BAB II
FORMULASI PERBUATAN DAN PERTANGGUNG JAWABAN PIDANA DALAM TINDAK PIDANA NARKOTIKA MENURUT UU
NOMOR 35 TAHUN 2009
A. Sejarah Tindak Pidana Narkotika
1. Sejarah Narkotika Secara Umum
Pada dasarnya
mengubah perasaan dan pikiran. Pada tahun 2000 SM (sebelum masehi), dikenal
sebuah tanaman bernama Papavor somniveritum(candu), dan tumbuhan tersebut
juga tumbuh di berbagai wilayah seperti China, India dan beberapa Negara
lainnya. Kemudian pada tahun 330 SM (sebelum masehi) seseorang bernama
Alexander The Great mulai mengenalkan candu di India dan Persia, pada saat itu
orang India dan Persia menggunakan candu tersebut saat jamuan makan dan saat
santai.37
Pada sejarah Mesir kuno bahwa orang Romawi dan Mesir pada tahun
1700-an, telah menggunakan Narkotika sejenis daun poppy dengan cara dikunyah
yang bertujuan untuk menghilangkan rasa sakit pada saat melahirkan anak. Kalau
sebelumnya candu digunakan dengan cara dikunyah maka pada tahun 1805
Morphin mulai dikenalkan untuk menggantikan candu (opium), morphin tersebut
ditemukan oleh seorang dokter bernama Friedrich Wilhelim Sertuner. Dokter
tersebut menemukan morphin yang bahan dasarnya modifikasi candu ditambah
37
amoniak. Dan saat terjadinya perang morphin tersebut sangat banyak digunakan
untuk mengobati tentara yang terluka disaat perang.38
Pada tahun 1874 seorang ahli kimia dari Inggris bernama Alder Wright
melakukan penelitian dengan cara merebus cairan morphin dan dicampur dengan
asam anhidrat, kemudian hasil campuran tersebut dilakukan percobaan kepada
seekor anjing dan hasilnya anjing tersebut tiarap, ketakutan, mabuk dan
muntah-muntah, kemudian pada tahun 1898 pabrik obat Bayern memproduksi obat
tersebut dengan nama heroin yang dijadikan sebagai obat penghilang rasa sakit.
Selain morphin & heroin adalagi jenis lain yaitu kokain (ery throxylor coca)
berasal dari tumbuhan coca yang tumbuh di Peru dan Bolavia. Biasanya
digunakan untuk penyembuhan Asma dan TBC.39
Pada tahun 1853 seorang dokter bernama Alexander Wood Edinburg
menemukan jarum suntik, morphin menjadi sangat banyak disalahgunakan untuk Tahun 60-70-an pusat penyebaran candu dunia berada pada daerah
"Golden Triangle" yaitu Myanmar, Thailand & Laos. Dengan produksi: 700 ribu
ton setiap tahun. Juga pada daerah "Golden Crescent" yaitu Pakistan, Iran dan
Afganistan dari Golden Crescent menuju Afrika danAmerika. Di akhir tahun
70-an ketika tingkat tek70-an70-an hidup m70-anusia semakin meningkat serta tekhnologi
mendukung maka diberilah campuran-campuran khusus agar candu tersebut dapat
juga dalam bentuk obat-obatan.
pukul 12;40 Wib
39
.
menggunakan Narkoba tersebut. Kemudian pada tahun 1874 para ahli kimia mulai
mengubah struktur morphin membuat morphin menjadi obat yang tidak
menyebabkan ketagihan. Seorang ahli kimia bernama CR.Wright menemukan
sintesis heroin dengan cara memanaskan morphin. Pada tahun 1939 dilakukan
penelitian Narkotika sintetis dan semi sintetis dan sintetis pertama diproduksi di
Jerman dan diberi nama Petidine.
Pada tahun 1923 Badan Obat Amerika (FDA) melarang melarang semua
bahan narkotika terutama heroin, tetapi walaupun hal tersebut sudah dilarang, para
pengguna kemudian mulai mencari bahan tersebut di pasar gelap Narkoba, dan
pasar gelap tersebut adalah Chinatown, New york. Narkoba tersebut umumnya
disalahgunakan yang kemudian dapat menimbulkan berbagai tindak kriminal
seperti pencurian, perampokan, karena pengguna akan selalu membutuhkan uang
untuk memenuhi kebutuhannya demi membeli Narkoba.40
2. Sejarah Tindak Pidana Narkotika di Indonesia
Pada tahun 1960 an, penyebaran candu dunia berada pada daerah segitiga
emas yaitu meliputi negara Myanmar, Thailand dan Laos dan kemudian dikenal
istilah Bulan sabit emas meliputi negara Pakistan, Iran, Afganistan.
Di Indonesia sendiri Narkoba jenis opium sudah ada pada jaman penjajahan
belanda yaitu sebelum terjadinya perang dunia II dan sebagian besar pemakai
candu (opium) saat itu adalah orang China, pemerintah Belanda memberikan
tempat untuk menggunakan candu tersebut dan juga mengatur peredarannya dan
pengadaannya. Pada saat itu orang China menggunakan candu dengan cara
tradisional yaitu dengan cara menghisap dengan menggunakan Pipa panjang,
penggunaan candu tersebut legal dan dilindungi oleh Undang-undang, kemudian
setelah Jepang tiba dan kemudian melakukan penjajahan di Indonesia, pemerintah
Jepang menghapuskan Undang-Undang tersebut (Brisbane ordinance). Kemudian
setelah Indonesia merdeka, pemerintah membuat Undang-Undang yang
menyangkut produksi, penggunaan dan distribusi obat berbahaya dan saat itu
diberikan wewenang kepada menteri kesehatan untuk mengatur ( State gaette No
419 ,1949).41
Sejarah narkotika cukup panjang, sekarang ini Narkotika digunakan untuk
keperluan medis di Rumah Sakit, misalnya saat akan melakukan operasi, Tetapi
disisi lain ada juga yang menggunakan hanya untuk kesenangan maka disebut
sebagai peredaran gelap. Karena penggunaan Narkotika akan dapat menyebabkan
ketergantungan, dan efek samping yang paling serius sebagai akibat dari Pada tahun 1976 pemerintah Indonesia mengeluarkan Undang-undang
Nomor 9 tahun 1976 tentang Narkotika, Undang-Undang tersebut mengatur
tentang peredaran gelap, terapi dan rehabilitasi korban pecandu Narkotika, karena
semakin maraknya peredaran gelap narkotika Undang-Undang tersebut direvisi
dan dibuat Undang-undang Nomor 22 tahun 1997 Tentang Narkotika, dan
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997, kemudian dibuat lagi Undang-Undang
Nomor 35 tahun 2009 Tentang Narkotika dan berlaku sampai dengan sekarang.
41
penyalahgunaan Narkotika adalah kematian, tentu tidak satupun diantara kita yang
menginginkannya, oleh karena itu jauhi Narkotika sekarang juga.
3. Sejarah Pengaturan Undang-Undang Narkotika di Indonesia
Dalam sejarah Perundang-Undangan yang mengatur tentang Narkotika,
dapat dibagi menjadi beberapa tahap,yakni :
a. Masa berlakunya berbagai Ordonantie Regie;
b. Masa berlakunya Verdovende midellen Ordonantie stbl 1972 Nomor: 278 jo
No. 536 (yang diterjemaahkan dengan UU Obat Bius);
c. Masa berlakunya Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1976 tentang Narkotika;
d. Masa berlakunya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika.
Jadi pengaturan Narkotika dalam Perundang-Undangan sudah sejak Zaman
Hindia Belanda, yaitu yang tertua adalah pada Tahun 1972, berikut mengenai
tahapan-tahapan dalam UU tersebut :
a. Masa berlakunya berbagai Ordonantie Regie
Pada masa ini, pegaturan Narkotika tidak seragam setiap wilayah mempunyai
Ordonantie sendiri-sendiri. Misalnya :
1. Bali Regie Ordonantie;
2. Jawa Regie Ordonantie;
3. Riau Regie Ordonantie;
4. Aceh Ordonantie Regie;
5. Borneo Regie Ordonantie;
7. Tapanuli Regie Ordonantie;
8. Ambon Regie Ordonantie;
9. Timor Regie Ordonantie.
Dari berbagai macam Regie ordonantie tersebut yang paling tua adalah Bali
Regie Ordonantie termuat Stbl 1872 Nomor 76. Disamping itu masalah
Narkotika juga diatur dalam:
10. Morphine Regie Ordonantie (stbl 1911 Nomor 373,stbl 1911 Nomor 484 dan
Stbl 1911 Nomor 485);
11. Ooskust Regie Ordonantie (Stbl 1911 Nomor 494 dan 644, Stbl 1912 Nomor
255);
12. Westkust Regie Ordonantie (Stbl 1914 Nomor 562,Stbl 1915 Nomor 425);
13. Bepalingen Opium Premien( Stbl 1916 Nomor 630) dan sebagainya.
Jumlah semua peraturan yang tersebar tersebut adalah 44 buah.42
Undang-undang tanggal 12 Mei 1972 Stb.27-278 Jo.536 diberlakukan Tahun
1928.Disempurnakan dengan lembaran Tambahan tanggal 22 Juli dan 3 Februari
1928.Dalam seminar kriminologi II (28-30 September 1972) dibahas
kelemahan-kelemahan yang terdapat dalam UU obat bius ini. Dari situlah mulai diberlakukan
perombakan dengan pembaharuan dan penyempurnaan Perundang-Undangan
Narkotika agar lebih efektif dalam penanggulangan penyalahgunaan Narkotika. b. Masa berlakunya Verdovende Midellen Ordonantie stbl 1972 Nomor: 278 jo
No. 536 (yang diterjemaahkan dengan UU Obat Bius);
42
Dalam seminar tersebut berpendapat tentang kekurangan-kekurangan dan
ketidakserasian Undang-Undang Obat Bius yang dimaksud, diantaranya :
a. Belum adanya badan yang bertingkat Nasional dan tetap dengan
kewenangan dalam menangani masalah penyalahgunaan narkotika.
b. Belum adanya ketentuan khusus tentang wajib lapor penyalahgunaan
Narkotika.
c. Belum adanya pernyataan, persistimatisan dalam ketentuan hukum.
d. Tidak adanya keseragaman dalam pengertian tentang narkotika.
e. Ringannya sanksi jika dilihat dari akibat penyalahgunaan Narkotika.
f. Tidak ada ketegasan di antara ketentuan hukum pidana dan acaranya
g. Tidak adanya ketegasan pembatasan pertanggungjawaban pidana terhadap
pemakai, pemilik, penjual atau pengedar dan penyimpan Narkotika.43
c. Masa berlakunya Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1976 tentang Narkotika;
Lahirnya Undang-Undang ini menandakan bahwa pemerintah begitu
memperhatikan terhadap penyalahgunaan Narkotika. Pada dasarnya
undang-undang ini tidak mampu mengatasi masalah yang terjadi baik yang berkaitan
dengan penggunaan maupun dengan cara penindakan yang harus dilakukan.
