• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kebijakan Penegakan Hukum Pidana Terhadap Tindak Pidana Narkotika (Studi di Polda Sumut)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Kebijakan Penegakan Hukum Pidana Terhadap Tindak Pidana Narkotika (Studi di Polda Sumut)"

Copied!
126
0
0

Teks penuh

(1)

KEBIJAKAN PENEGAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP

TINDAK PIDANA NARKOTIKA (STUDI DI POLDA SUMUT)

TESIS

Oleh

LIDYA CAROLINA SITEPU 097005011/HK

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(2)

KEBIJAKAN PENEGAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP

TINDAK PIDANA NARKOTIKA (STUDI DI POLDA SUMUT)

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Magister Hukum Dalam Program Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara

Oleh

LIDYA CAROLINA SITEPU 097005011/HK

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(3)

JUDUL TESIS : KEBIJAKAN PENEGAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP TINDAK PIDANA NARKOTIKA (STUDI DI POLDA SUMUT)

NAMA MAHASISWA : Lidya Carolina Sitepu

NOMOR POKOK : 097005011

PROGRAM STUDI : Ilmu Hukum

Menyetujui Komisi Pembimbing

(Prof. Dr. Syafruddin Kalo, S.H., M.Hum) K e t u a

(Dr. Mahmud Mulyadi, S.H., M.Hum) (Dr. Marlina, S.H., M.Hum) Anggota Anggota

Ketua Program Studi Dekan

(Prof. Dr. Suhaidi, S.H., MH) (Prof. Dr. Runtung, S.H., M.Hum)

(4)

Telah diuji pada

Tanggal 12 Agustus 2011

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. Dr. Syafruddin Kalo, SH, M.Hum

Anggota : 1. Dr. Mahmud Mulyadi, SH, M.Hum

2. Dr. Marlina, SH, M.Hum

3. Dr. Madiasa Ablisar, SH, MS

(5)

ABSTRAK

Jumlah kasus dan tersangka tindak pidana narkotika di Sumatera Utara Tahun 2007 sampai dengan Mei 2011 adanya 12.273 kasus dengan 16.847 tersangka. Meningkatnya tindak pidana narkotika ini pada umumnya disebabkan dua hal, yaitu: pertama, bagi para pengedar menjanjikan keuntungan yang lebih besar, sedangkan bagi para pemakai menjanjikan ketentraman dan ketenangan hidup, sehingga beban psikis yang dialami dapat dihilangkan. Kedua, janji yang diberikan narkotika itu menyebabkan rasa takut terhadap resiko tertangkap menjadi berkurang, bahkan sebaliknya akan menimbulkan rasa keberanian. Dampak negatif dari narkotika tidak hanya menjangkau pengguna secara individu saja, tetapi juga generasi muda penerus bangsa dan bernegara. Permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini yaitu apakah yang menjadi faktor-faktor terjadinya tindak pidana narkotika di Sumatera Utara, bagaimanakah kebijakan penegakan hukum pidana terhadap tindak pidana narkotika.

Menjawab permasalahan diatas, maka penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif dan yuridis sosiologis. Jenis data yang digunakan adalah data primer yang diperoleh melalui studi lapangan dan data sekunder yang diperoleh melalui studi pustaka. Informan dalam penelitian ini terdiri atas petugas kepolisian besar daerah sumatera utara dan narapidana lembaga pemasyarakatan tanjung gusta medan. Keseluruhan data dianalisis secara kualitatif dengan menggunakan penulisan deskriptif analitis.

Dari hasil penelitian dapat diketahui bahwa faktor penyebab terjadinya tindak pidana narkotika di sumatera utara pada umumnya karena faktor ekonomi yang sulit dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari yang menyebabkan napi tersebut menjual narkotika dengan mendapatkan keuntungan yang lebih besar, selain itu karena faktor keluarga yang mendidik dengan keras dari kecil, dan kurangnya kasih sayang yang didapatkan dan faktor lain dikarena rasa keingintahuan/coba-coba dalam memakai narkotika, dari rasa coba-coba napi tersebut menjadi pecandu dikarenakan untuk mendapatkan inspirasi dalam membuat lagu.

Kebijakan Penegakan Hukum Pidana terhadap Tindak Pidana Narkotika diatur dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Upaya penegakan hukum yang dilakukan oleh penyidik kepolisian dalam memberantas tindak pidana narkotika dimulai dari observasi, pembuntutan, pembelian terselubung, dan penyerahan yang diawasi. Peran polisi dalam penanggulangan tindak pidana narkotika dilakukan dengan penanggulangan preventif dilakukan dengan mengadakan penyuluhan kepada masyarakat, baik itu anak sekolah, orang tua, maupun pemuka masyarakat serta pemuka agama akan bahayanya narkotika. Penanggulangan bersifat represif merupakan upaya penindakan dan penegakan hukum dengan memberikan sanksi pidana maka dapat membuat jera pelaku tindak pidana narkotika. Upaya tersebut berupa penghancuran jaringan utama peredaran gelap, pengembangan teknik control delevery (penyerahan yang diawasi).

(6)

ABSTRACT

There were 12.273 cases and 16.847 suspects of narcotics in Sumatera Utara from 2007 to May 2011. This increasing number of narcotics-related criminal acts, in general, are caused by two things: first, to the dealers, narcotics promises them a bigger benefit, while to the users, narcotics promises them a calm and peaceful life that they can free themselves from the psychological problem they are having; second, the promise given by the narcotics lessens their fear of getting arrested, it can even make them more fearless. The negative impact of narcotics is not only experienced by the user individually, but also all of our young generation. The research problems discussed in this study were what factors did initiate the incident of the narcotics-related criminal act in Sumatera Utara and how the criminal law policy was implemented in coping with the narcotics-related criminal act.

To answer the research problems above, this study employed normative juridical and sociological juridical approaches. The data used in this study were primary data obtained through field research and secondary data obtained through library research. The informants for this study were the police officers from Sumatera Utara Police Department and the convicted criminal in Tanjung Gusta Penitentiary, Medan. All of the data obtained were qualitatively analyzed by means of analytical descriptive writing.

The result of this study showed that, in general, the causal factors of the incident of the narcotics-related criminal act in Sumatera Utara were the economic factor – it was very difficult for them to meet their daily necessity that they sold narcotics to get bigger benefit, and the family factor – when they were kids, they were very strictly educated by their parents so they felt that they did not get love and affection from their parents, and the factor of curiosity – because of their curiosity, they tried to consume the narcotics to get some inspiration in writing song then they became addicted to it.

The policy on Criminal Law Reinforcement towards the Narcotics-Related Criminal Act is regulated in Law No.35/2009 on Narcotics. The attempt of law upholding done by the police investigating officers in eliminating the narcotics-related criminal act started with observation, survelaince, undercover buy, and controlled delivery. The role of police officers in coping with the narcotics-related criminal act was done preventively by providing extension on the danger of narcotics to the community members such as students, parents, public figures, and religious leaders. Repressive action was conducted by giving criminal sanction that can make the criminals learn from what they have done. This attempt was done in the form of destroying the main network of illegal distribution and developing the controlled delivery technique.

(7)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis haturkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena

hanya dengan rahmat dan kasihNya, saya sebagai penulis dapat menyelesaikan

penulisan tesis yang berjudul Kebijakan Penegakan Hukum Pidana Terhadap

Tindak Pidana Narkotika (Studi di Polda Sumut).Tesis ini merupakan salah satu

syarat yang harus dipenuhi untuk menyelesaikan Program Studi Magister Ilmu

Hukum Sekolah Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara. Penulisan tesis ini masih

kurang sempurna, dan dengan segala keterbatasan, penulis berharap kiranya

penelitian ini dapat bermanfaat bagi penulis dan bagi pembaca sekalian.

Penulis yakin dengan pepatah yang mengatakan “tiada gading yang tak retak”

artinya bahwa tiada manusia yang luput dari kesalahan yang diperbuatnya, oleh

karena itu penulis akan dengan senang hati menerima saran dan kritikan yang bersifat

konstruktif dan edukatif demi kesempurnaan penulisan tesis yang penulis buat ini.

Didalam hal pembuatan tesis ini penulis yakin tidak akan terselesaikan begitu

saja tanpa adanya arahan, bimbingan, dorongan, motivasi dari orang-orang yang ada

disekitar penulis, baik yang bersifat moril ataupun materil. Oleh karena itu pada

kesempatan yang baik ini, perkenankanlah dengan segala kerendahan hati penulis

menghaturkan rasa terima kasih secara khusus kepada yang terhormat:

1. Bapak, Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, MSc, (CTM), SP.A(K),selaku

Rektor atas kesempatan menjadi mahasiswi pada Program Studi Magister Ilmu

(8)

2. Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu, SH, M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara atas kesempatan menjadi mahasiswi pada Program

Studi Magister Ilmu Hukum Sekolah Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Prof. Dr. Suhaidi, SH, MH, selaku Direktur Sekolah Pasca Sarjana

Universitas Sumatera Utara atas kesempatan yang telah diberikan untuk

menyelesaikan pendidikan Program Studi Magister Ilmu Hukum Sekolah Pasca

Sarjana Universitas Sumatera Utara.

4. Bapak Prof. Syafruddin Kalo, SH, M.Hum, selaku Komisi Pembimbing Utama

Penulis.

