KEBIJAKAN PENEGAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP
TINDAK PIDANA NARKOTIKA (STUDI DI POLDA SUMUT)
TESIS
Oleh
LIDYA CAROLINA SITEPU 097005011/HK
PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
KEBIJAKAN PENEGAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP
TINDAK PIDANA NARKOTIKA (STUDI DI POLDA SUMUT)
TESIS
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Magister Hukum Dalam Program Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara
Oleh
LIDYA CAROLINA SITEPU 097005011/HK
PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
JUDUL TESIS : KEBIJAKAN PENEGAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP TINDAK PIDANA NARKOTIKA (STUDI DI POLDA SUMUT)
NAMA MAHASISWA : Lidya Carolina Sitepu
NOMOR POKOK : 097005011
PROGRAM STUDI : Ilmu Hukum
Menyetujui Komisi Pembimbing
(Prof. Dr. Syafruddin Kalo, S.H., M.Hum) K e t u a
(Dr. Mahmud Mulyadi, S.H., M.Hum) (Dr. Marlina, S.H., M.Hum) Anggota Anggota
Ketua Program Studi Dekan
(Prof. Dr. Suhaidi, S.H., MH) (Prof. Dr. Runtung, S.H., M.Hum)
Telah diuji pada
Tanggal 12 Agustus 2011
PANITIA PENGUJI TESIS
Ketua : Prof. Dr. Syafruddin Kalo, SH, M.Hum
Anggota : 1. Dr. Mahmud Mulyadi, SH, M.Hum
2. Dr. Marlina, SH, M.Hum
3. Dr. Madiasa Ablisar, SH, MS
ABSTRAK
Jumlah kasus dan tersangka tindak pidana narkotika di Sumatera Utara Tahun 2007 sampai dengan Mei 2011 adanya 12.273 kasus dengan 16.847 tersangka. Meningkatnya tindak pidana narkotika ini pada umumnya disebabkan dua hal, yaitu: pertama, bagi para pengedar menjanjikan keuntungan yang lebih besar, sedangkan bagi para pemakai menjanjikan ketentraman dan ketenangan hidup, sehingga beban psikis yang dialami dapat dihilangkan. Kedua, janji yang diberikan narkotika itu menyebabkan rasa takut terhadap resiko tertangkap menjadi berkurang, bahkan sebaliknya akan menimbulkan rasa keberanian. Dampak negatif dari narkotika tidak hanya menjangkau pengguna secara individu saja, tetapi juga generasi muda penerus bangsa dan bernegara. Permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini yaitu apakah yang menjadi faktor-faktor terjadinya tindak pidana narkotika di Sumatera Utara, bagaimanakah kebijakan penegakan hukum pidana terhadap tindak pidana narkotika.
Menjawab permasalahan diatas, maka penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif dan yuridis sosiologis. Jenis data yang digunakan adalah data primer yang diperoleh melalui studi lapangan dan data sekunder yang diperoleh melalui studi pustaka. Informan dalam penelitian ini terdiri atas petugas kepolisian besar daerah sumatera utara dan narapidana lembaga pemasyarakatan tanjung gusta medan. Keseluruhan data dianalisis secara kualitatif dengan menggunakan penulisan deskriptif analitis.
Dari hasil penelitian dapat diketahui bahwa faktor penyebab terjadinya tindak pidana narkotika di sumatera utara pada umumnya karena faktor ekonomi yang sulit dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari yang menyebabkan napi tersebut menjual narkotika dengan mendapatkan keuntungan yang lebih besar, selain itu karena faktor keluarga yang mendidik dengan keras dari kecil, dan kurangnya kasih sayang yang didapatkan dan faktor lain dikarena rasa keingintahuan/coba-coba dalam memakai narkotika, dari rasa coba-coba napi tersebut menjadi pecandu dikarenakan untuk mendapatkan inspirasi dalam membuat lagu.
Kebijakan Penegakan Hukum Pidana terhadap Tindak Pidana Narkotika diatur dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Upaya penegakan hukum yang dilakukan oleh penyidik kepolisian dalam memberantas tindak pidana narkotika dimulai dari observasi, pembuntutan, pembelian terselubung, dan penyerahan yang diawasi. Peran polisi dalam penanggulangan tindak pidana narkotika dilakukan dengan penanggulangan preventif dilakukan dengan mengadakan penyuluhan kepada masyarakat, baik itu anak sekolah, orang tua, maupun pemuka masyarakat serta pemuka agama akan bahayanya narkotika. Penanggulangan bersifat represif merupakan upaya penindakan dan penegakan hukum dengan memberikan sanksi pidana maka dapat membuat jera pelaku tindak pidana narkotika. Upaya tersebut berupa penghancuran jaringan utama peredaran gelap, pengembangan teknik control delevery (penyerahan yang diawasi).
ABSTRACT
There were 12.273 cases and 16.847 suspects of narcotics in Sumatera Utara from 2007 to May 2011. This increasing number of narcotics-related criminal acts, in general, are caused by two things: first, to the dealers, narcotics promises them a bigger benefit, while to the users, narcotics promises them a calm and peaceful life that they can free themselves from the psychological problem they are having; second, the promise given by the narcotics lessens their fear of getting arrested, it can even make them more fearless. The negative impact of narcotics is not only experienced by the user individually, but also all of our young generation. The research problems discussed in this study were what factors did initiate the incident of the narcotics-related criminal act in Sumatera Utara and how the criminal law policy was implemented in coping with the narcotics-related criminal act.
To answer the research problems above, this study employed normative juridical and sociological juridical approaches. The data used in this study were primary data obtained through field research and secondary data obtained through library research. The informants for this study were the police officers from Sumatera Utara Police Department and the convicted criminal in Tanjung Gusta Penitentiary, Medan. All of the data obtained were qualitatively analyzed by means of analytical descriptive writing.
The result of this study showed that, in general, the causal factors of the incident of the narcotics-related criminal act in Sumatera Utara were the economic factor – it was very difficult for them to meet their daily necessity that they sold narcotics to get bigger benefit, and the family factor – when they were kids, they were very strictly educated by their parents so they felt that they did not get love and affection from their parents, and the factor of curiosity – because of their curiosity, they tried to consume the narcotics to get some inspiration in writing song then they became addicted to it.
The policy on Criminal Law Reinforcement towards the Narcotics-Related Criminal Act is regulated in Law No.35/2009 on Narcotics. The attempt of law upholding done by the police investigating officers in eliminating the narcotics-related criminal act started with observation, survelaince, undercover buy, and controlled delivery. The role of police officers in coping with the narcotics-related criminal act was done preventively by providing extension on the danger of narcotics to the community members such as students, parents, public figures, and religious leaders. Repressive action was conducted by giving criminal sanction that can make the criminals learn from what they have done. This attempt was done in the form of destroying the main network of illegal distribution and developing the controlled delivery technique.
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis haturkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena
hanya dengan rahmat dan kasihNya, saya sebagai penulis dapat menyelesaikan
penulisan tesis yang berjudul Kebijakan Penegakan Hukum Pidana Terhadap
Tindak Pidana Narkotika (Studi di Polda Sumut).Tesis ini merupakan salah satu
syarat yang harus dipenuhi untuk menyelesaikan Program Studi Magister Ilmu
Hukum Sekolah Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara. Penulisan tesis ini masih
kurang sempurna, dan dengan segala keterbatasan, penulis berharap kiranya
penelitian ini dapat bermanfaat bagi penulis dan bagi pembaca sekalian.
Penulis yakin dengan pepatah yang mengatakan “tiada gading yang tak retak”
artinya bahwa tiada manusia yang luput dari kesalahan yang diperbuatnya, oleh
karena itu penulis akan dengan senang hati menerima saran dan kritikan yang bersifat
konstruktif dan edukatif demi kesempurnaan penulisan tesis yang penulis buat ini.
Didalam hal pembuatan tesis ini penulis yakin tidak akan terselesaikan begitu
saja tanpa adanya arahan, bimbingan, dorongan, motivasi dari orang-orang yang ada
disekitar penulis, baik yang bersifat moril ataupun materil. Oleh karena itu pada
kesempatan yang baik ini, perkenankanlah dengan segala kerendahan hati penulis
menghaturkan rasa terima kasih secara khusus kepada yang terhormat:
1. Bapak, Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, MSc, (CTM), SP.A(K),selaku
Rektor atas kesempatan menjadi mahasiswi pada Program Studi Magister Ilmu
2. Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu, SH, M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara atas kesempatan menjadi mahasiswi pada Program
Studi Magister Ilmu Hukum Sekolah Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara.
3. Bapak Prof. Dr. Suhaidi, SH, MH, selaku Direktur Sekolah Pasca Sarjana
Universitas Sumatera Utara atas kesempatan yang telah diberikan untuk
menyelesaikan pendidikan Program Studi Magister Ilmu Hukum Sekolah Pasca
Sarjana Universitas Sumatera Utara.
4. Bapak Prof. Syafruddin Kalo, SH, M.Hum, selaku Komisi Pembimbing Utama
Penulis.