Mengingat perkembangan kualitas kejahatan Narkotika ini sudah menjadi
ancaman yang sangat serius bagi kehidupan manusia yang mana modus operandi
dari peredaran Narkotika mampu mengguncang dunia, maka diadakan kembali
suatu perubahan.44
d. Masa berlakunya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika
43
Konteks penyelesaian dan penanggulangan penyalahgunaan Narkotika,
pemerintah Indonesia juga melakukan kerja sama dengan lembaga-lembaga
internasional untuk secara serius memerangi peredaran gelap Narkotika, seperti
tercantum dalam rangkaian penjelasan Undang-Undang yang meratifikasi
(menandatangani dan mengesahkan ) United Nation Convention Against Lllicit
Traffic in Narcotic Drugs and Psychotropic Substances, hasil konvensi PBB yang
disahkan oleh DPR pada tanggal 31 Januari 1997 dan dijadikan acuan
terbentuknya UU No 22 Tahun 1997. Dalam UU No 22 Tahun 1997 tentang
Narkotika pada Bab XII memuat ketentuan tentang tindak pidana (sanksi pidana)
penyalahgunaan Narkotika. Ketentuan tindak pidana dikenakan pada pelaku yang
secara umum dikelompokkan dalam tiga bentuk, yakni penyalahgunaan
Narkotika, Peredaran Narkotika, dan penjualan Narkotika.45
Maka untuk mencegah dan memberantas penyalahgunaan dan peredaran gelap
Narkotika yang sangat merugikan dan membahayakan kehidupan masyarakat, e. Masa berlakunya Undang-Undang No 35 Tahun 2009.
Tindak pidana Narkotika di dalam masyarakat menunjukkan kecenderungan
yang semakin meningkat baik secara kuantitatif maupun kualitatif dengan korban
yang meluas, terutama di kalangan anak-anak, remaja, dan generasi muda
umumnya. Tindak pidana Narkotika tidak lagi dilakukan secara perorangan,
melainkan melibatkan banyak orang yang secara bersana-sama, bahkan
merupakan suatu sindikat yang terorganisasi dengan jaringan yang luas yang
bekerja secara rapi dan sangat rahasia baik ditingkat Nasional.
45
bangsa, dan Negara, pada sidang umum Mejelis Permusyawaratan Rakyat
Republik Indonesia Tahun 2002 melalui ketetapan Majelis Permusyawaratan
Rakyat Republik Indonesia Nomor VI/MPR/2002 telah merekomendasi kepada
Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia dan Presiden Republik Indonesia
untuk melakukan perubahan atas Undang-undang No 22 Tahun 1997 Tentang
Narkotika. Selain itu untuk melindungi masyarakat dari bahaya penyalahgunaan
Narkotika dan mencegah serta memberantas peredaran gelap Narkotika, dalam
Undang-Undang ini diatur juga mengenai prekursor Narkotika kerena Prekursor
Narkotika merupakan zat atau bahan pemula atau bahan kimia yang dapat
digunakan dalam pembuatan Narkotika. Dalam Undang-Undang ini dilampirkan
mengenai Prekursor Narkotika dengan melakukan penggolongan terhadap
jenis-jenis prekursor Narkotika serta sanksi pidana bagi penyalahgunaan Prekursor
Narkotika untuk pembuatan Narkotika. Bahkan, demi mengefektikan pencegahan
dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan prekursor
Narkotika, diatur mengenai penguatan Lembaga yang sudah ada yaitu Badan
Narkotika Nasional (BNN).
B. Perbuatan Pidana Narkotika Dan Jenis-Jenisnya.
a. Perbuatan Pidana Narkotika Berdasarkan Undang-undang No 35 Tahun 2009
Adapun pengaturan tindak pidana Narkotika berdasarkan Undang-undang No
35 Tahun 2009 adalah sebagai berikut :
1. Sama seperti Undang-undang sebelumnya, Narkotika Undang-undang No 35
berdasarkan kegunaan serta potensi ketergantungan. Dengan penggolongan ini
tindak pidana serta berat ringannya sanksi disesuaikan dengan masing-masing
golongan ;
2. Mayoritas tindak pidana Narkotika dirumuskan dengan konsep delik formil.
Tidak ditemukan akibat konstitusif yang dilarang dalam undang-undang No 35
Tahun 2009 tentang Narkotika. Hanya pasal 116, pasal 121 dan pasal 126 yang
dirumuskan dengan rumusan delik dengan akibat yang dikualifisir. Pasal-pasal
tersebut mengatur tentang larangan pemberian Narkotika golongan I, golongan
II , maupun golongan III secara tanpa hak dan melawan hukum kepada orang
lain untuk digunakan. Dalam pasal-pasal tersebut terdapat akibat yang dilarang
yaitu mati ataupun cacat permanennya orang lain mati. Apabila akibat yang
dilarang terjadi maka akan dikenakan pemberatan;
3. Tidak ada kualifikasi tindak pidana dalam Undang-Undang ini apakah
tergolong pada kejahatan ataupun pelanggaran;
4. Berlakunya hukum pidana Indonesia menurut tempat diperluas dengan adanya
pasal 145 Undang-undang 35 Tahun 2009. Pasal tersebut mengatur bahwa
ketentuan pidana dalam undang-undang ini berlaku bagi setiap orang yang
melakukan tindak pidana Narkotika dan / atau tindak pidana precursor
narkotika sebagaimana dimaksud dalam pasal 111, pasal 112,pasal 113,pasal
114,pasal 115,pasal 116,pasal 117, pasal 118, pasal 119, pasal 120, pasal 121,
pasal 122, pasal 123, pasal 124, pasal 125, pasal 126, pasal 127(1) pasal 128
ayat (1) dan pasal 129 diluar wilayah Negara Republik Indonesia. Ketentuan ini
Indonesia berlaku terhadap tindak pidana yang menyerang kepentingan hukum
Negara Indonesia, baik itu dilakukan oleh warga Negara Indonesia atau bukan,
yang dilakuakn di luar Indonesia,
5. Perbuatan tanpa hak dan melawan hukum menanam, memelihara, memiliki,
menyimpan, menguasai, menyediakan Narkotika Golongan I dalam bentuk
tanaman, dan bukan tanaman, Narkotika Golongan II,golongan III ( pasal
11,112,117,122);
6. Perbuatan tanpa hak dan melawan hukum memproduksi, mengimpor,
mengekspor, atau menyalurkan Narkotika golongan I, narkotika golongan II,
narkotika golongan III (pasal 113,118,123)
7. Perbuatan tanpa hak dan melawan hukum menawarkan untuk dijual, menjual,
membeli, menerima, menjadi perantara, dalam jual beli, menukar, atau
menyerahkan narkotika golongan I, narkotika golongan II, narkotika golongan
III (pasal 114,119,124);
8. Perbuatan tanpa hak dan melawan hukum membawa, mengirim, mengangkut,
atau mentransito narkotika golongan I, golongan II, golongan III (pasal
115,120,125)
9. Perbutan tanpa hak atau melawan hukum menggunakan narkotika golongan I
terhadap orang lain atau memberikan narkotika golongan I untuk digunakan
orang lain narkotika golongan II , narkotika golongan III (pasal 116,121,126)
10. Setiap penyalah guna narkotika golongan I untuk digunakan orang lain
11. Perbuatan orang tua atau wali dari pecandu yang belum cukup umur,
sebagaimana dimaksud dalam pasal 55 ayat (1) yang sengaja tidak melapor (
pasal 128);
12. Memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan, memproduksi,
mengimpor, mengekspor, atau menyalurkan , menawarkan untuk dijual.