5. Bapak Dr. Mahmud Mulyadi, SH, M.Hum selaku Komisi Pembimbing Kedua

Penulis.

6. Ibu Dr. Marlina, SH, M.Hum selaku Komisi Pembimbing Ketiga Penulis.

7. Bapak Dr. Madiasa Ablisar, SH, MS selaku Komisi Penguji Penulis.

8. Bapak Syafruddin S. Hasibuan, SH, MH, DFM selaku Komisi Penguji Penulis.

Yang telah banyak membantu penulis dengan memberikan arahan, bimbingan,

petunjuk dan dorongan semangat serta motivasi untuk kesempurnaan penulisan ini

hingga bisa terselesaikan. Atas segala bantuan tersebut, penulis berdoa kepada Tuhan

Yang Maha Kuasa agar para pembimbing dan para penguji penulis senantiasa

mendapat lindungan, rahmat, hidayah dan kasihNya dan senantiasa mendapatkan

kebahagiaan di dunia dalam menjalani kehidupan serta pengabdian tugasnya sebagai

kalangan akademisi dan di akhirat kelak.

(9)

1. Ayahanda tercinta Kompol M. Sitepu dan Ibunda terkasih M.D Bangun. Dengan

segenap jiwa dan lembut kasih sayangnya yang telah mengimaniku dengan

kasihNya, mengajarkanku setiap hal terbaik, memberiku kasih terkuat dan jiwa

yang besar saatku jatuh lalu berdiri tegar, dan menuntun penulis menyongsong

masa depan yang lebih baik. Merekalah yang telah menghantarkan penulis dalam

usaha mencapai kemantapan hidup guna menjadi putri kebanggaan. Oleh karena

itu penulis berdoa semoga Tuhan Yang Maha Kuasa senantiasa memberikan

perlindunganNya, memberikan kebahagiaan, kesehatan serta umur yang panjang.

2. Abang-abang tercinta dr. Franky Hadinata Sitepu dan Fredy Widi Asmara Sitepu,

ST dan adik tercinta Bram Aditya Sitepu yang telah mendoakan penulis dalam

menyelesaikan studi pada Program Studi Magister Ilmu Hukum, semoga

senantiasa dalam lindungan Tuhan Yang Maha Kuasa dan senantiasa dimudahkan

segala cita-citanya.

3. Bapak Kabag Analis Direktorat Narkoba Polda Sumut, AKBP K.A.M Sinambela,

dan Bapak Kompol J. Silaban yang telah memberikan kesempatan kepada penulis

untuk melakukan penelitian di Satuan Narkoba Polda Sumut.

4. Bapak Kepala Bidang Pembinaan Lembaga Pemasyarakatan Kelas IA Tanjung

Gusta Medan, serta informan yang bersedia diwawancara serta membantu untuk

penyelesaian tesis ini.

5. Para Dosen dan Staff Program Studi Magister Ilmu Hukum Sekolah Pasca Sarjana

(10)

6. Sahabat dan rekan-rekan mahasiswa seperjuangan Nancy Yosepin Simbolon, SH,

MH terimakasih buat kebersamaannya selama ini dan terimakasih juga buat

tumpangannya dengan si fero yang setia menemani penelitian ke lembaga,

Ramadhan Putra Gayo terimakasih telah menemani selama melakukan penelitian

ke lembaga, Melita Berlina Meliala, SH, MH terimakasih buat kebersamaannya

mulai dari kuliah di Palembang sampai kuliah di Medan. Mughni Sulubara, SH,

MH, Irma Atika Rangkuti, SH, MH, Reka Elvina Gulo, Agus Pratama terimakasih

teman-teman buat kebersamaannya selama ini. Rina Consela, Cornelius

Sembiring, Benny Capah, Rony Marbun terimakasih teman-teman buat

dukungannya.

Penulis menyadari tesis ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu,

kritik dan saran sangat diharapkan guna kesempurnaan tesis ini di masa yang akan

datang. Semoga tesis ini bermanfaat dan memberikan kontribusi yang berarti bagi

pengembangan ilmu hukum khususnya hukum pidana.

Medan, Agustus 2011

Penulis

(11)

RIWAYAT HIDUP

Nama : Lidya Carolina Sitepu

Tempat/Tanggal Lahir : Medan, 30 April 1986

Jenis kelamin : Perempuan

Agama : Protestan

Pendidikan : 1. SD Swasta Methodist Berastagi,Lulus Tahun 1998

2. SMP Negeri 1 Berastagi, Lulus Tahun 2001

3. SMU Negeri 2 Kabanjahe, Lulus Tahun 2004

4. Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya,Lulus Tahun

2008

5. Program Studi Magister Ilmu Hukum Universitas

(12)

DAFTAR ISI

ABSTRAK... i

ABSTRACT... ii

KATA PENGANTAR... iii

RIWAYAT HIDUP... vii

DAFTAR ISI... viii

DAFTAR TABEL ... x

BAB I : PENDAHULUAN... 1

A.Latar Belakang... 1

B.Perumusan Masalah... 10

C.Tujuan Penelitian... 10

D.Manfaat Penelitian... 10

E. Keaslian Penelitian... 11

F. Kerangka Teori dan Konsep... 11

1. Kerangka Teori... 11

2. Kerangka Konsep... 15

G. Metode Penelitian... 20

1. Jenis Penelitian... 20

2. Sumber Data... 21

3. Teknik Pengumpulan Data... 23

4. Analisis Data... 23

BAB II : FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB TINDAK PIDANA NARKOTIKA... 24

A.Kajian Kriminologi Penyebab Terjadinya Kejahatan... 24

1. Teori yang menjelaskan kejahatan dari perspektif biologis... 25

(13)

B.Faktor-Faktor Penyebab Terjadinya Tindak Pidana Narkotika... 34

1. Faktor Internal Pelaku... 34

2. Faktor Eksternal Pelaku... 36

C.Bahaya dan Akibat Penyalahgunaan Narkotika... 43

BAB III : KEBIJAKAN PENEGAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP TINDAK PIDANA NARKOTIKA... 52

A.Pengaturan Hukum Terhadap Tindak Pidana Narkotika... 52

1. Ketentuan Pidana Terhadap Tindak Pidana Narkotika... 59

2. Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Tindak Pidana Narkotika 63 B.Penegakan Hukum Pidana Terhadap Tindak Pidana Narkotika 72 1. Penerapan Hukum Pidana... 72

2. Peran Polri dalam Penanggulangan Tindak Pidana Narkotika 75

3. Peran Orang Tua, Sekolah (Perguruan Tinggi), Masyarakat, Pemerintah dalam Penanggulangan Tindak Pidana Narkotika 95

BAB IV : KESIMPULAN DAN SARAN... 102

A.Kesimpulan... 102

B.Saran... 103

(14)

DAFTAR TABEL

Tabel 1 : Jumlah Kasus dan Tersangka Tindak Pidana Narkotika

Di Sumatera Utara Tahun 2007 sampai dengan Mei 2011... 6

Tabel 2 : Data Tersangka Tindak Pidana Narkotika Menurut Umur Pelaku

Di Sumatera Utara Tahun 2007 sampai Bulan Mei 2011... 7

Tabel 3 : Data Tersangka Tindak Pidana Narkotika di Sumatera Utara

(15)

ABSTRAK

Jumlah kasus dan tersangka tindak pidana narkotika di Sumatera Utara Tahun 2007 sampai dengan Mei 2011 adanya 12.273 kasus dengan 16.847 tersangka. Meningkatnya tindak pidana narkotika ini pada umumnya disebabkan dua hal, yaitu: pertama, bagi para pengedar menjanjikan keuntungan yang lebih besar, sedangkan bagi para pemakai menjanjikan ketentraman dan ketenangan hidup, sehingga beban psikis yang dialami dapat dihilangkan. Kedua, janji yang diberikan narkotika itu menyebabkan rasa takut terhadap resiko tertangkap menjadi berkurang, bahkan sebaliknya akan menimbulkan rasa keberanian. Dampak negatif dari narkotika tidak hanya menjangkau pengguna secara individu saja, tetapi juga generasi muda penerus bangsa dan bernegara. Permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini yaitu apakah yang menjadi faktor-faktor terjadinya tindak pidana narkotika di Sumatera Utara, bagaimanakah kebijakan penegakan hukum pidana terhadap tindak pidana narkotika.

Menjawab permasalahan diatas, maka penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif dan yuridis sosiologis. Jenis data yang digunakan adalah data primer yang diperoleh melalui studi lapangan dan data sekunder yang diperoleh melalui studi pustaka. Informan dalam penelitian ini terdiri atas petugas kepolisian besar daerah sumatera utara dan narapidana lembaga pemasyarakatan tanjung gusta medan. Keseluruhan data dianalisis secara kualitatif dengan menggunakan penulisan deskriptif analitis.

Dari hasil penelitian dapat diketahui bahwa faktor penyebab terjadinya tindak pidana narkotika di sumatera utara pada umumnya karena faktor ekonomi yang sulit dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari yang menyebabkan napi tersebut menjual narkotika dengan mendapatkan keuntungan yang lebih besar, selain itu karena faktor keluarga yang mendidik dengan keras dari kecil, dan kurangnya kasih sayang yang didapatkan dan faktor lain dikarena rasa keingintahuan/coba-coba dalam memakai narkotika, dari rasa coba-coba napi tersebut menjadi pecandu dikarenakan untuk mendapatkan inspirasi dalam membuat lagu.

