• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kebijakan Hukum Pidana Terhadap Pengaturan Tindak Pidana Narkotika di Indonesia

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Kebijakan Hukum Pidana Terhadap Pengaturan Tindak Pidana Narkotika di Indonesia"

Copied!
156
0
0

Teks penuh

(1)

KEBIJAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP PENGATURAN TINDAK PIDANA NARKOTIKA DI INDONESIA

SKRIPSI

Diajukan untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Memenuhi Syarat-Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas

Sumatera Utara

OLEH

FERNANDES EDY SYAHPUTRA SILABAN NIM : 080200114

DEPARTEMEN HUKUM PIDANA

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

(2)

KEBIJAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP PENGATURAN TINDAK PIDANA NARKOTIKA DI INDONESIA

SKRIPSI

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Memenuhi Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

OLEH:

FERNANDES EDY SYAHPUTRA SILABAN 080200114

DEPARTEMEN HUKUM PIDANA

Mengetahui:

Ketua Departemen Hukum Pidana

DR. M. Hamdan, SH, MH NIP: 195703261986011001

Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II

Liza Erwina, SH, M.Hum. DR. Mahmud Mulyadi, SH, M.Hum.

NIP: 196110241989032002 NIP: 197302202002121001

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

(3)

KATA PENGANTAR

Segala pujian, hormat dan kemuliaan penulis berikan kepada Allah

Tritunggal atas kasih anugerah dan pertolongan-Nya sehingga penulis dapat

melewati hari-hari untuk menyelesaikan penulisan skripsi dengan baik. Pada

kesempatan ini, penulis dengan rendah hati mempersembahkan skripsi yang

berjudul “Kebijakan Hukum Pidana Terhadap Pengaturan Tindak Pidana

Narkotika Di Indonesia”. Skripsi ini dimaksudkan untuk memenuhi persyaratan kelulusan guna memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara.

Pada kesempatan ini dengan rasa hormat, penulis mengucapkan terima

kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Runtung, SH, M.Hum selaku Dekan Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara;

2. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, SH, MH selaku Pembantu Dekan I

Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

3. Bapak Syafruddin, SH, MH, DFM selaku Pembantu Dekan II Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara;

4. Bapak Muhammad Husni, SH, M.Hum selaku Pembantu Dekan III Fakultas

Hukum Universitas Sumatera Utara;

5. Bapak Dr. M. Hamdan, SH, MH selaku Ketua Departemen Hukum Pidana

Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

6. Ibu Liza Erwina, SH, M.Hum Sekretaris Departemen Hukum Pidana Fakultas

(4)

7. Bapak Moh. Eka Putra, SH, M.Hum selaku Dosen Penasehat Akademik

selama penulis duduk di bangku pendidikan pada Fakultas Hukum Universitas

Sumatera Utara;

8. Terimakasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada Ibu Liza

Erwina, SH, M.Hum selaku Dosen Pembimbing I dan Bapak Dr. Mahmud

Mulyadi, SH, M.Hum selaku Dosen Pembimbing II, atas kesediaan baik

waktu maupun tenaga dan kesabarannya membimbing, memberi saran, arahan

dan perbaikan untuk skripsi ini.

9. Seluruh Dosen Pengajar pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara,

baik yang masih mengabdikan diri ataupun yang sudah pensiun;

10.Seluruh staff dan karyawan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

11.Kedua orang tua penulis S.Silaban dan T. br. Lumbantoruan yang telah

banyak mengajari dan memberi nasihat kepada penulis selama masa hidupnya

serta memberikan rasa kasih sayang yang senantiasa. Terima kasih buat

segalanya.

12.Adik-adik penulis yakni Ferdinan H. Silaban dan Frarika M. Silaban yang

terus mendukung dalam doa dan terus memberi semangat bagi penulis. Terima

kasih ya brother dan sister.

13.UKM KMK USU UP FH yang telah membantu penulis untuk mengenal

Tuhan dan kebenaran-Nya sehingga penulis ada seperti sebagaimana ada.

Hukum untuk Tuhan, yes!!!

14.Kelompok Kecil Abednego yakni bang Mangara Sitorus, SH yang selalu

(5)

kebenaran-Nya dan brother Obbie A. Gultom (dimana sekarang kamu brother??). Terima

kasih buat kebersamaan kita di KK Abednego semoga kita menjadi saluran

berkat bagi orang lain (B2B2P). Kelompok Kecil Markodia (Christian, Elia,

Ivan, Lorenza dan Nia) yang dipercayakan Tuhan untuk memimpin dan

menuntun kalian pada Dia dan kebenaran-Nya. Terima kasih buat

kebersamaan kita selama KK selama ini, semoga kita menjadi saluran berkat

bagi orang lain (B2B2P).

15.Rekan-rekan Koordinasi UKM yakni Ester (Ketua), Melva (sekbend), Rolis,

Jojorita, Morina dan Nofrida yang tetap mendukung dalam doa dan memberi

motivasi dalam melayani Tuhan dan rekan Koordinator/Wakil Koordinator

se-USU. Setia sampai akhir!!!

16.Seluruh Rekan Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang

tidak dapat Penulis sebutkan satu-persatu. Hidup Mahasiswa!;

17.Para penulis buku-buku dan artikel-artikel yang Penulis jadikan referensi data

guna pengerjaan skripsi ini, dan

18.Seluruh orang yang Penulis kenal dan mengenal Penulis.

Ada saatnya bertemu, ada juga saatnya berpisah. Ladang di Fakultas

Hukum Universitas Sumatera Utara akan segera Penulis tinggalkan, untuk

mencari ladang yang baru. Terima kasih atas berbagai hal bermanfaat yang telah

diberikan kepada Penulis. Semoga Tuhan senantiasa memberikan berkat dan

perlindunganNya kepada kita semua.

Penulis berharap kiranya skripsi ini tidak hanya berakhir sebagai setumpuk

(6)

membutuhkan pengembangan pengetahuan mengenai Tindak Pidana Narkotika.

Penulis juga mengaharapkan kritik dan saran yang konstruktif terhadap skripsi ini.

Atas segala perhatiannya, Penulis ucapkan terima kasih.

Medan, Juli 2012

(7)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... v

ABSTRAK ... viii

BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 7

C. Keaslian Penulisan ... 8

D. Tujuan Penulisan ... 8

E. Manfaat Penulisan ... 9

F. Tinjauan Kepustakaaan 1. Pengertian Kebijakan Hukum Pidana (Penal Policy) ... 9

2. Pengertian Tindak Pidana Narkotika ... 12

G. Metode Penulisan ... 17

H. Sistematika Penulisan ... 19

BAB II. KONSEP KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM PENANGGULANGAN KEJAHATAN A. Kebijakan Kriminal (Criminal Policy) ... 21

B. Kebijakan Hukum Pidana (Penal Policy) ... 26

a. Teori Retributif (Teori absolut) ... 32

(8)

c. Teori Gabungan ... 41

d. Teori Treatment (Teori Relatif) ... 42

e. Teori Social Defence (Perlindungan Sosial) ... 47

C. Kebijakan Non Penal (Penal Policy) ... 48

BAB III. KEBIJAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP PENGATURAN TINDAK PIDANA NARKOTIKA DI INDONESIA A. Ajaran Sifat Melawan Hukum ... 56

B. Kesalahan dan Pertanggungjawaban Pidana Narkotika ... 65

1. Kesalahan (Schuld) Dalam Hukum Pidana ... 65

2. Pertanggungjawaban Dalam Hukum Pidana... 70

3. Kesengajaan (Dolus) dan Kelalaian (Culpa) ... 74

4. Alasan yang Menghapuskan Pidana ... 77

5. Pertanggungjawaban Pidana Korporasi ... 77

6. Pertanggungjawaban Pidana Dalam Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika ... 88

(9)

1. Jenis-Jenis Perbuatan yang Dilarang dalam Undang-Undang No. 35

Tahun 2009 tentang Narkotika ... 94

2. Jenis-Jenis Sanksi yang Diberikan dalam Undang-Undang No. 35

Tahun 2009 tentang Narkotika ... 117

D. Fungsi dan Peran Penyidik BNN dalam Undang-Undang No. 35 Tahun

2009 tentang Narkotika ... 131

BAB IV. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan ... 138

B. Saran ... 139

(10)

ABSTRAK

LIZA ERWINA

MAHMUD MULYADI

FERNANDES EDY SYAHPUTRA SILABAN

Masalah penyalahgunaan narkotika telah menjadi masalah nasional maupun internasional yang tidak pernah henti-hentinya dibicarakan. Permasalahan penyalahgunaan narkotika telah menghiasi pemberitaan hampir setiap harinya. Penyalahgunaan narkotika dapat menimbulkan kerusakan fisik, mental, emosi dan sikap dalam masyarakat. Masalah penyalahgunaan narkotika telah mengancam bangsa dan masyarakat tertentu sehingga menjadi suatu kejahatan teorganisasi nasional ataupun transnasional.

Berdasarkan latar belakang tersebut, penulis mengangkat skripsi berjudul KEBIJAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP PENGATURAN TINDAK PIDANA NARKOTIKA DI INDONESIA. Dalam skripsi ini penulis mengemukakan permasalahan bagaimana konsep kebijakan hukum pidana dalam kebijakan penanggulangan kejahatan dan bagaimana kebijakan hukum pidana terhadap pengaturan tindak pidana narkotika di Indonesia. Metode penelitian dalam skripsi ini dilakukan dengan pendekatan yuridis normatif yaitu dengan melakukan analisis terhadap permasalahan melalui pendekatan asas-asas hukum serta mengacu pada norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan.

