• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III. KEBIJAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP PENGATURAN

B. Kesalahan dan Pertanggungjawaban Pidana Narkotika

5. Pertanggungjawaban Pidana Korporasi

Perkembangan mengenai konsep korporasi sebagai subjek hukum pidana merupakan dampak dari besarnya peranan korporasi dalam segala bidang kehidupan seperti dalam pembangunan terutama dalam bidang ekonomi, perdagangan dan teknologi yang berlangsung di negeri ini. Perubahan demikian tidak hanya perubahan mengenai modal usaha yang dijalankan secara perorangan menjadi usaha bersama, tetapi juga perubahan orientasi nilai-nilai, sikap-sikap dan pola-pola perlaku masyarakat dalam menjalankan kegiatan usaha. Perkembangan dan perubahan di bidang kegiatan sosial ekonomi ditandai dengan adanya       

158

penyimpangan perilaku korporasi yang bersifat merugikan dan membahayakan masyarakat, seperti pencemaran, pengurasan sumber daya alam, manipulasi pajak,

pencucian uang, eksploitasi terhadap buruh, penipuan terhadap konsumen.159

Konsep ”badan hukum” bermula dari konsep dalam hukum perdata sebagai kebutuhan untuk menjalankan kegiatannya yang diharapkan lebih berhasil. Badan hukum sebenarnya hanyalah sekedar ciptaan hukum , yaitu dengan menunjuk adanya suatu badan yang diberi status sebagia subjek hukum,

disamping subjek hukum yang berwujud manusia alamiah (natuurlijk persoon).

Diciptakan suatu pengakuan adanya suatu badan, yang sekalipun badan ini sekedar suatu badan, namun badan ini dianggap dapat menjalankan tindakan hukum dengan segala harta kekayaan yang timbul dari perbuatan itu. Dan harta itu harus dipandang sebagai harta kekayaan badan tersebut, terlepas dari pribadi-pribadi manusia yang terhimpun di dalamnya. Jika dari perbuatan itu timbul kerugian, maka kerugian ini pun hanya dapat dipertanggungjawabakan

semata-mata dengan harta kekayaan yang ada dalam badan yang bersangkutan.160

Tahun 1984 terjadi suatu tragedi yang menggemparkan dunia dimana

terjadi bencana kimiawi akibat kebocoran gas pada pabrik milik Unicon Carbide

India Limited, di Bhopal India. Tragedi tersebut dikarenakan akibat buruknya sistem pengamanan dan tindakan penghematan biaya yang berlebihan yang dilakukan oleh perusahaan tersebut, efek dari perusahaan dirasaka hingga 20 tahun. Tragedi ini merupakan peristiwa kecil yang dilakukan oleh korporasi di dunia. Di Indonesia mungkin peristiwa yang masih hangat yaitu peristiwa       

159 Muladi dan Dwija Priyatno, 2010, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, hlm. 35.

160

munculnya sumber lumpur di Sidoarjo yang diidentifikasi disebabkan oleh kegiatan pengeboran yang tidak memenuhi standar dilakukan oleh PT. Lapindo Brantas. Akibat kejadian tersebut ribuan orang kehilangan tempat tinggal akibat terendam lumpur, dan juga industri-industri disekitar semburan lumpur yang harus ditutup akibat tidak berproduksi yang mengakibatkan ribuan orang kehilangan

pekerjaannya.161

Pemikiran tentang kejahatan korporasi, banyak menimbulkan pro dan kontra dikalangan ahli hukum, khususnya hukum pidana. Di hukum pidana ada

doktrin yang berkembang yaitu doktrin universitas delinguere non potest yaitu

korporasi tidak mungkin melakukan tindak pidana , ini dipengaruhi pemikiran bahwa keberadaan korporasi dalam hukum pidana hanyalah fiksi hukum, sehingga tidak mempunyai nilai moral yang diisyaratkan untuk dapat dipersalahkan secara pidana (unsur kesalahan). Padahal dalam suatu delik (tindak pidana)

mensyaratkan adanya kesalahan (mens rea) selain adanya perbuatan (actus

reus).162

Tindak pidana (crime) dapat diidentifikasi dengaan timbulnya kerugian,

yang kemudian mengakibatkan timbulnya pertanggungjawaban atau criminal

liability. Ini pada akhirnya mengundang perdebatan adalah bagaimana korporasi

mempertanggungjawabkan atau corporate liability mengingat bahwa dalam kitab

Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Indonesia yang dianggap sebagai subjek hukum pidana adalah orang perorangan dalam konotasi biologis yang alami       