5. Bapak Dr. Mahmud Mulyadi, SH, M.Hum selaku Komisi Pembimbing Kedua
Penulis.
6. Ibu Dr. Marlina, SH, M.Hum selaku Komisi Pembimbing Ketiga Penulis.
7. Bapak Dr. Madiasa Ablisar, SH, MS selaku Komisi Penguji Penulis.
8. Bapak Syafruddin S. Hasibuan, SH, MH, DFM selaku Komisi Penguji Penulis.
Yang telah banyak membantu penulis dengan memberikan arahan, bimbingan,
petunjuk dan dorongan semangat serta motivasi untuk kesempurnaan penulisan ini
hingga bisa terselesaikan. Atas segala bantuan tersebut, penulis berdoa kepada Tuhan
Yang Maha Kuasa agar para pembimbing dan para penguji penulis senantiasa
mendapat lindungan, rahmat, hidayah dan kasihNya dan senantiasa mendapatkan
kebahagiaan di dunia dalam menjalani kehidupan serta pengabdian tugasnya sebagai
kalangan akademisi dan di akhirat kelak.
1. Ayahanda tercinta Kompol M. Sitepu dan Ibunda terkasih M.D Bangun. Dengan
segenap jiwa dan lembut kasih sayangnya yang telah mengimaniku dengan
kasihNya, mengajarkanku setiap hal terbaik, memberiku kasih terkuat dan jiwa
yang besar saatku jatuh lalu berdiri tegar, dan menuntun penulis menyongsong
masa depan yang lebih baik. Merekalah yang telah menghantarkan penulis dalam
usaha mencapai kemantapan hidup guna menjadi putri kebanggaan. Oleh karena
itu penulis berdoa semoga Tuhan Yang Maha Kuasa senantiasa memberikan
perlindunganNya, memberikan kebahagiaan, kesehatan serta umur yang panjang.
2. Abang-abang tercinta dr. Franky Hadinata Sitepu dan Fredy Widi Asmara Sitepu,
ST dan adik tercinta Bram Aditya Sitepu yang telah mendoakan penulis dalam
menyelesaikan studi pada Program Studi Magister Ilmu Hukum, semoga
senantiasa dalam lindungan Tuhan Yang Maha Kuasa dan senantiasa dimudahkan
segala cita-citanya.
3. Bapak Kabag Analis Direktorat Narkoba Polda Sumut, AKBP K.A.M Sinambela,
dan Bapak Kompol J. Silaban yang telah memberikan kesempatan kepada penulis
untuk melakukan penelitian di Satuan Narkoba Polda Sumut.
4. Bapak Kepala Bidang Pembinaan Lembaga Pemasyarakatan Kelas IA Tanjung
Gusta Medan, serta informan yang bersedia diwawancara serta membantu untuk
penyelesaian tesis ini.
5. Para Dosen dan Staff Program Studi Magister Ilmu Hukum Sekolah Pasca Sarjana
6. Sahabat dan rekan-rekan mahasiswa seperjuangan Nancy Yosepin Simbolon, SH,
MH terimakasih buat kebersamaannya selama ini dan terimakasih juga buat
tumpangannya dengan si fero yang setia menemani penelitian ke lembaga,
Ramadhan Putra Gayo terimakasih telah menemani selama melakukan penelitian
ke lembaga, Melita Berlina Meliala, SH, MH terimakasih buat kebersamaannya
mulai dari kuliah di Palembang sampai kuliah di Medan. Mughni Sulubara, SH,
MH, Irma Atika Rangkuti, SH, MH, Reka Elvina Gulo, Agus Pratama terimakasih
teman-teman buat kebersamaannya selama ini. Rina Consela, Cornelius
Sembiring, Benny Capah, Rony Marbun terimakasih teman-teman buat
dukungannya.
Penulis menyadari tesis ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu,
kritik dan saran sangat diharapkan guna kesempurnaan tesis ini di masa yang akan
datang. Semoga tesis ini bermanfaat dan memberikan kontribusi yang berarti bagi
pengembangan ilmu hukum khususnya hukum pidana.
Medan, Agustus 2011
Penulis
RIWAYAT HIDUP
Nama : Lidya Carolina Sitepu
Tempat/Tanggal Lahir : Medan, 30 April 1986
Jenis kelamin : Perempuan
Agama : Protestan
Pendidikan : 1. SD Swasta Methodist Berastagi,Lulus Tahun 1998
2. SMP Negeri 1 Berastagi, Lulus Tahun 2001
3. SMU Negeri 2 Kabanjahe, Lulus Tahun 2004
4. Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya,Lulus Tahun
2008
5. Program Studi Magister Ilmu Hukum Universitas
DAFTAR ISI
ABSTRAK... i
ABSTRACT... ii
KATA PENGANTAR... iii
RIWAYAT HIDUP... vii
DAFTAR ISI... viii
DAFTAR TABEL ... x
BAB I : PENDAHULUAN... 1
A.Latar Belakang... 1
B.Perumusan Masalah... 10
C.Tujuan Penelitian... 10
D.Manfaat Penelitian... 10
E. Keaslian Penelitian... 11
F. Kerangka Teori dan Konsep... 11
1. Kerangka Teori... 11
2. Kerangka Konsep... 15
G. Metode Penelitian... 20
1. Jenis Penelitian... 20
2. Sumber Data... 21
3. Teknik Pengumpulan Data... 23
4. Analisis Data... 23
BAB II : FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB TINDAK PIDANA NARKOTIKA... 24
A.Kajian Kriminologi Penyebab Terjadinya Kejahatan... 24
1. Teori yang menjelaskan kejahatan dari perspektif biologis... 25
B.Faktor-Faktor Penyebab Terjadinya Tindak Pidana Narkotika... 34
1. Faktor Internal Pelaku... 34
2. Faktor Eksternal Pelaku... 36
C.Bahaya dan Akibat Penyalahgunaan Narkotika... 43
BAB III : KEBIJAKAN PENEGAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP TINDAK PIDANA NARKOTIKA... 52
A.Pengaturan Hukum Terhadap Tindak Pidana Narkotika... 52
1. Ketentuan Pidana Terhadap Tindak Pidana Narkotika... 59
2. Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Tindak Pidana Narkotika 63 B.Penegakan Hukum Pidana Terhadap Tindak Pidana Narkotika 72 1. Penerapan Hukum Pidana... 72
2. Peran Polri dalam Penanggulangan Tindak Pidana Narkotika 75
3. Peran Orang Tua, Sekolah (Perguruan Tinggi), Masyarakat, Pemerintah dalam Penanggulangan Tindak Pidana Narkotika 95
BAB IV : KESIMPULAN DAN SARAN... 102
A.Kesimpulan... 102
B.Saran... 103
DAFTAR TABEL
Tabel 1 : Jumlah Kasus dan Tersangka Tindak Pidana Narkotika
Di Sumatera Utara Tahun 2007 sampai dengan Mei 2011... 6
Tabel 2 : Data Tersangka Tindak Pidana Narkotika Menurut Umur Pelaku
Di Sumatera Utara Tahun 2007 sampai Bulan Mei 2011... 7
Tabel 3 : Data Tersangka Tindak Pidana Narkotika di Sumatera Utara
ABSTRAK
Jumlah kasus dan tersangka tindak pidana narkotika di Sumatera Utara Tahun 2007 sampai dengan Mei 2011 adanya 12.273 kasus dengan 16.847 tersangka. Meningkatnya tindak pidana narkotika ini pada umumnya disebabkan dua hal, yaitu: pertama, bagi para pengedar menjanjikan keuntungan yang lebih besar, sedangkan bagi para pemakai menjanjikan ketentraman dan ketenangan hidup, sehingga beban psikis yang dialami dapat dihilangkan. Kedua, janji yang diberikan narkotika itu menyebabkan rasa takut terhadap resiko tertangkap menjadi berkurang, bahkan sebaliknya akan menimbulkan rasa keberanian. Dampak negatif dari narkotika tidak hanya menjangkau pengguna secara individu saja, tetapi juga generasi muda penerus bangsa dan bernegara. Permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini yaitu apakah yang menjadi faktor-faktor terjadinya tindak pidana narkotika di Sumatera Utara, bagaimanakah kebijakan penegakan hukum pidana terhadap tindak pidana narkotika.
Menjawab permasalahan diatas, maka penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif dan yuridis sosiologis. Jenis data yang digunakan adalah data primer yang diperoleh melalui studi lapangan dan data sekunder yang diperoleh melalui studi pustaka. Informan dalam penelitian ini terdiri atas petugas kepolisian besar daerah sumatera utara dan narapidana lembaga pemasyarakatan tanjung gusta medan. Keseluruhan data dianalisis secara kualitatif dengan menggunakan penulisan deskriptif analitis.