Adapun hasil penelitian ini adalah dalam penerapan Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika agar dapat lebih efektif maka perlu adanya tindakan yang terkoordinasi antara para pihak atau instansi seperti antara Kepolisian dengan pihak Badan Narkotika Nasional, Kementerian Perhubungan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Kementerian Agama, lembaga-lembaga pendidikan, organisasi kemasyarakatan dan lain-lain. Generasi muda adalah calon penerus bangsa, oleh karenanya agar jangan sampai terjebak penyalahgunaan narkotika maka yang diperlukan dengan memberikan pemahaman agama dan pembinaan moral pada generasi muda yang dimulai dari keluarga, karena agama dan moral adalah benteng yang kokoh dalam melindungi keluarga dari kerusakan dan kehancuran termasuk dari bahaya narkotika.

      

Dosen Pembimbing I



Dosen Pembimbing II



(11)

ABSTRAK

LIZA ERWINA

MAHMUD MULYADI

FERNANDES EDY SYAHPUTRA SILABAN

Masalah penyalahgunaan narkotika telah menjadi masalah nasional maupun internasional yang tidak pernah henti-hentinya dibicarakan. Permasalahan penyalahgunaan narkotika telah menghiasi pemberitaan hampir setiap harinya. Penyalahgunaan narkotika dapat menimbulkan kerusakan fisik, mental, emosi dan sikap dalam masyarakat. Masalah penyalahgunaan narkotika telah mengancam bangsa dan masyarakat tertentu sehingga menjadi suatu kejahatan teorganisasi nasional ataupun transnasional.

Berdasarkan latar belakang tersebut, penulis mengangkat skripsi berjudul KEBIJAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP PENGATURAN TINDAK PIDANA NARKOTIKA DI INDONESIA. Dalam skripsi ini penulis mengemukakan permasalahan bagaimana konsep kebijakan hukum pidana dalam kebijakan penanggulangan kejahatan dan bagaimana kebijakan hukum pidana terhadap pengaturan tindak pidana narkotika di Indonesia. Metode penelitian dalam skripsi ini dilakukan dengan pendekatan yuridis normatif yaitu dengan melakukan analisis terhadap permasalahan melalui pendekatan asas-asas hukum serta mengacu pada norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan.

Adapun hasil penelitian ini adalah dalam penerapan Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika agar dapat lebih efektif maka perlu adanya tindakan yang terkoordinasi antara para pihak atau instansi seperti antara Kepolisian dengan pihak Badan Narkotika Nasional, Kementerian Perhubungan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Kementerian Agama, lembaga-lembaga pendidikan, organisasi kemasyarakatan dan lain-lain. Generasi muda adalah calon penerus bangsa, oleh karenanya agar jangan sampai terjebak penyalahgunaan narkotika maka yang diperlukan dengan memberikan pemahaman agama dan pembinaan moral pada generasi muda yang dimulai dari keluarga, karena agama dan moral adalah benteng yang kokoh dalam melindungi keluarga dari kerusakan dan kehancuran termasuk dari bahaya narkotika.

      

Dosen Pembimbing I



Dosen Pembimbing II



(12)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Narkotika merupakan obat atau zat yang sangat bermanfaat di bidang

pelayanan kesehatan, pengembangan ilmu pengetahuan dan pengobatan penyakit

tertentu. Narkotika di sisi lain juga dapat menimbulkan ketergantungan yang

sangat merugikan perseorangan atau masyarakat khususnya generasi muda apabila

dipergunakan tanpa adanya pengendalian, pengawasan yang ketat dan seksama.1

Masalah penyalahgunaan narkotika telah menjadi masalah nasional

maupun internasional yang tidak pernah henti-hentinya dibicarakan. Permasalahan

penyalahgunaan narkotika telah menghiasi pemberitaan hampir setiap harinya.

Penyalahgunaan narkotika dapat menimbulkan kerusakan fisik, mental, emosi dan

sikap dalam masyarakat. Masalah penyalahgunaan narkotika telah mengancam

bangsa dan masyarakat tertentu sehingga menjadi suatu kejahatan teorganisasi

nasional ataupun transnasional.

Kejahatan terorganisasi transnasional merupakan ancaman terhadap negara

dan masyarakat yang dapat mengikis human security dan kewajiban dasar negara

untuk menjaga keamanan dan ketertiban Salah satu bentuk permasalahan

kejahatan terorganisasi adalah perdagangan gelap narkotika (delict drug

trafficking). Kejahatan narkotika pada dasarnya termasuk kejahatan terhadap pembangunan dan kesejahteraan sosial yang menjadi pusat perhatian dan

keprihatinan nasional dan internasional. Ruang lingkup dan dimensi kejahatan

      

1

(13)

narkotika sangat luas, sehingga kegiatan dan aktivitasnya mengandung ciri

sebagai organized crime, white collar crime, corporate crime, dan transnational

crime.

Kejahatan narkotika yang sejak lama menjadi musuh bangsa kini kian

mengkhawatirkan bangsa-bangsa beradab hingga saat ini. Geliat mafia seakan tak

mampu terbendung oleh gebrakan aparat penegak hukum di berbagai belahan

dunia meski dengan begitu gencarnya memerangi kejahatan ini. Kita dapat sering

mendengar pernyataan tentang membangun komitmen bersama memberantas

narkotika oleh seluruh dunia. Tak sedikit badan-badan dunia yang terlibat, namun

ternyata peredaran gelap narkotika terus merajalela. Berbagai indikasi

menunjukkan bahwa kejahatan narkotika merupakan extraordinary crime.

Adapun pemaknaannya adalah sebagai suatu kejahatan yang berdampak besar dan

multi dimensional terhadap sosial, budaya, ekonomi dan politik serta begitu

dahsyatnya dampak negatif yang ditimbulkan oleh kejahatan ini. Untuk itu

extraordinary punishment kiranya menjadi relevan mengiringi model kejahatan yang berkarakteristik luar biasa yang dewasa ini kian merambahi ke seantero

bumi ini sebagai transnational crime.2

Pengesahan Konvensi Wina Tahun 1971 yang mengatur kerjasama

internasional dalam pengendalian, pengawasan produksi, peredaran dan

penggunaan narkotika dan psikotropika serta mencegah dalam upaya

pemberantasan penyalahgunaan narkotika dan psikotropika, dengan membatasi

penggunaanya hanya bagi kepentingan pengobatan dan ilmu pengetahuan. Hal ini

      

2

(14)

merupakan upaya pemerintah dengan penyelenggaraan kerjasama antara

negara-negara lain dalam rangka suatu usaha pengawasan, peredaran dan penyalahgunaan

psikotropika dan narkotika yang memberikan arahan tentang prinsip-prinsip

yuridis kriminal dan aturan-aturan tentang ekstradisi.3

Sidang umum ICPO (Intenational Criminal Police Organization) ke-66

tahun 1977 di India yang diikuti oleh seluruh anggota yang berjumlah 177 negara

dari seluruh benua Amerika, Asia, Afrika, Eropa, dan Australia, Indonesia masuk

dalam daftar tertinggi negara-negara yang menjadi sasaran peredaran obat-obatan

terlarang narkotika, yang disejajarkan dengan Jepang, Thailand, Malaysia,

Filipina, dan Hongkong. Dari sidang tersebut diungkapkan juga bahwa narkotika.

khususnya jenisnya ecstacy yang semula populer di Eropa terutama di Negeri

Belanda, sekarang telah meluas keseluruh dunia termasuk Indonesia.4

Penyakit masyarakat ini sudah menjadi masalah semua negara di dunia,

sehingga mayoritas anggota PBB telah menyepakati United Nation Convention

Against the Delict Traffic in Narcotics Drugs and Psychotropic Substances pada 1988. Konvensi 1988 yang bertujuan memberantas perdagangan gelap narkotika

dan psikotropika. Jika dilihat dari segi isi Konvensi 1988, muncul embrio dari

upaya internasional untuk menanggulangi permasalahan organisasi kejahatan

transnasional yang antara lain dapat diidentifikasikan dengan aturan-aturan yang

menyangkut ekstradisi; bantuan hukum timbal balik; penanganan perdagangan

gelap narkoba melalui laut; controlled delivery; penguatan rezim anti pencucian

      

3 Siswantoro Sunarso. 2004.

Penegakan Hukum Dalam Kajian sosiologis, Raja Grafindo Persada, Jakarta, Hal. 1.

4

(15)

uang (termasuk masalah penyitaan dan perampasan hasil kejahatan narkoba); dan

kriminalisasi diversi prekursor dan pengawasan prekursor. Hal lain yang cukup

mengesankan dalam perkembangan masalah narkotika dunia adalah upaya untuk

meningkatkan penanggulangan masalah narkotika bukan hanya pada sisi

ketersediaan (supply), tetapi juga dari sisi permintaan (demand).5

Peredaran narkotika di Indonesia apabila ditinjau dari aspek yuridis adalah

sah keberadaannya, Undang-Undang Narkotika hanya melarang terhadap

penggunaan narkotika tanpa izin oleh undang-undang yang dimaksud.

Penggunaan narkotika sering disalahgunakan bukan untuk kepentingan

pengobatan dan ilmu pengetahuan bila dilihat dari keadaan yang demikian dalam

tataran empirisnya. Kejahatan narkotika dijadikan ajang bisnis yang menjanjikan

dan berkembang pesat, yang mana kegiatan ini berimbas pada rusaknya mental

baik fisik maupun psikis pemakai narkotika khususnya generasi muda.