Kebijakan Penegakan Hukum Pidana terhadap Tindak Pidana Narkotika diatur dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Upaya penegakan hukum yang dilakukan oleh penyidik kepolisian dalam memberantas tindak pidana narkotika dimulai dari observasi, pembuntutan, pembelian terselubung, dan penyerahan yang diawasi. Peran polisi dalam penanggulangan tindak pidana narkotika dilakukan dengan penanggulangan preventif dilakukan dengan mengadakan penyuluhan kepada masyarakat, baik itu anak sekolah, orang tua, maupun pemuka masyarakat serta pemuka agama akan bahayanya narkotika. Penanggulangan bersifat represif merupakan upaya penindakan dan penegakan hukum dengan memberikan sanksi pidana maka dapat membuat jera pelaku tindak pidana narkotika. Upaya tersebut berupa penghancuran jaringan utama peredaran gelap, pengembangan teknik control delevery (penyerahan yang diawasi).

(16)

ABSTRACT

There were 12.273 cases and 16.847 suspects of narcotics in Sumatera Utara from 2007 to May 2011. This increasing number of narcotics-related criminal acts, in general, are caused by two things: first, to the dealers, narcotics promises them a bigger benefit, while to the users, narcotics promises them a calm and peaceful life that they can free themselves from the psychological problem they are having; second, the promise given by the narcotics lessens their fear of getting arrested, it can even make them more fearless. The negative impact of narcotics is not only experienced by the user individually, but also all of our young generation. The research problems discussed in this study were what factors did initiate the incident of the narcotics-related criminal act in Sumatera Utara and how the criminal law policy was implemented in coping with the narcotics-related criminal act.

To answer the research problems above, this study employed normative juridical and sociological juridical approaches. The data used in this study were primary data obtained through field research and secondary data obtained through library research. The informants for this study were the police officers from Sumatera Utara Police Department and the convicted criminal in Tanjung Gusta Penitentiary, Medan. All of the data obtained were qualitatively analyzed by means of analytical descriptive writing.

The result of this study showed that, in general, the causal factors of the incident of the narcotics-related criminal act in Sumatera Utara were the economic factor – it was very difficult for them to meet their daily necessity that they sold narcotics to get bigger benefit, and the family factor – when they were kids, they were very strictly educated by their parents so they felt that they did not get love and affection from their parents, and the factor of curiosity – because of their curiosity, they tried to consume the narcotics to get some inspiration in writing song then they became addicted to it.

The policy on Criminal Law Reinforcement towards the Narcotics-Related Criminal Act is regulated in Law No.35/2009 on Narcotics. The attempt of law upholding done by the police investigating officers in eliminating the narcotics-related criminal act started with observation, survelaince, undercover buy, and controlled delivery. The role of police officers in coping with the narcotics-related criminal act was done preventively by providing extension on the danger of narcotics to the community members such as students, parents, public figures, and religious leaders. Repressive action was conducted by giving criminal sanction that can make the criminals learn from what they have done. This attempt was done in the form of destroying the main network of illegal distribution and developing the controlled delivery technique.

(17)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman,

baik sintetis maupun semisintetis, yang dapat menyebabkan penurunan atau

perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri,

dan dapat menimbulkan ketergantungan.1 Di satu sisi narkotika merupakan obat atau

bahan yang bermanfaat di bidang pengobatan, pelayanan kesehatan dan

pengembangan ilmu pengetahuan, namun di sisi lain dapat menimbulkan

ketergantungan yang sangat merugikan apabila dipergunakan tanpa adanya

pengendalian, pengawasan yang ketat dan seksama.

Persoalan mengenai narkotika semakin lama semakin meningkat. Narkotika

menjadi persoalan nasional bahkan internasional karena akibat dan dampak yang

ditimbulkan telah meluas ke seluruh negara. Secara nasional perdagangan narkotika

telah meluas kedalam setiap lapisan masyarakat, mulai lapisan masyarakat atas

sampai masyarakat bawah.2 Dari segi usia, narkotika tidak dinikmati golongan

remaja saja, tetapi juga golongan setengah baya maupun golongan usia tua.

Penyebaran narkotika sudah tidak lagi hanya di kota besar, tetapi sudah masuk

kota-kota kecil dan merambah di kecamatan bahkan desa-desa.3

1

Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.

2

Nurmalawaty, Penegakan Hukum Pidana Dalam Penanggulangan Penyalahgunaan Narkoba, Majalah Hukum USU Vol. 9 No. 2 Agustus 2004, hal.188.

3

(18)

Penggunaan narkotika bagi orang awam atau orang kurang mengerti, tentu

saja dapat dipahami. Tetapi bagi seseorang yang mengkonsumsi narkotika yang

sebelumnya sudah mengetahui akibat-akibatnya adalah di luar nalar kita. Menurut

Graham Blaine seorang psikiater, sebab-sebab penyalahgunaan narkotika adalah

sebagai berikut:4

a. Untuk membuktikan keberanian dalam melakukan tindakan-tindakan yang berbahaya dan mempunyai resiko;

b. Untuk menantang suatu otoritas terhadap orangtua, guru, hukum atau instansi berwenang;

c. Untuk mempermudah penyaluran dan perbuatan seksual;

d. Untuk melepaskan diri dari rasa kesepian dan ingin memperoleh pengalaman-pengalaman emosional;

e. Untuk berusaha agar dapat menemukan arti hidup;

f. Untuk mengisi kekosongan dan mengisi perasaan bosan, karena kurang kesibukan;

g. Untuk menghilangkan rasa frustasi dan kegelisahan yang disebabkan oleh problema yang tidak bisa diatasi dan jalan pikiran yang buntu, terutama bagi mereka yang mempunyai kepribadian yang tidak harmonis;

h. Untuk mengikuti kemauan kawan dan untuk memupuk solidaritas dengan kawan-kawan;

i. Karena didorong rasa ingin tahu (curiosty) dan karena iseng (just for kicks).

Penyebab penggunaan narkotika secara tidak legal yang dilakukan oleh para

remaja dapatlah dikelompokkan tiga keinginan yaitu:5

1. Mereka yang ingin mengalami (the experience seekers) yaitu ingin memperoleh pengalaman baru dan sensasi dari akibat pemakaian narkotika; 2. Mereka yang bermaksud menjauhi atau mengelakkan realita hidup (the

oblivion seekers) yaitu mereka yang menganggap keadaan terbius sebagai tempat pelarian terindah dan ternyaman;

3. Mereka yang ingin merubah kepribadiannya (personality change) yaitu mereka yang beranggapan menggunakan narkotika dapat merubah kepribadian, seperti menjadi tidak kaku dalam pergaulan.

4

Ibid., hal. 6.

5

(19)

Di kalangan orang-orang dewasa dan yang telah lanjut usia menggunakan

narkotika dengan sebab-sebab sebagai berikut:6

1. Menghilangkan rasa sakit dari penyakit kronis;

2. Menjadi kebiasaan (akibat penyembuhan dan menghilangkan rasa sakit);

3. Pelarian dari frustasi;

4. Meningkatkan kesanggupan untuk berprestasi (biasanya sebagai zat

perangsang).

Pada awalnya narkotika digunakan untuk kepentingan umat manusia,

khususnya untuk pengobatan dan pelayanan kesehatan. Di dunia kedokteran,

narkotika banyak digunakan khususnya dalam proses pembiusan sebelum pasien

dioperasi mengingat di dalam narkotika terkandung zat yang dapat mempengaruhi

perasaan, pikiran, serta kesadaran pasien.7 Namun, jika disalahgunakan atau

digunakan tidak sesuai dengan standar pengobatan dapat menimbulkan akibat yang

sangat merugikan bagi perseorangan atau masyarakat khususnya generasi muda. Oleh

karena itu, agar penggunaan narkotika dapat memberikan manfaat bagi kehidupan

umat manusia, peredarannya harus diawasi secara ketat sebagaimana diatur dalam

Pasal 4 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika yang

menyebutkan, pengaturan narkotika bertujuan untuk:

a. menjamin ketersediaan Narkotika untuk kepentingan pelayanan kesehatan

dan/atau pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi;

6

Hari Sasangka., Op. Cit., hal. 7.

7

(20)

b. mencegah, melindungi, dan menyelamatkan bangsa Indonesia dari

penyalahgunaan Narkotika;

c. memberantas peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika; dan

d. menjamin pengaturan upaya rehabilitasi medis dan sosial bagi penyalah guna

dan pecandu Narkotika.