Dari hasil penelitian dapat diketahui bahwa faktor penyebab terjadinya tindak pidana narkotika di sumatera utara pada umumnya karena faktor ekonomi yang sulit dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari yang menyebabkan napi tersebut menjual narkotika dengan mendapatkan keuntungan yang lebih besar, selain itu karena faktor keluarga yang mendidik dengan keras dari kecil, dan kurangnya kasih sayang yang didapatkan dan faktor lain dikarena rasa keingintahuan/coba-coba dalam memakai narkotika, dari rasa coba-coba napi tersebut menjadi pecandu dikarenakan untuk mendapatkan inspirasi dalam membuat lagu.
Kebijakan Penegakan Hukum Pidana terhadap Tindak Pidana Narkotika diatur dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Upaya penegakan hukum yang dilakukan oleh penyidik kepolisian dalam memberantas tindak pidana narkotika dimulai dari observasi, pembuntutan, pembelian terselubung, dan penyerahan yang diawasi. Peran polisi dalam penanggulangan tindak pidana narkotika dilakukan dengan penanggulangan preventif dilakukan dengan mengadakan penyuluhan kepada masyarakat, baik itu anak sekolah, orang tua, maupun pemuka masyarakat serta pemuka agama akan bahayanya narkotika. Penanggulangan bersifat represif merupakan upaya penindakan dan penegakan hukum dengan memberikan sanksi pidana maka dapat membuat jera pelaku tindak pidana narkotika. Upaya tersebut berupa penghancuran jaringan utama peredaran gelap, pengembangan teknik control delevery (penyerahan yang diawasi).
ABSTRACT
There were 12.273 cases and 16.847 suspects of narcotics in Sumatera Utara from 2007 to May 2011. This increasing number of narcotics-related criminal acts, in general, are caused by two things: first, to the dealers, narcotics promises them a bigger benefit, while to the users, narcotics promises them a calm and peaceful life that they can free themselves from the psychological problem they are having; second, the promise given by the narcotics lessens their fear of getting arrested, it can even make them more fearless. The negative impact of narcotics is not only experienced by the user individually, but also all of our young generation. The research problems discussed in this study were what factors did initiate the incident of the narcotics-related criminal act in Sumatera Utara and how the criminal law policy was implemented in coping with the narcotics-related criminal act.
To answer the research problems above, this study employed normative juridical and sociological juridical approaches. The data used in this study were primary data obtained through field research and secondary data obtained through library research. The informants for this study were the police officers from Sumatera Utara Police Department and the convicted criminal in Tanjung Gusta Penitentiary, Medan. All of the data obtained were qualitatively analyzed by means of analytical descriptive writing.
The result of this study showed that, in general, the causal factors of the incident of the narcotics-related criminal act in Sumatera Utara were the economic factor – it was very difficult for them to meet their daily necessity that they sold narcotics to get bigger benefit, and the family factor – when they were kids, they were very strictly educated by their parents so they felt that they did not get love and affection from their parents, and the factor of curiosity – because of their curiosity, they tried to consume the narcotics to get some inspiration in writing song then they became addicted to it.
The policy on Criminal Law Reinforcement towards the Narcotics-Related Criminal Act is regulated in Law No.35/2009 on Narcotics. The attempt of law upholding done by the police investigating officers in eliminating the narcotics-related criminal act started with observation, survelaince, undercover buy, and controlled delivery. The role of police officers in coping with the narcotics-related criminal act was done preventively by providing extension on the danger of narcotics to the community members such as students, parents, public figures, and religious leaders. Repressive action was conducted by giving criminal sanction that can make the criminals learn from what they have done. This attempt was done in the form of destroying the main network of illegal distribution and developing the controlled delivery technique.
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman,
baik sintetis maupun semisintetis, yang dapat menyebabkan penurunan atau
perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri,
dan dapat menimbulkan ketergantungan.1 Di satu sisi narkotika merupakan obat atau
bahan yang bermanfaat di bidang pengobatan, pelayanan kesehatan dan
pengembangan ilmu pengetahuan, namun di sisi lain dapat menimbulkan
ketergantungan yang sangat merugikan apabila dipergunakan tanpa adanya
pengendalian, pengawasan yang ketat dan seksama.
Persoalan mengenai narkotika semakin lama semakin meningkat. Narkotika
menjadi persoalan nasional bahkan internasional karena akibat dan dampak yang
ditimbulkan telah meluas ke seluruh negara. Secara nasional perdagangan narkotika
telah meluas kedalam setiap lapisan masyarakat, mulai lapisan masyarakat atas
sampai masyarakat bawah.2 Dari segi usia, narkotika tidak dinikmati golongan
remaja saja, tetapi juga golongan setengah baya maupun golongan usia tua.
Penyebaran narkotika sudah tidak lagi hanya di kota besar, tetapi sudah masuk
kota-kota kecil dan merambah di kecamatan bahkan desa-desa.3
1
Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.
2
Nurmalawaty, Penegakan Hukum Pidana Dalam Penanggulangan Penyalahgunaan Narkoba, Majalah Hukum USU Vol. 9 No. 2 Agustus 2004, hal.188.
3
Penggunaan narkotika bagi orang awam atau orang kurang mengerti, tentu
saja dapat dipahami. Tetapi bagi seseorang yang mengkonsumsi narkotika yang
sebelumnya sudah mengetahui akibat-akibatnya adalah di luar nalar kita. Menurut
Graham Blaine seorang psikiater, sebab-sebab penyalahgunaan narkotika adalah
sebagai berikut:4
a. Untuk membuktikan keberanian dalam melakukan tindakan-tindakan yang berbahaya dan mempunyai resiko;
b. Untuk menantang suatu otoritas terhadap orangtua, guru, hukum atau instansi berwenang;
c. Untuk mempermudah penyaluran dan perbuatan seksual;
d. Untuk melepaskan diri dari rasa kesepian dan ingin memperoleh pengalaman-pengalaman emosional;
e. Untuk berusaha agar dapat menemukan arti hidup;
f. Untuk mengisi kekosongan dan mengisi perasaan bosan, karena kurang kesibukan;
g. Untuk menghilangkan rasa frustasi dan kegelisahan yang disebabkan oleh problema yang tidak bisa diatasi dan jalan pikiran yang buntu, terutama bagi mereka yang mempunyai kepribadian yang tidak harmonis;
h. Untuk mengikuti kemauan kawan dan untuk memupuk solidaritas dengan kawan-kawan;
i. Karena didorong rasa ingin tahu (curiosty) dan karena iseng (just for kicks).
Penyebab penggunaan narkotika secara tidak legal yang dilakukan oleh para
remaja dapatlah dikelompokkan tiga keinginan yaitu:5
1. Mereka yang ingin mengalami (the experience seekers) yaitu ingin memperoleh pengalaman baru dan sensasi dari akibat pemakaian narkotika; 2. Mereka yang bermaksud menjauhi atau mengelakkan realita hidup (the
oblivion seekers) yaitu mereka yang menganggap keadaan terbius sebagai tempat pelarian terindah dan ternyaman;
3. Mereka yang ingin merubah kepribadiannya (personality change) yaitu mereka yang beranggapan menggunakan narkotika dapat merubah kepribadian, seperti menjadi tidak kaku dalam pergaulan.
4
Ibid., hal. 6.
5
Di kalangan orang-orang dewasa dan yang telah lanjut usia menggunakan
narkotika dengan sebab-sebab sebagai berikut:6
1. Menghilangkan rasa sakit dari penyakit kronis;
2. Menjadi kebiasaan (akibat penyembuhan dan menghilangkan rasa sakit);
3. Pelarian dari frustasi;
4. Meningkatkan kesanggupan untuk berprestasi (biasanya sebagai zat
perangsang).
Pada awalnya narkotika digunakan untuk kepentingan umat manusia,
khususnya untuk pengobatan dan pelayanan kesehatan. Di dunia kedokteran,
narkotika banyak digunakan khususnya dalam proses pembiusan sebelum pasien
dioperasi mengingat di dalam narkotika terkandung zat yang dapat mempengaruhi
perasaan, pikiran, serta kesadaran pasien.7 Namun, jika disalahgunakan atau
digunakan tidak sesuai dengan standar pengobatan dapat menimbulkan akibat yang
sangat merugikan bagi perseorangan atau masyarakat khususnya generasi muda. Oleh
karena itu, agar penggunaan narkotika dapat memberikan manfaat bagi kehidupan
umat manusia, peredarannya harus diawasi secara ketat sebagaimana diatur dalam
Pasal 4 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika yang
menyebutkan, pengaturan narkotika bertujuan untuk:
a. menjamin ketersediaan Narkotika untuk kepentingan pelayanan kesehatan
dan/atau pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi;
6
Hari Sasangka., Op. Cit., hal. 7.
7
b. mencegah, melindungi, dan menyelamatkan bangsa Indonesia dari
penyalahgunaan Narkotika;
c. memberantas peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika; dan
d. menjamin pengaturan upaya rehabilitasi medis dan sosial bagi penyalah guna
dan pecandu Narkotika.