Badan Narkotika Nasional (BNN) menyatakan telah mengungkap

berbagai macam kejahatan narkoba. Menurut lembaga ini selama 2011, sebanyak

94 pelaporan kasus diungkap Badan Narkotika Nasional (BNN). Sebanyak 61,8

persen diantaranya, atau sebanyak 60 kasus, telah berhasil diselesaikan

penyelidikannya, dan kasusnya telah diserahkan ke Jaksa penuntut umum serta

38,2 persen atau sebanyak 34 kasus diantaranya masih dalam penyelesaian.

Barang bukti yang disita selama tahun 2011 oleh BNN antara lain 79.847,23 gram

shabu, 255,503,7 gram dan 1.000 batang pohon ganja, 50 gram kokain, 1,194,85

      

5BNNPortal:KejahatanTransnasional,MasalahNarkoba,danDiplomasiIndonesia,

(16)

gram heroin, 276,995 butir ekstasi, 71,401,82 gram prekusor padat, serta 280.845

ml prekusor cair. Selama 2011, uang yang berhasil disita dari para tersangka

mencapai Rp 28.970.596.143 dan Rp 28,782.860.804 diantaranya sudah

dilimpahkan ke Kejaksaan.6

BNN menyatakan bahwa sepanjang tahun 2011 terdapat 11 jaringan

internasional yang berhasil dibongkar. Satu diantaranya yang menonjol adalah

ditangkapnya jaringan peredaran narkoba di Lembaga Pemasyarakatan Nusa

Kambangan yang melibatkan Kepala Lembaga Pemasyarakatan (LP) tersebut.

Pengungkapan jaringan yang melibatkan sindikat internasional yang paling

spektakuler dan menonjol adalah terbongkarnya kasus Surya Bahadur Tamang,

alias Boski, yang mengendalikan peredaran gelap narkoba dari balik jeruji besi di

LP Nusa Kambangan sampai bandar besar berkewarganegaraan Iran yang

ditangkap oleh polisi Thailand serta kasus Obina, narapidana di Lembaga

Pemasyarakatan Cipinang yang mengendalikan jaringannya dari dalam Lapas

Cipinang. Total jaringan yang sudah diungkap BNN pada 2011 sebanyak 97

jaringan, dengan jumlah tersangka sebanyak 159 orang. BNN juga menyatakan

bahwa tahun 2011, prevalensi penyalahgunaan narkoba meningkat menjadi 2,8

persen atau sekitar 5 juta orang dari tahun 2010 yang 2,21 persen atau sekitar 4,02

juta orang.7

Penegakan hukum terhadap tindak pidana narkotika, telah banyak

dilakukan oleh aparat penegak hukum dan telah banyak mendapat putusan Hakim.

Penegakan hukum seharusnya diharapkan mampu menjadi faktor penangkal

      

6 

Hindari keluarga kita dari narkoba, http://BNN. com, diakses tanggal 21 Maret 2012.

7

(17)

terhadap meningkatnya perdagangan gelap serta peredaran narkotika, tapi dalam

kenyataannya justru semakin intensif dilakukan penegakan hukum, semakin

meningkat pula peredaran serta perdagangan gelap narkotika tersebut.

Ketentuan perundang-undangan yang mengatur masalah narkotika telah

disusun dan diberlakukan, namun demikian kejahatan yang menyangkut narkotika

ini belum dapat diredakan. Kasus-kasus terakhir ini telah banyak bandar-bandar

dan pengedar narkoba tertangkap dan mendapat sanksi berat, namun pelaku yang

lain seperti tidak mengacuhkan bahkan lebih cenderung untuk memperluas daerah

operasinya.

Penegakan hukum terhadap kejahatan di Indonesia yang mana pemerintah

selaku penyelenggara kehidupan bernegara perlu memberikan perlindungan dan

kesejahteraan masyarakat melalui berbagai kebijakan yang teragenda dalam

program pembangunan nasional. Kebijakan pemerintah ini tergabung dalam

kebijakan sosial (social policy). Salah satu bagian dari kebijakan sosial ini adalah

kebijakan penegakan hukum (law enforcement policy), termasuk di dalamnya

kebijakan legislatif (legislative policy). Sedangkan kebijakan penanggulangan

kejahatan (criminal policy) itu sendiri merupakan bagian dari kebijakan

penegakan hukum (law enforcement policy).8

Pengkajian mengenai penegakan hukum pidana, dapat dilihat dari cara

penegakan hukum pidana yang dikenal dengan sistem penegakan hukum atau

criminal law enforcement yang mana bagiannya adalah kebijakan penanggulangan

kejahatan (criminal policy). Dalam penanggulangan kejahatan dibutuhkan dua

      

8 Mahmud Mulyadi,

(18)

sarana yakni menggunakan penal atau sanksi pidana, dan menggunakan sarana

non penal yaitu penegakan hukum tanpa menggunakan sanksi pidana (penal).

Penegakan hukum mempunyai sasaran agar orang taat kepada hukum.

Ketaatan masyarakat terhadap hukum disebabkan tiga hal, yakni: (1) takut berbuat

dosa; (2) takut karena kekuasaan dari pihak penguasa berkaitan dengan sifat

hukum yang bersifat imperatif; (3) takut karena malu berbuat jahat. Penegakan

hukum dengan sarana non penal mempunyai sasaran dan tujuan untuk

kepentingan internalisasi.9

Keberadaan Undang-Undang Narkotika yakni Undang-Undang No. 35

Tahun 2009 tentang Narkotika merupakan suatu upaya politik hukum pemerintah

Indonesia terhadap penanggulangan tindak pidana narkotika. Pembentukan

Undang-Undang Narkotika diharapkan dapat menanggulangi peredaran gelap dan

penyalahgunaan narkotika dengan menggunakan sarana hukum pidana atau penal.

Dalam uraian latar belakang, penulis akan melakukan penulisan skripsi

yang berjudul “Kebijakan Hukum Pidana Terhadap Pengaturan Tindak Pidana

Narkotika Di Indonesia”

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan sebelumnya, maka dapat

dirumuskan berbagai masalah yang berhubungan dengan kebijakan hukum pidana

terhadap pengaturan tindak pidana narkotika di Indonesia adalah sebagai berikut:

      

9

(19)

1. Bagaimana konsep kebijakan hukum pidana dalam penanggulangan

kejahatan?

2. Bagaimana kebijakan hukum pidana terhadap pengaturan tindak pidana

narkotika di Indonesia?

C. Keaslian Penulisan

Penulisan skripsi ini diajukan untuk melengkapi tugas-tugas dan

memenuhi syarat-syarat untuk mencapai gelar sarjana hukum. Penulis dalam

membuat dan memilih judul skripsi ini berdasarkan penelitian sendiri. Seperti kita

ketahui bahwa saat ini masalah narkotika sudah pada tahap memprihatikan dan

berbahaya apalagi sudah menimbulkan banyak korban terutama kalangan generasi

muda bangsa sehingga perlu untuk dicegah dan ditanggulangi bersama.

Penulisan skripsi mengenai narkotika pada Fakultas Hukum USU sudah

terlebih dahulu ada sebelumnya, salah satunya adalah “Penerapan Hukum Mati

Terhadap Tindak Pidana Narkotika” yang ditulis oleh Fransiska Sitepu, namun

secara khusus yang membahas “Kebijakan Hukum Pidana Terhadap Pengaturan

Tindak Pidana Narkotika Di Indonesia” belum ada. Hal ini didukung dengan

persetujuan dari perpustakaan untuk mengangkat judul skripsi. Oleh karena itu,

penulis menjamin keaslian penulisan skripsi berdasarkan penelitian dan

pengamatan penulis sendiri.

D. Tujuan Penulisan

Penulisan ini bertujuan untuk menjawab permasalahan yang sudah ada

sebelumnya. Adapun tujuan yang ingin dicapai dalam penulisan ini adalah sebagai

(20)

1. Untuk mengetahui konsep kebijakan hukum pidana dalam

penanggulangan kejahatan.

2. Untuk mengetahui kebijakan hukum pidana terhadap pengaturan

tindak pidana narkotika di Indonesia.

E. Manfaat Penulisan

Penulisan skripsi ini diharapkan dapat memberikan manfaat yaitu sebagai

berikut:

1. Manfaat secara Teoritis

Yaitu, penulisan ini bisa dijadikan sebagai bahan kajian untuk memberikan

informasi-informasi pengetahuan tentang hukum pada umumnya dan

hukum pidana pada khususnya. Lebih lagi khususnya menambah

pengetahuan hukum tentang kebijakan hukum pidana terhadap pengaturan

tindak pidana narkotika di Indonesia.

2. Manfaat secara Praktis

Yaitu, bisa memberikan informasi dan bahan masukan serta kontribusi

pemikiran bagi aparat penegak hukum, baik polisi, jaksa, hakim maupun

pengacara dan juga kepada masyarakat umum mengenai hal-hal yang

berhubungan dengan kebijakan hukum pidanal terhadap pengaturan tindak

pidana narkotika di Indonesia.