Peredaran narkotika di dalam negeri hampir meliputi kota besar dan sejumlah

desa, dan sebagai tempat transaksi biasanya tempat hiburan (diskotik, karaoke),

lingkungan kampus, hotel, apartemen, dan tempat kumpul remaja seperti mall, pusat

belanja, dan lain-lain.8 Pentingnya peredaran narkotika perlu diawasi secara ketat

karena saat ini pemanfaatannya banyak untuk hal-hal negatif. Disamping itu, melalui

perkembangan teknologi informasi dan komunikasi, penyebaran narkotika sudah

menjangkau hampir ke semua wilayah Indonesia hingga ke pelosok-pelosok. Daerah

yang sebelumnya tidak pernah tersentuh oleh peredaran narkotika lambat laun

berubah menjadi sentra peredaran narkotika. Begitu pula anak-anak yang pada

mulanya awam terhadap barang haram ini telah berubah menjadi sosok pecandu yang

sukar untuk dilepaskan ketergantungannya.9

Peredaran narkotika secara ilegal harus segera ditanggulangi mengingat efek

negatif yang akan ditimbulkan tidak saja pada penggunanya, tetapi juga bagi

keluarga, komunitas, hingga bangsa dan negara. Meningkatnya tindak pidana

narkotika ini pada umumnya disebabkan dua hal, yaitu: pertama, bagi para pengedar

8

Togar M. Sianipar, Perkembangan Kejahatan Narkoba, Makalah dalam seminar Narkoba di Departemen Kehakiman dan HAM tanggal 22 Juli 2003, hal. 9.

9

(21)

menjanjikan keuntungan yang lebih besar, sedangkan bagi para pemakai menjanjikan

ketentraman dan ketenangan hidup, sehingga beban psikis yang dialami dapat

dihilangkan. Kedua, janji yang diberikan narkotika itu menyebabkan rasa takut

terhadap resiko tertangkap menjadi berkurang, bahkan sebaliknya akan menimbulkan

rasa keberanian.10

Tindak pidana narkotika yang dimaksud dalam Undang-Undang No. 35

Tahun 2009 tentang Narkotika memberikan sanksi pidana yang cukup berat, namun

demikian dalam kenyataannya para pelaku kejahatan justru semakin meningkat, dan

bagi para terpidana dalam kenyataannya tidak jera dan justru ada kecenderungan

untuk mengulanginya lagi. Hal ini dapat diakibatkan oleh adanya faktor penjatuhan

pidana yang tidak memberikan dampak atau deterrent effect terhadap para pelakunya.

Dampak negatif dari narkotika tidak hanya menjangkau pengguna secara

individu saja, tetapi juga generasi muda penerus bangsa dan bernegara. Dalam rangka

pelaksanaan politik kriminal, pemerintah berupaya menetapkan kebijakan-kebijakan

sebagai langkah antisipasi terhadap kejahatan penyalahgunaan narkotika yaitu dengan

menggunakan dan menerapkan sarana penal. Kebijakan penetapan pidana dalam

perundang-undangan menurut Barda Nawawi Arief merupakan:11

Tahap yang paling strategis dilihat dari keseluruhan proses kebijaksanaan untuk mengoperasionalkan sanksi pidana. Pada tahap inilah dirumuskan garis-garis kebijakan sistem pidana dan pemidanaan yang sekaligus merupakan landasan legalitas bagi tahap-tahap berikutnya, yaitu tahap penerapan pidana

10

Moh. Taufik Makarao, Tindak Pidana Narkotika, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2003), hal. 6.

11

(22)

oleh badan pengadilan dan tahap pelaksanaan pidana oleh aparat pelaksana pidana.

Penyalahgunaan narkotika sudah menjadi isu yang umum oleh karena itu

setiap masyarakat diharapkan partisipasinya dalam menanggulangi bahaya narkotika.

Di Sumatera Utara tindak pidana narkotika mengalami peningkatan dari tahun 2007

sampai dengan Mei 2011 seperti dalam tabel di bawah ini.

Tabel 1

Jumlah Kasus dan Tersangka Tindak Pidana Narkotika di Sumatera Utara Tahun 2007 sampai dengan Mei 2011

NO TAHUN Kasus Tersangka JUMLAH 1 2007 2.958 4.160 7.118 2 2008 2.666 3.896 6.562 3 2009 2.802 3.531 6.333 4 2010 2.718 3.736 6.454 5 Mei 2011 1.129 1.524 2.653 JUMLAH 12.273 16.847 29.120 Sumber: Direktorat Reserse Narkoba Polda Sumut Tahun 2011

Tabel di atas menunjukkan tindak pidana narkotika dari tahun 2007 sampai

dengan Mei 2011 mengalami penurunan dan peningkatan. Tahun 2007 tercatat kasus

tindak pidana narkotika sebanyak 2.958 dengan jumlah tersangka 4.160 orang. Tahun

2008 mengalami penurunan tercatat ada sebanyak 2.666 kasus dengan tersangka

3.896 orang. Tahun 2009 terjadinya kenaikan tindak pidana narkotika sebanyak 2.802

kasus dengan jumlah tersangka 3.531 orang. Tahun 2010 juga terjadi kenaikan

dengan kasus sebanyak 2.718 kasus dengan jumlah tersangka 3.736 orang.

Sedangkan Mei 2011 ada sebanyak 1.129 kasus tindak pidana narkotika dengan

(23)

Tindak pidana narkotika di Sumatera Utara sangat marak sekali, mulai dari

anak-anak sampai orang dewasa seperti dalam tabel dibawah ini.

Tabel 2

Data Tersangka Tindak Pidana Narkotika Menurut Umur Pelaku Di Sumatera Utara Tahun 2007 sampai Bulan Mei 2011

UMUR PELAKU JUMLAH 170 2.128 6.240 6.312 9.671 24.531 Sumber: Direktorat Reserse Narkoba Polda Sumut Tahun 2011

Tabel diatas menunjukkan bahwa yang menyalahgunakan narkotika di bawah

usia 15 tahun pada tahun 2007 ada sebanyak 26 orang, sementara di tahun 2008

mengalami sedikit peningkatan sebanyak 32 orang, di tahun 2009 sampai tahun 2010

adanya penurunan menjadi 29 orang dan 18 orang, sementara sampai bulan Mei 2011

ada sebanyak 16 orang.

Berusia 16-19 tahun di tahun 2007 ada sebanyak 380 orang, di tahun 2008

sampai dengan tahun 2010 mengalami penurunan, sementara sampai dengan bulan

Mei 2011 yang menyalahgunakan narkotika sebanyak 85 orang. Tahun 2007 untuk

usia 20-24 tahun yang menyalahgunakan narkotika sebanyak 1.149 orang, antara

tahun 2008 sampai dengan tahun 2010 mengalami penurunan yang sangat drastis, dan

untuk bulan Mei 2011 ada sebanyak 248 orang. Sedangkan yang berusia 25-29 tahun

(24)

antara tahun 2008 sampai dengan tahun 2010 penyalahgunaan narkotika juga

mengalami penurunan, untuk bulan Mei 2011 ada sebanyak 370 orang.

Tahun 2007 untuk yang berusia diatas 30 tahun ada sebanyak 1.514 orang,

tahun 2008 ada sedikit peningkatan menjadi 1.567 orang, di tahun 2009 terjadi

penurunan menjadi 1.419 orang, sedangkan di tahun 2010 terjadi kenaikan sebanyak

1.934 orang, sementara untuk bulan Mei 2011 ada 805 orang.

Data diatas yang paling memprihatinkan adalah korban penyalahgunaan

narkotika yang pada umumnya masih remaja dan dewasa muda yang sedang dalam

masa produktif dan merupakan sumber daya manusia atau aset bangsa dikemudian

hari. Kondisi ini sangat memprihatinkan sekali apabila tidak bisa diatasi jelas akan

merusak generasi muda Indonesia dan merupakan bahaya yang sangat besar bagi

kehidupan manusia, bangsa dan negara. Namun di Sumatera Utara yang lebih banyak

menyalahgunakan narkotika justru pelaku yang berusia diatas 30 tahun.

Menurut status pelakunya penyalahgunaan narkotika yang terjadi di Sumatera

Utara dapat dilihat pada tabel di bawah ini.

Tabel 3

Data Tersangka Tindak Pidana Narkotika di Sumatera Utara Menurut Status Pelaku Tahun 2007 sampai Bulan Mei 2011

(25)

7 PENGANGGURAN 1.998 2.502 2.472 2.472 1.118 10.562 8 BURUH 881 409 503 851 175 2.819 JUMLAH 4.160 3.896 3.531 3.736 1.524 16.847 Sumber: Direktorat Reserse Narkoba Polda Sumut Tahun 2011

Tabel diatas menunjukkan bahwa TNI yang melakukan tindak pidana

narkotika dalam kurun waktu 2007 sampai Mei 2011 ada sebanyak 48 orang.

Sementara untuk POLRI ada sebanyak 100 orang, sedangkan untuk PNS ada

sebanyak 115 orang, untuk pegawai swasta sebanyak 2.406 orang, pelajar sebanyak

495 orang, mahasiswa sebanyak 302 orang, untuk kalangan pengangguran ada

sebanyak 10.562 orang, dan untuk kalangan buruh ada sebanyak 2.819 orang.

Berdasarkan data yang diungkapkan diatas bahwa tindak pidana narkotika diantara

masing-masing kalangan dari tahun 2007 sampai Mei 2011 menunjukkan adanya

kenaikan dan penurunan.