Menjual, membeli, menerima, menhjadi perantara, dalam jual beli, menukar,
atau menyerahkan precursor narkotika untuk perbuatan narkotika membawa,
mengirim, mengangkut, atau mentransito precursor Narkotika untuk perbuatan
Narkotika 9pasal 129);
13. Perbuatan dengan sengaja tidak melaporkan adanya tindak pidana yang diatur
dalam pasal 111-119 (pasal 131);
14. Perbuatan melibatkan anak yang belum cukup umur untuk melakukan tindak
pidana narkotika yang diatur dalam pasal 11-126, dan pasal 129. (pasal 133);
15. Pecandu Narkotika yang sudah cukup umur , keluarga pecandu Narkotika
yang sudah cukup umur dengan sengaja tidak melaporkan hal tersebut (pasal
134);
16. Pengurus industry Farmasi yang tidak melaksanakan kewajiban menurut pasal
45 (pasal 1350;
17. Pencucian uang terkait Tindak Pidana Narkotika pasal (137);
18. Perbuatan menghalang-halangi atau mempersulit penyidikan serta penuntutan
dan pemeriksaan perkara tindak pidana Narkotika dan / atau tindak pidana
19. Nahkoda atau kapten penerbang yang secara melawan hukum tidak
melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 27 atau pasal 28
(pasal 139);
20. Perbuatan pejabat penegak hukum yang tidak sesuai dengan ketentuan
undang-undang No 35 tahun 2009 (pasal 140-142);
21. Sanksi yang memberi keterangan tidak benar dalam pemeriksaan perkara
tindak pidana Narkotika dalam precursor Narkotika di muka siding pengadilan
(pasal 143);
22. Perbuatan pimpinan Rumah Sakit, Pusat Kesehatan Masyarakat, Balai
Pengobatan, Sarana Penyimpanan Sediaan Farmasi Milik Pemerintah, dan
Apotek yang mengedarkan Narkotika golongan II, golongan III bukan untuk
kepentingan pelayanan kesehatan ( pasal 147 huruf (a);
23. Perbuatan pimpinan lembaga ilmu pengetahuan yang menanam, membeli,
menyimpan, atau menguasai tanaman Narkotika bukan untuk kepentingan
ilmu pengetahuan (pasal 147 huruf (b)
24. Perbuatan pimpinan Industri Farmasi tertentu yng memproduksi Narkotika
golongan I bukan untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan (pasal
147 huruf (c)
25. Pimpinanan pedagang besar farmasi yang mengedarkan Narkotika golongan I
bukan untuk kepentingan ilmu pengetahuan atau mengedarkan Narkotika
golongan II dan III bukan untuk kepentingan pelayanan kesehatan dan /atau
bukan untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan. (pasal 147
b. Jenis-Jenis Narkotika.
Berdasarkan Undang-Undang No.35 Tahun 2009 Tentang Narkotika, jenis
narkotika di bagi ke dalalm 3 (tiga) kelompok, yaitu narkotika golongan I,
golongan II, dan golongan III. Setiap golongan narkotika memiliki fungsi yang
berbeda-beda, yaitu:
Golongan I : Narkotika yang hanya dapat digunakan untuk tujuan
pengembangan ilmu pengetahuan dan tidak digunakan dalam terapi, serta
mempunyai potensi sangat tinggi mengakibatkan ketergantungan. Adapun yang
termasuk golongan I adalah:46
1. Tanaman Papaver Somniferum L dan semua bagian-bagiannya termasuk buah
dan jeraminya, kecuali bijinya.
2. Opium mentah, yaitu getah yang membeku sendiri, diperoleh dari buah
tanaman Papaver Somniferum L dengan atau tanpa mengalami pengolahan
sekedarnya untuk pembungkus dan pengangkutan tanpa memperhatikan kadar
morfinnya.
3. Opium masak terdiri dari :
a. candu, hasil yang diperoleh dari opium mentah melalui suatu rentetan
pengolahan khususnya dengan pelarutan, pemanasan dan peragian dengan
atau tanpa penambahan bahan-bahan lain, dengan maksud mengubahnya
menjadi suatu ekstrak yang cocok untuk pemadatan.
b. jicing, sisa-sisa dari candu setelah dihisap, tanpa memperhatikan apakah
candu itu dicampur dengan daun atau bahan lain.
46
c. jicingko, hasil yang diperoleh dari pengolahan jicing.
4. Tanaman koka, tanaman dari semua genus Erythroxylon dari keluarga
Erythroxylaceae termasuk buah dan bijinya.
5. Daun koka, daun yang belum atau sudah dikeringkan atau dalam bentuk
serbuk dari semua tanaman genus Erythroxylon dari keluarga Erythroxylaceae
yang menghasilkan kokain secara langsung atau melalui perubahan kimia.
6. Kokain mentah, semua hasil-hasil yang diperoleh dari daun koka yang dapat
diolah secara langsung untuk mendapatkan kokaina.
7. Kokaina, metil ester-1-bensoil ekgonina.
8. Tanaman ganja, semua tanaman genus genus cannabis dan semua bagian dari
tanaman termasuk biji, buah, jerami, hasil olahan tanaman ganja atau bagian
tanaman ganja termasuk damar ganja dan hasis.
9. Tetrahydrocannabinol, dan semua isomer serta semua bentuk stereo kimianya.
10. Delta 9 tetrahydrocannabinol, dan semua bentuk stereo kimianya.
11. Asetorfina : 3-0-Acetiltetrahidro-7α-(1-hidroksi-1-metilbutil)-6, 14-
endoeteno-oripavina.
12. Acetil–alfa–metil fentanil :N-[1-(α-Metilfenetil)-4-piperidil] asetanilida.
13. Alfa-metilfentanil : N-[1 (α-Metilfenetil)-4-piperidil] propionanilida
14. Alfa-metiltiofentanil : N-[1-] 1-Metil-2-(2-tienil) etil]-4-piperidil]
priopionanilida
15. Beta-hidroksifentanil:N-[1-(beta-Hidroksifenetil)-4-piperidil propionanilida
16. Beta-hidroksi-3-metil-fentanil :N-[1-(beta-Hidroksifenetil)-3-metil-4
17. Desmorfina : Dihidrodeoksimorfina
18. Etorfina: Tetrahidro-7α-(1-hidroksi-1-metilbutil)-6,14-endoeteno-oripavina
19. Heroina : Diacetilmorfina
20. Ketobemidona: 4-Meta-hidroksifenil-1-metil-4-propionilpiperidina
21. 3-Metilfentanil: N-(3-Metil-1-fenetil-4-piperidil) propionanilida
22. 3-Metiltiofentanil: N-[3-Metil-1-[2-(2-tienil) etil]-4-piperidil] propionanilida
23. MPPP : 1-Metil-4-fenil-4-piperidinol propianat (ester)
24. Para-fluorofentanil : 4‘-Fluoro-N-(1-fenetil-4-piperidil) propionanilida
25. PEPAP : 1-Fenetil-4-fenil-4-piperidinolasetat (ester)
26. Tiofentanil : N-[1-[2-(2-Tienil)etil]-4-piperidil] propionanilida
27. BROLAMFETAMINA, nama lain DOB : (±)-4-Bromo-2,5-dimetoksi- α –
metilfenetilamina
28. DET : 3-[2-(Dietilamino )etil] indol
29. DMA : ( + )-2,5-Dimetoksi- α –metilfenetilamina
30. DMHP : 3-(1,2-Dimetilheptil)-7,8,9,10-tetrahidro-6,6,9-trimetil-6H-dibenzo[
b,d]piran-1-ol
31. DMT : 3-[2-( Dimetilamino )etil] indol
32. DOET : (±)-4-Etil-2,5-dimetoksi- α –metilfenetilamina
33. ETISIKLIDINA, nama lain PCE : N-Etil-1-fenilsikloheksilamina
34. ETRIPTAMINA. : 3-(2-Aminobutil) indol
35. KATINONA : (-)-(S)- 2-Aminopropiofenon
36. ( + )-LISERGIDA, nama lain LSD, LSD-25 : 9,10-Didehidro-N,N-dietil-6-
37. MDMA : (±)-N, α-Dimetil-3,4-(metilendioksi)fenetilamina
38. Meskalina : 3,4,5-Trimetoksifenetilamina
39. METKATINONA : 2-(Metilamino )-1- fenilpropan-1-on
40. 4- Metilaminoreks : (±)-sis- 2-Amino-4-metil- 5- fenil- 2-oksazolina
41. MMDA : 5-Metoksi- α-metil-3,4-(metilendioksi)fenetilamina
42. N-etil MDA : (±)-N-Etil- α -metil-3,4-(metilendioksi)fenetilamina
43. N-hidroksi MDA : (±)-N-[α-Metil-3,4-(metilendioksi)fenetil] hidroksil amina
44. Paraheksil : 3-Heksil-7,8,9,10-tetrahidro-6,6, 9-trimetil-6H-dibenzo[b,d]
piran-1-ol
45. PMA : p-Metoksi-α–metilfenetilamina
46. psilosina, psilotsin : 3-[2-(Dimetilamino )etil]indol-4-ol
47. PSILOSIBINA : 3-[2-(Dimetilamino)etil]indol-4-il dihidrogen fosfat
48. ROLISIKLIDINA, nama lain PHP, PCPY: 1-( 1- Fenilsikloheksil)pirolidina
49. STP, DOM : 2,5-Dimetoksi- α ,4-dimetilfenetilamina
50. TENAMFETAMINA, nama lain MDA : α -Metil-3,4-(metilendioksi)
fenetilamina
51. TENOSIKLIDINA, nama lain TCP : 1-[1-(2-Tensil] piperidina
52. TMA : (±)-3,4,5-Trimetoksi- α –metilfenetilamina
53. AMFETAMINA : (±)- α–Metilfenetilamina
54. DEKSAMFETAMINA : ( + )- α–Metilfenetilamina
55. FENETILINA : 7-[2-[(α-Metilfenetil)amino]etil]teofilina
56. FENMETRAZINA : 3-Metil-2-fenilmorfolin
58. LEVAMFETAMINA, nama lain levamfetamina: (- )-(R)- α–Metilfenetil
amina
59. Levometamfetamina : ( -)-N, α–Dimetilfenetilamina
60. MEKLOKUALON: 3-(o-klorofenil)-2-metil-4(3H)- kuinazolinon
61. METAMFETAMINA : (+ )-(S)-N, α–Dimetilfenetilamina