F. Tinjauan Kepustakaan

1. Pengertian Kebijkan Hukum Pidana (Penal Policy)

Istilah “kebijakan” berasal dari bahasa Inggris “policy” atau bahasa

(21)

dengan kata “politik”, oleh karena itu kebijakan hukum pidana biasa disebut

dengan juga dengan politik hukum pidana. Berbicara mengenai politik hukum

pidana, maka tidak terlepas dari pembicaraan mengenai politik hukum secara

keseluruhan karena hukum pidana adalah salah satu bagian dari ilmu hukum. Oleh

karena itu sangat penting untuk dibicarakan tentang politik hukum.10

Menurut Soedarto, politik hukum adalah usaha untuk mewujudkan

peraturan-peraturan yang baik dengan situasi dan kondisi tertentu. Secara

mendalam dikemukan juga bahwa politik hukum merupakan kebijakan negara

melalui alat-alat perlengkapannya yang berwenang untuk menetapkan

peraturan-peraturan yang dikehendaki dan diperkirakan dapat digunakan untuk

mengekspresikan apa yang terkandung dalam masyarakat dalam rangka mencapai

apa yang dicita-citakan.11

Senada dengan pernyataan di atas, Solly Lubis juga menyatakan bahwa

politik hukum adalah kebijaksanaan politik yang menentukan peraturan hukum

apa yang seharusnya berlaku mengatur berbagai hal kehidupan bermasyarakat

dan bernegara.12 Mahmud M.D., juga memberikan defenisi politik hukum sebagai

kebijakan mengenai hukum yang akan atau telah dilaksanakan secara nasional

oleh p emerintah. Hal ini juga mencakup pula pengertian tentang bagaimana

politik mempengaruhi hukum dengan cara melihat konfigurasi kekuatan yang ada

dibelakang pembuatan dan penegakan hukum itu. Dalam konteks ini hukum tidak

bisa hanya dipandang sebagai pasal-pasal yang bersifat imperatif, melainkan harus

      

10 Mahmud Mulyadi,

Op. Cit., hlm. 65.

11 

Ibid., hlm. 65-66.  12

(22)

dipandang sebagai subsistem yang dalam kenyataannya bukan tidak mungkin

sangat ditentukan oleh politik, baik dalam perumusan materinya (pasal-pasal),

maupun dalam penegakannya.13

Berdasarkan pengertian tentang politik hukum sebagaimana dikemukakan

di atas, maka secara umum dapat ditarik kesimpulan bahwa politik hukum pidana

merupakan upaya menentukan ke arah mana pemberlakukan hukum pidana

Indonesia masa yang akan datang dengan melihat penegakannya saat ini. Hal ini

juga berkaitan dengan konseptualisasi hukum pidana yang paling baik untuk

diterapkan.14

Lebih lanjut Soedarto mengungkapkan bahwa melaksanakan

melaksanakan politik hukum pidana berarti mengadakan pemilihan dalam rangka

mencapai hasil perundang-undangan pidana yang paling baik dengan memenuhi

syarat keadilan dan dayaguna.15 Marc Ancel menyatakan politik hukum pidana

merupakan suatu ilmu sekaligus seni yang mempunyai tujuan praktis untuk

memungkinkan peraturan hukum positif dirumuskan secara lebih baik dan untuk

memberi pedoman kepada pembuat undang-undang, pengadilan yang menerapkan

undang-undang dan kepada para pelaksana putusan pengadilan.16 A. Mulder

mengemukakan secara rinci tentang runag lingkup politik hukum pidana yang

menurutnya bahwa politik hukum pidana adalah garis kebijakan untuk

menentukan:17

      

13  Ibid.  14

 Ibid.  15 

Ibid. 

16 M. Hamdan, 1997,

Politik Hukum Pidana, Raja Grafindo Persada, Jakarta, hlm. 20.

17

(23)

1. Seberapa jauh ketentuan-ketentuan pidana yang berlaku perlu dilakukan

perubahan atau diperbaharui;

2. Apa yang dapat diperbuat untuk mencegah terjadinya kejahatan;

3. Cara bagaimana penyidikan, penuntutan, peradilan dan pelaksanaan

pidana harus dilaksanakan.

Defenisi Mulder di atas bertolak dari pengertian “sistem hukum pidana”

menurut Marc Ancel yang menyatakan, bahwa tiap masyarakat yang terorganisir

memiliki sistem hukum pidana yang terdiri dari: (a) peraturan-peraturan hukum

pidana dan sanksinya, (b) suatu prosedur hukum pidana, dan (c) suatu mekanisme

pelaksanaan pidana.18.

Usaha dan kebijakan untuk membuat peraturan hukum pidana yang baik

pada hakekatnya tidak dapat dilepaskan dari tujuan penanggulangan kejahatan.

Jadi kebijakan atau politik hukum pidana juga merupakan bagian dari politik

kriminal. Dengan perkataan lain, dilihat dari sudut politik kriminal, maka politik

hukum pidana identik dengan pengertian “kebijakan penanggulangan kejahatan

dengan hukum pidana”.19

2. Pengertian Tindak Pidana Narkotika

a. Pengertian Tindak Pidana

Istilah tindak pidana berasal dari istilah yang dikenal dalam hukum pidana

Belanda yaitu strafbaar feit. Istilah ini terdapat dalam WvS Belanda, yang

terdapat dalam WvS Hindia Belanda (KUHP), tetapi tidak ada penjelasan resmi

tentang apa yang dimaksud dengan strafbaar feit itu. Para ahli hukum berusaha

      

18  Ibid. 19

(24)

untuk memberikan arti dan isi dari istilah itu, tetapi belum ada keseragaman

pendapat saat ini.20

Istilah yang pernah digunakan, baik dalam perundang-undangan yang ada

maupun dalam berbagai literatur hukum sebagai terjemahan dari istilah strafbaar

feit adalah sebagai berikut:21

a. Tindak pidana, dapat dikatakan berupa istilah yang sering ditemukan

dalam undangan kita. Hampir seluruh peraturan

perundang-undangan menggunakan istilah tindak pidana misalnya UU No. 31 tahun

1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Ahli yang

menggunakan istilah ini seperti Prof. Dr. Wirjono Prodjodikoro, SH.

b. Perbuatan pidana, digunakan oleh Prof. Mr. Moeljatno dalam berbagai

tulisan beliau, misalnya dalam buku Asas-asas Hukum Pidana.

c. Peristiwa pidana, digunakan oleh beberapa ahli hukum misalnya Mr.

Tresna dalam bukunya Asas-asas Hukum Pidana, Prof. A. Zainal Abidin,

SH. dalam buku beliau Hukum Pidana.

d. Delik, yang sebenarnya berasal dari bahasa latin delictum juga digunakan

untuk menggambarkan tentang apa yang dimaksud dengan strafbaar feit.

Istilah ini dijumpai dalam berbagai literatur misalnya Prof. Utrecht,

walaupun juga beliau menggunakan istilah lain yakni peristiwa pidana

(dalam buku Hukum Pidana I).

Moeljatno menggunakan istilah perbuatan pidana, yang didefinisikan

beliau sebagai perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum larangan mana       

20 Adami Chazawi, 2008,

Pelajaran Hukum Pidana I, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, hlm. 67.

21

(25)

disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barang siapa yang

melanggar larangan tersebut. Simons menyatakan strafbaar feit adalah suatu

tindakan melawan hukum yang dengan sengaja telah dilakukan oleh seseorang

yang dapat dipertanggungjawabkan atas tindakannya, yang dinyatakan sebagai

dapat dihukum. Wirjono Prodjodikoro menyatakan bahwa tindak pidana itu suatu

perbuatan yang pelakunya dapat dikenakan hukum pidana.22

Istilah tindak pidana sebagai terjemaahan strafbaar feit adalah

diperkenalkan oleh pihak pemerintah yaitu Departemen Kehakiman. Istilah ini

banyak dipergunakan dalam Undang Tindak Pidana Korupsi,

Undang-Undang Tindak Pidana Narkotika, dan Undang-Undang-Undang-Undang mengenai Pornografi

yang mengatur secara khusus Tindak Pidana Pornografi.23

Istilah tindak pidana menunjukkan pengertian gerak-gerik tingkah laku

dan gerak-gerik jasmani sesorang. Hal-hal tersebut juga seseorang untuk tidak

berbuat, akan tetapi dengan tidak berbuatnya dia, dia telah telah melakukan tindak

pidana. Kewajiban untuk berbuat tetapi dia tidak berbuat, yang di dalam

undang-undang menentukan pada pasal 164 KUHP, ketentuan dalam pasal ini

mengharuskan seseorang untuk melaporkan kepada pihak yang berwajib apabila

akan timbul kejahatan ternyata dia tidak melaporkan, maka dia dapat dikenakan

sanksi.24

Soedarto berpendapat bahwa pembentuk undang-undang sudah tetap

dalam pemakaian istilah tindak pidana. Beliau lebih condong memakai istilah

      

22 

Ibid., 75.

23 Teguh Prasetyo, 2011,

Hukum Pidana: Edisi Revisi, Rajawali Press, Jakarta, hlm., 50.   24

(26)

tindak pidana seperti yang telah dilakukan oleh pembentuk undang-undang.