Permasalahan penyalahgunaan narkotika dan ketergantungan narkotika

mempunyai dimensi yang sangat luas dan kompleks, baik dari sudut medis, maupun

psikososial (ekonomi, politik, sosial, budaya, kriminalitas, kerusuhan massal dan lain

sebagainya). Seringkali terjadi dimasyarakat, dampak dari penyalahgunaan

ketergantungan narkotika antara lain: merusak hubungan kekeluargaan, menurunkan

kemampuan belajar dan produktivitas kerja secara drastis, sulit membedakan mana

perbuatan baik maupun perbuatan buruk, perubahan perilaku menjadi perilaku

antisosial, gangguan kesehatan, mempertinggi jumlah kecelakaan lalu lintas, tindak

kekerasan, dan kriminalitas lainnya.12 Berdasarkan alasan diatas, maka penulis

12

(26)

tertarik untuk menuliskannya menjadi suatu penelitian dalam tesis ini yang berjudul

“Kebijakan Penegakan Hukum Pidana terhadap Tindak Pidana Narkotika (Studi di

POLDA SUMUT)”.

B. Permasalahan

Berdasarkan uraian latar belakang diatas maka dapat dirumuskan beberapa

permasalahan sebagai berikut:

1. Apakah yang menjadi faktor-faktor terjadinya tindak pidana narkotika di

Sumatera Utara?

2. Bagaimanakah kebijakan penegakan hukum pidana terhadap tindak pidana

narkotika?

C. Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui faktor-faktor terjadinya tindak pidana narkotika.

2. Untuk mengetahui kebijakan penegakan hukum pidana terhadap tindak pidana

narkotika.

D. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat yang didapat dari hasil penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Secara teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran

secara teoritis dalam pengembangan ilmu hukum khususnya dalam bidang

hukum pidana mengenai kebijakan penegakan hukum pidana terhadap tindak

(27)

2. Secara Praktis

Penelitian ini ditujukan kepada kalangan aparat penegak hukum agar dapat

mengetahui kebijakan penegakan hukum pidana terhadap tindak pidana

narkotika. Khusus bagi masyarakat umum agar dapat mengetahui akibat dari

penyalahgunaan narkotika dan kebijakan penegakan hukum pidana apa yang

dapat digunakan terhadap tindak pidana narkotika.

E. Keaslian Penelitian

Berdasarkan penelitian dan penelusuran yang telah dilakukan, baik terhadap

hasil-hasil penelitian yang sudah ada maupun yang sedang dilakukan khususnya di

lingkungan Sekolah Pasca Sarjana Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara belum

ada penelitian menyangkut masalah “Kebijakan Penegakan Hukum Pidana terhadap

Tindak Pidana Narkotika di Sumatera Utara”. Akan tetapi ada beberapa tesis

membahas tentang narkotika namun di dalam tesis ini yang dibicarakan adalah

mengenai kebijakan penegakan hukum pidana terhadap tindak pidana narkotika

permasalahan yang diteliti tidaklah sama. Dengan demikian penelitian ini betul asli

dari segi substansi maupun dari segi permasalahan sehingga dapat

dipertanggungjawabkan kebenarannya secara ilmiah.

F. Kerangka Teori dan Konsep

1. Kerangka Teori

Kejahatan yang merupakan suatu bentuk gejala sosial yang tidak berdiri

sendiri, melainkan nampak adanya korelasi dengan berbagai perkembangan

(28)

lain adalah sebagai akibat sampingan yang negatif dari setiap kemajuan atau

perubahan sosial di dalam masyarakat.

Teori yang digunakan dalam penelitian tesis ini adalah teori kebijakan hukum

pidana (penal policy). Kebijakan hukum pidana (penal policy) adalah suatu ilmu

sekaligus seni yang pada akhirnya mempunyai tujuan praktis untuk memungkinkan

peraturan hukum positif dirumuskan secara lebih baik dan untuk memberi pedoman

tidak hanya kepada pembuat undang-undang, tetapi juga kepada pengadilan yang

menerapkan undang-undang dan juga kepada para penyelenggara atau pelaksana

putusan pengadilan.13

Politik hukum adalah kebijaksanaan politik yang menentukan peraturan

hukum apa yang seharusnya berlaku mengatur berbagai hal kehidupan bermasyarakat

dan bernegara.14 Mahfud MD juga memberikan defenisi politik hukum sebagai

kebijakan mengenai hukum yang akan atau telah dilaksanakan secara nasional oleh

pemerintah. Hal ini juga mencakup pula pengertian tentang bagaimana politik

mempengaruhi hukum dengan cara melihat konfigurasi kekuatan yang ada dibelakang

pembuatan dan penegakan hukum itu. Hukum tidak bisa hanya dipandang sebagai

pasal-pasal yang bersifat imperatif, melainkan harus dipandang sebagai subsistem

yang dalam kenyataannya bukan tidak mungkin sangat ditentukan oleh politik, baik

dalam perumusan materinya (pasal-pasal), maupun dalam penegakannya.15

13

Mahmud Mulyadi, Criminal Policy Pendekatan Integral Penal Policy dan Non Penal Policy dalam Penanggulangan Kejahatan Kekerasan, (Medan: Pustaka Bangsa Press, 2008), hal. 19.

14

Solly Lubis, Serba Serbi Politik dan Hukum Pidana,(Bandung: Alumni,1989), hal. 159.

15

(29)

Usaha penanggulangan kejahatan dengan hukum pidana pada hakikatnya

merupakan bagian dari usaha penegakan hukum (khususnya penegakan hukum

pidana). Oleh karena itu, sering pula dikatakan bahwa politik atau kebijakan hukum

pidana merupakan bagian dari kebijakan penegakan hukum (law enforcement

policy).16 Di samping itu, usaha penanggulangan kejahatan lewat pembuatan

undang-undang (hukum) pidana pada hakikatnya juga merupakan bagian integral dari usaha

perlindungan masyarakat (social welfare). Oleh karena itu, sangat wajar apabila

kebijakan atau politik hukum pidana juga merupakan bagian integral dari kebijakan

atau politik sosial (social policy). Kebijakan sosial dapat diartikan sebagai segala

usaha yang rasional untuk mencapai kesejahteraan masyarakat dan sekaligus

mencakup perlindungan masyarakat. Dengan penggunaan sarana penal dalam

menanggulangi kejahatan berarti upaya mewujudkan suatu hukum pidana yang dapat

diterapkan dalam masyarakat dalam jangka waktu yang lama dan menjadi kebijakan

perundang-undangan yang baik, maka ia harus memenuhi syarat yuridis, sosiologis

dan filosofis.

Menurut Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto:17

Suatu peraturan hukum berlaku secara yuridis apabila peraturan hukum tersebut penentuannya berdasarkan kaidah yang lebih tinggi tingkatannya. Suatu peraturan hukum berlaku secara sosiologis bilamana peraturan hukum tersebut diakui atau diterima oleh masyarakat kepada siapa peraturan hukum tersebut ditujukan. Peraturan hukum harus berlaku secara filosofis, apabila

16

Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, (Jakarta: Kencana, 2008), hal. 24.

17

(30)

peraturan hukum tersebut sesuai dengan cita-cita hukum sebagai nilai positif yang tinggi.

Barda Nawawi mengutarakan masih pentingnya menggunakan sarana penal

dalam rangka menanggulangi kejahatan yaitu:18

a. Sanksi pidana sangatlah diperlukan, kita tidak dapat hidup, sekarang maupun

di masa yang akan datang tanpa pidana;

b. Sanksi pidana merupakan alat atau sarana terbaik yang tersedia, yang kita

miliki untuk menghadapi kejahatan-kejahatan atau bahaya besar serta untuk

menghadapi ancaman-ancaman dari bahaya;

c. Sanksi pidana suatu ketika merupakan penjamin yang utama/terbaik dan suatu

ketika merupakan pengancam yang utama dari kebebasan manusia. Ia

merupakan penjamin apabila digunakan secara hemat, cermat dan secara

manusiawi, ia merupakan pengancam apabila digunakan secara sembarangan

dan secara paksa.

Kebijakan penanggulangan kejahatan dengan menggunakan sarana penal oleh

beberapa pakar kriminologi disebut juga dengan cara represif. Tindakan represif

menitikberatkan pada upaya pemberantasan/penindasan/penumpasan sesudah

kejahatan terjadi yaitu dengan dijatuhkannya sanksi pidana.19

Kebijakan hukum pidana diperlukan pendekatan yang berorientasi pada

kebijakan yang lebih bersifat pragmatis dan rasional, dan juga pendekatan yang

18

Barda Nawawi Arief, Kebijakan Legislatif dalam Penanggulangan Kejahatan dengan Pidana Penjara, (Semarang: CV. Ananta, 1994), hal. 31.

19

(31)

berorientasi pada nilai. Kebijakan kriminal tidak dapat dilepaskan sama sekali dari

masalah nilai. Terlebih bagi Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan garis

kebijakan pembangunan nasionalnya bertujuan membentuk manusia seutuhnya.

Apabila pidana yang digunakan sebagai sarana untuk tujuan tersebut, maka

pendekatan humanistik harus pula diperhatikan. Hal ini penting tidak hanya karena

kejahatan itu, pada hakikatnya merupakan masalah kemanusiaan, tetapi juga karena

pada hakikatnya pidana itu sendiri mengandung unsur penderitaan yang dapat

menyerang kepentingan atau yang paling berharga bagi kehidupan manusia.20

Dengan demikian diperlukan adanya keterpaduan dan kerjasama yang baik aparat

penegak hukum untuk menggunakan sarana penal dalam rangka menanggulangi

kejahatan. Keterpaduan tersebut pada akhirnya akan menuju tercapainya keselarasan,

keserasian dan keseimbangan hidup dalam masyarakat.

