
sebagai sengaja yang berinsyafkan kemungkinan (dolus eventualis). Van
Hamel mengolah istilah dolus eventualis dan menganjurkan nama
eventualiter dolus. Contoh hoerenschetaart-Arrest, yaitu yang diadili oleh pengadilan Tinggi Amsterdam tertanggal 19 Maret 1911, dan Mahkamah
Agung tertanggal 19 Juni 1991.Seorang hendak membunuh seorang dikota
Hoorn, lalu mengirimkan kepadanya kue yang telah ditaruh racun dengan
niat hendak membunuhnya. Ia menegetahui bahwa, selain daripada
musuhnya dia juga mungkin akan memakan kue itu, dan mungkin pula akan
mati. Oleh karena itu ia mengirim kue itu, maka sengajanya dianggap juga
ditujukan kepada matinya isteri orang itu, walaupun akibatnya tidak
dikehendakinya atau tidak diinginkan.61
Berikut syarat-syarat bagi pengertian kealpaan (culpa), menurut Simon
umumnya kealpaan itu terdiri dari dua bagian, yaitu tidak berhati-hati melakukan
sesuatu perbuatan disamping dapat menduga akibat perbuatan itu, meskipun
sesuatu perbuatan dilakukan dengan berhati-hati, masih mungkin juga terdapat
kealpaan, jika dia berbuat ia telah mengetahui, bahwa dari perbuatan itu mungkin
akan menimbulkan suatu akibat yang dilarang oleh undang-undang.62
61
Ibid, hlm. 99 62
Kealpaan itu terjadi, apabila yang melakukan perbuatan itu tidak bertindak
dengan hati-hati, cermat dan sungguh-sungguh, sedangkan ia dapat menduga,
bahwa dari perbuatannya itu mungkin akan timbul suatu akibat yang dilarang
oleh hukum pidana. Dapat diduganya bahwa akibat itu akan timbul adalah syarat
mutlak bagi culpa sehingga meskipun yang melakukan perbuatan itu tidak
bertindak dengan hati-hati, apabila ia tidak dapat menduga akan terjadinya akibat
itu, maka perbuatan tersebut dapat dipersalahkan tentang culpa. Berdasarkan
uraian diatas tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa, tidak setiap perbuatan
yang tidak dilakukan dengan berhati-hati dan sungguh-sungguh akan
menyebabkan culpa bagi yang melakukan perbuatan itu.63
Suatu makan khusus kealpaan adalah kealpaan (bewusteschuld).
Sedangkan contoh B mengemudikan mobilnya secara cepat ke stasiun, karena
sudah terlambat berangkat dari rumahnya. B mengetahui (insyaf) bahwa setir
mobilnya mengalami sedikit kerusakan, tetapi ia berharapan besar bahwa tidak
akan terjadi apa-apa. Ia memiih beberapa jalan kecil untuk memperkecil resiko. Ia
membuat suatu mubengan yang kecil, lebih baik suatu mubengan kecil daripada
nanti menyebabkan suatu kecelakaan besar. Walaupun B membuat perhitungan
akan hal tersebut, masih juga terjadi kecelakaan yang pada pokoknya tidak
disengajai B.64
Kemampuan bertanggung jawab dapat diartikan sebagai kondisi batin
yang normal atau sehat dan mampunya akal seseoarang dalam membeda-bedakan 2. Kemampuan Bertanggung Jawab
63
hal-hal baik dan buruk,65 atau dengan kata lain, mampu untuk menginsyafi sifat
melawan hukumnya suatu perbuatan dan sesuai dengan keinsyafan itu mampu
untuk menentukan kehendaknya. Jadi, paling tidak ada dua faktor untuk
menentukan adanya kemampuan bertanggung jawab, yaitu faktor akal dan faktor
kehendak. Akal, yaitu dapat membedakan antara perbuatan yang diperbolehkan
dan tidak diperbolehkan. Sedangkan kehendak, yaitu dapat menyesuaikan tingkah
lakunya dengan keinsyafan atas sesuatu yang diperbolehkan dan tidak
diperbolehkan.66
Kemapuan bertanggung jawab merupakan syarat kesalahan. Sementara itu,
kesalahan adalah unsur pertanggung jawaban. Mampu bertanggung jawab
merupakan masalah yang berkaitan dengan keadaan mental pembuat yang dapat
dipertanggung jawabkan dalam hukum pidana. Allen mengidentifikasi adanya
lima keadaan mental yang berpengaruh pada pertanggungjawaban pidana
pembuatnya.67
65
M.abdul Kholik , Buku Pedoman Kuliah Hukum Pidana, (Yogyakarta: Fakultas Hukum UII, 2002), hlm. 129
66
Mahrus Ali, Dasar-dasar Hukum Pidana, Op. Cit., hlm. 171 67
Chairul Huda, Dari Tiada Pidana Tanpa Kesalahan Menuju Kepada Tiada Pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan, (Jakarta : Prenada Media, 2006), hlm. 91
Kitab Undang-undang Pidana di seluruh dunia pada umumnya tidak
mengatur tentang kemampuan bertanggung jawab. Yang diatur ialah
kebalikannya, yaitu ketidakmampuan bertanggung jawab, seperti isi pasal 44
KUHPidana Indonesia, yang masih memakai rumusan pasal 37 lid 1 W.v.S.
“tidak dapat dipidana ialah barang siapa yang mewujudkan suatu peristiwa, yang
tidak dapat dipertanggungjawabkan kepadanya, sebab kekurangsempurnaan atau
gangguan sakit kemampuan akalnya”68
Karena hukum pidana Belanda, pertanggungjawaban pidana pada diri
seseorang pelaku tindak pidana, harus memenuhi 4 empat) persyaratan sebagai
berikut :69
Pertanggungjawaban pidana berdasarkan hukum pidana Negara-negara yang
menganut “Coomon law system” pada prinsipnya tidak memiliki perbedaan yang
fundamental dengan “civil law system”.
a. Ada suatu tindakan ( commission atau omission) oleh sipelaku.
b. Yang Memenuhi rumusan-rumusan delik dalam Undang-undang.
c. Tindakan itu bersifat melawan hukum atau unlawful
d. Pelakunya harus dapat dipertanggungjawabkan.
70
Seseorang tidak dipertanggungjawabkan atas suatu tindak pidana jika: 71
a. Ia memperoleh tekanan (fisik atau psikologis) sedemikian rupa sehingga
mengurangi pengendalian diri yang bersangkutan atau membatasi kebebasan
pribadinya, seperti: gila atau daya paksa.
b.Pelaku termasuk golongan orang-orang yang tunduk pada peraturan khusus,
seperti : diplomat asing atau anak dibawah umur.
68
Zainal Abidin Farid, Op. Cit., Hlm. 260.
69
Romli Atmasasmita, Perbandingan Hukum Pidana, (Bandung: CV Bandar Maju, 2000), hal. 67-68.
70
3. Tidak adanya alasan Pemaaf
Alasan pemaaf atau schulduitsluitingsgrond ini menyangkut
pertanggungjawaban seseorang terhadap perbuatan pidana yang telah
dilakukannya atau criminal responsibily. Alasan pemaaf ini menghapuskan
kesalahan orang yang melakukan deli katas beberapa hal. Alasan-alasan tidak
dapat dipidanakannya seseorang atau alasan-alasan tidak dipidananya seseorang
adalah :
a. Alasan tidak dapat dipertanggungjawabkan seseorang yang terletak dalam
orang itu (inwendig), misalnya hilangnya akal, dll.
b. Alasan tidak dapat dipertanggungjawabkan seseorang yang terletak diluar
orang itu (uitwendig), misalnya adanya kealpaan,dll.
c. Daya paksa. 72
Ketentuan yang mempunyai bentuk perbuatan sebagai alasan pemaaf pada
ketentuan KUHP adalah sebagai berikut :
a. Pasal 44 mengenai pertumbuhan jiwa yang tidak sempurna atau terganggu.
Didalam pasal 44 tersebut memuat ketentuan bahwa tidak dapat dipidana
seseorang yang melakukan perbuatan yang dipertanggungjawabkan kepadanya
karena kurang sempurna akal/jiwanya atau terganggu karena sakit. Seperti yang
telah kita ketahui bahwa dalam M.v.T menyebutkan sebagai tidak dapat
dipertanggungjawabkan karena sebab yang terletak di dalam sipembuat sendiri.
Tidak adanya kemampuan bertanggung jawab menghapuskan kesalahan
72
perbuatannya tetap melawan hukum, sehingga dapat dikatakan suatu alasan
penghapus kesalahan.73
b. Pasal 48 mengenai daya paksa.
Overmatch/paksaan, Undang-undang tidak memberi perumusan dengan
apa yang dimkasud dengan paksaan itu. Oleh karenanya guna memahami apa
yang dimaksud Overmacth, haruslah dipakai cara interpretasi, dan dalam hal ini
harus ditinjau adalah interpretasi. Maka tampaklah dalam M.v.T bahwa yang
dimaksud dengan paksaan oleh pembentuk Undang-undang adalah; “setiap
kekuatan, setiap paksaan, setiap tekanan yang tidak dapat dielakkan”.74
c. Pasal 49 mengenai pembelaan terpaksa.
Setelah diketahui bahwa, apa yang dimaksud dengan paksaan oleh
Undang-Undang, dapatlah diambil kesimpulan, bahwa bukan setiap kekuatan,
paksaan atau tekanan merupakan paksaan hanyalah setiap kekuatan, paksaan,
tekanan “yang tidak dapat dielakkan”.
Pembelaan terpaksa yang melampaui batas (noodweer ekses). Noodweer
ekses diartikan sebagai dilampauinya batas-batas dari suatu pembelaan seperlunya itu haruslah disebabkan Karena pengaruh dari suatu kegoncangan jiwa yang
demikian hebat, yang bukan semata-mata disebabkan karena adanya perasaan
takut atau ketidaktahuan tentang apa yang harus dilakukan, melainkan juga yang
disebabkan oleh hal hal lain seperti kemarahan atau perasaan kasihan.75
73 ibid., hlm 132 74 C.S.T.Kansil, Christine.S.T.Kansil,Op.Cit.,hlm.148 75
Menurut doktrin hukum pidana terdapat tiga unsur yang harus dipenuhi
agar perbuatan seseorang dapat dikategorikan sebagai pembelaan terpaksa yang
melampaui batas (noodweer ekses ), yaitu melampaui batas pembelaan yang
diperlukan. Kegoncangan jiwa yang hebat, adanya hubungan kausal antara
serangan dengan timbulnya kegoncangan jiwa yang hebat.76
Unsur yang pertama didalamnya berkaitan dengan tidak adanya
keseimbangan antara alat atau cara yang dipilih untuk melakukan pembelaan diri
dengan serangan yang terjadi, dan yang diserang sesungguhnya masih memiliki
kesempatan untuk melarikan diri, tetapi Karena goncangan jiwanya yang hebat
menyebabkan hal itu tidak dilakukan. Sedangkan unsur yang kedua berkaitan
dengan tidak berfungsinya akal atau batin orang tersebut secara normal yang
disebabkan oleh datangnya suatu serangan yang menggoncangkan jiwanya secara
hebat. Unsur yang ketiga bersifat subjektif sifatnya, tergantung pada
tempramennya masing-masing undividu sehingga dalam ini diperlukan adanya
pemeriksaan atau keterangan dari Psikiatri.77
d. Pasal 51 ayat (2) melaksanakan perintah jabatan yang tidak sah.
Dalam pasal 51 ayat (2) menyatakan; “ perintah jabatan tanpa wewenang,
tidak menyebabkan harusnya pidana, kecuali jika yang diperintahkan, dengan
itikad baik mengira bahwa perintah diberikan dengan wewenang, dan
pelaksanaannya termasuk dalam lingkungan pekerjaannya”.
Terdapat dua syarat yang harus dipenuhi agar perbutan orang itu dikategorikan
sebagai alasan pemaaf. Pertama, keadaan batin orang yang diperitahkan harus
76
M.abdul Kholik, Op.Cit., hlm. 156
77
mengira bahwa perintah tersebut merupakan perintah yang sah baik dilihat dari
pejabat yang mengeluarkan perintah itu maupun dilihat dari macam perintah itu.
Kedua, perintah dilaksanakan itu berdasarkan itikad baiknya harus merupakan
bagian dari lingkungan pekerjaannya, dalam arti perintah tersebut memang sesuai
dengan job description orang itu, bukan di luar pekerjaan orang itu.78
Jika seseorang melakukan tindak pidana namun tidak memenuhi ketentuan diatas,
maka perbuatannya harus dipertanggung jawabkan dan dikenakan sanksi yang
diatur dalam Undang-undang.
Berdasarkan unsur-unsur subjektif pada rumusan tindak pidana yang
diuraikan diatas, maka diketahui bahwa formulasi pertanggung jawaban pidana
tersebut berdasarkan pada kesalahan berupa kesengajaan. Ada beberapa hal yang
menyebutkan “dengan sengaja” yang berarti unsur-unsur subjektif jelas tercantum
dalam pasal tersebut. Terdapat beberapa pasal dalam Undang-undang Narkotika
yang tidak menyebutkan unsur “dengan sengaja”, namun dilihat dari unsur
obyektifnya berupa perbuatan, maka perbuatan tersebut dikategorikan “ dengan sengaja”. Contoh pasal 11 mnyebutkan bahwa “setiap orang yang tanpa hak atau
melawan hukum menanam, memelihara, memiliki, menyimpan, menguasai, atau
menyediakan, Narkotika Golongan I dalam bentuk tanaman”. Dalam pasal
tersebut perbuatan menanam, memelihara, memiliki, menyimpan, menguasai, atau
menyediakan, bahwa seseorang yang melakukan perbuatan tersebut mengetahui