Pendapat Soedarto diikuti oleh Teguh Prasetyo karena pembentuk undang-undang

sekarang selalu mengggunakan istilah tindak pidana sehingga istilah tindak pidana

itu sudah mempunyai yang dipahami oleh masyarakat.25

Berbagai defenisi yang dikemukan di atas, bahwa yang dimaksud dengan

tindak pidana adalah perbuatan yang oleh aturan hukum dilarang dan diancam

dengan pidana, di mana pengertian perbuatan di sini selain perbuatan yang

bersifat aktif (melakukan sesuatu yang sebenarnya dilarang oleh hukum) juga

perbuatan yang bersifat pasif ( tidak berbuat sesuatu yang sebenarnya diharuskan

oleh hukum).26

b. Pengertian Tindak Pidana Narkotika

Pengertian narkotika secara umum adalah sejenis zat yang dapat

menimbulkan pengaruh-pengaruh tertentu bagi orang-orang yang

menggunakannya, yaitu dengan cara memasukan ke dalam tubuh. Istilah

narkotika yang dipergunakan di sini bukanlah “narcotics” pada farmacologie

(farmasi), melainkan sama artinya dengan “drug” yaitu sejenis zat yang apabila

dipergunakan akan membawa efek dan pengaruh-pengaruh tertentu pada tubuh

pemakai, yaitu:27

a. mempengaruhi kesadaran;

b. memberikan dorongan yang dapat berpengaruh terhadap perilaku manusia;

c. pengaruh-pengaruh tersebut dapat berupa:

      

25 Ibid.

26 

Ibid., hlm. 51.

27

(27)

1. penenang;

2. peransang (bukan ransang seks);

3. menimbulkan halusinasi (pemakainya tidak mampu membedakan

antara khayalan dan kenyataan, kehilangan keadaran akan waktu dan

tempat).

Soedarto menyatakan bahwa perkataan narkotika berasal dari perkataan

Yunani “Narke” yang berarti terbius sehingga tidak merasa apa-apa. Biro Bea dan

Cukai Amerika Serikat menyatakan bahwa narkotika adalah candu, ganja, kokain,

zat-zat yang bahan mentahnya diambil dari benda-benda tersebut, yakni

morphine, heroin, codein, hasisch, cocain. Dan termasuk juga narkotika sintesis

yang menghasilkan zat-zat, obat-obat yang tergolong dalam Hallucinogen dan

stimulant.28

Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika menyatakan

bahwa narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan

tanaman, baik sintetis maupun semisintetis, yang dapat menyebabkan penurunan

atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan

rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan.29

Tindak pidana narkotika dapat diartikan dengan suatu perbuatan yang

melanggar ketentuan–ketentuan hukum narkotika, dalam hal ini adalah

Undang-Undang no. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika dan ketentuan-ketentuan lain yang

termasuk dan atau tidak bertentangan dengan undang-undang tersebut. Tindak

pidana narkotika juga dapat dikatakan adalah penggunaan atau peredaran

      

28 Ibid., hlm. 16-17. 29

(28)

narkotika yang tidak sah (tanpa kewenangan) dan melawan hukum (melanggar

UU Narkotika).30 Bentuk tindak pidana narkotika yang umum dikenal antara

lain:31

a. Penyalahgunaan / melebihi dosis;

b. Pengedaran narkotika;

c. Jual beli narkotika.

G. Metode Penelitian

1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian dalam penulisan skripsi ini dilakukan dengan pendekatan

yuridis normatif yaitu dengan melakukan analisis terhadap permasalahan melalui

pendekatan asas-asas hukum serta mengacu pada norma-norma hukum yang

terdapat dalam peraturan perundang-undangan.32

2. Data dan Sumber Data

Data yang digunakan dalam skrispsi ini adalah data sekunder. Data

sekunder yang dimaksud oleh penulis adalah sebagai berikut:

a. Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat, terdiri

dari Undang-Undang Dasar 1945, peraturan perundang-undangan berupa

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Kitab Undang-Undang

Hukum Acara Pidana (KUHAP), Undang-Undang No. 35 Tahun 2009

tentang Narkotika dan yang berkaitan dengan permasalahan kebijakan

hukum pidana terhadap pengaturan tindak pidana narkotika di Indonesia.

      

30

 Moh. Taufik Makaro, Suhasril, Moh. Zakky A.S., Op. Cit., hlm. 45  31

Ibid

32 Soerjono Soekanto, Sri Mamudji, 2010,

(29)

b. Bahan hukum sekunder berupa buku yang berkaitan dengan tindak pidana

narkotika, artikel, hasil-hasil penelitian, laporan-laporan dan sebagainya.

c. Bahan hukum tersier, yaitu bahan hukum penunjang yang mencakup

bahan hukum primer, bahan hukum sekunder seperti kamus umum, kamus

hukum, majalah, jurnal ilmiah, serta bahan-bahan diluar bidang yang

relevan dan dapat digunakan untuk melengkapi data yang diperlukan

dalam penulisan skripsi ini.

3. Metode Pengumpulan Data

Penulisan skripsi ini menggunakan metode pengumpulan data yakni

library research (penelitian kepustakaan) yaitu penelitian yang dilakukan dengan menggunakan data dari berbagai sumber bacaaan seperti peraturan

perundang-undangan, buku-buku, majalah, dan internet yang dinilai relevan dengan

permasalahan yang akan dibahas penulis dalam skripsi ini.

4. Analisis Data

Analisis data yakni dengan analisis secara kualitatif.33 Data sekunder yang

diperoleh dianalisis secara kualitatif untuk menjawab permasalahan dalam skripsi

ini.

      

33

Metode penelitian kualitatif adalah metode penelitian yang digunakan untuk meneliti pada kondisi obyek yang alamiah (sebagai lawannya adalah eksperimen) dimana peneliti adalah sebagai instrumen kunci, teknik pengumpulan data dilakukan secara trianggulasi (gabungan), analisis data bersifat induktif, dan hasil penelitian kualitatif lebih menekankan makna dari pada generalisasi.

(30)

H. Sistematika Penulisan

Penulisan skripsi ini dibagi dalam empat bab yang disusun dengan

sistematis untuk menguraikan masalah yang akan dibahas dengan urutan sebagai

berikut:

BAB I PENDAHULUAN:

Bab ini memuat latar belakang, rumusan masalah, keaslian

penulisan, tujuan penulisan, manfaat penulisan, tinjauan

kepustakaan yang berisi pengertian kebijakan kriminal, pengertian

tindak pidana, pengertian narkotika, tindak pidana narkotika, yang

diakhiri dengan metode penelitian serta sistematika penulisan.

BAB II KONSEP KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM TINDAK

PIDANA NARKOTIKA:

Bab ini membahas konsep kebijakan hukum pidana dalam

kebijakan penanggulangan kejahatan yakni kebijakan kriminal,

kebijakan hukum pidana, dan kebijakan non penal (pidana).

BAB III KEBIJAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP PENGATURAN

TINDAK PIDANA NARKOTIKA DI INDONESIA :

Bab ini membahas ajaran sifat melawan hukum, kesalahan dan

pertanggungjawaban pidana narkotika, perbuatan-perbuatan yang

dikualifikasi sebagai tindak pidana narkotika dan jenis sanksi yang

terdapat dalam Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang

Narkotika.

(31)

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN

Bab terakhir ini berisi kesimpulan mengenai bab-bab yang telah

dibahas sebelumnya dan bab ini memberikan saran-saran dari

(32)

BAB II

KONSEP KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM PENANGGULANGAN KEJAHATAN

A. Kebijakan Kriminal (Criminal Policy)

Sudarto pernah mengemukakan tiga arti mengenai kebijakan kriminal,

yaitu:34

1. Dalam arti sempit, ialah keseluruhan asas dan metode yang menjadi dasar

dari reaksi terhadap pelanggaran hukum yang berupa pidana;

2. Dalam arti luas, ialah keseluruhan fungsi dari aparatur penegak hukum,

termasuk di dalamnya cara kerja dari pengadilan dan polisi dan;

3. Dalam arti yang paling luas, ialah keseluruhan kebijakan yang dilakukan

melalui perundang-undangan dan badan-badan resmi, yang bertujuan

untuk menegakkan norma-norma sentral dari masyarakat.

Sudarto mengemukakan defenisi singkat, bahwa kebijakan kriminal adalah

merupakan suatu usaha yang rasional dari masyarakat dalam menanggulangi

kejahatan atau selanjutnya dikatakan bahwa kebijakan penanggulangan kejahatan

merupakan ilmu untuk menanggulangi kejahatan.35

Defenisi ini diambil oleh dari defenisi Marc Ancel yang merumuskan

sebagai “the rational organization of the control of crime by society”. Bertolak

dari pengertian yang dikemukakan oleh Marc Ancel ini, G. Peter Hoefnagels

mengemukakan bahwa “Criminal policy is the rational organization of the social

      

34 Barda Nawawi Arief, 2008,

Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana (Perkembangan Penyusunan Konsep KUHP Baru), Kencana Prenada Media Group, Jakarta, hlm. 1. 

35

(33)

reaction to crime”. Berbagai defenisi lainnya yang dikemukakan oleh G. Peter

Hoefnagels ialah:36

a. Criminal policy is the science of responses;

b. Criminal policy is the science of crime prevention;

c. Criminal policy is a policy of designating human behavior as crime; d. Criminal policy is arational total of the responses to crime.

Istilah Criminal Policy yang dipergunakan oleh Hoefnagels bila

diterjemahkan dalam bahasa Indonesia disebut sebagai “kebijakan kriminal”.

Istilah ini agaknya kurang pas karena seolah-olah mencari suatu kebijakan untuk

membuat kejahatan (kriminal). Istilah ini lebih tepat digunakan sebagai kebijakan

penanggulangan kejahatan.37

Kebijakan atau upaya penanggulangan kejahatan pada hakikatnya

merupakan bagian integral dari upaya perlindungan masyarakat (social defence)

dan upaya mencapai kesejahteraan (social welfare). Kebijakan penanggulangan

kejahatan atau bisa disebut juga politik kriminal memiliki tujuan akhir atau tujuan

utama yaitu “perlindungan masyarakat untuk mencapai kesejahteraan

masyarakat”. Kebijakan penanggulangan kejahatan (criminal policy) itu sendiri

merupakan bagian dari kebijakan penegakan hukum (law enforcement policy).