2. Kerangka Konsep

Kerangka konsepsional mengungkapkan beberapa konsepsi atau pengertian

yang akan dipergunakan sebagai dasar penelitian. Pentingnya defenisi operasional

adalah untuk menghindarkan perbedaan pengertian atau penafsiran mendua (dubius)

dari suatu istilah yang dipakai. Oleh karena itu, dalam penelitian ini di defenisikan

beberapa konsep dasar supaya secara operasional diperoleh hasil penelitian yang

sesuai dengan tujuan yang telah ditentukan, yaitu: kebijakan hukum pidana,

penegakan hukum, kepolisian, penyelidikan, penyidikan, tindak pidana, narkotika.

20

(32)

Kebijakan hukum pidana (penal policy) merupakan suatu ilmu sekaligus seni

yang pada akhirnya mempunyai tujuan praktis untuk memungkinkan peraturan

hukum positif dirumuskan secara lebih baik dan untuk memberi pedoman tidak hanya

kepada pembuat undang-undang, tetapi juga kepada pengadilan yang menerapkan

undang-undang, dan juga kepada para penyelenggara atau pelaksana putusan

pengadilan.21

Usaha penanggulangan kejahatan dengan hukum pidana pada hakikatnya

merupakan bagian dari usaha penegakan hukum (khususnya penegakan hukum

pidana). Oleh karena itu, sering pula dikatakan bahwa politik atau kebijakan hukum

pidana merupakan bagian dari kebijakan penegakan hukum (law enforcement

policy).22 Di samping itu, usaha penanggulangan kejahatan lewat pembuatan

undang-undang (hukum ) pidana pada hakikatnya juga merupakan bagian integral dari usaha

perlindungan masyarakat (social welfare). Oleh karena itu, sangat wajar apabila

kebijakan atau politik hukum pidana juga merupakan bagian integral dari kebijakan

atau politik sosial (social policy). Kebijakan sosial dapat diartikan sebagai segala

usaha yang rasional untuk mencapai kesejahteraan masyarakat dan sekaligus

mencakup perlindungan masyarakat.

Penegakan hukum (law enforcement), merupakan suatu istilah yang

mempunyai keragaman pengertian. Menurut Satjipto Rahardjo, penegakan hukum

diartikan sebagai suatu proses untuk mewujudkan keinginan-keinginan hukum, yaitu

21

Teguh Prasetyo, Politik Hukum Pidana, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), hal. 18.

22

(33)

pikiran-pikiran dari badan-badan pembuat undang-undang yang dirumuskan dan

ditetapkan dalam peraturan-peraturan hukum yang kemudian menjadi kenyataan.23

Penegakan hukum adalah keseluruhan kegiatan dari para pelaksana penegak hukum,

keadilan, dan perlindungan terhadap harkat dan martabat manusia, ketentraman, dan

kepastian hukum, sesuai dengan UUD 1945.24

Istilah polisi pada mulanya berasal dari Yunani yaitu politeia yang berarti

seluruh pemerintahan negara kota. Di abad sebelum masehi negara Junani terdiri dari

kota-kota yang dinamakan polis. Arti polisi demikian luasnya bahkan selain meliputi

seluruh pemerintahan negara kota, termasuk juga di dalamnya urusan-urusan

keagamaan seperti penyembahan terhadap dewa-dewanya. Setelah munculnya agama

Nasrani maka urusan keagamaan menjadi terpisah dari pemerintahan, sehingga arti

polisi menjadi seluruh pemerintahan negara dikurangi urusan agama.25

Menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia, istilah polisi berarti:26

a. Badan pemerintahan (sekelompok pegawai negeri) yang bertugas memelihara

keamanan dan ketertiban umum;

b. Pegawai negeri yang bertugas menjaga keamanan.

23

Satjipto Rahardjo, Masalah Penegakan Hukum Suatu Tinjauan Sosiologis, (Bandung: Sinar Baru, 1993), hal. 15., Lihat juga Soedarto, Kapita Selekta Hukum Pidana, (Bandung: Alumni, 1986), hal. 111. Penegakan hukum sebagai perhatian dan penggarapanperbuatan melawan hukum yangsungguh-sungguh terjadi (onrecht in actu) maupun perbuatan melawan hukum yang mungkin terjadi (onrecht in potentie).

24

Barda Nawawi Arief, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan Hukum Pidana, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1998), hal. 8.

25

Momo Kelana, Hukum Kepolisian, (Jakarta: Grasindo, 1994), hal. 14.

26

(34)

Menurut Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 Kepolisian

adalah segala hal-ihwal yang berkaitan dengan fungsi dan lembaga polisi sesuai

dengan peraturan perundang-undangan.

Penyelidikan berarti serangkaian tindakan mencari dan menemukan sesuatu

keadaan atau peristiwa yang berhubungan dengan kejahatan dan pelanggaran tindak

pidana atau yang diduga sebagai perbuatan tindak pidana.27 Penyelidikan merupakan

tindakan tahap permulaan penyidikan, akan tetapi penyelidikan bukan tindakan yang

berdiri sendiri terpisah dari fungsi penyidikan. Penyelidikan merupakan bagian yang

tak terpisah dari fungsi penyidikan.

Penyidikan merupakan serangkaian tindakan yang dilakukan pejabat penyidik

sesuai dengan cara yang diatur dalam undang-undang untuk mencari serta

mengumpulkan bukti, dan dengan bukti itu membuat atau menjadi terang tindak

pidana yang terjadi sekaligus menemukan tersangkanya atau pelaku tindak

pidananya.28

Istilah tindak pidana sering dipakai untuk menggantikan strafbaar feit.

“Perkataan feit itu sendiri di dalam bahasa Belanda berarti sebagian dari suatu

kenyataan atau een gedelte van de werkelijkheid, sedangkan strafbaar berarti dapat

dihukum sehingga secara harfiah perkataan strafbaar feit itu dapat diterjemahkan

sebagai sebagian dari suatu kenyataan yang dapat dihukum, yang sudah barang tentu

tidak tepat, oleh karena kelak kita akan ketahui bahwa yang dapat di hukum itu

27

M.Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Penyidikan dan Penuntutan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), hal. 101.

28

(35)

sebenarnya adalah manusia sebagai pribadi dan bukan kenyataan perbuatan ataupun

tindakan”.29

Tindak pidana adalah perbuatan yang oleh aturan hukum dilarang dan

diancam dengan pidana barang siapa yang melanggar larangan tersebut, selanjutnya

menurut wujud atau sifatnya tindak pidana itu adalah perbuatan yang melawan

hukum dan juga merugikan masyarakat dalam arti bertentangan dengan atau

menghambat dari terlaksananya tata dalam pergaulan masyarakat yang dianggap baik

dan adil. Dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa suatu perbuatan akan menjadi

tindak pidana, apabila perbuatan itu melawan hukum, merugikan masyarakat,

dilarang oleh aturan pidana dan pelakunya diancam dengan pidana.30

Soerdjono Dirjosisworo mengatakan bahwa pengertian narkotika:31

Zat yang bisa menimbulkan pengaruh tertentu bagi yang menggunakannya dengan memasukkan kedalam tubuh. Pengaruh tersebut bisa berupa pembiusan, hilangnya rasa sakit, rangsangan semangat dan halusinasi atau timbulnya khayalan-khayalan. Sifat-sifat tersebut yang diketahui dan ditemukan dalam dunia medis bertujuan dimanfaatkan bagi pengobatan dan kepentingan manusia di bidang pembedahan, menghilangkan rasa sakit dan lain-lain.

Menurut Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009, Narkotika

adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintetis

maupun semisintetis, yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran,

29

P.A.F.Lamintang, Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1997), hal. 181.

30

Martiman Prodjohamidjojo, Memahami Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia 2, (Jakarta: Pradnya Paramita, 1997), hal. 16.

31

(36)

hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat

menimbulkan ketergantungan.

G. Metode Penelitian

Penelitian merupakan sarana pokok dalam pengembangan ilmu

pengetahuan maupun teknologi. Hal ini disebabkan karena penelitian bertujuan

untuk mengungkapkan kebenaran secara sistematis, metodologi dan konsisten.

Melalui proses penelitian tersebut diadakan analisa dan konstruksi data yang telah

dikumpulkan.32

Oleh karena penelitian merupakan suatu sarana ilmiah bagi

pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, maka metodologi penelitian

yang diterapkan harus senantiasa disesuaikan dengan ilmu pengetahuan yang

menjadi induknya.33 Dengan demikian metode penelitian adalah merupakan

upaya ilmiah untuk memakai dan memecah suatu permasalahan berdasarkan

metode tertentu.

1. Jenis dan Sifat Penelitian

Jenis penelitian yang dilakukan dalam penyusunan tesis ini adalah

penelitian yuridis normatif.34 Penelitian yuridis normatif yaitu penelitian yang

difokuskan untuk mengkaji penerapan kaedah-kaedah atau norma-norma hukum

positif. Mengambil istilah Ronald Dworkin, penelitian semacam ini juga disebut

32

Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (UI:Press, 1986), hal. 3.

33

Soerjono Soekanto dan Sri Mahmudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1996), hal. 64.