Peredaran narkotika di dalam negeri hampir meliputi kota besar dan sejumlah
desa, dan sebagai tempat transaksi biasanya tempat hiburan (diskotik, karaoke),
lingkungan kampus, hotel, apartemen, dan tempat kumpul remaja seperti mall, pusat
belanja, dan lain-lain.8 Pentingnya peredaran narkotika perlu diawasi secara ketat
karena saat ini pemanfaatannya banyak untuk hal-hal negatif. Disamping itu, melalui
perkembangan teknologi informasi dan komunikasi, penyebaran narkotika sudah
menjangkau hampir ke semua wilayah Indonesia hingga ke pelosok-pelosok. Daerah
yang sebelumnya tidak pernah tersentuh oleh peredaran narkotika lambat laun
berubah menjadi sentra peredaran narkotika. Begitu pula anak-anak yang pada
mulanya awam terhadap barang haram ini telah berubah menjadi sosok pecandu yang
sukar untuk dilepaskan ketergantungannya.9
Peredaran narkotika secara ilegal harus segera ditanggulangi mengingat efek
negatif yang akan ditimbulkan tidak saja pada penggunanya, tetapi juga bagi
keluarga, komunitas, hingga bangsa dan negara. Meningkatnya tindak pidana
narkotika ini pada umumnya disebabkan dua hal, yaitu: pertama, bagi para pengedar
8
Togar M. Sianipar, Perkembangan Kejahatan Narkoba, Makalah dalam seminar Narkoba di Departemen Kehakiman dan HAM tanggal 22 Juli 2003, hal. 9.
9
menjanjikan keuntungan yang lebih besar, sedangkan bagi para pemakai menjanjikan
ketentraman dan ketenangan hidup, sehingga beban psikis yang dialami dapat
dihilangkan. Kedua, janji yang diberikan narkotika itu menyebabkan rasa takut
terhadap resiko tertangkap menjadi berkurang, bahkan sebaliknya akan menimbulkan
rasa keberanian.10
Tindak pidana narkotika yang dimaksud dalam Undang-Undang No. 35
Tahun 2009 tentang Narkotika memberikan sanksi pidana yang cukup berat, namun
demikian dalam kenyataannya para pelaku kejahatan justru semakin meningkat, dan
bagi para terpidana dalam kenyataannya tidak jera dan justru ada kecenderungan
untuk mengulanginya lagi. Hal ini dapat diakibatkan oleh adanya faktor penjatuhan
pidana yang tidak memberikan dampak atau deterrent effect terhadap para pelakunya.
Dampak negatif dari narkotika tidak hanya menjangkau pengguna secara
individu saja, tetapi juga generasi muda penerus bangsa dan bernegara. Dalam rangka
pelaksanaan politik kriminal, pemerintah berupaya menetapkan kebijakan-kebijakan
sebagai langkah antisipasi terhadap kejahatan penyalahgunaan narkotika yaitu dengan
menggunakan dan menerapkan sarana penal. Kebijakan penetapan pidana dalam
perundang-undangan menurut Barda Nawawi Arief merupakan:11
Tahap yang paling strategis dilihat dari keseluruhan proses kebijaksanaan untuk mengoperasionalkan sanksi pidana. Pada tahap inilah dirumuskan garis-garis kebijakan sistem pidana dan pemidanaan yang sekaligus merupakan landasan legalitas bagi tahap-tahap berikutnya, yaitu tahap penerapan pidana
10
Moh. Taufik Makarao, Tindak Pidana Narkotika, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2003), hal. 6.
11
oleh badan pengadilan dan tahap pelaksanaan pidana oleh aparat pelaksana pidana.
Penyalahgunaan narkotika sudah menjadi isu yang umum oleh karena itu
setiap masyarakat diharapkan partisipasinya dalam menanggulangi bahaya narkotika.
Di Sumatera Utara tindak pidana narkotika mengalami peningkatan dari tahun 2007
sampai dengan Mei 2011 seperti dalam tabel di bawah ini.
Tabel 1
Jumlah Kasus dan Tersangka Tindak Pidana Narkotika di Sumatera Utara Tahun 2007 sampai dengan Mei 2011
NO TAHUN Kasus Tersangka JUMLAH 1 2007 2.958 4.160 7.118 2 2008 2.666 3.896 6.562 3 2009 2.802 3.531 6.333 4 2010 2.718 3.736 6.454 5 Mei 2011 1.129 1.524 2.653 JUMLAH 12.273 16.847 29.120 Sumber: Direktorat Reserse Narkoba Polda Sumut Tahun 2011
Tabel di atas menunjukkan tindak pidana narkotika dari tahun 2007 sampai
dengan Mei 2011 mengalami penurunan dan peningkatan. Tahun 2007 tercatat kasus
tindak pidana narkotika sebanyak 2.958 dengan jumlah tersangka 4.160 orang. Tahun
2008 mengalami penurunan tercatat ada sebanyak 2.666 kasus dengan tersangka
3.896 orang. Tahun 2009 terjadinya kenaikan tindak pidana narkotika sebanyak 2.802
kasus dengan jumlah tersangka 3.531 orang. Tahun 2010 juga terjadi kenaikan
dengan kasus sebanyak 2.718 kasus dengan jumlah tersangka 3.736 orang.
Sedangkan Mei 2011 ada sebanyak 1.129 kasus tindak pidana narkotika dengan
Tindak pidana narkotika di Sumatera Utara sangat marak sekali, mulai dari
anak-anak sampai orang dewasa seperti dalam tabel dibawah ini.
Tabel 2
Data Tersangka Tindak Pidana Narkotika Menurut Umur Pelaku Di Sumatera Utara Tahun 2007 sampai Bulan Mei 2011
UMUR PELAKU JUMLAH 170 2.128 6.240 6.312 9.671 24.531 Sumber: Direktorat Reserse Narkoba Polda Sumut Tahun 2011
Tabel diatas menunjukkan bahwa yang menyalahgunakan narkotika di bawah
usia 15 tahun pada tahun 2007 ada sebanyak 26 orang, sementara di tahun 2008
mengalami sedikit peningkatan sebanyak 32 orang, di tahun 2009 sampai tahun 2010
adanya penurunan menjadi 29 orang dan 18 orang, sementara sampai bulan Mei 2011
ada sebanyak 16 orang.
Berusia 16-19 tahun di tahun 2007 ada sebanyak 380 orang, di tahun 2008
sampai dengan tahun 2010 mengalami penurunan, sementara sampai dengan bulan
Mei 2011 yang menyalahgunakan narkotika sebanyak 85 orang. Tahun 2007 untuk
usia 20-24 tahun yang menyalahgunakan narkotika sebanyak 1.149 orang, antara
tahun 2008 sampai dengan tahun 2010 mengalami penurunan yang sangat drastis, dan
untuk bulan Mei 2011 ada sebanyak 248 orang. Sedangkan yang berusia 25-29 tahun
antara tahun 2008 sampai dengan tahun 2010 penyalahgunaan narkotika juga
mengalami penurunan, untuk bulan Mei 2011 ada sebanyak 370 orang.
Tahun 2007 untuk yang berusia diatas 30 tahun ada sebanyak 1.514 orang,
tahun 2008 ada sedikit peningkatan menjadi 1.567 orang, di tahun 2009 terjadi
penurunan menjadi 1.419 orang, sedangkan di tahun 2010 terjadi kenaikan sebanyak
1.934 orang, sementara untuk bulan Mei 2011 ada 805 orang.
Data diatas yang paling memprihatinkan adalah korban penyalahgunaan
narkotika yang pada umumnya masih remaja dan dewasa muda yang sedang dalam
masa produktif dan merupakan sumber daya manusia atau aset bangsa dikemudian
hari. Kondisi ini sangat memprihatinkan sekali apabila tidak bisa diatasi jelas akan
merusak generasi muda Indonesia dan merupakan bahaya yang sangat besar bagi
kehidupan manusia, bangsa dan negara. Namun di Sumatera Utara yang lebih banyak
menyalahgunakan narkotika justru pelaku yang berusia diatas 30 tahun.
Menurut status pelakunya penyalahgunaan narkotika yang terjadi di Sumatera
Utara dapat dilihat pada tabel di bawah ini.
Tabel 3
Data Tersangka Tindak Pidana Narkotika di Sumatera Utara Menurut Status Pelaku Tahun 2007 sampai Bulan Mei 2011
7 PENGANGGURAN 1.998 2.502 2.472 2.472 1.118 10.562 8 BURUH 881 409 503 851 175 2.819 JUMLAH 4.160 3.896 3.531 3.736 1.524 16.847 Sumber: Direktorat Reserse Narkoba Polda Sumut Tahun 2011
Tabel diatas menunjukkan bahwa TNI yang melakukan tindak pidana
narkotika dalam kurun waktu 2007 sampai Mei 2011 ada sebanyak 48 orang.
Sementara untuk POLRI ada sebanyak 100 orang, sedangkan untuk PNS ada
sebanyak 115 orang, untuk pegawai swasta sebanyak 2.406 orang, pelajar sebanyak
495 orang, mahasiswa sebanyak 302 orang, untuk kalangan pengangguran ada
sebanyak 10.562 orang, dan untuk kalangan buruh ada sebanyak 2.819 orang.