Kebijakan penegakan hukum merupakan bagian dari kebijakan social (social

policy) dan termasuk juga dalam kebijakan legislatif (legislative policy). Politik

      

36 Ibid

., hlm. 2.

37

 Mahmud Mulyadi, 2008, Criminal Policy: Pendekatan Integral Penal Policy dan Non Penal Policy dalam Penanggulangan Kejahatan Kekerasan, Pustaka Bangsa Press, Medan, hlm. 51.

(34)

kriminal pada hakikatnya juga merupakan bagian integral dari kebijakan sosial

yaitu kebijakan atau upaya untuk mencapai kesejahteraan sosial.38

Kebijakan penegakan hukum (law enforcement policy) harus melihat

cakupan yang luas yang terkandung dalam suatu sistem hukum (legal system).

Menurut Friedman bahwa sistem hukum adalah memiliki cakupan yang lebih luas

dari hukum itu sendiri. Kata “hukum” sering mengacu hanya pada aturan dan

peraturan. Sedangkan sistem hukum membedakan antara aturan dan peraturan itu

sendiri, serta struktur, lembaga dan proses yang mengisinya. Oleh karena itu,

bekerjanya hukum di dalam suatu sistem menurut Friedman ditentukan oleh tiga

unsur, yaitu struktur hukum (legal structure), substansi hukum (legal substance),

dan budaya hukum (legal culture).39

a. Struktur Hukum (Legal Structure)

Struktur hukum merupakan suatu kerangka yang memberikan definisi dan

batasan dan bentuk bagi bekerjanya sistem tersebut dalam batasan-batasan yang

telah ditentukan secara keseluruhan. Hal ini sebagai mana dikemukakan oleh

Friedman; “The structure of a system is its skeletal framework, it is the permanent

shape, the institutional body of system, the thought, rigid bones that keep the process flawing within bound“. Jadi struktur hukum dapat dikatakan sebagai institusi yang menjalankan penegakan hukum dengan segala proses yang

berlangsung di dalamnya. Institusi ini dalam penegakan hukum pidana, tergabung

dalam system peradilan pidana (criminal justice system), yang terdiri atas

      

38 Barda Nawawi Arief,

Loc. Cit.    39

(35)

kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan lembaga pemasyarakatan, yang menjamin

berjalannya proses peradilan pidana.40

b. Substansi Hukum (legal substance)

Substansi hukum (legal substance) adalah aturan, norma dan pola perilaku

nyata manusia yang berada di dalam sistem tersebut. Substansi hukum juga berarti

produk yang dihasilkan oleh orang-orang yang berada di dalam sistem hukum itu,

baik berupa keputusan yang mereka keluarkan, maupun juga aturan-aturan baru

yang mereka susun. Penting di ingat bahwa substansi hukum ini tidak hanya

terpusat pada hukum yang tertulis saja (law in the book), tetapi juga mencakup

hukum yang hidup di masyarakat (the living law).41

c. Budaya hukum (legal culture)

Budaya hukum (legal culture) adalah sebagai sikap manusia (dalam hal ini

masyarakat) terhadap hukum dan sistem hukum itu sendiri. Sikap masyarakat ini

menyangkut kepercayaan, nilai-nilai dan ide-ide, serta harapan mereka tentang

hukum dan sistem hukum. Budaya hukum merupakan bagian dari budaya umum

masyarakat. Budaya hukum juga merupakan suasana pikiran sosial dan kekuatan

sosial yang menentukan bagaimana hukum itu digunakan, dihindari atau bahkan

disalahgunakan. Budaya hukum mempunyai peranan yang besar dalam sistem

hukum, sehingga tanpa budaya hukum, maka sistem hukum akan kehilangan

kekuatannya, seperti ikan mati yang terkapar di kerancangnnya, bukan ikan hidup

      

40  Ibid. 41

(36)

yang berenang di lautan (without legal culture, the legal system is inert - a dead fish lying in a basket, not a living fish swimming in its sea).42

Ketiga unsur sistem hukum ini mempunyai hubungan dan peranan yang

tak terpisahkan. Ketiganya adalah satu kesatuan yang menggerakan sistem hukum

tersebut sehingga dapat berjalan dengan lancar. Struktur hukum dapat diibaratkan

sebagai mesin yang menghasilkan sesuatu. Substansi hukum adalah sesuatu yang

dihasilkan oleh mesin tersebut. Sedangkan budaya hukum adalah siapa yang

memutuskan untuk menghidupkan atau mematikan mesin dan membatasi

penggunaan mesin tersebut. Jadi apabila salah satu dari ketiga unsur sistem

hukum ini sakit, maka akan menyebabkan sub sistem lainnya terganggu.43

Menurut Hoefnagels kebijakan penanggulangan kejahatan (criminal

policy) dapat dilakukan dengan memadukan upaya penerapan hukum pidana (criminal law application), pencegahan tanpa menggunakan hukum pidana (prevention without punishment) dan upaya mempengaruhi pandangan masyarakat

terhadap kejahatan dan pemidanaan melalui media massa (influencing views of

society on crime and punishment (mass media).44

Teori yang dikemukakan oleh G. Pieter Hoefnagels di atas, maka

kebijakan penanggulangan kejahatan dapat disederhanakan melalui dua cara.

Pertama, kebijakan penal (penal policy) yang biasa disebut dengan “criminal law

application.” Kedua, kebijakan non-penal (non-penal policy) yang terdiri dari

“prevention without punishment” dan “influencing views of society on crime and

      

42   Ibid.   43

Ibid.  44

(37)

punishment (mass media).”45 Pada dasarnya penal policy lebih menitikberatkan

pada tindakan represif setelah terjadinya suatu tindak pidana, sedangkan non

penal policy lebih menitikberatkan pada tindakan preventif sebelum terjadinya

suatu tindak pidana.46

B. Kebijakan Hukum Pidana (Penal Policy)

Istilah “kebijakan” berasal dari bahasa Inggris “policy” atau bahasa

Belanda “politiek”. Istilah ini dalam bahasa Indonesia sering diterjemahkan

dengan kata “politik”, oleh karena itu kebijakan hukum pidana biasa disebut

dengan juga dengan politik hukum pidana. Berbicara mengenai politik hukum

pidana, maka tidak terlepas dari pembicaraan mengenai politik hukum secara

keseluruhan karena hukum pidana adalah salah satu bagian dari ilmu hukum. Oleh

karena itu sangat penting untuk dibicarakan tentang politik hukum.47

Menurut Soedarto, politik hukum adalah usaha untuk mewujudkan

peraturan-peraturan yang baik dengan situasi dan kondisi tertentu. Secara

mendalam dikemukan juga bahwa politik hukum merupakan kebijakan negara

melalui alat-alat perlengkapannya yang berwenang untuk menetapkan

peraturan-peraturan yang dikehendaki dan diperkirakan dapat digunakan untuk

mengekspresikan apa yang terkandung dalam masyarakat dalam rangka mencapai

apa yang dicita-citakan.48

Senada dengan pernyataan di atas, Solly Lubis juga menyatakan bahwa

politik hukum adalah kebijaksanaan politik yang menentukan peraturan hukum       

45  Ibid.  46

Teguh Praseyto, Abdul Halim Barkatullah, 2005, Politik Hukum Pidana: Kajian Kriminalisasi dan Dekriminalisasi, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, hlm. 17. 

47 Mahmud Mulyadi,

Op. Cit., hlm. 65.

48

(38)

apa yang seharusnya berlaku mengatur berbagai hal kehidupan bermasyarakat

dan bernegara.49 Mahmud M.D., juga memberikan defenisi politik hukum sebagai

kebijakan mengenai hukum yang akan atau telah dilaksanakan secara nasional

oleh pemerintah. Hal ini juga mencakup pula pengertian tentang bagaimana

politik mempengaruhi hukum dengan cara melihat konfigurasi kekuatan yang ada

dibelakang pembuatan dan penegakan hukum itu. Dalam konteks ini hukum tidak

bisa hanya dipandang sebagai pasal-pasal yang bersifat imperatif, melainkan harus

dipandang sebagai subsistem yang dalam kenyataannya bukan tidak mungkin

sangat ditentukan oleh politik, baik dalam perumusan materinya (pasal-pasal),

maupun dalam penegakannya.50

Berdasarkan pengertian tentang politik hukum sebagaimana dikemukakan

di atas, maka secara umum dapat ditarik kesimpulan bahwa politik hukum pidana

merupakan upaya menentukan ke arah mana pemberlakukan hukum pidana

Indonesia masa yang akan datang dengan melihat penegakannya saat ini. Hal ini

juga berkaitan dengan konseptualisasi hukum pidana yang paling baik untuk

diterapkan.51

Lebih lanjut Soedarto mengungkapkan bahwa melaksanakan

melaksanakan politik hukum pidana berarti mengadakan pemilihan dalam rangka

mencapai hasil perundang-undangan pidana yang paling baik dengan memenuhi

syarat keadilan dan dayaguna.52 Marc Ancel menyatakan politik hukum pidana

merupakan suatu ilmu sekaligus seni yang mempunyai tujuan praktis untuk

      

49

 Ibid.  50 

Ibid.  51 

Ibid.  52

(39)

memungkinkan peraturan hukum positif dirumuskan secara lebih baik dan untuk

memberi pedoman kepada pembuat undang-undang, pengadilan yang menerapkan

undang-undang dan kepada para pelaksana putusan pengadilan.53 A. Mulder

mengemukakan secara rinci tentang runag lingkup politik hukum pidana yang

menurutnya bahwa politik hukum pidana adalah garis kebijakan untuk

menentukan:54

4. Seberapa jauh ketentuan-ketentuan pidana yang berlaku perlu dilakukan

perubahan atau diperbaharui;

5. Apa yang dapat diperbuat untuk mencegah terjadinya kejahatan;

6. Cara bagaimana penyidikan, penuntutan, peradilan dan pelaksanaan

pidana harus dilaksanakan.