34

(37)

dengan istilah penelitian doktrinal (doktrinal research), yaitu penelitian yang

menganalisis hukum baik yang tertulis di dalam buku (law at it is written in the

book), maupun hukum yang diputuskan oleh hakim melalui proses pengadilan

(law as it decided by the jungle through judicial process).35Penelitian yuridis

sosiologis yaitu penelitian yang bertitik tolak dari permasalahan dengan melihat

kenyataan yang terjadi di lapangan kemudian menghubungkannya dengan

peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Sifat penelitian dalam tesis ini adalah bersifat deskriptif analitis, penelitian

bersifat deskriptif analitis merupakan suatu penelitian yang menggambarkan,

menelaah, menjelaskan, dan menganalisis suatu peraturan hukum.

2. Sumber Data

Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder

yang berupa bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum

tersier, yaitu:

a. Bahan Hukum Primer

Bahan hukum primer adalah bahan hukum yang bersifat autoritatif

artinya mempunyai otoritas. Bahan hukum primer terdiri dari peraturan

perundang-undangan yang diurut berdasarkan hierarki36 seperti

peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan penelitian ini

35

Bismar Nasution, Metode Penelitian Hukum Normatif dan Perbandingan Hukum, disampaikan pada dialog interaktif tentang penelitian hukum dan hasil penulisan hukum pada majalah akreditasi, (Fakultas Hukum USU, tgl 18 Februari, 2003), hal. 2.

36

(38)

yaitu peraturan perundang-undangan yang berkaitan terhadap tindak

pidana narkotika yaitu Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang

Narkotika.

b. Bahan Hukum Sekunder

Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang terdiri atas

buku-buku teks yang ditulis oleh ahli hukum yang berpengaruh, jurnal-jurnal

hukum, pendapat para sarjana, kasus-kasus hukum, yurisprudensi, dan

hasil-hasil simposium mutakhir yang berkaitan dengan topik

penelitian.37 Dalam penelitian ini, bahan hukum sekunder yang

digunakan adalah berupa buku-buku rujukan yang relevan, hasil karya

tulis ilmiah, dan berbagai makalah yang berkaitan.

c. Bahan Hukum Tersier

Bahan hukum tersier adalah bahan hukum yang memberikan petunjuk

atau penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum

sekunder38 berupa kamus umum, kamus bahasa, surat kabar, artikel,

internet.

Penelitian ini juga didukung oleh data primer39 yang diperoleh

langsung melalui wawancara dengan beberapa narasumber yang terdiri dari

Kabag Analis Direktorat Narkoba Polda Sumut, 10 (sepuluh) orang narapidana

Lembaga Pemasyarakatan Klas IA Tanjung Gusta Medan.

37

Jhony Ibrahim, Op.Cit, hal. 296.

38

Ibid.

39

(39)

3. Teknik Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah:

a. Penelitian Kepustakaan (Library Reseaarch)

Penelitian kepustakaan ini dimaksud untuk memperoleh data sekunder

dengan mempelajari literatur-literatur, peraturan perundang-undangan,

teori-teori, pendapat para sarjana dan hal-hal lain yang berkaitan

dengan kebijakan penal.

b. Penelitian Lapangan (Field Research)

Penelitian lapangan dilakukan untuk memperoleh data primer. Data ini

diperoleh dengan menggunakan teknik wawancara (interviewguide).

Wawancara dilakukan dengan menggunakan daftar pertanyaan yang

sudah dipersiapkan terlebih dahulu.

4. Analisis Data

Keseluruhan data dalam penelitian ini dianalisis secara kualitatif.40

Analisis kualitatif ini akan dikemukakan dalam bentuk uraian yang sistematis

dengan menjelaskan hubungan antara berbagai jenis data. Selanjutnya semua data

diseleksi dan diolah, kemudian dianalisa secara deskriptif41 sehingga selain

menggambarkan dan mengungkapkan, diharapkan akan memberikan solusi atas

permasalahan dalam penelitian ini.

40

Muslan Abdurrahman, Sosiologi dan Metode Penelitian Hukum, (Malang: UMM Press, 2009), hal. 121.

41

(40)

BAB II

FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB TINDAK PIDANA NARKOTIKA

A. Kajian Kriminologi Penyebab Terjadinya Kejahatan

Kejahatan merupakan perbuatan anti-sosial yang secara sadar mendapat reaksi

dari negara berupa pemberian derita, dan kemudian sebagai reaksi terhadap

rumusan-rumusan hukum (legal definitions) mengenai kejahatan.42 Menurut Sue Titus Reid,

bagi suatu perumusan hukum tentang kejahatan, maka hal-hal yang perlu diperhatikan

yaitu:43

1. Kejahatan adalah suatu tindakan sengaja. Dalam pengertian ini seseorang tidak dapat dihukum hanya karena pikirannya, melainkan harus ada suatu tindakan atau kealpaan dalam bertindak. Kegagalan untuk bertindak dapat juga merupakan kejahatan, jika terdapat suatu kewajiban hukum untuk bertindak dalam kasus tertentu. Disamping itu pula, harus ada niat jahat;

2. Merupakan pelanggaran hukum pidana;

3. Yang dilakukan tanpa adanya suatu pembelaan atau pembenaran yang diakui secara hukum;

4. Yang diberi sanksi oleh negara sebagai suatu kejahatan atau pelanggaran.

Secara sosiologis, maka kejahatan merupakan suatu perikelakuan manusia

yang diciptakan oleh sebagian warga-warga masyarakat yang mempunyai kekuasaan

dan wewenang.44 Gejala yang dinamakan kejahatan pada dasarnya terjadi di dalam

proses dimana ada interaksi sosial antara bagian-bagian dalam masyarakat yang

mempunyai kewenangan untuk melakukan perumusan tentang kejahatan dengan

42

W.A. Bonger, Pengantar tentang Kriminologi, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1982), hal. 25.

43

Sue Titus Reid dalam Soerjono Soekanto, Kriminologi Suatu Pengantar, (Jakarta: Ghalia, 1981), hal. 22.

44

(41)

pihak-pihak mana yang memang melakukan kejahatan. Ciri pokok dari kejahatan

adalah perilaku yang dilarang oleh negara karena merupakan perbuatan yang

merugikan negara dan terhadap perbuatan itu negara bereaksi dengan hukuman

sebagai upaya pamungkas.

Pendapat tentang kejahatan di atas tertampung dalam suatu ilmu pengetahuan

yang disebut kriminologi. Kriminologi merupakan cabang ilmu pengetahuan yang

muncul abad ke-19 yang pada intinya merupakan ilmu pengetahuan yang

mempelajari sebab musabab dari kejahatan.

Kriminologi sebagai kumpulan ilmu pengetahuan tentang kejahatan yang bertujuan untuk memperoleh pengetahuan dan pengertian tentang gejala kejahatan dengan jalan mempelajari dan menganalisa secara ilmiah keterangan-keterangan, keseragaman-keseragaman, pola-pola dan faktor-faktor kausal yang berhubungan dengan kejahatan, pelaku kejahatan serta reaksi masyarakat terhadap keduanya.45

Sebab-sebab terjadinya kejahatan dalam kriminologi dikarenakan

faktor-faktor biologis (kejahatan karena bakat yang diperoleh sejak lahir) dan faktor-faktor

sosiologis (kejahatan karena pengaruh lingkungan masyarakat).

1. Teori yang Menjelaskan Kejahatan dari Perspektif Biologis

Cesare Lambroso (1835-1909) dengan bukunya yang berjudul L’huomo

delinquente (the criminal man) menyatakan bahwa penjahat mewakili suatu tipe

keanehan/keganjilan fisik, yang berbeda dengan non-kriminal. Lambroso mengklaim

bahwa para penjahat mewakili suatu bentuk kemerosotan yang termanifestasi dalam

45

(42)

karakter fisik yang merefleksikan suatu bentuk awal dari evolusi. Teori

Lambrosotentang born criminal menyatakan bahwa para penjahat adalah suatu

bentuk yang lebih rendah dalam kehidupan, lebih mendekati nenek moyang mereka

yang mirip kera dalam hal sifat bawaan dan watak dibanding mereka yang bukan

penjahat.46 Berdasarkan penelitiannya, Lombrosso mengklasifikasikan penjahat

dalam 4 (empat) golongan, yaitu:47

a. Born criminal yaitu orang yang memang sejak lahir berbakat menjadi penjahat; b. Insane criminal yaitu orang-orang yang tergolong ke dalam kelompok idiot dan

paranoid;

c. Occasional criminal atau criminaloid yaitu pelaku kejahatan berdasarkan

pengalaman yang terus menerus sehingga mempengaruhi pribadinya;

d. Criminals of passion yaitu pelaku kejahatan yang melakukan tindakan karena

marah, cinta atau karena kehormatan.

Disamping teori biologi dari Lombrosso, terdapat beberapa teori lain yang

menitikberatkan pada kondisi individu penjahat, antara lain:48

1. Teori Psikis, dimana sebab-sebab kejahatan dihubungkan dengan kondisi

kejiwaan seseorang. Sarana yang digunakan adalah tes-tes mental seperti tes

IQ.

2. Teori yang menyatakan bahwa penjahat memiliki bakat yang diwariskan oleh

orang tuanya. Pada mulanya amat mudah mendapati anak yang memiliki

karakter seperti orang tuanya, namun ternyata hasil yang sama pun tidak

jarang ditemui pada anak-anak yang diadopsi atau anak-anak angkat.