Berdasarkan data yang diungkapkan diatas bahwa tindak pidana narkotika diantara
masing-masing kalangan dari tahun 2007 sampai Mei 2011 menunjukkan adanya
kenaikan dan penurunan.
Permasalahan penyalahgunaan narkotika dan ketergantungan narkotika
mempunyai dimensi yang sangat luas dan kompleks, baik dari sudut medis, maupun
psikososial (ekonomi, politik, sosial, budaya, kriminalitas, kerusuhan massal dan lain
sebagainya). Seringkali terjadi dimasyarakat, dampak dari penyalahgunaan
ketergantungan narkotika antara lain: merusak hubungan kekeluargaan, menurunkan
kemampuan belajar dan produktivitas kerja secara drastis, sulit membedakan mana
perbuatan baik maupun perbuatan buruk, perubahan perilaku menjadi perilaku
antisosial, gangguan kesehatan, mempertinggi jumlah kecelakaan lalu lintas, tindak
kekerasan, dan kriminalitas lainnya.12 Berdasarkan alasan diatas, maka penulis
12
tertarik untuk menuliskannya menjadi suatu penelitian dalam tesis ini yang berjudul
“Kebijakan Penegakan Hukum Pidana terhadap Tindak Pidana Narkotika (Studi di
POLDA SUMUT)”.
B. Permasalahan
Berdasarkan uraian latar belakang diatas maka dapat dirumuskan beberapa
permasalahan sebagai berikut:
1. Apakah yang menjadi faktor-faktor terjadinya tindak pidana narkotika di
Sumatera Utara?
2. Bagaimanakah kebijakan penegakan hukum pidana terhadap tindak pidana
narkotika?
C. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui faktor-faktor terjadinya tindak pidana narkotika.
2. Untuk mengetahui kebijakan penegakan hukum pidana terhadap tindak pidana
narkotika.
D. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat yang didapat dari hasil penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Secara teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran
secara teoritis dalam pengembangan ilmu hukum khususnya dalam bidang
hukum pidana mengenai kebijakan penegakan hukum pidana terhadap tindak
2. Secara Praktis
Penelitian ini ditujukan kepada kalangan aparat penegak hukum agar dapat
mengetahui kebijakan penegakan hukum pidana terhadap tindak pidana
narkotika. Khusus bagi masyarakat umum agar dapat mengetahui akibat dari
penyalahgunaan narkotika dan kebijakan penegakan hukum pidana apa yang
dapat digunakan terhadap tindak pidana narkotika.
E. Keaslian Penelitian
Berdasarkan penelitian dan penelusuran yang telah dilakukan, baik terhadap
hasil-hasil penelitian yang sudah ada maupun yang sedang dilakukan khususnya di
lingkungan Sekolah Pasca Sarjana Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara belum
ada penelitian menyangkut masalah “Kebijakan Penegakan Hukum Pidana terhadap
Tindak Pidana Narkotika di Sumatera Utara”. Akan tetapi ada beberapa tesis
membahas tentang narkotika namun di dalam tesis ini yang dibicarakan adalah
mengenai kebijakan penegakan hukum pidana terhadap tindak pidana narkotika
permasalahan yang diteliti tidaklah sama. Dengan demikian penelitian ini betul asli
dari segi substansi maupun dari segi permasalahan sehingga dapat
dipertanggungjawabkan kebenarannya secara ilmiah.
F. Kerangka Teori dan Konsep
1. Kerangka Teori
Kejahatan yang merupakan suatu bentuk gejala sosial yang tidak berdiri
sendiri, melainkan nampak adanya korelasi dengan berbagai perkembangan
lain adalah sebagai akibat sampingan yang negatif dari setiap kemajuan atau
perubahan sosial di dalam masyarakat.
Teori yang digunakan dalam penelitian tesis ini adalah teori kebijakan hukum
pidana (penal policy). Kebijakan hukum pidana (penal policy) adalah suatu ilmu
sekaligus seni yang pada akhirnya mempunyai tujuan praktis untuk memungkinkan
peraturan hukum positif dirumuskan secara lebih baik dan untuk memberi pedoman
tidak hanya kepada pembuat undang-undang, tetapi juga kepada pengadilan yang
menerapkan undang-undang dan juga kepada para penyelenggara atau pelaksana
putusan pengadilan.13
Politik hukum adalah kebijaksanaan politik yang menentukan peraturan
hukum apa yang seharusnya berlaku mengatur berbagai hal kehidupan bermasyarakat
dan bernegara.14 Mahfud MD juga memberikan defenisi politik hukum sebagai
kebijakan mengenai hukum yang akan atau telah dilaksanakan secara nasional oleh
pemerintah. Hal ini juga mencakup pula pengertian tentang bagaimana politik
mempengaruhi hukum dengan cara melihat konfigurasi kekuatan yang ada dibelakang
pembuatan dan penegakan hukum itu. Hukum tidak bisa hanya dipandang sebagai
pasal-pasal yang bersifat imperatif, melainkan harus dipandang sebagai subsistem
yang dalam kenyataannya bukan tidak mungkin sangat ditentukan oleh politik, baik
dalam perumusan materinya (pasal-pasal), maupun dalam penegakannya.15
13
Mahmud Mulyadi, Criminal Policy Pendekatan Integral Penal Policy dan Non Penal Policy dalam Penanggulangan Kejahatan Kekerasan, (Medan: Pustaka Bangsa Press, 2008), hal. 19.
14
Solly Lubis, Serba Serbi Politik dan Hukum Pidana,(Bandung: Alumni,1989), hal. 159.
15
Usaha penanggulangan kejahatan dengan hukum pidana pada hakikatnya
merupakan bagian dari usaha penegakan hukum (khususnya penegakan hukum
pidana). Oleh karena itu, sering pula dikatakan bahwa politik atau kebijakan hukum
pidana merupakan bagian dari kebijakan penegakan hukum (law enforcement
policy).16 Di samping itu, usaha penanggulangan kejahatan lewat pembuatan
undang-undang (hukum) pidana pada hakikatnya juga merupakan bagian integral dari usaha
perlindungan masyarakat (social welfare). Oleh karena itu, sangat wajar apabila
kebijakan atau politik hukum pidana juga merupakan bagian integral dari kebijakan
atau politik sosial (social policy). Kebijakan sosial dapat diartikan sebagai segala
usaha yang rasional untuk mencapai kesejahteraan masyarakat dan sekaligus
mencakup perlindungan masyarakat. Dengan penggunaan sarana penal dalam
menanggulangi kejahatan berarti upaya mewujudkan suatu hukum pidana yang dapat
diterapkan dalam masyarakat dalam jangka waktu yang lama dan menjadi kebijakan
perundang-undangan yang baik, maka ia harus memenuhi syarat yuridis, sosiologis
dan filosofis.
Menurut Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto:17
Suatu peraturan hukum berlaku secara yuridis apabila peraturan hukum tersebut penentuannya berdasarkan kaidah yang lebih tinggi tingkatannya. Suatu peraturan hukum berlaku secara sosiologis bilamana peraturan hukum tersebut diakui atau diterima oleh masyarakat kepada siapa peraturan hukum tersebut ditujukan. Peraturan hukum harus berlaku secara filosofis, apabila
16
Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, (Jakarta: Kencana, 2008), hal. 24.
17
peraturan hukum tersebut sesuai dengan cita-cita hukum sebagai nilai positif yang tinggi.
Barda Nawawi mengutarakan masih pentingnya menggunakan sarana penal
dalam rangka menanggulangi kejahatan yaitu:18
a. Sanksi pidana sangatlah diperlukan, kita tidak dapat hidup, sekarang maupun
di masa yang akan datang tanpa pidana;
b. Sanksi pidana merupakan alat atau sarana terbaik yang tersedia, yang kita
miliki untuk menghadapi kejahatan-kejahatan atau bahaya besar serta untuk
menghadapi ancaman-ancaman dari bahaya;
c. Sanksi pidana suatu ketika merupakan penjamin yang utama/terbaik dan suatu
ketika merupakan pengancam yang utama dari kebebasan manusia. Ia
merupakan penjamin apabila digunakan secara hemat, cermat dan secara
manusiawi, ia merupakan pengancam apabila digunakan secara sembarangan
dan secara paksa.
Kebijakan penanggulangan kejahatan dengan menggunakan sarana penal oleh
beberapa pakar kriminologi disebut juga dengan cara represif. Tindakan represif
menitikberatkan pada upaya pemberantasan/penindasan/penumpasan sesudah
kejahatan terjadi yaitu dengan dijatuhkannya sanksi pidana.19
Kebijakan hukum pidana diperlukan pendekatan yang berorientasi pada
kebijakan yang lebih bersifat pragmatis dan rasional, dan juga pendekatan yang
18
Barda Nawawi Arief, Kebijakan Legislatif dalam Penanggulangan Kejahatan dengan Pidana Penjara, (Semarang: CV. Ananta, 1994), hal. 31.