Defenisi Mulder di atas bertolak dari pengertian “sistem hukum pidana”

menurut Marc Ancel yang menyatakan, bahwa tiap masyarakat yang terorganisir

memiliki sistem hukum pidana yang terdiri dari: (a) peraturan-peraturan hukum

pidana dan sanksinya, (b) suatu prosedur hukum pidana, dan (c) suatu mekanisme

pelaksanaan pidana.55.

Usaha dan kebijakan untuk membuat peraturan hukum pidana yang baik

pada hakekatnya tidak dapat dilepaskan dari tujuan penanggulangan kejahatan.

Jadi kebijakan atau politik hukum pidana juga merupakan bagian dari politik

kriminal. Dengan perkataan lain, dilihat dari sudut politik kriminal, maka politik

      

53 M. Hamdan, 1997,

Politik Hukum Pidana, Raja Grafindo Persada, Jakarta, hlm. 20.

54 Barda Nawawi Arief

, Op. Cit., hlm. 23-24.  55

(40)

hukum pidana identik dengan pengertian “kebijakan penanggulangan kejahatan

dengan hukum pidana”.56

Upaya penanggulangan kejahatan dengan hukum pidana pada hakekatnya

juga merupakan bagian dari usaha penegakan hukum (khususnya penegakan

hukum pidana). Politik atau kebijakan hukum pidana dapat dikatakan merupakan

bagian dari kebijakan penegakan hukum (law enforcement policy). Di samping

itu, usaha penanggulangan kejahatan lewat pembuatan undang-undang (hukum)

pidana pada hakekatnya juga merupakan bagian integral dari usaha perlindungan

masyarakat (social welfare). Kebijakan hukum pidana menjadi sangat wajar bila

merupakan bagian integral dari kebijakan atau politik sosial (social policy).

Kebijakan sosial (social policy) dapat diartikan sebagai segala usaha yang rasional

untuk mencapai kesejahteraan masyarakat dan sekaligus mencakup perlindungan

masyarakat. Ini berarti pengertian social policy telah mencakup social welfare

policy dan social defence policy.57

Berdasarkan dimensi di atas, kebijakan hukum pidana pada hakekatnya

merupakan usaha untuk mewujudkan peraturan perundang-undangan pidana

sesuai dengan keadaan pada waktu tertentu (ius constitutum) dan masa mendatang

(ius constituendum). Konsekuensi logisnya, kebijakan hukum pidana identik

dengan penal reform dalam arti sempit, karena sebagai suatu sistem, hukum

terdiri dari budaya (cultural), struktur (structural), dan substansi (substantive)

hukum. Undang-undang merupakan bagian dari substansi hukum, pembaharuan

      

56  Ibid.

57

(41)

hukum pidana, disamping memperbaharui perundang-undangan, juga mencakup

pembaharuan ide dasar dan ilmu hukum pidana.58

Pada hakekatnya, kebijakan hukum pidana (penal policy, criminal policy,

atau strafrechtpolitiek) merupakan proses penegakan hukum pidana secara

menyeluruh atau total. Menurut Wisnubroto, kebijakan hukum pidana merupakan

tindakan yang berhubungan dalam hal-hal:59

a. Bagaimana upaya pemerintah untuk menanggulangi kejahatan dengan

hukum pidana;

b. Bagaimana merumuskan hukum pidana agar dapat sesuai dengan kondisi

masyarakat;

c. Bagaimana kebijakan pemerintah untuk mengatur masyarakat dengan

hukum pidana;

d. Bagaimana menggunakan hukum pidana untuk mengatur masyarakat

dalam rangka mencapai tujuan yang lebih besar.

Berdasarkan pengertian politik hukum pidana yang dikemukakan di atas,

baik oleh A. Mulder maupun yang lain, maka ruang lingkup kebijakan hukum

pidana ini sesungguhnya meliputi masalah yang cukup luas, yaitu meliputi

evaluasi terhadap substansi hukum pidana yang berlaku saat ini untuk

pembaharuan substansi hukum pidana pada masa yang akan datang, dan

bagaimana penerapan hukum pidana ini melalui komponen Sistem Peradilan

Pidana, serta yang tidak kalah pentingnya adalah upaya pencegahan terhadap

kejahatan. Upaya pencegahan ini berarti bahwa hukum pidana juga harus menjadi       

58 Lilik Mulyadi, 2008,

Bunga Rampai Hukum Pidana: Perspektif, Teoretis, dan Praktik,

PT Alumni, Bandung, hlm. 390.

59

(42)

salah satu instrumen pencegah kemungkinan terjadinya kejahatan. Ini juga berarti

bahwa penerapan hukum pidana harus mempunyai pengaruh yang efektif untuk

mencegah sebelum suatu kejahatan terjadi.60

Berkaitan dengan persoalan yang terakhir ini, maka ada satu pertanyaan

yang krusial yang dapat dimunculkan yaitu, mungkinkah pemidanaan dapat

dijadikan instrumen pencegahan kejahatan?. Persoalan ini muncul karena selama

ini banyak anggapan bahwa pemidanaan bukan mengurangi terjadinya kejahatan,

tetapi justru menambah dan membuat kejahatan semakin marak terjadi. Protes ini

ditujukan kepada gagalnya lembaga pemasyarakatan yang seharusnya berfungsi

untuk mengintegrasi narapidana dengan kehidupan sosial, tetapi justru lembaga

pemasyarakatan menjadi sekolah belajar bagaimana meningkatkan kualitas

kejahatan. Dengan kata lain lembaga pemasyarakatan telah menjadi sekolah

kejahatan (school crime).61

Upaya mencari jawaban atas persoalan dia atas, maka pembahasan harus

diarahkan untuk mengungkap secara philosopis apa tujuan sesungguhnya

pemidanaan. Alasan philosopis pemidanaan sangat penting untuk mencari arah

kemana nantinya kebijakan hukum pidana diarahkan. Tanpa itu semua, maka

substansi hukum pidana dan penerapannya akan tercerabut dari akar nilai-nilai

philosopis dan akan menjadi hukum pidana yang kering serta tidak menyentuh

nilai rasa kemanusiaan yang hidup dalam masyarakat.62

      

60

Mahmud Mulyadi, Op.Cit., 67.

61  Ibid.   62

(43)

Usaha menemukan alasan philosopis tujuan hukum pidana ini, maka akan

membawa kita pada pengembaraan secara imaginer dalam alur sejarah pidana dan

pemidanaan dari sejak zaman pidana klasik sampai pada perkembangan hukum

saat ini. Pembahasan tentang tujuan pemidanaan ini dapat diuraikan berdasarkan

teori absolut, relatif, teori gabungan, treatment dan social defence.63

a. Teori Retributif (Teori Absolut)

Teori absolut atau teori retributif atau dikenal juga dengan teori

pembalasan (vergerlingstheori). Tokoh Teori Retributif adalah Immanuel Kant

(1724-1804) dan Hegel (1770-1831). Teori retributif melegitimasi pemidanaan

sebagai sarana pembalasan atas kejahatan yang telah dilakukan seseorang.

Kejahatan dipandang sebagai perbuatan yang amoral dan asusila di dalam

masyarakat, oleh karena itu pelaku kejahatan harus dibalas dengan menjatuhkan

pidana. Tujuan pemidanaan dilepaskan dari tujuan apapun, sehingga pemidanaan

hanya mempunyai satu tujuan, yaitu pembalasan.64

Tindakan pembalasan ini dilandaskan pada pemikiran bahwa setiap

individu bertanggung jawab dan mempunyai kebebasan penuh secara rasional

dalam mengambil keputusan. Sedangkan dasar pemikiran secara politik

disandarkan bahwa setiap individu berhak atas penghargaan dan harga diri yang

sama. Seorang pelaku kejahatan dalam kondisi ini tidak kehilangan haknya atas

penghukuman tersebut, dan mempunyai hak untuk tidak dihukum secara tidak

proporsional terhadap kejahatan yang dilakukannya. Proporsional merupakan

      

63

 Ibid.,hlm. 68. 

64 Mahmud Mulyadi, Feri Antoni Surbakti, 2010,

Politik Hukum Pidana Terhadap kejahatan Korporasi, , PT Softmedia, Medan, hlm. 93.

(44)

kunci dari konsep teori pembalasan setimpal. Ukuran yang utama dari

proporsionalitas ini adalah semua ukuran dari tingkatan pemidanaan ini tidak

boleh melewati batas secara kesesuaian dengan keseriusan suatu perbuatan.65

Kant melihat dalam pemidanaan terdapat suatu “imperatif kategoris”, yang

merupakan tuntutan mutlak dipidananya seseorang karena telah melakukan

kejahatan. Sedangkan Hegel memandang bahwa pemidanaan adalah hak dari

pelaku kejahatan atas perbuatan yang dilakukannya berdasarkan kemauannya

sendiri. Hal ini seperti yang dikemukakan oleh Hegel:66

Punishment is the right of criminal. It is an act of his own will. The violation of right has been proclaimed by the criminal as his own right. His crime is the negation of right. Punishment is the negation of his negation, and, consequently an affirmation of right, solicited and farced upon the criminal by him self.”