62. METAKUALON : 2-Metil-3-o-tolil-4(3H)-kuinazolinon
63. ZIPEPPROL:α-(α-Metoksibenzil)-4-(β-metoksifenetil)-1-piperazinetano
64. Sediaan opium dan/atau campuran dengan bahan lain bukan Narkotika
65. 5-APB: 5-(2-Aminopropil)benzofuran; 1-benzofuran-5-ilpropan amina
66. 6-APB : 6-(2-Aminopropil)benzofuran ; 1-benzofuran-6-ilpropan-2- amina
67. 25B-NBOMe:2-(4-Bromo-2,5-dimetoksifenil)-N-[(2-metoksifenil)
metil]etanamina
68. 2-CB:2-(4-Bromo-2,5-dimetoksifenil)etanamina;4-Bromo-2,5-
dimetoksimetamfetamina
69. 25C-NBOMe, nama lain 2C-c-NBOMe: 1-(4-Kloro-2,5-dimetoksifenil)-N-
[(2-metoksifenil)metal]-2-etanamia
70. Dimetilamfetamina, nama lain DMA : N,N-Dimetil-1-fenilpropan-2- amina
71. DOC : 1-(4-Kloro-2,5-dimetoksi-fenil)propan-2-amina
72. ETKATINONA: 2-etilamino-1-fenilpropan-1-on
73. JWH-018 : (1-Pentil-1H-indol-3-il)-1-naftalenil-metanon
74. MDPV: 3,4-Metilendioksipirovaleron, nama lain : 1-(3,4-
metilendioksifenil)-2-(1-pirolidinil)pentan-1-on;
76. METILON,nama lain MDMC: 2-Metilamino-1-(3,4- metilendioksifenil)
propan-1-on
77. 4-METILKATINONA, nama lain 4-MEC : 2-etilamino-1-(4-
metilfenil)propan-1-on
78. MPHP : 1-(4-Metilfenil)-2-(1-pirrolidinil)-1-heksan-1-on
79. 25I-NBOMe, nama lain 2C-I-NBOMe : 1-(4-Iodo-2,5-dimetoksifenil)-N-
[(2-metoksifenil)metil]etanamina
80. PENTEDRONE : (±)-1-Fenil-2-(metilamino)pentan-1-on
81. PMMA:p-Metoksimetamfetamina;N-metil-1-(4Metoksifenil)propan-2- amina
82. XLR-11: (1-(5-Fluoropentil)-1H-indol-3-il)2,2,3,3-tetrametilsiklo propil)-
metanon
Golongan II : Narkotika yang berkhasiat pengobatan, digunakan sebagai
pilihan terakhir dan dapat digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan
pengembangan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi tinggi mengakibatkan
ketergantungan. Adapun yang termasuk golongan II adalah:47
1. Alfasetilmetadol : Alfa-3-asetoksi-6-dimetil amino-4,4-difenilheptana
2. Alfameprodina : Alfa-3-etil-1-metil-4-fenil-4-propionoksipiperidina
3. Alfametadol : alfa-6-dimetilamino-4,4-difenil-3-heptanol
4. Alfaprodina : alfa-l, 3-dimetil-4-fenil-4-propionoksipiperidina
5. Alfentanil : N-[1-[2-(4-etil-4,5-dihidro-5-okso-l
H-tetrazol-1-il)etil]-4-(metoksimetil)-4-pipe ridinil]-N-fenilpropanamida
6. Allilprodina : 3-allil-1-metil-4-fenil-4-propionoksipiperidina
7. Anileridina : Asam 1-para-aminofenetil-4-fenilpiperidina)-4-karboksilat etil
ester
8. Asetilmetadol : 3-asetoksi-6-dimetilamino-4, 4-difenilheptana
9. Benzetidin : asam 1-(2-benziloksietil)-4-fenilpiperidina-4-karboksilat etil ester
10. Benzilmorfina : 3-benzilmorfina
11. Betameprodina : beta-3-etil-1-metil-4-fenil-4-propionoksipipe ridina
12. Betametadol : beta-6-dimetilamino-4,4-difenil-3–heptanol
13. Betaprodina : beta-1,3-dimetil-4-fenil-4-propionoksipipe ridina
14. Betasetilmetadol : beta-3-asetoksi-6-dimetilamino-4, 4-difenilheptana
15. Bezitramida :
1-(3-siano-3,3-difenilpropil)-4-(2-okso-3-propionil-1-benzimidazolinil)-piperidina
16. Dekstromoramida :
(+)-4-[2-metil-4-okso-3,3-difenil-4-(1-pirolidinil)butil]-morfolina
17. Diampromida : N-[2-(metilfenetilamino)-propil]propionanilida
18. Dietiltiambutena : 3-dietilamino-1,1-di(2'-tienil)-1-butena
19. Difenoksilat : asam
1-(3-siano-3,3-difenilpropil)-4fenilpiperidina-4-karboksilat etil ester
20. Difenoksin : asam 1-(3-siano-3,3-difenilpropil)-4-fenilisonipekotik
21. Dihidromorfina
22. Dimefheptanol : 6-dimetilamino-4,4-difenil-3-heptanol
23. Dimenoksadol : 2-dimetilaminoetil-1-etoksi-1,1-difenilasetat
24. Dimetiltiambutena : 3-dimetilamino-1,1-di-(2'-tienil)-1-butena
26. Dipipanona : 4, 4-difenil-6-piperidina-3-heptanona
27. Drotebanol : 3,4-dimetoksi-17-metilmorfinan-6ß,14-diol
28. Ekgonina, termasuk ester dan derivatnya yang setara dengan ekgonina dan
kokaina.
29. Etilmetiltiambutena : 3-etilmetilamino-1, 1-di-(2'-tienil)-1-butena
30. Etokseridina :
asam1-[2-(2-hidroksietoksi)-etil]-4fenilpiperidina-4-karboksilat etil ester
31. Etonitazena : 1-dietilaminoetil-2-para-etoksibenzil-5nitrobenzimedazol
32. Furetidina : asam 1-(2-tetrahidrofurfuriloksietil)4
fenilpiperidina-4-karboksilat etil ester)
33. Hidrokodona : dihidrokodeinona
34. Hidroksipetidina : asam 4-meta-hidroksifenil-1-metilpiperidina-4-karboksilat
etil ester
35. Hidromorfinol : 14-hidroksidihidromorfina
36. Hidromorfona : dihidrimorfinona
37. Isometadona : 6-dimetilamino- 5 -metil-4, 4-difenil-3-heksanona
38. Fenadoksona : 6-morfolino-4, 4-difenil-3-heptanona
39. Fenampromida : N-(1-metil-2-piperidinoetil)-propionanilida
40. Fenazosina : 2'-hidroksi-5,9-dimetil- 2-fenetil-6,7-benzomorfan
41. Fenomorfan : 3-hidroksi-N–fenetilmorfinan
42. Fenoperidina :
asam1-(3-hidroksi-3-fenilpropil)-4-fenilpiperidina-4-karboksilat Etil ester
44. Klonitazena : 2-para-klorbenzil-1-dietilaminoetil-5-nitrobenzimidazol
45. Kodoksima : dihidrokodeinona-6-karboksimetiloksima
46. Levofenasilmorfan : (1)-3-hidroksi-N-fenasilmorfinan
47. Levomoramida : (-)-4-[2-metil-4-okso-3,3-difenil-4-(1pirolidinil)butil]
morfolina
48. Levometorfan : (-)-3-metoksi-N-metilmorfinan
49. Levorfanol : (-)-3-hidroksi-N-metilmorfinan
50. Metadona : 6-dimetilamino-4, 4-difenil-3-heptanona
51. Metadona intermediate : 4-siano-2-dimetilamino-4, 4-difenilbutana
52. Metazosina : 2'-hidroksi-2,5,9-trimetil-6, 7-benzomorfan
53. Metildesorfina : 6-metil-delta-6-deoksimorfina
54. Metildihidromorfina : 6-metildihidromorfina
55. Metopon : 5-metildihidromorfinona
56. Mirofina : Miristilbenzilmorfina
57. Moramida intermediate : asam (2-metil-3-morfolino-1, 1difenilpropana
karboksilat
58. Morferidina : asam 1-(2-morfolinoetil)-4-fenilpiperidina-4-karboksilat etil
ester
59. Morfina-N-oksida
60. Morfin metobromida dan turunan morfina nitrogen pentafalent lainnya
termasuk bagian turunan morfina-N-oksida, salah satunya kodeina-N-oksida
61. Morfina
63. Norasimetadol : (±)-alfa-3-asetoksi-6metilamino-4,4-difenilheptana
64. Norlevorfanol : (-)-3-hidroksimorfinan
65. Normetadona : 6-dimetilamino-4,4-difenil-3-heksanona
66. Normorfina : dimetilmorfina atau N-demetilatedmorfina
67. Norpipanona : 4,4-difenil-6-piperidino-3-heksanona
68. Oksikodona : 14-hidroksidihidrokodeinona
69. Oksimorfona : 14-hidroksidihidromorfinona
70. Petidina intermediat A : 4-siano-1-metil-4-fenilpiperidina
71. Petidina intermediat B : asam4-fenilpiperidina-4-karboksilat etil ester
72. Petidina intermediat C : Asam1-metil-4-fenilpiperidina-4-karboksilat
73. Petidina : Asam1-metil-4-fenilpiperidina-4-karboksilat etil ester
74. Piminodina : asam 4-fenil-1-( 3-fenilaminopropil)- pipe ridina-4-karboksilat
etil ester
75. Piritramida :
asam1-(3-siano-3,3-difenilpropil)-4(1-piperidino)-piperdina-4-Karbosilat armada
76. Proheptasina : 1,3-dimetil-4-fenil-4-propionoksiazasikloheptana
77. Properidina : asam1-metil-4-fenilpiperidina-4-karboksilat isopropil ester
78. Rasemetorfan : (±)-3-metoksi-N-metilmorfinan
79. Rasemoramida :
(±)-4-[2-metil-4-okso-3,3-difenil-4-(1-pirolidinil)-butil]-morfolina
80. Rasemorfan : (±)-3-hidroksi-N-metilmorfinan
81. Sufentanil : N-[4-(metoksimetil)-1-[2-(2-tienil)-etil -4-piperidil]
82. Tebaina
83. Tebakon : asetildihidrokodeinona
84. Tilidina : (±)-etil-trans-2-(dimetilamino)-1-fenil-3-sikloheksena-1-karboksilat
85. Trimeperidina : 1,2,5-trimetil-4-fenil-4-propionoksipiperidina
86. Garam-garam dari Narkotika dalam golongan tersebut di atas
Golongan III : Narkotika yang berkhasiat pengobatan dan banyak
digunakan dalam dan/atau tujuan pengembangan ilmu pengetahuan serta
mempunyai potensi ringan mengakibatkan ketergantungan. Adapun yang
termasuk golongan III adalah:48
1.Asetildihidrokodeina
2.Dekstropropoksifena:α-(+)-4-dimetilamino-1,2-difenil-3-metil-butanol
propionate
3.Dihidrokodeina
4.Etilmorfina : 3-etil morfina
5.Kodeina : 3-metil morfina