19
berorientasi pada nilai. Kebijakan kriminal tidak dapat dilepaskan sama sekali dari
masalah nilai. Terlebih bagi Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan garis
kebijakan pembangunan nasionalnya bertujuan membentuk manusia seutuhnya.
Apabila pidana yang digunakan sebagai sarana untuk tujuan tersebut, maka
pendekatan humanistik harus pula diperhatikan. Hal ini penting tidak hanya karena
kejahatan itu, pada hakikatnya merupakan masalah kemanusiaan, tetapi juga karena
pada hakikatnya pidana itu sendiri mengandung unsur penderitaan yang dapat
menyerang kepentingan atau yang paling berharga bagi kehidupan manusia.20
Dengan demikian diperlukan adanya keterpaduan dan kerjasama yang baik aparat
penegak hukum untuk menggunakan sarana penal dalam rangka menanggulangi
kejahatan. Keterpaduan tersebut pada akhirnya akan menuju tercapainya keselarasan,
keserasian dan keseimbangan hidup dalam masyarakat.
2. Kerangka Konsep
Kerangka konsepsional mengungkapkan beberapa konsepsi atau pengertian
yang akan dipergunakan sebagai dasar penelitian. Pentingnya defenisi operasional
adalah untuk menghindarkan perbedaan pengertian atau penafsiran mendua (dubius)
dari suatu istilah yang dipakai. Oleh karena itu, dalam penelitian ini di defenisikan
beberapa konsep dasar supaya secara operasional diperoleh hasil penelitian yang
sesuai dengan tujuan yang telah ditentukan, yaitu: kebijakan hukum pidana,
penegakan hukum, kepolisian, penyelidikan, penyidikan, tindak pidana, narkotika.
20
Kebijakan hukum pidana (penal policy) merupakan suatu ilmu sekaligus seni
yang pada akhirnya mempunyai tujuan praktis untuk memungkinkan peraturan
hukum positif dirumuskan secara lebih baik dan untuk memberi pedoman tidak hanya
kepada pembuat undang-undang, tetapi juga kepada pengadilan yang menerapkan
undang-undang, dan juga kepada para penyelenggara atau pelaksana putusan
pengadilan.21
Usaha penanggulangan kejahatan dengan hukum pidana pada hakikatnya
merupakan bagian dari usaha penegakan hukum (khususnya penegakan hukum
pidana). Oleh karena itu, sering pula dikatakan bahwa politik atau kebijakan hukum
pidana merupakan bagian dari kebijakan penegakan hukum (law enforcement
policy).22 Di samping itu, usaha penanggulangan kejahatan lewat pembuatan
undang-undang (hukum ) pidana pada hakikatnya juga merupakan bagian integral dari usaha
perlindungan masyarakat (social welfare). Oleh karena itu, sangat wajar apabila
kebijakan atau politik hukum pidana juga merupakan bagian integral dari kebijakan
atau politik sosial (social policy). Kebijakan sosial dapat diartikan sebagai segala
usaha yang rasional untuk mencapai kesejahteraan masyarakat dan sekaligus
mencakup perlindungan masyarakat.
Penegakan hukum (law enforcement), merupakan suatu istilah yang
mempunyai keragaman pengertian. Menurut Satjipto Rahardjo, penegakan hukum
diartikan sebagai suatu proses untuk mewujudkan keinginan-keinginan hukum, yaitu
21
Teguh Prasetyo, Politik Hukum Pidana, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), hal. 18.
22
pikiran-pikiran dari badan-badan pembuat undang-undang yang dirumuskan dan
ditetapkan dalam peraturan-peraturan hukum yang kemudian menjadi kenyataan.23
Penegakan hukum adalah keseluruhan kegiatan dari para pelaksana penegak hukum,
keadilan, dan perlindungan terhadap harkat dan martabat manusia, ketentraman, dan
kepastian hukum, sesuai dengan UUD 1945.24
Istilah polisi pada mulanya berasal dari Yunani yaitu politeia yang berarti
seluruh pemerintahan negara kota. Di abad sebelum masehi negara Junani terdiri dari
kota-kota yang dinamakan polis. Arti polisi demikian luasnya bahkan selain meliputi
seluruh pemerintahan negara kota, termasuk juga di dalamnya urusan-urusan
keagamaan seperti penyembahan terhadap dewa-dewanya. Setelah munculnya agama
Nasrani maka urusan keagamaan menjadi terpisah dari pemerintahan, sehingga arti
polisi menjadi seluruh pemerintahan negara dikurangi urusan agama.25
Menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia, istilah polisi berarti:26
a. Badan pemerintahan (sekelompok pegawai negeri) yang bertugas memelihara
keamanan dan ketertiban umum;
b. Pegawai negeri yang bertugas menjaga keamanan.
23
Satjipto Rahardjo, Masalah Penegakan Hukum Suatu Tinjauan Sosiologis, (Bandung: Sinar Baru, 1993), hal. 15., Lihat juga Soedarto, Kapita Selekta Hukum Pidana, (Bandung: Alumni, 1986), hal. 111. Penegakan hukum sebagai perhatian dan penggarapanperbuatan melawan hukum yangsungguh-sungguh terjadi (onrecht in actu) maupun perbuatan melawan hukum yang mungkin terjadi (onrecht in potentie).
24
Barda Nawawi Arief, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan Hukum Pidana, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1998), hal. 8.
25
Momo Kelana, Hukum Kepolisian, (Jakarta: Grasindo, 1994), hal. 14.
26
Menurut Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 Kepolisian
adalah segala hal-ihwal yang berkaitan dengan fungsi dan lembaga polisi sesuai
dengan peraturan perundang-undangan.
Penyelidikan berarti serangkaian tindakan mencari dan menemukan sesuatu
keadaan atau peristiwa yang berhubungan dengan kejahatan dan pelanggaran tindak
pidana atau yang diduga sebagai perbuatan tindak pidana.27 Penyelidikan merupakan
tindakan tahap permulaan penyidikan, akan tetapi penyelidikan bukan tindakan yang
berdiri sendiri terpisah dari fungsi penyidikan. Penyelidikan merupakan bagian yang
tak terpisah dari fungsi penyidikan.
Penyidikan merupakan serangkaian tindakan yang dilakukan pejabat penyidik
sesuai dengan cara yang diatur dalam undang-undang untuk mencari serta
mengumpulkan bukti, dan dengan bukti itu membuat atau menjadi terang tindak
pidana yang terjadi sekaligus menemukan tersangkanya atau pelaku tindak
pidananya.28
Istilah tindak pidana sering dipakai untuk menggantikan strafbaar feit.
“Perkataan feit itu sendiri di dalam bahasa Belanda berarti sebagian dari suatu
kenyataan atau een gedelte van de werkelijkheid, sedangkan strafbaar berarti dapat
dihukum sehingga secara harfiah perkataan strafbaar feit itu dapat diterjemahkan
sebagai sebagian dari suatu kenyataan yang dapat dihukum, yang sudah barang tentu
tidak tepat, oleh karena kelak kita akan ketahui bahwa yang dapat di hukum itu
27
M.Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Penyidikan dan Penuntutan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), hal. 101.
28
sebenarnya adalah manusia sebagai pribadi dan bukan kenyataan perbuatan ataupun
tindakan”.29
Tindak pidana adalah perbuatan yang oleh aturan hukum dilarang dan
diancam dengan pidana barang siapa yang melanggar larangan tersebut, selanjutnya
menurut wujud atau sifatnya tindak pidana itu adalah perbuatan yang melawan
hukum dan juga merugikan masyarakat dalam arti bertentangan dengan atau
menghambat dari terlaksananya tata dalam pergaulan masyarakat yang dianggap baik
dan adil. Dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa suatu perbuatan akan menjadi
tindak pidana, apabila perbuatan itu melawan hukum, merugikan masyarakat,
dilarang oleh aturan pidana dan pelakunya diancam dengan pidana.30
Soerdjono Dirjosisworo mengatakan bahwa pengertian narkotika:31
Zat yang bisa menimbulkan pengaruh tertentu bagi yang menggunakannya dengan memasukkan kedalam tubuh. Pengaruh tersebut bisa berupa pembiusan, hilangnya rasa sakit, rangsangan semangat dan halusinasi atau timbulnya khayalan-khayalan. Sifat-sifat tersebut yang diketahui dan ditemukan dalam dunia medis bertujuan dimanfaatkan bagi pengobatan dan kepentingan manusia di bidang pembedahan, menghilangkan rasa sakit dan lain-lain.
Menurut Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009, Narkotika
adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintetis
maupun semisintetis, yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran,
29
P.A.F.Lamintang, Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1997), hal. 181.
30
Martiman Prodjohamidjojo, Memahami Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia 2, (Jakarta: Pradnya Paramita, 1997), hal. 16.
31
hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat
menimbulkan ketergantungan.