161  Pertanggungjawaban Korporasi, http://www.ensiklopedia indonesia.mnt,diakses terakhir tanggal 3 Juli 2012, hlm.1

162

Bismar Nasution, Kejahatan Korporasi dan Pertanggungjawabannya

(naturlijkee persoon). Di samping itu, KUHP juga masih menganut asas sociates delinquere non potest dimana badan hukum dianggap tidak dapat melakukan tindak pidana. Konsep pertanggungjawaban pidana korporasi ini dikenal adanya beberapa asas utama yang menjadi dasar teori atau falsafah pembenaran dalam

dibebankannya pertanggungjawaban pidana pada korporasi yaitu Doktrin Strict

Liability dan Doktrin Vicarious Liability.163

Belanda ditetapkan bahwa badan hukum dalam hukum pidana dapat melakukan tindak pidana, oleh karena itu dapat dituntut dan dijatuhi hukuman, tetapi melalui tiga tahap tentang diakuinya badan hukum sebagai subjek hukum

pidana:164

1. Tahap Pertama

Tahap ini ditandai dengan usaha-usaha agar sifat tindak pidana yang

dilakukan badan hukum dibatasi pada perorangan (naturlijk persoon),

sehingga apabila suatu tindak pidana terjadi dalam suatu lingkungan badan hukum maka suatu tindak pidana dianggap dilakukan oleh pengurus badan

hukum tersebut. Dalam tahap ini berlaku asas “ Universitas delinguere

non potest”yaitu badan hukum tidak dapat melakukan suatu tindak pidana. Pertanggungjawaban disini hanya berkaitan dengan kewajiban memelihara yang dilakukan oleh pengurus.

      

163 Ibid. Strict liability adalah merupakan pertanggungjawaban pidana dapat dibebankan kepada pelaku tindak pidana yang bersangkutan dengan tidak perlu dibuktikan adanya kesalahan (kesengajaan atau kelalaian) pada pelakunya. Sering disebut dengan pertanggungjawaban tanpa kesalahan. Sedangkan vicarious liability adalah pertanggungjawaban hukum seseorang atas perbuatan dan kesalahan yang dilakukan oelh orang lain atau sering disebut dengan pertanggungjawaban pengganti.

164

2. Tahap Kedua

Tahap ini bahwa suatu tidak pidana dapat dilakukan oleh badan hukum, tetapi tanggungjawab telah dibebankan kepada pengurus badan hukum tersebut. Perumusan khusus untuk badan hukum tersebut adalah apabila suatu tindak pidana dilakukan oleh atau karena suatu badan hukum, tuntutan pidana dan hukuman pidana harus dijatuhkan pada pengurus. Jadi dalam hal ini orang bersikap bahwa seolah-olah badan hukum dapat melakukan tindak pidana tetap secara riel yang melakukan perbuatan adalah menusia sebagai wakil-wakilnya.

3. Tahap Ketiga

Tahap ini merupakan permulaan adanya tanggungjawab langsung badan hukum, secara kumulatif badan hukum dapar dipertanggungjawabkan menurut hukum pidana disamping mereka sebagai pemberi perintah mereka yang sebagai pemberi perintah atau pemberi pimpinan yang nyata telah berperan pada tindak pidana itu. Hal ini terjadi pertama kali untuk “Ondering Strafrecht” yaitu keputusan pengendalian harga dari tahu

1941, kemudian dalam “Wet op de Economische Delicten

”(Undang-Undang Tindak Pidana Eknomi Tahun 1950). Namun pembentukan Undang-Undang yang tersebar ini telah bertindak sejak ditetapkannya Hukum Pidana Umum Belanda pada tahun 1976

Di negara Indonesia, badan hukum dijadikan subjek hukum (tertulis) pidana mulai dikenal pada tahun 1951, yaitu terdapat pada Undang-Undang

Penimbunan Barang-Barang, Undang-Undang No. 17/1951, yang sekarang tidak berlaku lagi berdasarka Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 8 Tahun 1962, setelah itu dikenal lebih luas pada tahun 1955, yaitu dengan keluarnya Undang-Undang Tindak Pidana Ekonomi, Undang-Undang-Undang No. 7/Drt/1955, dan Undang-Undang Tindak Pidana Subversi, Undang-Undang No. 11/PNPS/1963. Dengan demikian mulai tahun 1955 maka dalam bidang-bidang tertentu di luar KUHPidana (tindak pidana khusus) badan hukum yang melakukan tindak pidana serta dijadikan subjek hukum pidana sudah dikenal dan ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia dan oleh karena

dapat dituntut dan dijatuhkan sanksi pidana.165

Menurut Muladi pembenaran pertanggungjawaban korporasi sebagai

pelaku tindak pidana dapat didasarkan hal-hal berikut:166

1. Atas dasar falsafah intergralistik, yakni segala sesuatu yang diukur atas

dasar keseimbangan, keselarasan, dan keserasian antara kepentingan individu dan kepentingan sosial.

2. Atas dasar kekeluargaan dalam Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945.

3. Untuk memberantas anomie of success (sukses tanpa aturan).

4. Untuk perlindungan konsumen.

5. Untuk kemajuan teknologi.

Subjek hukum yang bukan manusia dinamakan badan hukum (legal

person) .Badan hukum adalah pendukung hak dan kewajiban berdasarkan hukum

      

165

Ibid. hlm. 58.

166

yang bukan manusia, yang dapat menuntut dan dapat dituntut subjek hukum lain

dimuka pengadilan. Ciri-ciri dari sebuah badan hukum adalah:167

a. memiliki kekayaan sendiri yang terpisah dari kekayaan orang-orang

yang menjalankan kegiatan badan-badan hukum tersebut;

b. memiliki hak-hak dan kewajiban yang terpisah dari hak-hak dan

kewajiban-kewajiban orang-orang yang menjalanan kegiatan badan hukum tersebut;

c. memiliki tujuan tertentu;

d. berkesinambungan (memiliki kontinuitas) dalam arti keberadaannya

tidak terikat pada orang-orang tertentu, karena hak-hak dan kewajibannya tetap ada meskipun orang-orang yang menjalankannya berganti.

Pengertian korporasi dalam hukum perdata dibatasi, sebagai badan hukum. Sedangkan apabila ditelaah lebih lanjut, pengertian korporasi menurut hukum pidana lebih luas. Di Indonesia, perkembangan korporasi sebagai subjek hukum pidana terjadi di luar Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), dalam perundang undangan khusus. Sedangkan KUHP sendiri masih tetap menganut subjek tindak pidana berupa “orang” (Pasal 59 KUHP). Sedangkan subjek tindak pidana korporasi, dapat ditemukan dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika Pasal 1 angka 13, Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, Pasal 1 angka 19, yang saat ini sudah diganti dengan Undang-undang Nomor 35 tahun 2009 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003, Pasal 1       

167

Mochtar Kusumaatmadja dan B.Arief Sidharta, 2000, Pengantar Ilmu Hukum, Suatu Pengenalan Pertama Berlakunya Ruang Lingkup Berlakunya Ilmu Hukum, Buku I, Alumni, Bandung, hal. 80-81.   

angka 2 tentang Tindak Pidana Penucuciaan Uang, Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001, Pasal 1 angka 1 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, pada intinya mengatakan :“ Korporasi adalah kumpulan orang dan atau kekayaan yang terorganisasi dengan baik

merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum”168

Andi Hamzah menyatakan bahwa bila korporasi menjadi subjek (pidana), ancaman pidana yang dijatuhkan tentu bukanlah pidana penjara melainkan pidana denda atau ganti kerugian beserta pidana tambahan lainnya. Konsekuensi logis tentang keduduan korporasi sebagai badan hukum, membawa pengaruh terhadap tindak pidana yang dapat dilakukan terhadap beberapa pengecualian. Sehubungan dengan pengecualian tersebut, Barda Nawawi Arief menyatakan, walaupun pada asasnya korporasi dapat dipertanggungjawabkan sama dengan orang pribadi,

namun ada beberapa pengecualian, yaitu:169

1. Dilakukan perkara-perkara yang menurut kodratnya tidak dapat dilakukan

oleh korporasi, misalnya bigami, perkosaan, sumpah palsu.

2. Dalam perkara yang satu-satunya pidana yang dapat dikenakan tidak

mengkin dikenakan kepada korporasi misal pidana penjara atau pidana mati.

Kerugian-kerugian yang ditimbulkan kejahatan korporasi dapat bersifat fisik, ekonomi dan biaya sosial. Kecelakaan tenaga kerja merupakan salah satu konsekuensi yang bersifat fisik. Sedangkan kasus biskuit beracun yang menimbulkan korban merupakan contoh hasil produksi suatu korporasi yang tidak       

168  Muladi dan Dwija Priyatno, Op. Cit. hlm. hlm. 59. 

169

Barda Nawawi Arief, 2006, Perbandingan Hukm Pidana, Raja Grafindo Persada, Jakarta, hlm. 29.

aman bagi konsumen, yang sering disebut kelalaian korporsi. Konsekuensi yang bersifat ekonomis tidak diragukan lagi, mengingat profit merupakan motifasi utama terjadinya kejahatan korporasi. Sedangkan yang paling mengancam dan menakutkan yang dianggap kerugian sosial yang timbul karena kejahatan korporasi, adalah dampak merusak terhadap standar moral dari masyarakat

bisnis.170

Mengenai kedudukan sebagai pembuat dan sifat pertanggungjawaban pidana korporasi, terdapat model pertanggungjawaban korporasi sebagai

berikut:171

a. Pengurus korporasi sebagai pembuat dan penguruslah yang bertanggung

jawab.

Sistem pertanggungjawaban ini ditandai dengan usaha-usaha agar sifat tindak pidana yang dilakukan oleh korporasi dibatasi pada perorangan. Mengenai pengurus korporasi sebagai pembuat dan penguruslah yang bertanggung jawab, kepada pengurus korporasi dibebankan kewajiban tertentu. Kewajiban yang dibebankan itu sebenarnya adalah kewajiban dari korporasi. Pengurus yang tidak memenuhi kewajiban itu diancam dengan pidana. Sehingga dalam sistem ini terdapat alasan yang menghapuskan pidana. Sedangkan, dasar pemikirannya adalah korporasi itu sendiri tidak dapat dipertanggungjawaban terhadap suatu pelanggaran, meainkan selalu penguruslah yang melakukan delik-delik itu.Oleh karenanya penguruslah yang diancam pidana dan dipidana.

      

170

Raharjo, Hukum dan Perubahan Sosial, 1983, Alumni, Bandung, hlm. 62.

171

b. Korporasi sebagai pembuat dan pengurus yang bertanggung jawab;

Model ini ditegaskan korporasi sebagai pembuat, penguruslah yang ditunjuk untuk bertanggung jawab. Sistem ini ditandai dengan adanya pengakuan yang timbul bahwa suatu tindak pidana dapat dilakukan oleh perserikatan atau badan usaha (korporasi), Akan tetapi tanggung jawab itu menjadi beban dari pengurus badan hukum tersebut. Sehingga apa yang dipandang dilakukan oleh korporasi adalah apa yang dilakukan oleh alat perlengkapan korporasi menurut wewenang berdasarkan anggaran dasarnya. Tindak pidana yang dilakukan oleh korporasi, pada pokoknya tindak pidana dilakukan seseorang tertentu sebagai pengurus dan badan hukum tersebut.

Menetapkan korporasi sebagai pembuat, dapat dilakukan dengan berpatokan pada kriteria pelaksanaan tugaas dan pencapaian tujuan badan hukum. Tindak pidana yang dilakukan oleh korporasi adalah merupakan perbuatan seseorang sebagai pengurus badan hukum tersebut. Sifat dari

perbuatan yang menjadikan tindak pidana itu adalah onpersoonlijk. Suatu

perbuatan dipandang sebagai tindak pidana yang dilakukan oleh korporasi apabila tindak pidana tersebut dilakukan oleh pegawai/pengurus dari korporasi yang memiliki kewenangan untuk bertindak mewakili kepentingan dari korporasi itu sendiri.

Korporasi sebagai pembuat sebagai dan juga sebagai yang bertanggung jawab motivasinya adalah dengan memerhatikan perkembangan korporasi itu sendiri, yaitu bahwa ternyata untuk beberapa delik tertentu, ditetapkannya pengurus saja sebagai yang dapat dipidana ternyata tidak cukup. Dalam delik ekonomi bukan mustahil denda yang dijatuhkan sebagai hukuman kepada pengurus dibandingkan dengan keuntungan yang telah diterima oleh korporasi dengan melakukan perbuatan itu, atau kerugian yang ditimbulkan dalam masyarakat, atau yang diderita oleh saingannya, keuntungan dan/atau kerugian itu adalah lebih besar daripada denda yang dijatuhkan sebagai pidana. Dipidananya pengurus tidak memberikan jaminan yang cukup bahwa korporasi tidak sekali lagi melakukan perbuatan yang telah dilarang oleh undang-undang itu.

Ternyata dipidananya pengurus saja tidak cukup untuk mengadakan represi terhadap delik oleh atau dengan suatu korporasi. Karenanya diperlukan pula untuk dimungkinkan untuk memidana korporasi, dan pengurus atau pengurus saja.

Kemampuan bertanggung jawab korporasi sebagai pelaku tindak pidana tidaklah sama dengan manusia alamiah. Hal ini dikarenakan manusia mempunyai sifat kejiwaan yang melekat dalam dirinya, berbeda dengan korporasi yang tidak mempunyai sifat kejiwaan dalam dirinya. Namun demikian, persoalan ini dapat

diatasi dengan diterimanya ajaran atau konsep pelaku fungsional (functioneel

Menurut Rolling, bahwa badan hukum dapat diperlakukan sebagai pelaku tindak pidana, bilamana perbuatan yang terlarang yang pertanggungjawabannya dibebankan pada badan hukum atau korporasi dalam rangka tugas dan pencapaian tujuan-tujuan badan hukum tersebut. Menurutnya, kriteria ini didasarkan pada delik fungsional. Sehubungan dengan hal tersebut, yang dimaksud dengan delik fungsional adalah delik-delik yang berasal dari ruang lingkup atau suasana sosial ekonomi dicantumkan syarat-syarat bagaimana aktifitas sosial atau ekonomi tertentu harus dilaksanakan dan terarah atau ditujukan pada kelompok-kelompok

fungsionaris tertentu.172

Mencermati ajaran atau konsep pelaku fungsional yakni perbuatan fisik dari seseorang yang sebenarnya melakukan telah menghasilkan perbuatan fungsional lainnya, maka kemampuan bertanggung jawab masih berlaku dalam mempertanggungjawabakan korporasi dalam hukum pidana. Korporasi tidaklah dibentuk tanpa suatu tujuan dan dalam pencapaian tujuan korporasi tersebut selalu diwujudkan melalui perbuatan manusia alamiah. Dengan demikian kemampuan bertanggung jawab oleh orang-orang yang berbuat untuk dan atas nama korporasi dapat dialihkan menjadi kemampuan bertanggung jawab korporasi sebagai subjek

tindak pidana.173

Dokumen terkait