6.Nikodikodina : 6-nikotinildihidrokodeina
7.Nikokodina : 6-nikotinilkodeina
8.Norkodeina : N-demetilkodeina
9.Polkodina : Morfoliniletilmorfina
10. Propiram : N-(1-metil-2-piperidinoetil)-N-2-piridilpropionamida
11. Buprenorfina : 21-siklopropil-7-α
-[(S)-1-hidroksi-1,2,2-trimetilpropil]-6,14-endo-entano-6,7,8,14- tetrahidrooripavina
48
12. Garam-garam dari Narkotika dalam golongan tersebut diatas
13. Campuran atau sediaan difenoksin dengan bahan lain bukan narkotika
14. Campuran atau sediaan difenoksilat dengan bahan lain bukan narkotika
C. Pertanggung jawaban Pidana Narkotika Dalam UU Narkotika
1. Kesalahan
Untuk suatu pelanggaran pidana adalah satu syarat mutlak, bahwa selain
daripada perbuatan itu melawan hukum, perbuatan itu sebagai pelanggaran
larangan atau perintah itu juga diancam dengan hukuman, yaitu Undang-undang
telah menetapkan bahwa tidak ditaati larangan atau perintah itu diancam dengan
suatu hukuman tertentu sebagai akibat hukum. Unsur subjektif dari norma-norma
pidana berupa kesalahan (mens rea) sipelanggar norma pidana itu.49
Kesalahan itu umumnya ialah dengan dikehendaki dan dengan sengaja
ataupun oleh karena kealpaan menimbulkan suatu akibat, yang terjadinya
terlarang, sebab hanya dalam hal demikian sipelanggar norma pidana itu dapat
dipersalahkan, itu berarti bahwa sipelanggar norma pidana itu dapat bertanggung
jawab dan hal ini adalah suatu syarat mutlak.50
Kesalahan seperti dimaksudkan diatas ini, mempunyai dua bentuk yaitu :
sengaja (dolus) dan kelalaian (culpa). Ada pengecualian mengenai aturan, bahwa
harus ada kesalahan pada sipelanggar norma pidana itu, terkadang mengenai
49
elemen-elemen tertentu dari suatu norma pidana tertentu tidak diperlukan
kesalahan (schuldverband). 51
Dengan singkat kesalahan itu merupakan yang dikehendaki dan orang
yang mengetahui. Berdasarkan dua istilah inilah doktrin mengenai kesengajaan itu
berasal. Menurut teori kehendak, kesengajaan adalah kehendak yang diajukan
untuk melakukan perbuatan, artinya untuk mewujudkan perbuatan itu memang
telah dikehendaki sebelum seseorang itu sungguh-sungguh berbuat.52
Sengaja sebagai tujuan adalah jika akibat dijadikan tujuan oleh pembuat. Corak
ini biasa terjadi dan juga menurut pembicaraan sehari-hari, segala perbuatan
yang dilakukan sedemikianlah dikatakan ”dilakukan dengan sengaja”. Tujuan
sesuatu perbuatan harus dibedakan dari motifnya, ialah akibatnya yang lebih
jauh, yang dimaksudkan untuk menggerakkan pembuat melakukan
perbuatannya.
Dalam doktrin hukum pidana, dikenal ada tiga bentuk kesengajaan, yaitu :
a. kesengajaan sebagai maksud/tujuan (opzet als oogmerk)
53
51
Ibid, hal.39
52
Andi Hamzah,Op.cit., hal. 93.
53
C.S.T.Kansil, Christine.S.T.Kansil, Latihan Ujian Hukum Pidana, (Jakarta: Sinar Grafika, 1994) , hlm. 180.
Bentuk kesengajaan sebagai maksud sama artinya dengan menghendaki
(willen) untuk mewujudkan suatu perbuatan (tindak pidana aktif),
mengkehendaki untuk tidak berbuat/melalaikan kewajiban hukum (tindak
pidana pasif) dan atau juga mengkehendaki timbulnya akibat dari perbuatan itu
(tindak pidana materil). Vos Utrecht memberikan definisi sengaja maksud
“Sengaja sebagai maksud terjadi jikalau pembuat delik menghendaki akibat perbuatannya dengan kata lain, andai kata pembuat sebelumnya sudah mengetahui bahwa akibat perbuatanya tidak akan terjadi, maka sudah tentu ia tidak pernah melakukan perbuatannya. Contoh: A memecahkan kaca Etalase sebuah toko penjual buah-buahan, supaya dapat mengambil buah-buah yang dipamerkan. Memecahkan kaca dilakukan dengan sengaja sebagai maksud. Akibat perbuatan A ialah pecahnya kaca yang dikehendakinya, supaya A dapat mengambil buah-buahan. Andaikata A mengetahui bahwa kaca tidak akan pecah kalau dipukulnya, maka sudah tentu ia tidak akan melakukan perbuatan itu. Sengaja A dalam memecahkan kaca adalah sengaja sebagai maksud. Selanjutnya, mengambil buah-buahan dibelakang kaca itu menjadi bayangan yang ditimbulkan setelah kaca pecah, perbuatan memecahkan adalah oogmerk atau maksud A, sedangkan mengambil buah-buahan sesudah kaca pecah menjadi motif atau alasan. Motif dan maksud (alasan) tidaklah boleh dikacaukan”.54
Menurut teori ini berdasarkan alasan psikologis tidak mungkin suatu
akibat itu dapat dikehendaki. Manusia hanya bisa menginginkan,
mengharapkan atau membayangkan (voorstellen) kemungkinan akibat yang
terjadi. Dirumuskan bahwa “sengaja” adalah apabila suatu akibat dibayangkan
sebagai maksud, dan oleh karena itu perbuatan tersebut dilakukan oleh yang
bersangkutan sesuai dengan bayangan yang telah dibuatnya lebih dahulu.55
Corak kesengajaan ini adalah yang paling sederhana, yang perbuatan pelaku
memang dikehendaki dan ia juga menghendaki (atau membayangan) akibatnya
yang dilarang. Kalau akibat yang dikehendaki atau dibayangkan ini tidak Tingkatan sengaja atau corak sengaja menurut para ahli, kesengajaan sebagai
maksud /tujuan ini dikatakan sengaja sebagai niat atau tujuan ( oggmerk),
Akibat delik adalah motif utama untuk suatu perbuatan, yang seandainya tujuan
itu tidak ada, maka perbuatan tidak akan dilakukan. Jongkers mengatakan
bahwa sengaja ini adalah bentuk yang paling murni dan bersahaja.
54
akanmelakukan berbuat. Contoh: dengan pistolnya X dengan sengaja
mengarahkan dan menembakkan pistol itu kepada Y dengan kehendak matinya
Y.
Ditinjau sebagai delik formal hal ini berarti bahwa ia sudah melakukan
perbuatan itu dengan sengaja, sedang perbuatan itu memang dikehendaki atau
dimaksud demikian. Dan jika ditinjau sebagai delik Materill hal ini berarti
bahwa akibat kematian orang lain itu memang dikehendaki atau dimaksudkan
agar terjadi.56
Kesengajaan sebagai kepastian atau dikenal dengan istilah opzet bij
zekerheidsbewustijn adalah dapat diukur dari perbuatan yang sudah mengerti
dan menduga bagaimana akibat perbuatannya atau hal-hal mana nanti akan
turut seta mempengaruhi akibat perbuatannya. Pembuat sudah mengetahui
akibat yang akan terjadi jika ia melakukan suatu perbuatan pidana. b. Kesengajaan sebagai kepastian (opzet bij zekerheidsbewustzijn)
57
Menurut teori ini “sengaja” adalah kehendak untuk melakukan suatu
perbuatan/tindakan dan kehendak untuk menimbulkan suatu akibat karena
perbuatannya itu. Dengan perkataan lain, dapat diakatakan sebagai “sengaja
“ apabila suatu perbuatan itu dikehendaki, dan akibat perbuatan itu
benar-benar menjadi maksud dari perbuatan yang dilakukan. Contoh: A
mengarahkan pistolnya yang berisi peluru kepada B dan menembakkannya,
56
Ibid hlm. 98 57
sehingga B mati. Ada kesengajaan bila A benar-benar menghendaki
kematian B.58
Tingkatan sengaja atau corak sengaja Menurut para ahli, Kesengajaan
sebagai kepastian (opzet bij zekerheidsbewustzijn) dikatakan juga sebagai
sengaja dengan kesadaran pasti terjadi. Corak kesengajaan dengan sadar
kepastian bersandar pada akibatnya. Akibat itu dapat merupakan delik
tersendiri ataupun tidak. Tetapi di samping akibat tersebut ada akibat lain
yang tidak dikehendaki yang pasti akan terjadi. Contoh: X melihat arloji
mahal dibalik jendela kaca toko ia ingin mencurinya, jadi maksud
sebenarnya adalah mencurinya, jadi maksud sebenarnya adalah mencuri
tetapi untuk dapat mengambil arloji itu mau ia harus memecahkan kaca
jendela tersebut. Ini bukan merupakan kehendaknya, tetapi akibat pecahnya
kaca itu pasti terjadi.59
Sengaja sebagai kemungkinan yang juga dinamai “sengaja bersyarat” atau
“dolus eventualis”. Seperti pada hal “sengaja bersifat kepastian”, begitupun
jika suatu perbuatan dilakukan dengan dolus eventualis, maka ada dua
akibat: satu yang ditujukan oleh pembuat dan satu berinsyaf kemungkinan
atau agaknya akan terjadi jika dilaksanakan tujuannya.
c. Kesengajaan sebagai kemungkinan (opzet bij mogelijkheidsbewustzijn).
60
Kesengajaan untuk melakukan perbuatan yang diketahuinya bahwa ada
akibat lain yang mungkin dapat timbul yang ia tidak inginkan dari
perbuatan, namun begitu besarnya kehendak untuk mewujudkan perbuatan,
58
Teguh Prasetyo, Op.,Cit., hlm. 96 59
ia tidak mundur dan siap mengambil resiko untuk melakukan perbuatan
tersebut.
Tingkatan sengaja atau corak sengaja Menurut para ahli, Kesengajaan
sebagai kemungkinan (opzet bij mogelijkheidsbewustzijn). Dikatakan juga
sebagai sengaja yang berinsyafkan kemungkinan (dolus eventualis). Van
Hamel mengolah istilah dolus eventualis dan menganjurkan nama
eventualiter dolus. Contoh hoerenschetaart-Arrest, yaitu yang diadili oleh
pengadilan Tinggi Amsterdam tertanggal 19 Maret 1911, dan Mahkamah
Agung tertanggal 19 Juni 1991.Seorang hendak membunuh seorang dikota
Hoorn, lalu mengirimkan kepadanya kue yang telah ditaruh racun dengan
niat hendak membunuhnya. Ia menegetahui bahwa, selain daripada
musuhnya dia juga mungkin akan memakan kue itu, dan mungkin pula akan
mati. Oleh karena itu ia mengirim kue itu, maka sengajanya dianggap juga
ditujukan kepada matinya isteri orang itu, walaupun akibatnya tidak
dikehendakinya atau tidak diinginkan.61
Berikut syarat-syarat bagi pengertian kealpaan (culpa), menurut Simon
umumnya kealpaan itu terdiri dari dua bagian, yaitu tidak berhati-hati melakukan
sesuatu perbuatan disamping dapat menduga akibat perbuatan itu, meskipun
sesuatu perbuatan dilakukan dengan berhati-hati, masih mungkin juga terdapat
kealpaan, jika dia berbuat ia telah mengetahui, bahwa dari perbuatan itu mungkin
akan menimbulkan suatu akibat yang dilarang oleh undang-undang.62
61
Ibid, hlm. 99 62
Kealpaan itu terjadi, apabila yang melakukan perbuatan itu tidak bertindak
dengan hati-hati, cermat dan sungguh-sungguh, sedangkan ia dapat menduga,
bahwa dari perbuatannya itu mungkin akan timbul suatu akibat yang dilarang
oleh hukum pidana. Dapat diduganya bahwa akibat itu akan timbul adalah syarat
mutlak bagi culpa sehingga meskipun yang melakukan perbuatan itu tidak
bertindak dengan hati-hati, apabila ia tidak dapat menduga akan terjadinya akibat
itu, maka perbuatan tersebut dapat dipersalahkan tentang culpa. Berdasarkan
uraian diatas tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa, tidak setiap perbuatan
yang tidak dilakukan dengan berhati-hati dan sungguh-sungguh akan
menyebabkan culpa bagi yang melakukan perbuatan itu.63
Suatu makan khusus kealpaan adalah kealpaan (bewusteschuld).
Sedangkan contoh B mengemudikan mobilnya secara cepat ke stasiun, karena
sudah terlambat berangkat dari rumahnya. B mengetahui (insyaf) bahwa setir
mobilnya mengalami sedikit kerusakan, tetapi ia berharapan besar bahwa tidak
akan terjadi apa-apa. Ia memiih beberapa jalan kecil untuk memperkecil resiko. Ia
membuat suatu mubengan yang kecil, lebih baik suatu mubengan kecil daripada
nanti menyebabkan suatu kecelakaan besar. Walaupun B membuat perhitungan
akan hal tersebut, masih juga terjadi kecelakaan yang pada pokoknya tidak
disengajai B.64
Kemampuan bertanggung jawab dapat diartikan sebagai kondisi batin
yang normal atau sehat dan mampunya akal seseoarang dalam membeda-bedakan 2. Kemampuan Bertanggung Jawab
63
hal-hal baik dan buruk,65 atau dengan kata lain, mampu untuk menginsyafi sifat
melawan hukumnya suatu perbuatan dan sesuai dengan keinsyafan itu mampu
untuk menentukan kehendaknya. Jadi, paling tidak ada dua faktor untuk
menentukan adanya kemampuan bertanggung jawab, yaitu faktor akal dan faktor
kehendak. Akal, yaitu dapat membedakan antara perbuatan yang diperbolehkan
dan tidak diperbolehkan. Sedangkan kehendak, yaitu dapat menyesuaikan tingkah
lakunya dengan keinsyafan atas sesuatu yang diperbolehkan dan tidak
diperbolehkan.66
Kemapuan bertanggung jawab merupakan syarat kesalahan. Sementara itu,
kesalahan adalah unsur pertanggung jawaban. Mampu bertanggung jawab
merupakan masalah yang berkaitan dengan keadaan mental pembuat yang dapat
dipertanggung jawabkan dalam hukum pidana. Allen mengidentifikasi adanya
lima keadaan mental yang berpengaruh pada pertanggungjawaban pidana
pembuatnya.67
65
M.abdul Kholik , Buku Pedoman Kuliah Hukum Pidana, (Yogyakarta: Fakultas Hukum UII, 2002), hlm. 129
66
Mahrus Ali, Dasar-dasar Hukum Pidana, Op. Cit., hlm. 171 67
Chairul Huda, Dari Tiada Pidana Tanpa Kesalahan Menuju Kepada Tiada Pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan, (Jakarta : Prenada Media, 2006), hlm. 91
Kitab Undang-undang Pidana di seluruh dunia pada umumnya tidak
mengatur tentang kemampuan bertanggung jawab. Yang diatur ialah
kebalikannya, yaitu ketidakmampuan bertanggung jawab, seperti isi pasal 44
KUHPidana Indonesia, yang masih memakai rumusan pasal 37 lid 1 W.v.S.
“tidak dapat dipidana ialah barang siapa yang mewujudkan suatu peristiwa, yang
tidak dapat dipertanggungjawabkan kepadanya, sebab kekurangsempurnaan atau
gangguan sakit kemampuan akalnya”68
Karena hukum pidana Belanda, pertanggungjawaban pidana pada diri
seseorang pelaku tindak pidana, harus memenuhi 4 empat) persyaratan sebagai
berikut :69
Pertanggungjawaban pidana berdasarkan hukum pidana Negara-negara yang
menganut “Coomon law system” pada prinsipnya tidak memiliki perbedaan yang
fundamental dengan “civil law system”.
a. Ada suatu tindakan ( commission atau omission) oleh sipelaku.
b. Yang Memenuhi rumusan-rumusan delik dalam Undang-undang.
c. Tindakan itu bersifat melawan hukum atau unlawful
d. Pelakunya harus dapat dipertanggungjawabkan.
70
Seseorang tidak dipertanggungjawabkan atas suatu tindak pidana jika: 71
a. Ia memperoleh tekanan (fisik atau psikologis) sedemikian rupa sehingga
mengurangi pengendalian diri yang bersangkutan atau membatasi kebebasan
pribadinya, seperti: gila atau daya paksa.
b.Pelaku termasuk golongan orang-orang yang tunduk pada peraturan khusus,
seperti : diplomat asing atau anak dibawah umur.
68
Zainal Abidin Farid, Op. Cit., Hlm. 260.
69
Romli Atmasasmita, Perbandingan Hukum Pidana, (Bandung: CV Bandar Maju, 2000), hal. 67-68.
70
3. Tidak adanya alasan Pemaaf
Alasan pemaaf atau schulduitsluitingsgrond ini menyangkut
pertanggungjawaban seseorang terhadap perbuatan pidana yang telah
dilakukannya atau criminal responsibily. Alasan pemaaf ini menghapuskan
kesalahan orang yang melakukan deli katas beberapa hal. Alasan-alasan tidak
dapat dipidanakannya seseorang atau alasan-alasan tidak dipidananya seseorang
adalah :
a. Alasan tidak dapat dipertanggungjawabkan seseorang yang terletak dalam
orang itu (inwendig), misalnya hilangnya akal, dll.
b. Alasan tidak dapat dipertanggungjawabkan seseorang yang terletak diluar
orang itu (uitwendig), misalnya adanya kealpaan,dll.
c. Daya paksa. 72
Ketentuan yang mempunyai bentuk perbuatan sebagai alasan pemaaf pada
ketentuan KUHP adalah sebagai berikut :
a. Pasal 44 mengenai pertumbuhan jiwa yang tidak sempurna atau terganggu.
Didalam pasal 44 tersebut memuat ketentuan bahwa tidak dapat dipidana
seseorang yang melakukan perbuatan yang dipertanggungjawabkan kepadanya
karena kurang sempurna akal/jiwanya atau terganggu karena sakit. Seperti yang
telah kita ketahui bahwa dalam M.v.T menyebutkan sebagai tidak dapat
dipertanggungjawabkan karena sebab yang terletak di dalam sipembuat sendiri.
Tidak adanya kemampuan bertanggung jawab menghapuskan kesalahan
72
perbuatannya tetap melawan hukum, sehingga dapat dikatakan suatu alasan
penghapus kesalahan.73
b. Pasal 48 mengenai daya paksa.
Overmatch/paksaan, Undang-undang tidak memberi perumusan dengan
apa yang dimkasud dengan paksaan itu. Oleh karenanya guna memahami apa
yang dimaksud Overmacth, haruslah dipakai cara interpretasi, dan dalam hal ini
harus ditinjau adalah interpretasi. Maka tampaklah dalam M.v.T bahwa yang
dimaksud dengan paksaan oleh pembentuk Undang-undang adalah; “setiap
kekuatan, setiap paksaan, setiap tekanan yang tidak dapat dielakkan”.74
c. Pasal 49 mengenai pembelaan terpaksa.
Setelah diketahui bahwa, apa yang dimaksud dengan paksaan oleh
Undang-Undang, dapatlah diambil kesimpulan, bahwa bukan setiap kekuatan,
paksaan atau tekanan merupakan paksaan hanyalah setiap kekuatan, paksaan,
tekanan “yang tidak dapat dielakkan”.
Pembelaan terpaksa yang melampaui batas (noodweer ekses). Noodweer
ekses diartikan sebagai dilampauinya batas-batas dari suatu pembelaan seperlunya
itu haruslah disebabkan Karena pengaruh dari suatu kegoncangan jiwa yang
demikian hebat, yang bukan semata-mata disebabkan karena adanya perasaan
takut atau ketidaktahuan tentang apa yang harus dilakukan, melainkan juga yang
disebabkan oleh hal hal lain seperti kemarahan atau perasaan kasihan.75
73
ibid., hlm 132
74
C.S.T.Kansil, Christine.S.T.Kansil,Op.Cit.,hlm.148
75
Menurut doktrin hukum pidana terdapat tiga unsur yang harus dipenuhi
agar perbuatan seseorang dapat dikategorikan sebagai pembelaan terpaksa yang
melampaui batas (noodweer ekses ), yaitu melampaui batas pembelaan yang
diperlukan. Kegoncangan jiwa yang hebat, adanya hubungan kausal antara
serangan dengan timbulnya kegoncangan jiwa yang hebat.76
Unsur yang pertama didalamnya berkaitan dengan tidak adanya
keseimbangan antara alat atau cara yang dipilih untuk melakukan pembelaan diri
dengan serangan yang terjadi, dan yang diserang sesungguhnya masih memiliki
kesempatan untuk melarikan diri, tetapi Karena goncangan jiwanya yang hebat
menyebabkan hal itu tidak dilakukan. Sedangkan unsur yang kedua berkaitan
dengan tidak berfungsinya akal atau batin orang tersebut secara normal yang
disebabkan oleh datangnya suatu serangan yang menggoncangkan jiwanya secara
hebat. Unsur yang ketiga bersifat subjektif sifatnya, tergantung pada
tempramennya masing-masing undividu sehingga dalam ini diperlukan adanya
pemeriksaan atau keterangan dari Psikiatri.77
d. Pasal 51 ayat (2) melaksanakan perintah jabatan yang tidak sah.
Dalam pasal 51 ayat (2) menyatakan; “ perintah jabatan tanpa wewenang,
tidak menyebabkan harusnya pidana, kecuali jika yang diperintahkan, dengan
itikad baik mengira bahwa perintah diberikan dengan wewenang, dan
pelaksanaannya termasuk dalam lingkungan pekerjaannya”.
Terdapat dua syarat yang harus dipenuhi agar perbutan orang itu dikategorikan
sebagai alasan pemaaf. Pertama, keadaan batin orang yang diperitahkan harus
76
M.abdul Kholik, Op.Cit., hlm. 156
77
mengira bahwa perintah tersebut merupakan perintah yang sah baik dilihat dari
pejabat yang mengeluarkan perintah itu maupun dilihat dari macam perintah itu.
Kedua, perintah dilaksanakan itu berdasarkan itikad baiknya harus merupakan
bagian dari lingkungan pekerjaannya, dalam arti perintah tersebut memang sesuai
dengan job description orang itu, bukan di luar pekerjaan orang itu.78
Jika seseorang melakukan tindak pidana namun tidak memenuhi ketentuan diatas,
maka perbuatannya harus dipertanggung jawabkan dan dikenakan sanksi yang
diatur dalam Undang-undang.
Berdasarkan unsur-unsur subjektif pada rumusan tindak pidana yang
diuraikan diatas, maka diketahui bahwa formulasi pertanggung jawaban pidana
tersebut berdasarkan pada kesalahan berupa kesengajaan. Ada beberapa hal yang
menyebutkan “dengan sengaja” yang berarti unsur-unsur subjektif jelas tercantum
dalam pasal tersebut. Terdapat beberapa pasal dalam Undang-undang Narkotika
yang tidak menyebutkan unsur “dengan sengaja”, namun dilihat dari unsur
obyektifnya berupa perbuatan, maka perbuatan tersebut dikategorikan “ dengan
sengaja”. Contoh pasal 11 mnyebutkan bahwa “setiap orang yang tanpa hak atau
melawan hukum menanam, memelihara, memiliki, menyimpan, menguasai, atau
menyediakan, Narkotika Golongan I dalam bentuk tanaman”. Dalam pasal
tersebut perbuatan menanam, memelihara, memiliki, menyimpan, menguasai, atau
menyediakan, bahwa seseorang yang melakukan perbuatan tersebut mengetahui
D. Jenis-Jenis Sanksi yang Dalam UU No 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.
Masalah pidana dan pemidanaan dalam sejarahnya selalu mengalami
perubahan. Keberadaannya selalu dibicarakan dan diperdebatkan oleh para ahli.
Perubahannya itu adalah wajar, bila dilihat dari sudut pandang masyarakat.
Manusia akan selalu berupaya untuk memperbaharui tentang suatu hal demi
meningkatkan kesejahteraannya dengan mendasarkan diri pada masa
pengalamannya dimasa lampau. Stelsel sanksi adalah bagian dari permasalahan
pokok pidana yang merupakan salah satu dari tiga permasalahan pokok dalam
membicarakan hukum pidana.
Perkembangan hukum pidana dewasa ini, terutama undang-undang pidana
khusus atau peraturan perundang-undangan di luar KUHP, terdapat suatu
kecenderungan penggunaan dalam stelsel sanksi yang berarti sanksi pidana dan
sanksi tindakan diatur sekaligus. Kedua jenis sanksi ini ( sanksi pidana dan sanksi
tindakan), dalam teori hukum pidana disebut dengan double track system.
Pidana berasal dari kata straf (Belanda) yang adakalanya disebut dengan
istilah hukuman. Istilah pidana lebih tepat dari istilah hukuman karena hukum
sudah lazim merupakan terjemahan dari recht. Pidana lebih tepat didefinisikan
sebagai suatu penderitaan yang sengaja dijatuhkan oleh Negara pada seseorang
atau beberapa orang sebagai akibat hukum (sanksi) baginya atas perbuatannya
yang telah melanggar larangan hukum pidana. Pidana dalam hukum pidana
merupakan suatu alat dan bukan tujuan dari hukum pidana, yang apabila
dilaksanakan tiada lain adalah berupa penderitaan atau rasa tidak enak bagi yang
masyarakat dari perkosan-perkosaan terhadap kepentingan hukum yang
dilindungi.79sanksi pidana yang diketahui terdiri dari dua jenis yaitu
pertama,sanksi pidana pokok berupa pidana mati, penjara, kurungan, denda dan
tutupan. Kedua, sanksi pidana tambahan berupa pidana pencabutan hak-hak
tertentu, pidana perampasan barang-barang tertentu dan pidana pengumuman
keputusan hakim.80
Menurut Mulyadi, hukum pidana modern yang bercirikan berorientasi
pada perbuatan dan pelaku (daad-dader strafrecht), stelsel sanksi tidak hanya
meliputi pidana (straf) tetapi juga tindakan (maatregel) yang secara relatif lebih
bermuatan pendidikan. Sanksi pidana bersumber dari ide dasar, mengapa diadakan
pemidanaan? Sedangkan sanksi tindakan bertolak dari ide dasar , untuk apa
diadakan pemidanaan ? sanksi pidana sesungguhnya bersifat reaktif dari suatu
perbuatan, sedangkan sanksi tindakan lebih bersifat antisipatif terhadap pelaku
perbuatan tersebut.81
79
Mahmud Mulyadi, Feri Antoni surbakti, Politik Hukum Pidana terhadap kejahatan korporasi, (Medan, PT softmedia, 2011), hal.100
80
Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana 1, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2008), hal. 67
Penetapan sanksi dalam suatu peraturan perundang-undangan pidana
bukanlah sekedar masalah teknis perundang-undangan semata, melainkan bagian
tak terpisahkan dari substansi atau materi perundang-undangan itu sendiri. Artinya
dalam hal yang menyangkut masalah penalisasi, kriminalisasi, dan kriminalisasi
harus dipahami secara komprehensif baik dari segala aspek persoalan substansi
Menurut Barda Nawawi Arief, penting menginformasikan secara
sistematis mengenai prinsip-prinsip atau ide-ide dasar “sistem dua jalur” atau
double track system, sesungguhnya terkait bahwa unsure pencelaan lewat sanksi
pidana dan unsur pembinaan melalui sanksi tindakan memiliki kedudukan yang
sama penting. 82
Sanksi dalam hukum pidana adalah merupakan reaksi atas pelanggaran
hukum yang telah ditentukan dalam Undang-undang, mulai dari penahanan,
penuntutan, sampai pada penjatuhan hukuman oleh hakim. Simons menyatakan,
bahwa bagian terpenting dari setiap Undang-undang adalah merupakan sistem
hukum yang dianutnya. Masalah kebijakan menetapkan jenis sanksi dalam hukum
pidana, tidak terlepas dari masalah penetapan tujuan yang ingin dicapai dalam
pemidanaan.
Keberadaan sanksi tindakan menjadi urgensi karena tujuannya adalah
untuk mendidik kembali pelaku agar mampu menyesuaikan diri dengan
lingkungannya. Sanksi tindakan ini lebih menekankan nilai-nilai kemanusiaan
dalam reformasi dan pendidikan kembali pelaku kejahatan. Pendidikan kembali
ini sangat penting karena hanya dengan cara ini, pelaku dapat menginsyafi bahwa
apa yang dilakukan itu bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan.
83
Hukum pidana digunakan di Indonesia sebagai sarana untuk
menanggulangi kejahatan tampaknya tidak menjadi persoalan. Hal ini terlibat dari
praktek perundang-undangan selama ini yang menunjukkan bahwa penggunaan
hukum pidana merupakan bagian dari kebijakan atau politik hukum yang dianut di
82
Ibid,
83
Indonesia. Penggunaan hukum pidana dianggap sebagai hal yang wajar dan
normal, seolah-olah eksistensinya tidak dipersoalkan.
Permasalahannya sekarang adalah, garis-garis kebijakan atau pendekatan
yang bagaimanakah yang sebaiknya ditempuh dalam menggunakan hukum pidana
tersebut. Hal ini dikemukakan sehubungan dengan pendapat dari Herbert L.Parker
dalam bukunya “ The limits of the Criminal Sanction “, yang intinya menyatakan
bahwa :84
a. Sanksi pidana sangat diperlukan; kita tidak dapat hidup, sekarang maupun dimasa yang akan datang, tanpa pidana.
b. Sanksi pidana merupakan alat atau sarana terbaik yang tersedia, yang kita miliki untuk menghadapi kejahatan-kejahatan atau bahaya besar dan segera serta untuk mengahadapi ancaman-ancaman dan bahaya.
c. Sanksi pidana suatu ketika merupakan penjamin yang utama, dan suatu ketika merupakan pengancaman utama dari kebebasan manusia. Ia merupakan penjamin apabila digunakan secara hermat-cermat dan secara manusiawi, ia merupakan pengancam apabila digunakan seacara sembarangan dan secara paksa.
UU No 35 tahun 2009 tentang Narkotika utnuk “pengedar “ dan
“pengguna “ dikenal adanya dua jenis sistem perumusan jenis sanksi pidana(
strafsoort) yaitu sistem perumusan kumulatif-alternatif
(campuran-gabungan)antara antara mati, pidana pennjara seumur hidup atau pidana penjara
dan pidana denda ( pasal 114,115,118,119 UU Narkotika). Kemudian untuk
sistem perumusan lamanya sanksi pidana ( straafmaat) dalam UU Narkotika juga
terdapat dua perumusan yaitu fixed/indefinite sentence system atau sistem
maksimum dan determinate sentence sistem (pasal 111, 112, 113, 114, 115, 116,
117, 118, 119, 120, 121, 122, 123, 124, 125, UU Narkotika ).
84
Undang-Undang Narkotika No 35 tahun 2009 telah mengatur
sanksi-sanksi yang diberikan pada tindak pidana Narkotika antara lain :
a. Tindak pidana Orang tua/Wali dari pecandu Narkotika yang belum cukup umur
(pasal 128) Dipidana dengan pidana kurungan paling lama 6 (enam) bulan atau
pidana denda paling banyak Rp.1000.000( satu juta rupiah).
b.Tindak pidana dilakukan oleh Korporasi ( pasal 130)
Dipidana dengan pidana penjara dan pidana denda dengan pemberatan 3 (tiga)
kali. Korporasi dapat dijatuhi korporasi dapat dijatuhi pidana tambahan berupa:
a. pencabutan izin usaha dan/atau b. pencabutan status badan hukum.
c. Tindak pidana bagi Orang yang tidak melaporkan Adanya Tindak pidana
Narkotika (pasal 131). Dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu)
tahun atau pidana denda paling lama banyak Rp.50.000,000 (lima puluh juta
rupiah).
d.Tindak pidana terhadap percobaan atau pemufakatan jahat melakukan tindak
pidana Narkotika dan prekusor (pasal 132)Ayat (1), dipidana dengan pidana
penjara yang sama sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
pasal-pasal tersebut.
Ayat (2), dipidana pidana penjara dan pidana denda maksimumnya ditambah 1/3
(sepertiga).
e. Tindak pidana bagi Menyuruh, Memberi, membujuk, Memaksa dengan
Kekerasan, Tipu Muslihat, Membujuk Anak (pasal 133). Ayat (1), dipidana
dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara
paling sedikit Rp.2.000.000,000,00 (dua miliar rupiah rupiah) dan paling
banyak Rp.20.000.000.000,00 (dua puluh miliar rupiah)
Ayat (2),Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahuh dan
paling lama 15 (lima belas ) tahun dan pidana denda paling sedikit
Rp.1000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak
Rp.10.000.000.000,00 (sepuluh miliar Rupiah).
f. Tindak pidan bagi pelaku Narkotika yang tidak melaporkan diri ( pasal 134)
Ayat (1), dipidana dengan pidana kurungan paling lama 6 (enam) bulan atau
pidana denda paling banyak Rp.2.000.000 (dua juta rupiah). Ayat (2), dipidana
dengan pidana kurungan paling lama 3 (tiga) bulan atau pidana denda paling
banyak Rp.1000.000,00 (satu juta rupiah)
g.Tindak Pidana bagi pengurus Industri Farmasi yang Tidak Melaksanakan
kewajiban (Pasal 135) Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu)
tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun dan pidana denda paling sedikit
Rp.40.000.000,00 (empat puluh juta rupiahdan paling banyak Rp.4000.000,00
(empat ratus juta rupiah)
h.Tindak pidana terhadap hasil-hasil tindak pidana Narkotika dan/atau precursor
Narkotika (pasal 137)
Huruf (a), dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan
paling lama 15 tahun dan pidana paling sedikit Rp 1000.000.000,00 (satu miliar
rupiah) dan paling banyak RP,10.000.000.000,00 ( sepuluh miliar rupiah).
Huruf (b), dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan
Rp.500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) dan saling banyak Rp
5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
i. Tindak pidana terhadap orang yang menghalagi atau mempersulit
penyidikan,penuntutan dan pemeriksaan perkara (pasal 138)Dipidana dengan
pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan pidana denda paling banyak
Rp5.00.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
j. Tindak pidana bagi Nahkoda atau Kapten penerbang yang Tidak melaksanakan
ketentuan pasal 27 dan pasal 28 ( pasal 139)Dipidana dengan pidana penjara
paling singkat 1(satu) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan pidana
denda paling sedikit Rp.100,000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak
Rp.1.000.000.000,00 ( satu miliar rupiah)
k.Tindak pidana bagi PNS,Penyidik Polri,Penyidik BNN, yang tidak
melaksanakan Ketentuan tentang barang bukti ( pasal 140)Dipidana dengan
pidana penjara paling singkat 1(satu) tahun dan paling lama 10( sepuluh) tahun
dan pidana paling sedikit Rp.100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling
banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
l. Tindak pidana bagi Kepala Kejaksaan Negeri yang tidak Melaksanakan
ketentuan pasal 91 ayat (1) (pasal 141)Dipidana dengan pidana penjara paling
singkat 1(satu) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan pidana denda
paling sedikit Rp1.00.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak
m. Tindak pidana bagi petugas labolatorium yang Memalsukan Hasil penguji
(pasal 142)Dipidana dengan pidana penjara paling lama 7( tujuh) thanun dan
denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
n.Tindak pidana bagi Saksi yang memberikan keterangan tidak benar (pasal
143)Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling
lama 10 tahun dan pidana denda paling sedikit Rp.60.000.000,00 ( enam ratus
juta rupiah)
o.Tindak pidana bagi setiap orang yang melakukan pengulangan Tindak Pidana (
pasal 144)Dipidana dengan pidana maksimumnya ditambah dengan 1/3
(sepertiga)
p.Tindak Pidana yang dilakukan Pimpinan Rumah Sakit, Pimpinan Lembaga,
ilmu pengetahuan, pimpinan industry farmasi dan pimpinan pedagang farmasi
(pasal 147)
Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 tahun dan paling lama 10 tahun
dan pidana denda paling sedikit Rp. 100.000.000 (seratus juta) dan paling banyak
Rp. 1.000.000.000.000 (satu miliar).
Pasal 136 UU No. 35 Tahun 2009 memberikan sanksi berupa Narkotika
dan prekursor Narkotika serta hasil-hasil yang diperoleh dari tindak pidana
Narkotika, baik itu asset bergerak atau tidak bergerak maupun berwujud dan tidak
berwujud serta barang-barang atau peralatan yang digunakan untuk tindak pidana
Narkotika dirampas untuk Negara. Pasal 146 juga memberikan sanksi terhadap
warga Negara asing yang telah melakukan tindak pidana Narkotika ataupun
Indonesia dan dilarang masuk kembali ke wilayah Negara Republik Indonesia.
Sedangkan pasal 148, bila putusan denda yang diatur dalam Undang-Undang ini
tidak dibayarkan oleh pelaku tindak pidana Narkotika maka pelaku dijatuhi
penjara paling lama 20 tahun sebagai pengganti pidana denda yang tidak dapat