G. Metode Penelitian
Penelitian merupakan sarana pokok dalam pengembangan ilmu
pengetahuan maupun teknologi. Hal ini disebabkan karena penelitian bertujuan
untuk mengungkapkan kebenaran secara sistematis, metodologi dan konsisten.
Melalui proses penelitian tersebut diadakan analisa dan konstruksi data yang telah
dikumpulkan.32
Oleh karena penelitian merupakan suatu sarana ilmiah bagi
pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, maka metodologi penelitian
yang diterapkan harus senantiasa disesuaikan dengan ilmu pengetahuan yang
menjadi induknya.33 Dengan demikian metode penelitian adalah merupakan
upaya ilmiah untuk memakai dan memecah suatu permasalahan berdasarkan
metode tertentu.
1. Jenis dan Sifat Penelitian
Jenis penelitian yang dilakukan dalam penyusunan tesis ini adalah
penelitian yuridis normatif.34 Penelitian yuridis normatif yaitu penelitian yang
difokuskan untuk mengkaji penerapan kaedah-kaedah atau norma-norma hukum
positif. Mengambil istilah Ronald Dworkin, penelitian semacam ini juga disebut
32
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (UI:Press, 1986), hal. 3.
33
Soerjono Soekanto dan Sri Mahmudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1996), hal. 64.
34
dengan istilah penelitian doktrinal (doktrinal research), yaitu penelitian yang
menganalisis hukum baik yang tertulis di dalam buku (law at it is written in the
book), maupun hukum yang diputuskan oleh hakim melalui proses pengadilan
(law as it decided by the jungle through judicial process).35Penelitian yuridis
sosiologis yaitu penelitian yang bertitik tolak dari permasalahan dengan melihat
kenyataan yang terjadi di lapangan kemudian menghubungkannya dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Sifat penelitian dalam tesis ini adalah bersifat deskriptif analitis, penelitian
bersifat deskriptif analitis merupakan suatu penelitian yang menggambarkan,
menelaah, menjelaskan, dan menganalisis suatu peraturan hukum.
2. Sumber Data
Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder
yang berupa bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum
tersier, yaitu:
a. Bahan Hukum Primer
Bahan hukum primer adalah bahan hukum yang bersifat autoritatif
artinya mempunyai otoritas. Bahan hukum primer terdiri dari peraturan
perundang-undangan yang diurut berdasarkan hierarki36 seperti
peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan penelitian ini
35
Bismar Nasution, Metode Penelitian Hukum Normatif dan Perbandingan Hukum, disampaikan pada dialog interaktif tentang penelitian hukum dan hasil penulisan hukum pada majalah akreditasi, (Fakultas Hukum USU, tgl 18 Februari, 2003), hal. 2.
36
yaitu peraturan perundang-undangan yang berkaitan terhadap tindak
pidana narkotika yaitu Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang
Narkotika.
b. Bahan Hukum Sekunder
Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang terdiri atas
buku-buku teks yang ditulis oleh ahli hukum yang berpengaruh, jurnal-jurnal
hukum, pendapat para sarjana, kasus-kasus hukum, yurisprudensi, dan
hasil-hasil simposium mutakhir yang berkaitan dengan topik
penelitian.37 Dalam penelitian ini, bahan hukum sekunder yang
digunakan adalah berupa buku-buku rujukan yang relevan, hasil karya
tulis ilmiah, dan berbagai makalah yang berkaitan.
c. Bahan Hukum Tersier
Bahan hukum tersier adalah bahan hukum yang memberikan petunjuk
atau penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum
sekunder38 berupa kamus umum, kamus bahasa, surat kabar, artikel,
internet.
Penelitian ini juga didukung oleh data primer39 yang diperoleh
langsung melalui wawancara dengan beberapa narasumber yang terdiri dari
Kabag Analis Direktorat Narkoba Polda Sumut, 10 (sepuluh) orang narapidana
Lembaga Pemasyarakatan Klas IA Tanjung Gusta Medan.
37
Jhony Ibrahim, Op.Cit, hal. 296.
38
Ibid.
39
3. Teknik Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah:
a. Penelitian Kepustakaan (Library Reseaarch)
Penelitian kepustakaan ini dimaksud untuk memperoleh data sekunder
dengan mempelajari literatur-literatur, peraturan perundang-undangan,
teori-teori, pendapat para sarjana dan hal-hal lain yang berkaitan
dengan kebijakan penal.
b. Penelitian Lapangan (Field Research)
Penelitian lapangan dilakukan untuk memperoleh data primer. Data ini
diperoleh dengan menggunakan teknik wawancara (interviewguide).
Wawancara dilakukan dengan menggunakan daftar pertanyaan yang
sudah dipersiapkan terlebih dahulu.
4. Analisis Data
Keseluruhan data dalam penelitian ini dianalisis secara kualitatif.40
Analisis kualitatif ini akan dikemukakan dalam bentuk uraian yang sistematis
dengan menjelaskan hubungan antara berbagai jenis data. Selanjutnya semua data
diseleksi dan diolah, kemudian dianalisa secara deskriptif41 sehingga selain
menggambarkan dan mengungkapkan, diharapkan akan memberikan solusi atas
permasalahan dalam penelitian ini.
40
Muslan Abdurrahman, Sosiologi dan Metode Penelitian Hukum, (Malang: UMM Press, 2009), hal. 121.
41
BAB II
FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB TINDAK PIDANA NARKOTIKA
A. Kajian Kriminologi Penyebab Terjadinya Kejahatan
Kejahatan merupakan perbuatan anti-sosial yang secara sadar mendapat reaksi
dari negara berupa pemberian derita, dan kemudian sebagai reaksi terhadap
rumusan-rumusan hukum (legal definitions) mengenai kejahatan.42 Menurut Sue Titus Reid,
bagi suatu perumusan hukum tentang kejahatan, maka hal-hal yang perlu diperhatikan
yaitu:43
1. Kejahatan adalah suatu tindakan sengaja. Dalam pengertian ini seseorang tidak dapat dihukum hanya karena pikirannya, melainkan harus ada suatu tindakan atau kealpaan dalam bertindak. Kegagalan untuk bertindak dapat juga merupakan kejahatan, jika terdapat suatu kewajiban hukum untuk bertindak dalam kasus tertentu. Disamping itu pula, harus ada niat jahat;
2. Merupakan pelanggaran hukum pidana;
3. Yang dilakukan tanpa adanya suatu pembelaan atau pembenaran yang diakui secara hukum;
4. Yang diberi sanksi oleh negara sebagai suatu kejahatan atau pelanggaran.
Secara sosiologis, maka kejahatan merupakan suatu perikelakuan manusia
yang diciptakan oleh sebagian warga-warga masyarakat yang mempunyai kekuasaan
dan wewenang.44 Gejala yang dinamakan kejahatan pada dasarnya terjadi di dalam
proses dimana ada interaksi sosial antara bagian-bagian dalam masyarakat yang
mempunyai kewenangan untuk melakukan perumusan tentang kejahatan dengan
42
W.A. Bonger, Pengantar tentang Kriminologi, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1982), hal. 25.
43
Sue Titus Reid dalam Soerjono Soekanto, Kriminologi Suatu Pengantar, (Jakarta: Ghalia, 1981), hal. 22.
44
pihak-pihak mana yang memang melakukan kejahatan. Ciri pokok dari kejahatan
adalah perilaku yang dilarang oleh negara karena merupakan perbuatan yang
merugikan negara dan terhadap perbuatan itu negara bereaksi dengan hukuman
sebagai upaya pamungkas.
Pendapat tentang kejahatan di atas tertampung dalam suatu ilmu pengetahuan
yang disebut kriminologi. Kriminologi merupakan cabang ilmu pengetahuan yang
muncul abad ke-19 yang pada intinya merupakan ilmu pengetahuan yang
mempelajari sebab musabab dari kejahatan.
Kriminologi sebagai kumpulan ilmu pengetahuan tentang kejahatan yang bertujuan untuk memperoleh pengetahuan dan pengertian tentang gejala kejahatan dengan jalan mempelajari dan menganalisa secara ilmiah keterangan-keterangan, keseragaman-keseragaman, pola-pola dan faktor-faktor kausal yang berhubungan dengan kejahatan, pelaku kejahatan serta reaksi masyarakat terhadap keduanya.45
Sebab-sebab terjadinya kejahatan dalam kriminologi dikarenakan
faktor-faktor biologis (kejahatan karena bakat yang diperoleh sejak lahir) dan faktor-faktor
sosiologis (kejahatan karena pengaruh lingkungan masyarakat).
1. Teori yang Menjelaskan Kejahatan dari Perspektif Biologis
Cesare Lambroso (1835-1909) dengan bukunya yang berjudul L’huomo
delinquente (the criminal man) menyatakan bahwa penjahat mewakili suatu tipe
keanehan/keganjilan fisik, yang berbeda dengan non-kriminal. Lambroso mengklaim
bahwa para penjahat mewakili suatu bentuk kemerosotan yang termanifestasi dalam
45
karakter fisik yang merefleksikan suatu bentuk awal dari evolusi. Teori
Lambrosotentang born criminal menyatakan bahwa para penjahat adalah suatu
bentuk yang lebih rendah dalam kehidupan, lebih mendekati nenek moyang mereka
yang mirip kera dalam hal sifat bawaan dan watak dibanding mereka yang bukan
penjahat.46 Berdasarkan penelitiannya, Lombrosso mengklasifikasikan penjahat
dalam 4 (empat) golongan, yaitu:47
a. Born criminal yaitu orang yang memang sejak lahir berbakat menjadi penjahat; b. Insane criminal yaitu orang-orang yang tergolong ke dalam kelompok idiot dan
paranoid;
c. Occasional criminal atau criminaloid yaitu pelaku kejahatan berdasarkan
pengalaman yang terus menerus sehingga mempengaruhi pribadinya;
d. Criminals of passion yaitu pelaku kejahatan yang melakukan tindakan karena
marah, cinta atau karena kehormatan.
Disamping teori biologi dari Lombrosso, terdapat beberapa teori lain yang
menitikberatkan pada kondisi individu penjahat, antara lain:48
1. Teori Psikis, dimana sebab-sebab kejahatan dihubungkan dengan kondisi
kejiwaan seseorang. Sarana yang digunakan adalah tes-tes mental seperti tes
IQ.
2. Teori yang menyatakan bahwa penjahat memiliki bakat yang diwariskan oleh
orang tuanya. Pada mulanya amat mudah mendapati anak yang memiliki
karakter seperti orang tuanya, namun ternyata hasil yang sama pun tidak
jarang ditemui pada anak-anak yang diadopsi atau anak-anak angkat.
3. Teori Psikopati: berbeda dengan teori-teori yang menekankan pada
intelejensia ataupun kekuatan mental pelaku, teori psikopati mencari
sebab-sebab kejahatan dari kondisi jiwanya yang abnormal. Seorang penjahat di sini
terkadang tidak memiliki kesadaran atas kejahatan yang telah diperbuatnya
sebagai akibat gangguan jiwanya.
4. Teori bahwa kejahatan sebagai gangguan kepribadian sempat digunakan di
Amerika untuk menjelaskan beberapa perilaku yang dikategorikan sebagai
crime without victim (kejahatan tanpa korban) seperti pemabuk, gelandangan,
perjudian, prostitusi, penggunaan obat bius.
2. Teori yang Menjelaskan Kejahatan dari Perspektif Sosiologis
Secara sosiologis kejahatan merupakan suatu perilaku manusia yang
diciptakan oleh masyarakat. Ada hubungan timbal-balik antara faktor-faktor umum
sosial politik-ekonomi dan bangunan kebudayaan dengan jumlah kejahatan dalam
lingkungan itu baik dalam lingkungan kecil maupun besar. Teori-teori sosiologis
mencari alasan-alasan perbedaan dalam hal angka kejahatan di dalam lingkungan
sosial. Teori-teori ini dapat dikelompokkan menjadi tiga kategori umum yaitu: strain,
cultural deviance (penyimpangan budaya), social kontrol (kontrol sosial).49
Teori strain dan penyimpangan budaya memusatkan perhatian pada
kekuatan-kekuatan sosial (social forces) yang menyebabkan orang melakukan aktivitas
49
kriminal. Sebaliknya, teori kontrol sosial mempunyai pendekatan berbeda, teori ini
berdasarkan satu asumsi bahwa motivasi melakukan kejahatan merupakan bagian dari
umat manusia. Teori kontrol sosial mengkaji kemampuan kelompok-kelompok dan
lembaga-lembaga sosial membuat aturan-aturannya efektif.
a. Teori Differential Association
Teori yang dikemukakan oleh Edwin Sutherland ini pada dasarnya
melandaskan diri pada proses belajar, ini tidak berarti bahwa hanya pergaulan dengan
penjahat yang akan menyebabkan perilaku kriminal, akan tetapi yang terpenting
adalah isi dari proses komunikasi dari orang lain. TeoriDifferential Association ini
menekankan bahwa semua tingkah laku itu dipelajari, tidak ada yang diturunkan
berdasarkan pewarisan orang tua. Tegasnya, pola perilaku jahat tidak diwariskan tapi
dipelajari melalui suatu pergaulan yang akrab. Untuk itu, Edwin Sutherland kemudian
menjelaskan proses terjadinya perilaku kejahatan melalui 9 (sembilan) proposisi
sebagai berikut:50
1. Criminal behaviour is learned. Negatively, this means that criminal behaviour
is not inherited. (Perilaku kejahatan adalah perilaku yang dipelajari secara
negatif berarti perilaku itu tidak diwarisi).
2. Criminal behaviour is learned in interaction with other persons in a process
of communication.This communication is verbal in many respects but includes
also the communication of gesture (Perilaku kejahatan dipelajari dalam
50
interaksi dengan orang lain dalam suatu proses komunikasi. Komunikasi
tersebut terutama dapat bersifat lisan ataupun menggunakan bahasa isyarat).
3. The principal part of the learning of criminal behaviour occurs within
intimate personal groups. Negatively, this means that the interpersonal
agencies of communication, such as movies and newspaper, plays a relatively
unimportant part in the genesis of criminal behaviour (Bagian yang terpenting
dalam proses mempelajari perilaku kejahatan ini terjadi dalam kelompok yang
intim/dekat. Secara negatif ini berarti komunikasi yang bersifat tidak personal,
seperti melalui film dan surat kabar secara relatif tidak mempunyai peranan
penting dalam hal terjadinya kejahatan).
4. When criminal behaviour is learned, the learning in cludes (a) techniques of
committing the crime, which are sometimes very complicated, sometimes very
simple. (b) the specific direction of motives, drives, rationalizations and
attitudes. (ketika tingkah laku kejahatan dipelajari, maka yang dipelajari
meliputi (a) teknik-teknik melakukan kejahatan, yang kadang sangat sulit ,
kadang sangat mudah, (b) arah khusus dari motif-motif, dorongan-dorongan,
rasionalisasi-rasionalisasi dan sikap-sikap).
5. The specific direction of motives and drives is learned from definitions of the
legal codes as favorable on unfavorable.In some societies an individual is
surrounded by person who invariably define the legal codes as rules to be
favorable to the violation of the legal codes (Arah dari motif dan dorongan itu
dipelajari melalui definisi-definisi dari peraturan hukum. Dalam suatu
masyarakat kadang seseorang dikelilingi oleh orang-orang yang secara
bersamaan melihat apa yang diatur dalam peraturan hukum sebagai sesuatu
yang perlu diperhatikan dan dipatuhi, namun kadang ia dikelilingi oleh
orang-orang yang melihat aturan hukum sebagai sesuatu yang memberi peluang
dilakukannya kejahatan).
6. A person becomes delinquent because of an excess of definitions favorable to
violation of law definitions unfavorable to violation of law. (Seseorang
menjadi delinkuen karena ekses dari pola-pola pikir yang lebih melihat aturan
hukum sebagai pemberi peluang dilakukannya kejahatan daripada yang
melihat hukum sebagai sesuatu yang harus diperhatikan dan dipatuhi).
7. Differential association may vary in frequency, duration, priority and
intensity. (Differensial association bervariasi dalam hal frekuensi, jangka
waktu, prioritas serta intensitasnya).
8. The process of learning criminal behaviour by association with criminal and
anti-criminal patterns involves all of the mechanisms that are involved in any
other learning. (Proses mempelajari perilaku kejahatan yang diperoleh
menyangkut seluruh mekanisme yang lazimnya terjadi dalam setiap proses
belajar pada umumnya).
9. While criminal behaviour is an expression of general needs and values, it is
not explained by those general needs and values since non-criminal behaviour
is an expression of the same needs and values (Sementara perilaku kejahatan
merupakan pernyataan kebutuhan dan nilai umum, akan tetapi hal tersebut
tidak dijelaskan oleh kebutuhan dan nilai-nilai umum itu, sebab perilaku yang
bukan kejahatan juga merupakan pernyataan dari kebutuhan-kebutuhan dan
nilai-nilai yang sama).
Dengan diajukannya teori ini, Sutherland ingin menjadikan pandangannya
sebagai teori yang dapat menjelaskan sebab-sebab terjadinya kejahatan.
b. Teori Kontrol
Teori kontrol sosial merujuk pada pembahasan kejahatan yang dikaitkan
dengan variabel-variabel yang bersifat sosiologis, antara lain struktur keluarga,
pendidikan, dan kelompok dominan. Pada dasarnya, teori kontrol berusaha mencari
jawaban mengapa orang melakukan kejahatan. Berbeda dengan teori lain, teori
kontrol tidak lagi mempertanyakan mengapa orang melakukan kejahatan tetapi
berorientasi kepada pertanyaan mengapa tidak semua orang melanggar hukum atau
mengapa orang taat kepada hukum. Ditinjau dari akibatnya, pemunculan teori kontrol
disebabkan tiga ragam perkembangan dalam kriminologi. Pertama, adanya reaksi