(43)

3. Teori Psikopati: berbeda dengan teori-teori yang menekankan pada

intelejensia ataupun kekuatan mental pelaku, teori psikopati mencari

sebab-sebab kejahatan dari kondisi jiwanya yang abnormal. Seorang penjahat di sini

terkadang tidak memiliki kesadaran atas kejahatan yang telah diperbuatnya

sebagai akibat gangguan jiwanya.

4. Teori bahwa kejahatan sebagai gangguan kepribadian sempat digunakan di

Amerika untuk menjelaskan beberapa perilaku yang dikategorikan sebagai

crime without victim (kejahatan tanpa korban) seperti pemabuk, gelandangan,

perjudian, prostitusi, penggunaan obat bius.

2. Teori yang Menjelaskan Kejahatan dari Perspektif Sosiologis

Secara sosiologis kejahatan merupakan suatu perilaku manusia yang

diciptakan oleh masyarakat. Ada hubungan timbal-balik antara faktor-faktor umum

sosial politik-ekonomi dan bangunan kebudayaan dengan jumlah kejahatan dalam

lingkungan itu baik dalam lingkungan kecil maupun besar. Teori-teori sosiologis

mencari alasan-alasan perbedaan dalam hal angka kejahatan di dalam lingkungan

sosial. Teori-teori ini dapat dikelompokkan menjadi tiga kategori umum yaitu: strain,

cultural deviance (penyimpangan budaya), social kontrol (kontrol sosial).49

Teori strain dan penyimpangan budaya memusatkan perhatian pada

kekuatan-kekuatan sosial (social forces) yang menyebabkan orang melakukan aktivitas

49

(44)

kriminal. Sebaliknya, teori kontrol sosial mempunyai pendekatan berbeda, teori ini

berdasarkan satu asumsi bahwa motivasi melakukan kejahatan merupakan bagian dari

umat manusia. Teori kontrol sosial mengkaji kemampuan kelompok-kelompok dan

lembaga-lembaga sosial membuat aturan-aturannya efektif.

a. Teori Differential Association

Teori yang dikemukakan oleh Edwin Sutherland ini pada dasarnya

melandaskan diri pada proses belajar, ini tidak berarti bahwa hanya pergaulan dengan

penjahat yang akan menyebabkan perilaku kriminal, akan tetapi yang terpenting

adalah isi dari proses komunikasi dari orang lain. TeoriDifferential Association ini

menekankan bahwa semua tingkah laku itu dipelajari, tidak ada yang diturunkan

berdasarkan pewarisan orang tua. Tegasnya, pola perilaku jahat tidak diwariskan tapi

dipelajari melalui suatu pergaulan yang akrab. Untuk itu, Edwin Sutherland kemudian

menjelaskan proses terjadinya perilaku kejahatan melalui 9 (sembilan) proposisi

sebagai berikut:50

1. Criminal behaviour is learned. Negatively, this means that criminal behaviour

is not inherited. (Perilaku kejahatan adalah perilaku yang dipelajari secara

negatif berarti perilaku itu tidak diwarisi).

2. Criminal behaviour is learned in interaction with other persons in a process

of communication.This communication is verbal in many respects but includes

also the communication of gesture (Perilaku kejahatan dipelajari dalam

50

(45)

interaksi dengan orang lain dalam suatu proses komunikasi. Komunikasi

tersebut terutama dapat bersifat lisan ataupun menggunakan bahasa isyarat).

3. The principal part of the learning of criminal behaviour occurs within

intimate personal groups. Negatively, this means that the interpersonal

agencies of communication, such as movies and newspaper, plays a relatively

unimportant part in the genesis of criminal behaviour (Bagian yang terpenting

dalam proses mempelajari perilaku kejahatan ini terjadi dalam kelompok yang

intim/dekat. Secara negatif ini berarti komunikasi yang bersifat tidak personal,

seperti melalui film dan surat kabar secara relatif tidak mempunyai peranan

penting dalam hal terjadinya kejahatan).

4. When criminal behaviour is learned, the learning in cludes (a) techniques of

committing the crime, which are sometimes very complicated, sometimes very

simple. (b) the specific direction of motives, drives, rationalizations and

attitudes. (ketika tingkah laku kejahatan dipelajari, maka yang dipelajari

meliputi (a) teknik-teknik melakukan kejahatan, yang kadang sangat sulit ,

kadang sangat mudah, (b) arah khusus dari motif-motif, dorongan-dorongan,

rasionalisasi-rasionalisasi dan sikap-sikap).

5. The specific direction of motives and drives is learned from definitions of the

legal codes as favorable on unfavorable.In some societies an individual is

surrounded by person who invariably define the legal codes as rules to be

(46)

favorable to the violation of the legal codes (Arah dari motif dan dorongan itu

dipelajari melalui definisi-definisi dari peraturan hukum. Dalam suatu

masyarakat kadang seseorang dikelilingi oleh orang-orang yang secara

bersamaan melihat apa yang diatur dalam peraturan hukum sebagai sesuatu

yang perlu diperhatikan dan dipatuhi, namun kadang ia dikelilingi oleh

orang-orang yang melihat aturan hukum sebagai sesuatu yang memberi peluang

dilakukannya kejahatan).

6. A person becomes delinquent because of an excess of definitions favorable to

violation of law definitions unfavorable to violation of law. (Seseorang

menjadi delinkuen karena ekses dari pola-pola pikir yang lebih melihat aturan

hukum sebagai pemberi peluang dilakukannya kejahatan daripada yang

melihat hukum sebagai sesuatu yang harus diperhatikan dan dipatuhi).

7. Differential association may vary in frequency, duration, priority and

intensity. (Differensial association bervariasi dalam hal frekuensi, jangka

waktu, prioritas serta intensitasnya).

8. The process of learning criminal behaviour by association with criminal and

anti-criminal patterns involves all of the mechanisms that are involved in any

other learning. (Proses mempelajari perilaku kejahatan yang diperoleh

(47)

menyangkut seluruh mekanisme yang lazimnya terjadi dalam setiap proses

belajar pada umumnya).

9. While criminal behaviour is an expression of general needs and values, it is

not explained by those general needs and values since non-criminal behaviour

is an expression of the same needs and values (Sementara perilaku kejahatan

merupakan pernyataan kebutuhan dan nilai umum, akan tetapi hal tersebut

tidak dijelaskan oleh kebutuhan dan nilai-nilai umum itu, sebab perilaku yang

bukan kejahatan juga merupakan pernyataan dari kebutuhan-kebutuhan dan

nilai-nilai yang sama).

Dengan diajukannya teori ini, Sutherland ingin menjadikan pandangannya

sebagai teori yang dapat menjelaskan sebab-sebab terjadinya kejahatan.

b. Teori Kontrol

Teori kontrol sosial merujuk pada pembahasan kejahatan yang dikaitkan

dengan variabel-variabel yang bersifat sosiologis, antara lain struktur keluarga,

pendidikan, dan kelompok dominan. Pada dasarnya, teori kontrol berusaha mencari

jawaban mengapa orang melakukan kejahatan. Berbeda dengan teori lain, teori

kontrol tidak lagi mempertanyakan mengapa orang melakukan kejahatan tetapi

berorientasi kepada pertanyaan mengapa tidak semua orang melanggar hukum atau

mengapa orang taat kepada hukum. Ditinjau dari akibatnya, pemunculan teori kontrol

disebabkan tiga ragam perkembangan dalam kriminologi. Pertama, adanya reaksi

Gambar

Tabel 1 Jumlah Kasus dan Tersangka Tindak Pidana Narkotika di Sumatera Utara
Tabel diatas menunjukkan bahwa yang menyalahgunakan narkotika di bawah
Tabel diatas menunjukkan bahwa TNI yang melakukan tindak pidana

Referensi

Dokumen terkait

Dalam skripsi ini penulis mengemukakan permasalahan yang menjadi factor-faktor penyebab terjadinya peredaran narkotika di Kota Gunungsitoli dan bentuk-bentuk tindak pidana

Jenis penelitian yang digunakan adalah deskriptif, 17 yaitu untuk memberikan gambaran selengkap-lengkapnya tentang norma-norma penegakan hukum terhadap tindak pidana

Hubungan tindak pidana pencucian uang dengan tindak pidana asal tindak pidana penyalahgunaan Narkotika dapat dilihat pada Pasal 2 ayat (1) huruf a bahwa hasil tindak

TERHADAP ANGGOTA MILITER YANG MELAKUKAN TINDAK PIDANA NARKOTIKA DI WILAYAH HUKUM PENGADILAN MILITER II – 11 YOGYAKARTA “.

narkotika, maka polisi sebagai penyidik memandang sama dengan tindak pidana yang lain. Artinya, dalam menangani tindak pidana ini penyidik menerapkan pula

Kegiatan pengabdian Peran Hukum Pidana dalam Pemberantasan Tindak Pidana Narkotika di SMA Muhammadiyah 1 Karanganyar bertujuan untuk mencegah terjadinya tindak pidana

Diharapkan dengan pidana mati yang dijatuhkan bagi para pelaku tindak pidana narkotika dapat memberantas peredaran narkotika di Indonesia, mengingat pidana penjara sudah tidak

Penyebab terjadinya tindak pidana Narkotika yang dilakukan oleh anggota Polri di wilayah Polda Jatim antara lain yang pertama adalah karena alas an ekonomi,