Duff dan Garland memaparkan bahwa paham retributif ini dalam teori

normatif tentang pemidanaan disebut juga sebagai non-consequentialist.

Sedangkan teori relatif atau utilitarian disebut consequentialist. Paham

non-consequentialist menuntut dengan tegas bahwa suatu perbuatan, apakah itu benar atau salah, hakikatnya terletak pada hati nurani seseorang, dan bersifat bebas dari

konsekuensinya. Hal ini dijelaskan secara tegas oleh tuntutan penganut retributif

bahwa yang bersalah dan hanya yang bersalah yang berhak untuk mendapat

pidana, serta pembenaran pemidanaan ini terletak pada timbulnya penderitaan

yang pantas pada orang bersalah tersebut.67

Nigel Walker mengemukakan bahwa alitran retributif ini terbagi menjadi

dua macam, yaitu nteori retributif murni dan teori retributif tidak murni.       

65  Ibid. 

66 Mahmud Mulyadi, Criminal Policy,

Op. Cit. hlm. 70.    67

(45)

Retributivist murni menyatakan bahwa pidana yang dijatuhkan harus sepadan

dengan kesalahan pelaku. Sedangkan Retributivist yang tidak murni dapat dibagi

menjadi menjadi dua golongan, yaitu:68

1. Retributivist terbatas (the limitating retributivist), yang berpendapat bahwa pidana tidak harus cocok atau sepadan dengan kesalahan si pelaku,

akan tetapi pidana yang dijatuhkan tidak boleh melebihi batas-batas yang

sepadan dengan kesalahan si pelaku;

2. Retributivist yang distribusi (retribution in distribution), yang berpandangan bahwa sanksi pidana dirancang sebagai pembalasan

terhadap si pelaku kejahatan, namun beratnya sanksi harus didistribusikan

kepada pelaku yang bersalah.

Berdasarkan pembagian aliran retributif di atas, maka hanya the pure

retributivist yang mengemukakan dasar pembenaran dijatuhkannya pidana. Oleh

karena itu golongan ini disebut juga “punisher” atau penganut teori pemidanaan.

Sedangkan penganut golongan lainnya tidak mengajukan alasan-alasan untuk

pengenaan pidana, melainkan mengajukan dasar-dasar pembatasan pidana. Paham

retributif yang tidak murni lebih dekat dengan paham non-retributif. Kebanyakan

KUHP disusun berdasarkan paham non-retributif yang the limitating retributivist

yaitu dengan menetapkan pidana maksimum sebagai batas atas, tanpa mewajibkan

pengadilan untuk mengenakan batasan maksimum tersebut.69

      

68 

Ibid. hlm. 70-71.

69

(46)

Penjatuhan pidana kepada pelaku kejahatan dalam teori retributif ini,

menurut Romli Atmasasmita mempunyai sandaran pembenaran sebagai berikut:70

1. Dijatuhkan pidana akan memuaskan perasaan balas dendam si korban,

baik perasaan adil bagi dirinya, temannya, maupun keluarganya. Perasaan

ini tidak dapat dihindari dan tidak dapat dijadikan alasan untuk menuduh

tidak menghargai hukum. Tipe aliran retributif ini disebut vindicative;

2. Penjatuhan pidana dimaksudkan sebagai peringatan kepada pelaku

kejahatan dan anggota masyarakat yang lainnya bahwa setipa perbuatan

yang merugikan orang lain secara tidak wajar, maka akan menerima

ganjarannya. Tipe aliran retributif ini disebut fairness;

3. Pidana dimaksudkan untuk menunjukkan adanya kesebandingan antara

beratnya suatu pelanggaran dengan pidana yang dijatuhkan. Tipe aliran

retributif ini disebut proportionality.

b. Teori Deterrence (Teori Relatif)

Teori Deterrence berakar dari aliran klasik tentang pemidanaan, dengan

dua orang tokoh utamanya, yaitu Cessare Beccaria (1738-1794) dan Jeremy

Bentham (1748-1832). Beccaria menegaskan dalam bukunya yang berjudul dei

Delitti e Delle Pene (1764) bahwa tujuan pemidanaan adalah untuk mencegah seseorang supaya tidak melakukan kejahatan, dan bukan sebagai sarana

pembalasan masyarakat.71

      

70  Ibid.  71

(47)

Christiansen juga memberikan rincian ciri-ciri teori relatif ini sebagai

berikut:72

1. Tujuan pemidanaan adalah untuk pencegahan;

2. Pencegahan ini bukanlah tujuan akhir (final aim), tetapi merupakan sarana

untuk mencapai tujuan yang lebih tinggi lagi, yaitu kesejahteraan

masyarakat (social welfare);

3. Hanya pelanggaran-pelanggaran hukum yang dapat dipersalahkan kepada

pelaku kejahatan, berupa kesengajaan atau kelalaian, sebagai syarat untuk

dijatuhkannya pidana;

4. Penjatuhan pidana harus ditetapkan dengan tujuannya sebagai alat atau

sarana untuk pencegahan kejahatan.

Terminologi “deterrence” menurut Zimring dan Hawkins, digunakan lebih

terbatas pada penerapan hukuman pada suatu kasus, dimana ancaman pemidanaan

tersebut membuat seseorang merasa takut dan menahan diri untuk melakukan

kejahatan. Namun “the net deterrence effect” dari ancaman secara khusus kepada

seseorang ini dapat juga menjadi ancaman bagi seluruh masyarakat untuk tidak

melakukan kejahatan.73

Nigel Walker menamakan aliran ini sebagai paham reduktif (reductivism)

karena dasar pembenaran dijatuhkannya pidana dalam pandangan aliran ini adalah

untuk mengurangi frekuensi kejahatan (… the justification for penalizing offences

is that this reduces their frequency). Penganut reductivism meyakini bahwa

      

72 Bahan-bahan kuliah Politik Hukum Pidana Fakultas Hukum USU tahun 2011.   73

(48)

pemidanaan dapat mengurangi pelanggaran melalui satu atau beberapa cara

berikut ini:74

1. Pencegahan terhadap pelaku kejahatan (deterring the offender), yaitu

membujuk si pelaku untuk menahan diri atau tidak melakukan

pelanggaran hukum kembali melalui ingatan mereka terhadap pidana yang

dijatuhkan;

2. Pencegahan terhadap pelaku yang potensial (deterring potential imitators),

dalam hal ini memberikan rasa takut kepada orang lain yang potensial

untuk melakukan kejahatan dengan melihat contoh pidana yang telah

dijatuhkan kepada si pelaku sehingga mendatangkan rasa takut akan

kemungkinan dijatuhkan pidana kepadanya;

3. Perbaikan si pelaku (reforming the offender), yaitu memperbaiki tingkah

laku si pelaku sehingga muncul kesadaran si pelaku untuk cenderung tidak

melakukan kejahatan lagi walaupun tanpa adanya rasa ketakutan dari

ancaman pidana;

4. Mendidik masyarakat supaya lebih serius memikirkan terjadinya

kejahatan, sehingga dengan cara ini, secara tidak langsung dapat

mengurangi frekuensi kejahatan;

5. Melindungi masyarakat (protecting the public), melalui pidana penjara

yang cukup lama.

Tujuan pemidanaan sebagai deterrence effect ini, dapat dibagi menjadi

pencegahan umum (general deterrence) dan pencegahan khusus (individual or

      

74

(49)

special deterrence), sebagaimana yang dikemukakan oleh Bentham bahwa: “determent is equally applicable to the situation of the already-punished delinquent and that of other persons at large, distinguishes “particular prevention which applies to the delinquent himself; and general prevention which is applicable to all members of the community without exception.”75

General prevention menurut T. Mathiesen merupakan sarana komunikasi yang berupa pesan dari negara sebagai pemegang otoritas untuk menjatuhkan

pemidanaan kepada masyarakat. Pesan ini terdiri dari: “(1) Punishment is a

massage which in

Referensi

Dokumen terkait

“Barangsiapa dengan sengaja mengedarkan mata uang atau uang kertas yang dikeluarkan oleh negara atau bank sebagai mata uang atau uang kertas asli dan tidak dipalsu,

Dari hasil penelitian dapat diketahui bahwa faktor penyebab terjadinya tindak pidana narkotika di sumatera utara pada umumnya karena faktor ekonomi yang sulit dalam memenuhi

karena dalam hal pembuktian terbalik si pelaku akan menemui kesulitan untuk menjelaskan bahwa dia tidak terlibat dalam kejahatan atau membuktikan bahwa harta

maupun "pengguna" kebijakan legislasi sistem perumusan jenis sanksi pidana (strafsoort) mempergunakan sistem perumusan altematif, kumulatif dan

Diancam karena penadahan ringan, dengan pidana penjara paling lama tiga bulan atau denda paling banyak enam puluh rupiah, jika kejahatan dari mana benda diperoleh adalah

Perbuatan yang tanpa hak atau melawan hukum menggunakan Narkotika Golongan I terhadap orang lain atau memberikan Narkotika Golongan I untuk digunakan orang

“Barangsiapa dengan sengaja mengedarkan mata uang atau uang kertas yang dikeluarkan oleh negara atau bank sebagai mata uang atau uang kertas asli dan tidak dipalsu,

- Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji padahal diketahui atau patut diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji