• Tidak ada hasil yang ditemukan

DISPARITAS PEMIDANAAN TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA NARKOTIKA TESIS OLEH DEVY IRYANTHY HASIBUAN / HK

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "DISPARITAS PEMIDANAAN TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA NARKOTIKA TESIS OLEH DEVY IRYANTHY HASIBUAN / HK"

Copied!
155
0
0

Teks penuh

(1)

DISPARITAS PEMIDANAAN TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA NARKOTIKA

TESIS

OLEH

DEVY IRYANTHY HASIBUAN 127005037 / HK

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2014

(2)

DISPARITAS PEMIDANAAN TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA NARKOTIKA

TESIS

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh Gelar Magister Hukum dalam Program Studi Ilmu hukum pada

Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara

Oleh

DEVY IRYANTHY HASIBUAN 127005037 / HK

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2014

(3)

JUDUL TESIS : DISPARITAS PEMIDANAAN TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA NARKOTIKA

NAMA : DEVY IRYANTHY HASIBUAN

N.I.M. : 127005037 PROGRAM STUDI : ILMU HUKUM

MENYETUJUI KOMISI PEMBIMBING

Ketua

Prof. Dr. Syafruddin Kalo, SH, M.Hum

Prof. Dr. Suhaidi, S.H., M.H.

Anggota Anggota Dr. Madiasa Ablisar, S.H., M.S.

Ketua Program Studi Magister Ilmu Hukum Dekan Fakultas Hukum

Prof. Dr. Suhaidi, SH, MH Prof. Dr. Runtung, SH, M.Hum

Tanggal Lulus : 27 Agustus 2014

(4)

Telah diuji

Pada tanggal 27 Agustus 2014

Panitia Penguji Tesis

Ketua Prof. Dr. Syafruddin Kalo, SH, M.Hum Anggota Prof. Dr. Suhaidi, S.H., M.H.

Dr. Madiasa Ablisar, S.H., M.S.

Dr. M. Hamdan, S.H., M.Hum Dr. Moh. Eka Putra, S.H., M. Hum

(5)

ABSTRAK

Kondisi pemidanaan terhadap para pelaku tindak pidana narkotika dalam praktik umumnya menimbulkan disparitas dalam penjatuhan pidana terhadap pelaku tindak pidana narkotika. Beberapa kasus tindak pidana narkotika yang telah dijatuhkan pidana oleh hakim pengadilan, menimbulkan disparitas pidana antara sesama hakim yang berbeda dalam memutus terhadap satu kasus yang sama. Selain disparitas yang terjadi dalam penjatuhan pidana oleh sesama majelis hakim, disparitas juga terjadi antara penuntutan dengan penjatuhan pidana.

Permasalahan yang diteliti pertama, bagaimana pemidanaan terhadap para pelaku tindak pidana narkotika berdasarkan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika dalam putusan pengadilan? Kedua, apa faktor-faktor penyebab terjadinya disparitas pidana dalam perkara tindak pidana narkotika yang dijatuhkan oleh hakim? Ketiga, bagaimanakah upaya meminimalisir terjadinya disparitas pidana dalam perkara-perkara tindak pidana narkotika?

Jenis metode penelitian yang digunakan adalah yuridis normatif, mengacu pada teori-teori, doktrin-doktrin, norma-norma dan asas-asas pemidanaan, serta kaidah-kaidah hukum tentang penjatuhan pidana dalam peraturan perundang- undangan maupun di dalam putusan pengadilan. Sedangkan sifat penelitian ini adalah deskriptif analitis, menggambarkan dan menguraikan serta sekaligus mengani fakta- fakta melalui pendekatan kasus dan peraturan perundang-undangan.

Disimpulkan, pertama, pemidanaan terhadap para pelaku tindak pidana narkotika berdasarkan UU Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika dalam putusan pengadilan dapat berpotensi menimbulkan disparitas pidana sebab interval antara ketentuan ancaman pidana minimum dan pidana maksimum terbuka lebar. Kedua, faktor-faktor penyebab terjadinya disparitas pidana dalam tindak pidana narkotika antara lain adalah tidak bekerjanya elemen-elemen SPP sebagaimana mestinya, perbedaan filosofi yang dianut oleh masing-masing hakim berbeda, ketiadaan pedoman pemidanaan bagi para hakim dalam menjatuhkan pidana, yudisial independen, dan kewenangan diskresi yang tidak terkontrol. Ketiga, upaya meminimalisir terjadinya disparitas pidana dalam perkara-perkara tindak pidana narkotika dapat dilakukan dengan cara yang paling efektif adalah membentuk pedoman pemidanaan.

Disarankan, pertama agar para hakim memiliki persepsi yang sama dengan mendasarkan pada filosofi pemidanaan yang sama dalam menjatuhkan pidana misalnya persepsi pemidanaan pada filosofi pemidanaan utilitarian. Kedua, agar para aparat penegak hukum dalam menjalankan sistem peradilan pidana harus diletakkan pada landasan prinsip diferensiasi fungsional sesuai dengan kewenangan yang diberikan undang-undang dijalankan dengan baik dan benar sebagaimana mestinya.

Ketiga agar di Indonesia perlu dibuat segera pedoman pemidanaan.

Kata Kunci: Disparitas Pemidanaan, Narkotika, dan Pedoman Pemidanaan.

(6)

ABSTRACT

Conditions of punishment against the perpetrators of the crime of narcotics in general practice caused the disparity in the imposition of criminal punishment against narcotics. some narcotics criminal cases that have been Composed by a criminal court judge, a criminal cause disparities among different judges in deciding cases against the same. In addition to disparities that occur in sentences by fellow judges, the disparity also occurs between the the imposition of criminal prosecution.

Problems studied first, how the punishment against the perpetrators of the crime of narcotics based on Law Number 35 Year 2009 on Narcotics in court decisions? Second, what are the factors that cause the disparity in criminal criminal narcotics imposed by the judge? Third, how to minimize the disparity in the criminal cases narcotic crime?

Type of research method used is normative, referring to the theories, doctrines, norms and principles of sentencing, as well as the legal principles of criminal punishment in the legislation or in the court decision. While the nature of this research is descriptive, and simultaneously illustrates and describes the facts and hold a case approach and legislation.

Concluded, first, punishment against perpetrators of narcotics under Law No.

35 of 2009 on Narcotics in the court ruling could potentially lead to disparities in the criminal because the interval between the minimum criminal penalty provisions and open wide maximum criminal. Second, the factors that cause the disparity in the criminal narcotic crime, among others, is no operation of the SPP elements as appropriate, differences in philosophy espoused by each judge is different, the absence of sentencing guidelines for judges in imposing a criminal, an independent judiciary, and uncontrolled disparities in the criminal cases narcotic crime can be done in the most effective way is to establish a sentencing guidelines.

It is suggested, first that judges have the same perception based on the same philosophy of punishment in imposing criminal punishment such as the perception of the utilitarian philosophy of punishment. Secondly, that the law enforcement officers in carrying out the criminal justice system should be put in the foundation principle of functional differentiation in accordance with the authority given to the laws executed properly as it should. Third order in Indonesia Sentencing guidelines need to be made soon.

Keyword : Disparities Punishment, Narcotics, and Sentencing Guideliner

(7)

KATA PENGANTAR

Dengan mengucapkan puji dan syukur kehadirat Allah SWT, berkat limpahan rahmat dan karunia-Nya yang maha pemurah lagi maha penyayang, penulis dapat menyelesaikan studi untuk memperoleh gelar Magister Hukum (M.H) di Program Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara dengan judul penelitian yaitu, ”Disparitas Pemidanaan Terhadap Pelaku Tindak Pidana Narkotika”. Penelitian ini telah dinyatakan lulus dalam yudisium dengan baik dan tepat pada waktunya pada tanggal .... Agustus 2014.

Sehubungan dengan itu, dengan kerendahan hati yang tulus dan ikhlas, penulis ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Rektor Universitas Sumatera Utara, Bapak Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, M.Sc(CTM). Sp.A(K);

2. Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu, SH, M.Hum;

3. Ketua Program Studi Magister Ilmu Hukum dan selaku Anggota Komisi Pembimbing II, Prof. Dr. Suhaidi, SH, MH, yang telah memberikan petunjuk, arahan, dan bimbingan selama pendidikan;

4. Prof. Dr. Syafruddin Kalo, SH, M.Hum, selaku Ketua Komisi Pembimbing yang telah banyak memberikan motivasi mulai sejak awal perkuliahan sampai pada akhirnya meja hijau tidak pernah bosan memberikan petunjuk, arahan, bimbingan, dan semangat yang luar biasa sehingga studi ini dapat selesai tepat waktu dengan nilai yang sangat memuaskan;

5. Dr. Madiasa Ablisar, SH. M.S, selaku Anggota Komisi Pembimbing III yang telah banyak memberikan koreksi untuk perbaikan dan mengarahkan penulis sampai kepada selesainya penelitian ini;

6. Seluruh dosen Program Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, seluruh Staf/Pegawai Adminstrasi yang telah melancarkan segala urusan yang berkenaan dengan administrasi

(8)

dan informasi selama studi berlangsung dan juga pada saat dilakukan penelitian ini;

7. Yang terhormat, Bapak Irfan Hasibuan, SH, dan Ibu Rosyanthy Matondang, setiap waktu dan sepanjang hari tidak lupa dengan ikhtiar dan berdoa agar penulis dapat mencapai cita-cita yang setinggi-tingginya dan selalu memberikan semangat dan mendukung untuk menyelesaikan studi ini;

8. Abangku tersayang, Alm. Rico Andry Hasibuan, Alky Reby Hasibuan, SH, serta saudara-saudaraku yang tidak dapat disebutkan satu per satu, yang penulis banggakan dalam keluarga besar kita;

9. Tri Kurniawan, SH, MH., yang telah banyak membantu, memberi dukungan dan kesabarannya untuk setia mendampingi penulis dalam keadaan apapun di dalam penelitian ini;

10. Seluruh teman-teman yang telah membantu dan memberi masukan kepada penulis sampai dengan selesainya penelitian ini yang tidak dapat disebutkan satu persatu.

Demikianlah sebagai kata pengantar, mudah-mudahan penelitian ini memberi manfaat bagi semua pihak dalam menambah dan memperkaya wawasan ilmu pengetahuan. Khusus kepada penulis, mudah-mudahan dapat memadukan dan mengimplementasikan ilmu serta mampu menjawab tantangan atas perkembangan hukum yang ada dalam masyarakat dan menjadikan “Hukum Sebagai Panglima”

khususnya hukum Pidana.

Akhir kata, mohon maaf atas ketidaksempurnaan dalam penelitian ini, penulis mengharapkan saran dan kritik yang membangun demi perbaikan ke depannya.

Semoga penulis lebih giat lagi menambah wawasan ilmu pengetahuan di masa-masa yang akan datang. Amin ya rabbal’alamin.

Medan, .... Agustus 2014 Penulis

Devy Iryanthy Hasibuan

(9)

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

I. Identitas Pribadi

Nama : Devy Iryanthy Hasibuan Tampat & Tgl Lahir : Medan, 07 Juli 1990 Jenis kelamin : Perempuan

Agama : Islam

Usia : 24 tahun

Status : Belum Menikah

Alamat : Jln. Kapas 5 No.2 Perumnas Simalingkar Medan E-mail : deviryanthyhsb@gmail.com

II. Pendidikan

1. SD Yayasan Al-azhar Medan (1996-2002) 2. SLTP Yayasan Al-azhar Medan (2002-2005) 3. SMA Negeri 2 Medan (2005-2008)

4. Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara (2008-2012)

5. Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara (2012- 2014)

(10)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... i

ABSTRACT... ii

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR RIWAYAT HIDUP ... vi

DAFTAR ISI ... vii

BAB I : PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Perumusan Masalah ... 15

C. Tujuan Penelitian ... 16

D. Manfaat Penelitian ... 16

E. Keaslian Penelitian ... 17

F. Kerangka Teori dan Landasan Konsepsional ... 19

1. Kerangka Teori ... 19

2. Landasan Konsepsional ... 28

G. Metode Penelitian ... 30

1. Jenis dan Sifat Penelitian ... 30

2. Sumber Data ... 30

3. Teknik dan Alat Pengumpulan Data ... 31

4. Analisis Data... 32

(11)

BAB II : PEMIDANAAN TERHADAP PARA PELAKU TINDAK PIDANA NARKOTIKA BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2009 TENTANG NARKOTIKA DALAM

PUTUSAN PENGADILAN ... 34

A. Pengertian Tindak Pidana ... 34

B. Ruang Lingkup Tindak Pidana Narkotika... 39

C. Makna Teoritis Pemidanaan ... 46

D. Pemidanaan Terhadap Para Pelaku Tindak Pidana Narkotika Berdasarkan UU Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika Dalam Putusan Pengadilan ... 53

BAB III : FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB TERJADINYA DISPARITAS PIDANA DALAM PERKARA TINDAK PIDANA NARKOTIKA ... 72

A. Makna Disparitas Pidana Dalam Pemidanaan... 72

B. Sistem Peradilan Pidana Berpotensi Menimbulkan Disparitas Pidana Narkotika ... 78

C. Faktor-Faktor Penyebab Terjadinya Disparitas Pidana Dalam Perkara Tindak Pidana Narkotika ... 85

1. Faktor Perbedaan Filosofi Pemidanaan ... 86

2. Faktor Ketiadaan Pedoman Pemidanaan ... 93

3. Faktor Dari Kewenangan Yudisial Independen ... 96

4. Faktor Kewenangan Diskresi Hakim ... 101

(12)

BAB IV : UPAYA MEMINIMALISIR TERJADINYA DISPARITAS PIDANA DALAM PERKARA-PERKARA TINDAK PIDANA

NARKOTIKA ... 105

A. Upaya Meminimalisir Disparitas Pidana Dalam Penuntutan ... 105

B. Upaya Meminimalisir Disparitas Pidana Dalam Perkara-Perkara Tindak Pidana Narkotika ... 124

BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN ... 132

A. Kesimpulan... 132

B. Saran ... 134

DAFTAR PUSTAKA ... 136

(13)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Hampir semua orang dapat dipastikan mengetahui barang berupa narkotika adalah terlarang di negeri ini bahkan dunia internasional juga melarang peredaran gelap dan penyalahgunaan narkotika. Namun walaupun narkotika merupakan barang terlarang, tetap saja banyak orang terlibat dalam kasus-kasus narkotika, baik menanam, mengedarkan, maupun mengkonsumsi narkotika.

Menyalahgunakan narkotika merusak diri sendiri dan menghancurkan calon- calon pemikir bangsa di masa depan. Mengapa dikatakan demikian, hal ini sehubungan dampak yang ditimbulkan dari penyalahgunaan narkotika itu sendiri berakibat pada putusnya sel-sel syaraf otak dan bahkan bisa menimbulkan kematian.1 Padahal makna hakiki dari narkotika itu sendiri adalah “menidurkan” (narcose atau narcosis, bahasa Inggris), tidak merasakan apa-apa (narke atau narkam, bahasa Yunani), dan menghilangkan rasa sakit, rasa nyeri.2

Argumentasi yuridis yang membuat narkotika menjadi dilarang adalah oleh karena dampak buruk (bahaya) yang ditimbulkan dari penyalahgunaan narkotika merusak sel-sel syaraf manusia, sehingga narkotika tersebut menjadi barang terlarang

1 M. Arief Hakim, Narkoba Bahaya dan Penanggulangannya, (Bandung: Jember, 2007), hal.

19.

2 Mardani, Penyalahgunaan Narkoba Dalam Perspektif Hukum Islam dan hukum Pidana Nasional, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2007), hal. 78.

(14)

untuk disalahgunakan. Narkotika dapat membelenggu penyalahgunanya untuk menjadi budak setia, tidak bisa meninggalkannya, selalu membutuhkannya, dan mencintainya melebihi siapapun. Narkotika memiliki 3 (tiga) sifat jahat yaitu habitual, aditif, dan toleran.

Sifat habitual narkotika membuat penyalahgunanya (pemakai) selalu teringat, terkenang dan terbayang sehingga cenderung untuk selalu mencari dan rindu (seeking). Sifat aditif narkotika membuat pemakainya terpaksa memakai terus dan tidak dapat menghentikannya. Sifat toleran narkotika membuat pemakainya semakin lama semakin menyatu dengan narkotika dan menyesuaikan diri dengan narkotika itu sehingga menuntut dosis pemakaian yang semakin tinggi.3

Dampak narkotika terhadap fisik penyalahguna antara lain: sakaw, kriminalitas, overdosis, penyakit berbahaya, kerusakan pada sel-sel syaraf otak, syaraf pembuluh darah, tulang, dan bahkan terhadap seluruh jaringan pada tubuh manusia. Sedangkan dampak narkotika terhadap mental (psikis) dan moral pemakainya menjadi penakut, egois, eksklusif, paranoid (selalu curiga dan bermusuhan), jahat, bahkan tidak peduli terhadap orang lain (apatis).4

Narkotika pada prinsipnya hanya dibolehkan misalnya diperuntukkan dalam keperluan medis untuk memberikan pengobatan dalam menghilangkan rasa sakit si pasien dengan kadar tertentu agar pasien tersebut tidak merasakan sakit ketika dilakukan operasi bedah dan lain-lain. Narkotika pada jenis-jenis tertentu ada pula

3 Subagyo Partodiharjo, Kenali Narkoba dan Musuhi Penyalahgunaannyai, (Jakarta: Gelora Aksara Pratama, 2003), hal. 29-30.

4 Ibid., hal. 31-34.

(15)

yang boleh digunakan pada saat terjadinya luka ketika perang, menghilangkan rasa sakit sementara sebelum pertolongan medis datang memberi bantuan.

Akibat dari faktor lingkungan, keluarga, ekonomi, dan faktor diri sendiri, dapat menimbulkan perilaku seseorang menjadi menyimpang dari yang seharusnya berbuat benar, yaitu menyalahgunakan narkotika.5

Sehubungan dengan Pasal 28A UUD 1945 mengamanatkan bahwa setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya, Pasal 281 ayat (4) UUD 1945 ini mengamanatkan adanya tanggung jawab negara dalam memberikan perlindungan hukum, dan penegakan hukum terhadap hak asasi manusia. Norma tersebut dipertegas dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika dalam rangka memberikan perlindungan hukum terhadap warga negaranya dari penyalahgunaan narkotika.

Penyalahgunaan narkotika tidak hanya disepakati secara yuridis sebagai perbuatan yang dilarang jika pemakai (pengguna) mengonsumsinya, tetapi juga bagi siapa saja yang menanam, menyimpan, memiliki, menguasai, menyediakan, memproduksi, mengimpor, mengekspor, atau menyalurkan, menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menerima, menjadi perantara dalam jual beli, menukar, atau menyerahkan narkotika baik untuk dirinya sendiri maupun untuk orang lain merupakan perbuatan yang melawan hukum.

Oleh sebab itu bagi siapapun yang menyalahgunakan narkotika menurut Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika harus dipidana selain

5 Sarlito Wirawan Sarwono, Psikologi Remaja, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2008), hal.

207.

(16)

penjatuhan pidana dalam undang-undang menentukan pula upaya rehabilitasi bagi para pencandu dan korban penyalahgunaan narkotika. Namun untuk penanam, pengedar, penyalur, pemasok, penjual, pengekspor, pengimpor narkotika secara illegal tidak mungkin dilakukan rehabilitasi terhadap pelaku, sebab pelaku bukan sebagai pencandu dan korban penyalahgunaan narkotika.6

Terhadap penanam, pengedar, penyalur, pemasok, penjual, pengekspor, pengimpor narkotika secara illegal harus dipidana. Pemidanaan atau penjatuhan pidana merupakan bagian terpenting dalam penegakan hukum terhadap penyalahgunaan narkoitka. Hal ini sehubungan dengan elemen-elemen dalam sistem peradilan pidana, bahwa pendekatan normatif memandang aparatur penegak hukum (kepolisian, kejaksaan, pengadilan, dan lembaga pemasyarakatan) sebagai institusi pelaksana peraturan perundang-undangan yang berlaku merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari sistem penegakan hukum semata-mata.7

Salah satu perubahan dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika dinyatakan bahwa sabu-sabu bukan lagi disebut sebagai psikotropika.

Sabu-sabu sudah dimasukkan ke dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 menjadi narkotika golongan I. Golongan I dan golongan II pada Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika semuanya juga sudah dimasukkan ke dalam daftar golongan I dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009. Perubahan ini menunjukkan bahwa semakin diperketatnya hukum pidana terhadap bagi siapa

6 Bandingkan dengan Pasal 54 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.

7 Romli Atmasasmita (I), Sistem Peradilan Pidana Kontemporer, (Jakarta: Kencana Prenada Media Grup, 2010), hal. 6.

(17)

saja yang menyalahgunakan narkotika baik pidana penjara, denda, maupun jenis pidana lainnya.

Ketentuan pidana (penjara, denda, pengganti, kurungan, tutupan, maupun pidana tambahan dan lain-lain)8 berdasarkan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika membawa banyak perubahan yang signifikan dibandingkan dengan ketentuan pidana dalam perundang-undangan sebelumnya.9

Namun dalam praktik penegakan hukum, walaupun tidak semua pelaku dijatuhkan pidana yang diperberat, masih banyak pula pelaku penyalahguna narkotika yang dijatuhkan pidana dengan pidana yang minimal atau lebih tinggi dari pidana minimal tersebut. Padahal diyakini bersama, bahwa narkotika merupakan musuh paling berbahaya, karena dapat menghancurkan daya pikir generasi muda bangsa sekaligus menggoyahkan keutuhan negara itu sendiri. Sel-sel syaraf otak manusia yang akan dirusak, generasi muda, para pelajar, mahasiswa, anak-anak, orang tua Salah satu perubahan itu adalah membuka ruang pemberatan penjatuhan pidana terhadap para pelaku penyalahguna narkotika.

8 Mohammad Ekaputra dan Abul Khair, Sistim Pidana di Dalam KUHP dan Pengaturannya Menurut Konsep KUHP Baru, (Medan: USU Press, 2010), hal. 20-25. Jenis-jenis pidana yaitu pidana pokok antara lain: pidana mati, pidana penjara, pidana denda, pidana pengganti, kurungan, tutupan, maupun pidana tambahan: pencabutan hak-hak tertentu, perampasan barang-barang tertentu, pembayaran ganti kerugian, dan lain-lain)

9 Undang-undang sebelumnya adalah Undang-Undang Verdoovende Middelen Ordonantie yang Berlaku pada Masa Penjajahan Belanda di Indonesia Tahun 1927, Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1976 Tentang Narkotika, dan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika bersamaan dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika.

(18)

maupun muda bisa menjadi sasaran, bahkan narkotika dapat mengakibatkan kematian.10

Sesungguhnya dalam memidana para pelaku pengedar narkotika maupun yang mengonsumsi narkotika diperlukan landasan kuat dan argumentasi-argumentasi hukum serta upaya perlindungan terhadap masyarakat luas agar tidak terjerumus menjadi pelaku penyalahguna narkotika. Saat ini memidana para pelaku penyalahguna narkotika telah disediakan instrumen hukum berupa rehabilitasi terhadap para pelaku.11

Pemidanaan tentunya menjadi fokus sentral untuk dapat memberikan efek penjeraan dan bermanfaat bagi para pelaku penyalahguna narkotika. Menurut David Fogel, tujuan pemidanaan untuk mengimplementasikan hukum pidana yang didasarkan atas keyakinan bahwa orang-orang bertindak sebagai akibat dari kehendak bebasnya dan harus dianggap sebagai manusia yang bertanggung jawab, berkemuan dan bercita-cita.

Oleh karena itu, para hakim diharapkan menjatuhkan lebih ringan atau lebih berat pidananya bagi para pelaku jika argumentasi-argumentasinya didasarkan pada pemidanaan yang lebih banyak mendatangkan manfaat (utility) bagi pelaku maupun masyarakat. Sebab rehabilitasi merupakan salah satu tujuan utilitarian dalam konteks memidana pelaku tindak piana.

12

10 Fanny Jonathans Poyk, Sebuah Kesehatan Narkoba Sayonara, (Jakarta: PT. Gelora Aksara Pratama, 2006), hal. 9.

Jan Remmelink mengatakan, pemidanaan berupaya untuk

11 Tim Penyusun Visimedia, Rehabilitasi Bagi Korban Narkoba, (Tangerang: Penerbit Visimedia, 2006), hal. 11.

12 David Fogel dalam Teguh Prasetyo, Kriminalisasi Dalam Hukum Pidana, (Bandung: Nusa Media, 2010), hal. 106.

(19)

merealisasikan hukum pidana materil dalam proses peradilan yang berarti pemidanaan identiknya dengan hukum acara pidana (hukum pidana formil).13

Produk-produk hasil pemidanaan hampir tidak bisa ditemukan putusan- putusan hakim yang tidak menimbulkan disparitas pidana (perbedaan jumlah pidana), baik pidana penjara, pidana denda, pidana pengganti, pidana kurungan, pidana tutupan, maupun pidana tambahan. Semua jenis pidana tersebut dipastikan memiliki disparitas penjatuhan pidana (disparity of sentencing) dalam putusan hakim. Antara satu putusan dengan putusan yang lain mengandung perbedaan jumlah pidana yang dijatuhkan ketika hakim yang mengadilinya berbeda.

Disparitas menurut Black’s Law Dictionary diartikan sebagai ketidakseimbangan, perbedaan kuantitas atau kualitas antara dua hal atau lebih.14 Dalam konteks penjatuhan pidana oleh hakim, disparitas pidana menurut Cassia Spohn menggambarkan perbedaan perlakuan atau hasil yang tidak berasal dari prasangka yang disengaja.15

Menurut Cassia Spohn disparitas terjadi ketika beberapa pelaku kejahatan yang sama dijatuhi putusan pidana yang berbeda atau ketika beberapa pelaku kejahatan yang berbeda menerima putusan pidana yang sama. Disparitas terjadi ketika hakim menjatuhkan putusan pidana yang berbeda kepada dua pelaku kejahatan

13 Jan Remmelink, Hukum Pidana, Komentar Atas Pasal-Pasal Terpenting dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Belanda dan Padanannya Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2003), hal. 3.

14 Henry Campbell Black, Black’s Law Dictionary, (St. Paul : West Publishing. Co, 1991), hal. 951.

15 Cassia Spohn, How Do Judges Decide? The Search For Fairness And Justice In Punishment, (California: SAGE Publications Inc), hal. 129.

(20)

dengan catatan kejahatan yang identik dan dituntut dengan kejahatan yang sama.

Disparitas juga terjadi ketika hakim menjatuhkan putusan yang identik pada dua pelaku kejahatan yang catatan kejahatan dan kejahatannya sangat berbeda.16

Menurut Harkristuti Harkrisnowo, disparitas pidana adalah adanya perbedaan dalam penjatuhan pidana untuk kasus yang serupa atau setara keseriusannya, tanpa alasan atau pembenaran yang jelas. Hal ini mengakibatkan terjadinya 3 (tiga) hal sebagai berikut:

17

1. Masyarakat tidak mempercayai hakim menerapkan asas persamaan di muka hukum;

2. Terpidana yang dijatuhi pidana yang lebih berat menjadi marah dan resisten terhadap sistem pembinaan di Lembaga Pemasyarakatan; dan

3. Secara keseluruhan menurunkan kepercayaan publik terhadap hukum.

Dapat dikatakan bahwa disparitas pidana adalah perbedaan jumlah pidana antara tindak pidana yang sama, disparitas antara tindak-tindak pidana yang mempunyai tingkat keseriusan yang sama, disparitas antara pidana yang dijatuhkan oleh satu majelis hakim, disparitas antara pidana yang dijatuhkan oleh majelis hakim yang berbeda untuk tindak pidana yang sama, disparitas juga bisa terjadi dalam hal penjatuhan pidana tambahan berupa uang pengganti.

Disparitas pidana antara yang dijatuhkan oleh majelis hakim yang berbeda untuk tindak pidana yang sama, dapat dimaknai misalnya penjatuhan pidana yang berbeda terhadap pelaku yang berbeda dengan pasal yang dilanggar sama misalnya

16 Ibid.

17 Harkristuti Harkrisnowo, “Rekonstruksi Konsep Pemidanaan: Suatu Gugatan Terhadap Proses Legislasi dan Pemidanaan di Indonesia”, Teks Pidato pada Upacara Pengukuhan Guru Besar Tetap Dalam Ilmu Hukum Pidana, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, di Balai Sidang Universitas Indonesia, Depok Tanggal 8 Maret 2003, hal. 7.

(21)

sama-sama melanggar Pasal 112 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika oleh hakim yang berbeda pula baik judex facti maupun hakim Mahkamah Agung menjatuhkan pidana penjara secara berbeda pula.

Putusan yang mengandung disparitas pidana dinilai sangat subyektif dalam memaknai keadilan, sehingga munculnya sikap skeptis dan apriori terhadap kinerja aparat penegak hukum khususnya para hakim-hakim di pengadilan, serta menimbulkan apresiasi atau pandangan orang terhadap hukum dan penegakan hukum menjadi lemah.18

Sehingga menarik dikaji ketika para hakim di semua tingkat pengadilan memutus perkara-perkara pidana menimbulkan disparitas pidana dalam putusan- putusannya khususnya putusan tindak pidana narkotika. Apalagi perkembangan demi perkembangan teori-teori, asas-asas atau prinsip-prinsip serta philosofi pemidanaan yang kian berkembang berpotensi mempengaruhi dan mengubah paradigma para hakim dalam menjatuhkan putusan. Akibatnya hakim yang berbeda paradigma antara satu sama lainnya menimbulkan disparitas dalam produk putusannya. Apalagi

Sebenarnya disparitas pidana dalam setiap putusan hakim pasti ada, namun menjadi soal adalah ketika disparitas pidana itu terjadi tanpa adanya argumentasi yang jelas dan dapat diterima secara yuridis, filosofis, dan sosiologis, sebab ketiga-tiga ini menjadi landasan efektifitas suatu undang-undang di tengah- tengah masyarakat.

18 Syamsul Fatoni, “Pendekatan Logika Hukum Sebagai Upaya Meminimalisir Disparitas Pidana Dalam Sistim Peradilan Pidana”, Artikel pada Jurnal Media Hukum, Vol.15 No.2 Desember 2008, hal. 2.

(22)

putusan hakim tersebut tidak didasarkan pada dasar pertimbangan yang jelas menjadi persoalan yang dapat menciderai rasa keadilan masyarakat.

Terkait dengan pemidanaan terhadap para pelaku tindak pidana narkotika berdasarkan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, terdapat beberapa aspek penting yang menarik untuk dikaji dalam beberapa putusan pengadilan. Aspek penting itu adalah terjadinya disparitas pidana (disparity of sentencing) dalam putusan majelis hakim. Lalu masalah selanjutnya adalah apa dasar philosofi pemidanaan yang dianut oleh para hakim, bagaimana kewenangan diskresi hakim dan yudisial independen dilaksanakan serta sejauhmana kemampuan hakim dapat menginterpretasi hukum.

Berikut ini kasus tindak pidana narkotika yang telah dijatuhkan pidana oleh hakim pengadilan, menimbulkan disparitas pidana (disparity of sentencing) antara sesama hakim yang berbeda dalam memutus terhadap satu kasus yang sama.

Disparitas dalam pemidanaan selain disparitas terjadi dalam penjatuhan pidana oleh sesama majelis hakim, disparitas juga terjadi antara penuntutan JPU dengan penjatuhan pidana oleh hakim. Seperti yang terjadi dalam kasus-kasus narkotika berikut dalam tabel 1 ini:

(23)

Tabel 1

Disparitas Pidana Dalam Putusan Perkara-Perkara Narkotika

No Terpidana Tuntutan JPU Putusan Majelis Hakim

PN PT MA PK

1 Febi Maulinawati binti M. Isa

7 tahun penjara denda

Rp.800.000.000,- 6 bulan kurungan

2 (dua) tahun denda

Rp.800.000.000,- 3 bulan kurungan

Menguatkan putusan PN Langsa

4 tahun penjara

denda Rp.

800.000.00,- 3 bulan penjara

-

2 Noerdin Muhammad Amin alias Tudin

Pidana mati 20 tahun penjara denda

Rp.8.300.000.00, -

5 bulan penjara

Menguatkan putusan PN Medan

Pidana seumur hidup

-

3 Ferizal Bin Ramulis Taher

5 tahun penjara denda

Rp.800.000.000,- 3 bulan penjara

2 tahun penjara Menguatkan Putusan PN Palembang

4 tahun penjara

denda Rp.

800.000.00,-

3 bulan penjara

-

4 Irwan alias Wan

2 tahun penjara 10 bulan penjara - - -

5 Khairul alias Rul, Erwin alias Win, Umarzuki alias Umar,

Bambang, dan Alfian Bangun alias Adek (para

terdakwa)

Masing-masing 4 tahun penjara

Masing-masing 1 tahun dan 4 bulan penjara

Masing-

masing 2 tahun

penjara

- -

6 Febri Adi

Putra

4 tahun penjara 1 tahun penjara 2 tahun penjara

- -

7 Irwansyah

Ismail alias Abi Wawan bin Ismail

1 tahun 3 bulan penjara

4 tahun penjara denda Rp.

800.000.000,- 2 bulan penjara

- - -

8 Leonardo Hassudungan alias Sudung

9 tahun 6 bulan penjara

denda

Rp.1.000.000.00,- 2 bulan penjara

2 tahun penjara denda

Rp.1.000.000.00, -

2 bulan kurungan

Menguatkan putusan PN Lubuk Basung

Menolak kasas JPU

-

Sumber: Direktori Putusan Mahkamah Agung Tahun 2011 s/d 2013

(24)

Pembentukan pedoman pemidanaan diharapkan akan mampu meminimalisir disparitas pidana. Namun pedoman pemidanaan bukan untuk menghilangkan disparitas pidana secara total bahkan tidak ada lagi perbedaan, sebab disparitas pidana tidak bisa dihilangkan karena sudah menjadi karakteristik dari sistem pengadilan yang bertingkat di seluruh dunia. Tetapi tujuan dibentuknya pedoman pemidanaan adalah untuk dapat meminimalisir terjadinya disparitas pidana yang menyolok.

Pentingnya segera dibuat pedoman pemidanaan, diperlukan untuk menghindari penjatuhan pidana yang sewenang-wenang, atau untuk menghindari skeptis dan apriori negatif masyarakat terhadap dunia pengadilan.

Dalam memaknai disparitas pidana, selain disparitas pidana tersebut menyolok, disparitas pidana juga disepakati untuk setiap putusan hakim yang berbeda pidananya dijatuhkan kepada orang yang sama dalam perkara yang sama, termasuk dalam kategori disparitas pidana. Baik disparitas pidana yang menyolok maupun yang tidak menyolok termasuk dalam kategori disparitas pidana. Termasuk disparitas antara jumlah pidana yang dituntut oleh JPU dengan jumlah pidana yang dijatuhkan oleh majelis hakim.

Dampak dari disparitas penjatuhan pidana sebagaimana digambarkan di atas akan berpengaruh pada cara pandang dan penilaian masyarakat terhadap hakim- hakim pengadilan. Disparitas penjatuhan pidana dapat dilihat sebagai wujud ketidakadilan yang mengganggu. Sebagaimana pendapat Andrew Ashworth mengatakan sebenarnya disparitas penjatuhan pidana dalam putusan-putusan hakim

(25)

pengadilan tidak bisa dilepaskan dari diskresi (discretionary) hakim dalam menjatuhkan pidana pada suatu perkara pidana.19

Disparitas penjatuhan pidana di Indonesia sering juga dihubungkan dengan independensi pengadilan (judicial independence). Konsep pemidanaan yang diatur dalam perundang-undangan (perumusan pidana maksimal) juga ikut memberi andil.20

Namun independensi hakim dalam menjatuhkan pidana bukan tanpa batas.

Asas nulla poena sine lege memberi batas kepada hakim untuk memutuskan pidana berdasarkan takaran yang sudah ditentukan dalam peraturan perundang-undangan.

Meskipun ada takaran, masalah disparitas akan tetap terjadi karena jarak antara sanksi pidana minimal dan maksimal dalam takaran itu terlampau besar.

Padahal UU Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman telah menentukan secara normatif bahwa dalam menjatuhkan putusan, hakim tidak boleh diintervensi pihak manapun, hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai huku m dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat, serta hakim wajib mempertimbangkan sifat baik dan jahat pada diri terdakwa.

21

Proses pembentukan perundang-undangan juga ikut sebagai faktor yang berpengaruh karena ketiadaan standar merumuskan batas interval jumlah pidana penjara dan pidana denda. Disparitas penjatuhan pidana di dalam putusan

19 Andrew Ashworth, Sentencing & Criminal Justice (Fourth Edition), (Cambridge:

Cambridge University Press, 2005), hal. 72.

20http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt524a2ce258cb5/disparitas-putusan-dan-

pemidanaan-yang-tidak-proporsional, diakses tanggal 17 Mei 2014, Artikel yang ditulis oleh MYS (nama inisial), berjudul, “Disparitas Putusan dan Pemidanaan Yang Tidak Proporsional”, dipublikasikan di website hukumonline.com pada tanggal 1 Oktober 2013.

21 Eva Achjani Zulfa, Pergeseran Paradigma Pemidanaan, (Bandung: Lubuk Agung, 2011), hal. 33.

(26)

sesungguhnya sejak awal sudah dimungkinkan terjadi karena aturan hukum yang disusun Pemerintah dan DPR membuka ruang untuk itu.

Menghapuskan sama sekali disparitas penjatuhan pidana di dalam putusan- putusan hakim untuk kasus yang sama atau mirip tidak mungkin dilakukan. Tetapi upaya yang dapat dilakukan adalah meminimalisir disparitas penjatuhan pidana dengan cara antara lain membuat pedoman pemidanaan (sentencing guidelines) untuk mengontrol dan mengawasi independensi maupun diskresi hakim yang terlalu berlebihan.

Sebagaimana di negara Amerika Serikat, Finlandia, Swedia dan Selandia Baru sudah memiliki pedoman pemidanaan (sentencing guidelines) dinegaranya.22

Pandangan Soedarto terhadap disparitas pidana, menyatakan bahwa disparitas pidana dalam putusan-putusan hakim merupakan sesuatu yang tidak bisa dipungkiri.

Tetapi pedoman pemidanaan untuk di Indonesia hingga saat ini belum ada seperti di beberapa negara di dunia. Sementara hakim-hakim di Indonesia diperbolehkan melakukan diskresi (discretionary) dan independensi pengadilan (judicial independence), indikator ini turut sebagai faktor penyebab terjadinya disparitas pidana.

23

22 Andrew Ashworth, Loc. cit.

Perbedaan jumlah pidana dalam putusan-putusan hakim itu soal biasa, namun yang membuatnya tidak biasa adalah ketika masing-masing majelis hakim menjatuhkan putusan yang berbeda sangat menyolok dalam kasus yang sama,

23 Soedarto, Hukum dan Hukum Pidana, (Bandung: Alumni, 1981), hal. 71-78.

(27)

termasuk dalam hal menjatuhkan pidana di bawah standar yang ditentukan dalam undang-undanga narkoitka.

Sehubungan dengan itu aspek yang menjadi menarik untuk dilakukan pengkajian dalam penelitian ini adalah menyangkut faktor-faktor apa yang mempengaruhi terjadinya disparitas pidana dalam perkara tindak pidana narkotika dilihat dari sisi philosofi pemidanaan yang dianut oleh para hakim, diskresi hakim, yudisial independen, dan kemampuan hakim dalam menginterpretasi hukum.

Sehingga dengan faktor-faktor tersebut mengakibatkan disparitas pidana dalam penjatuhan pidana yang tidak sama terhadap para pelaku tindak pidana narkotika.

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan ulasan-ulasan pada latar belakang tersebut di atas, permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini, dirumuskan sebagai berikut:

1. Bagaimana pemidanaan terhadap para pelaku tindak pidana narkotika berdasarkan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika dalam putusan pengadilan?

2. Apa faktor-faktor penyebab terjadinya disparitas pidana dalam perkara tindak pidana narkotika yang dijatuhkan oleh hakim?

3. Bagaimanakah upaya meminimalisir terjadinya disparitas pidana dalam perkara-perkara tindak pidana narkotika?

(28)

C. Tujuan Penelitian

Adapun yang menjadi tujuan dari dilakukannya penelitian terhadap permasalahan di atas adalah:

1. Untuk mengetahui dan memahami pemidanaan terhadap para pelaku tindak pidana narkotika berdasarkan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika dalam putusan pengadilan.

2. Untuk mengetahui faktor-faktor penyebab terjadinya disparitas pidana dalam perkara tindak pidana narkotika yang dijatuhkan oleh hakim.

3. Untuk memberikan solusi atau upaya meminimalisir terjadinya disparitas pidana dalam perkara-perkara tindak pidana narkotika.

D. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat dari hasil dari penelitian ini dapat memberikan sejumlah manfaat yang berguna baik secara teoritis maupun praktis, antara lain:

1. Secara teoritis, bermanfaat membuka wawasan dan paradigma berfikir dalam memahami dan menganalisis masalah pemidanaan terhadap para pelaku tindak pidana narkotika bagi hakim-hakim di Pengadilan dan juga bermanfaat menjadi bahan referensi bagi para peneliti selanjutannya dalam memperkaya khazanah ilmu pengetahuan hukum, serta dapat memberikan kontribusi hukum pada masalah pemidanaan pelaku.

2. Secara praktis, penelitian ini bermanfaat bagi aparat penegak hukum khususnya bagi hakim-hakim yang pada prinsipnya mempunyai tugas

(29)

menerima, memeriksa, dan mengadili perkara-perkara pidana, bermanfaat pula bagi aparat penegak hukum lainnya seperti Polisi, Jaksa, Advokat, dan bagi masyarakat luas bahwa memidana bukan sebagai ajang balas dendam melainkan di samping memberikan efek jera juga berupaya memberikan manfaat dari pemidanaan terhadap para pelaku narkotika.

E. Keaslian Penelitian

Untuk menghindari plagiat terhadap karya ilmiah milik orang lain, maka sebelumnya, telah dilakukan penelusuran di perpustakaan Universitas Sumatera Utara dan di perpustakaan Pascasarjana Ilmu Hukum USU. Hasil penelusuran ditemukan beberapa judul dan permasalahan tesis berikut ini:

1. Tesis atas nama Cardiana Harahap, NIM: 177005114 dengan judul “Peranan Kejaksaan Dalam Melakukan Penuntutan Perkara Tindak Pidana Narkotika”.

Fokus kajian permasalahan dalam tesis ini adalah mengenai peranan Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara dalam melakukan penuntuan tindak pidana Narkotika dan kendala-kendala yang dihadapi dalam melakukan penuntutan tersebut.

2. Tesis atas nama Lidya Carolina Sitepu, NIM: 097005011 dengan judul

“Kebijakan Penegakan Hukum Pidana Terhadap Tindak Pidana Narkotika (Studi di Polda Sumut)”. Fokus kajian permasalahan dalam tesis ini tentang kebijakan-kebijakan Polda Sumut dalam memberantas tindak pidana narkotika di wilayah Provinsi Sumatera Utara.

(30)

3. Tesis atas nama Ouli Siregar, NIM: 107005060, dengan judul “Peran Serta Masyarakat Dalam Pencegahan Penanggulangan Tindak Pidana Narkotika Menurut Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika (Studi Pada Pusat Informasi Masyarakat Anti Narkoba Sumatera Utara)”. Fokus kajian permasalahan dalam tesis ini adalah membahas sejauh mana peran serta masyarakat anti narkotika di Sumatera Utara turut serta memberantas kejahatan narkotika melalui pemberian informasi dan kerja sama dengan aparat penegak hukum.

Sedangkan judul penelitian ini adalah “Disparitas Pemidanaan Terhadap Pelaku Tindak Pidana Narkotika” dan permasalahan yang dibahas adalah:

1. Bagaimana pemidanaan terhadap para pelaku tindak pidana narkotika berdasarkan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika?

2. Apa faktor-faktor penyebab terjadinya disparitas pidana dalam tindak pidana narkotika yang dijatuhkan oleh hakim?

3. Bagaimanakah upaya meminimalisir terjadinya disparitas pidana dalam putusan perkara-perkara tindak pidana narkotika?

Dari perbandingan penelitian sebelumnya dengan penelitian ini, jelas menunjukkan perbedaan yang signifikan, berarti penelitian ini menunjukkan keaslian.

Terhadap judul dan rumusan masalah di dalam penelitian ini tidak memiliki kemiripan sam sekali dengan judul dan permasalahan penelitian sebelumnya, sehingga penelitian ini adalah asli dan jauh dari unsur plagiat terhadap karya tulis orang lain.

(31)

F. Kerangka Teori dan Landasan Konsepsional 1. Kerangka Teori

Teori yang digunakan untuk menganalisis permasalahan dalam pemidanaan terhadap pelaku tindak pidana narkotika berdasarkan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika terkait dengan disparitas pemidanaan terhadap pelaku tindak pidana narkotika adalah teori-teori tentang pemidanaan. Teori-teori tentang pemidanaan pada umumnya memberikan postulat pemidanaan mengarah pada suatu bentuk pemberian penderitaan, jika penderitaan yang menjadi tujuan pemidanaan, berarti pemidanaan itu semata-mata untuk sarana pembalasan. Van Hamel mengatakan pemidanaan merupakan suatu penderiataan yang bersifat khusus (een bijonder leed).24 Simon mengatakan pemidanaan merupakan suatu penderitaan yang telah ditentukan oleh undang-undang (het leed, door de strafwet als gevolg aan de overtrading van de norm verbonden).25 Sudarto mengatakan, pemidanaan merupakan suatu penderitaan yang sengaja dibebankan kepada orang yang bersalah.26

Teori yang agak lembut tetapi maksudnya tetap sama dengan penderitaan dikemukakan oleh Roeslan Saleh yang mengatakan, pemidanaan merupakan reaksi atas delik dan ini berwujud suatu nestapa yang dengan sengaja ditimpakan oleh negara kepada pembuat delik itu.27

24 Van Hamel dalam P.A.F. Lamintang, Hukum Penitensir Indonesia, (Bandung: Armico, 1984), hal. 34.

Ted Honderich mengatakan, pemidanaan merupakan suatu penderitaan dari pihak yang berwenang sebagai hukuman, sesuatu

25 Ibid., hal. 35.

26 Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana, (Bandung: Alumni, 2005), hal. 2.

27 Ibid.

(32)

yang meliputi pencabutan dan penderitaan, yang dikenakan kepada seorang pelaku karena sebuah pelanggaran (punishment is an authority’s infliction of penalty, something involving deprivation or distress, on an offender for an offence).28 Barda Nawawi Arief juga mengatakan pemidanaan merupakan suatu pengenaan penderitaan atau nestapa atau pengenaan akibat-akibat lainnya yang tidak menyenangkan.29

Teori-teori pemidanaan yang mengarah kepada suatu bentuk penderitaan sebagaimana telah dikemukakan tersebut di atas terlalu sempit, tidak lain merupakan suatu model pembalasan yang mengakibatkan penderitaan. Teori-teori ini digolongkan pada teori retributif yakni pemidanaan yang mengarah pada pemaksaan untuk menerapkan pidana.

Retributif memandang pemidanaan diarahkan pada pemaksaan untuk menerapkan pidana atau hukuman. Pandangan retributif bersifat absolute dan menekankan pada pembalasan karena pelaku kejahatan dianggap layak menerima pidana atas kejahatan yang dilakukannya. Pandangan retributif ini dalam perkembangan kemudian menimbulkan masalah sebab semakin diberikan pidana, kejahatan justru meningkat.30

Tujuan pemidanaan tidaklah untuk suatu penderitaan, tetapi di samping tujuannya untuk memberikan penderitaan, juga harus diintegrasikan dengan tujuan perbaikan terhadap pelaku kejahatan. Selain teori retributif (absolut), berkembang

28 Muhammad Taufik Makarao, Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia, Studi Tentang Bentuk-Bentuk Pidana Khususnya Pidana Cambuk Sebagai Suatu Bentuk Pemidanaan, (Yogyakarta:

Kreasi Wacana, 2005), hal. 18.

29 Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-Teori...Op. cit., hal. 4.

30 Mahmud Mulyadi dan Feri Antoni Surbakti, Politik Hukum Pidana Terhadap Kejahatan Korporasi, (Jakarta: Sofmedia, 2010), hal. 95-97.

(33)

pula teori relatif (teori tujuan). Teori-teori relatif mendasarkan pada tujuan dilakukannya pemidanaan. Maka muncullah teori perawatan (treatment) yang bertujuan pemidanaan diarahkan untuk perawatan atau perbaikan (rehabilitation) terhadap pelaku kejahatan. Teori ini dikemukakan oleh aliran hukum positif dengan argumentasi bahwa pelaku kejahatan merupakan orang yang sakit sehingga membutuhkan tindakan perawatan (treatment) dan perbaikan (rehabilitation).31

Kemudian muncullah teori detterence yang berpandangan lebih berfokus kepada ancaman pidana. Teori ini memandang dengan ancaman pidana yang ditentukan di dalam perundang-undangan membuat seseorang merasa takut untuk melakukan kejahatan. Nigel Walker menamakan teori ini sebagai teori reduktif karena berupaya mereduksi (mengurangi) jumlah kejahatan yang selalu berkembang.

Tujuan utama teori detterence adalah mencegah agar orang tidak berbuat jahat dengan cara meningkatkan jumlah ancaman pidana dalam undang-undang, sehingga ancaman ini membuat orang mengurungkan niat berbuat jahat.32

Muncul pula teori restorative yang berpandangan bahwa pemidanaan diupayakan bukan hanya bisa diterapkan melalui penjatuhan pidana semata, tetapi perlu diadakan restorasi atau pemulihan hubungan antara korban dan pelaku.

Pemulihan hubungan di antara keduanya bisa didasarkan atas kesepakatan bersama antara korban dan pelaku. Sebagai hasil pemikiran dari teori ini terhadap perkembangan hukum positif adalah adanya ketentuan dalam hukum positif tentang

31 Mahmud Mulyadi, Criminal Policy, Pendekatan Integral Penal Policy dan Non-Penal Policy Dalam Penanggulangan Kejahatan Kekerasan, (Medan: Pustaka Bangsa Press, 2008), hal. 79.

32 Ibid., hal. 72-73.

(34)

ganti rugi terhadap korban dan dalam praktik bisa pula dilakukan dengan kesepakatan-kesepakatan yang memperhatikan kepentingan antara korban dan pelaku. Misalnya dalam peradilan anak lebih ditekankan pilihan terbaik buat anak bukan hanya berfokus pada apa yang ditentukan dalam undang-undang semata.33

Teori tertib sosial (social defence) muncul dengan konsep pemidanaannya bertujuan mengintegrasikan individu ke dalam tertib sosial dan bukan pemidanaan terhadap perbuatannya. Tujuan pemidanaan tidak hanya bergantung pada peraturan perundang-undangan untuk kehidupan bersama, tetapi pemidanaan sesuai dengan aspirasi warga negara pada umumnya. Tokoh ini antara lain Fillipo Gramatica dan Marc Ancel. Contoh hasil pemikiran dari teori ini adalah adanya perampasan aset hasil kejahatan untuk dikembalikan kepada negara karena yang demikian ini lebih mementingkan kepentingan sosial masyarakat.

34

Kemudian dalam teori relatif ada teori yang dikenal dengan utilitarian dengan aliran utilitarianism. Teori ini hampir mirip dengan teori tertib sosial (social defence) yang pada intinya lebih mementingkan pada tujuan bersama yaitu memberikan manfaat yang besar pada sekelompok masyarakat terbesar yakni kepentingan masyarakat. Tujuan pemidanaan utilitarian lebih mendekatkan pada manfaat dibuatnya pemidanaan.35

33http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt4e25360a422c2/pendekatan-irestorative-justice- i-dalam-sistem-pidana-indonesia-broleh--jecky-tengens--sh-, diakses tanggal 10 Juni 2014, Artikel yang ditulis oleh Jecky Tengens, berjudul “Pendekatan Restorative Justice Dalam Sistem Peradilan Pidana”, dipublikasikan pada hukumonline pada tanggal 19 Juli 2011.

34 Mahmud Mulyadi, Op. Cit., hal. 88-89.

35 Michael Tonry, Sentencing Matters, (Oxford: Oxford University Press, 1996), hal. 176.

(35)

Teori utilitarian inilah yang menjadi kerangka teoritis dalam penelitian ini untuk mengkaji mengapa terjadi disparitas pidana dalam penjatuhan pidana oleh sesama majelis hakim maupun jaksa penuntut umum. Tentu ada pengaruh faktor- faktor dari konsep pemidanaan dari masing-masing hakim berbeda satu sama lain dalam memahami konsep pemidanaan. Aliran utilitarian dalam penjatuhan pidana memiliki pandangan tersendiri yang membedakannya dari pandangan teori-teori lain.

Ada hakim yang beraliran retributif, ada yang beraliran perbaikan (treatment) atau perbaikan (rehabilitation), ada detterence, restorative, ada yang beraliran pada teori tertib sosial (social defence) dan ada pula yang beraliran pada teori utilitarian.

Sehingga dengan perbedaan aliran pada teori-teori pemidanaan, dapat mengakibatkan terjadinya disparitas pidana dalam menjatuhkan pidana khususnya dalam perkara narkotika. Apalagi tidak didukung dengan suatu pedoman pemidanaan yang dapat mengarahkan persepsi para hakim dalam menjatuhkan pidana.

Para pemikir utilitarian umumnya memandang pemidanaan harus dilihat dari manfaatnya atau kegunaannya, bukan tujuan pembalasan (retributif). Situasi atau keadaan yang bagaimana yang ingin dihasilkan dengan dijatuhkannya pidana itu merupakan konsep mendasar pemidanaan model utilitarian. Penjatuhan pidana tersebut harus dilihat dari tujuan, manfaat, atau kegunaannya untuk perbaikan dan pencegahan.36

36 Suhariyono A.R., (I), Pembaruan Pidana Denda di Indonesia, Pidana Denda Sebagai Sanski Alternatif, (Jakarta: Papas Sinar Sinanti, 2012), hal. 34.

(36)

Tujuan penerapan pidana selama ini selalu berkaitan dengan peraturan perundang-undangan. Penerapan pidana tidak mengurangi terjadinya kejahatan, justru menambah kejahatan.37 Jeremy Bentham memandang sinis terhadap teori retributif bahkan ia katakan “pemidanaan merupakan kejahatan (mischif)”.38 Beliau menekankan pemidanaan akan membawa manfaat jika pemidanaan itu mampu mencegah terjadinya kejahatan yang lebih besar dibandingkan dengan pemidanaan bagi pelaku kejahatan.39

Kira-kira maksud Bentham di sini teori pemidanaan apapun jenisnya jika tidak membawa manfaat yang lebih besar kepada kelompok terbesar (masyarakat), maka pemidanaan itu adalah tidak berguna. Keadilan yang ingin dibentuk oleh utilitarian adalah situasi atau keadaan yang ingin dihasilkan dengan dijatuhkannya pidana dan penjatuhan pidana tersebut harus dilihat dari segi tujuan yang bermanfaat atau berguna untuk perbaikan dan pencegahan.

40

Prinsip keadilan utilitarisme menurut John Rawls menekankan kebijaksanaan yang masuk akal untuk mencapai tujuan kesejahteraan bersama.

41

37 Mahmud Mulyadi dan Feri Antoni Surbakti, Op. cit., hal. 93.

Pandangan utilitarian dalam penjatuhan pidana bermaksud hendak mewujudkan sesuatu yang adil yang menjadi dasar filosofis dalam menjatuhkan pidana dalam putusan hakim yakni keadilan utlitarian yang melihat pada manfaat ke depan (forward looking)

38 Syaiful Bakhri, Perkembangan Stelsel Pidana Indonesia, (Yogyakarta: Total Media, 2009), hal. 167.

39 Barbara A. Hudson, Understanding Justice: an Introduction to Ideas, Perpectives and Controversies in Modern Penal Theory, Second Edtition, (Great Britain: Open University Press, 2003), hal. 17-18.

40 Suhariyono, AR., (I),…Op. cit, hal. 34.

41 John Rawls, A theory of Justice, (London: Harvard University Press, 1971), hal. 23-24.

(37)

bukan orientasi ke belakang (backward looking). Herbert L. Packer menyebut teori pembalasan dalam retributive view bersifat backward looking (orientasinya ke belakang) sementara utilitarian view bersifat forward looking (orientasinya ke depan).42

Situasi atau kondisi yang ingin dihasilkan dalam penjatuhan pidana harus dilihat manfaatnya bagi pelaku dan bagi semua orang. Pada satu sisi pemidanaan dimaksud untuk memperbaiki sikap atau tingkah laku terpidana sehingga kelak tidak akan mengulangi lagi perbuatan yang sama. Sementara di sisi lain, pemidanaan dimaksudkan untuk mencegah orang lain dari kemungkinan melakukan perbuatan yang serupa.

43

Upaya pemidanaan dengan paham pembalasan (retributivisme) tidak lagi dilaksanakan secara maksimal seperti yang telah terjadi pada masa dulu. Tetapi dengan menerapkan teori utilitarian maka pemidanaan akan mengarah pada upaya- upaya perbaikan, rehabilitasi, perlindungan masyarakat dan korban, tanpa menghilangkan sama sekali retributivisme secara total karena menghilangkan retributisme secara total berarti menghilangkan unsur hukum pidana di dalam pemidanaan itu sendiri.

Herbert L. Packer mempunyai dua pandangan konseptual yang masing- masing mempunyai implikasi moral yang berbeda.44

42 Herbert L. Packer dalam Suhariyono A.R., (I), Op.cit., hal. 34-35.

Pertama adalah pandangan

43 Ibid.

44 Herbert L. Packer, The Limits of The Criminal Sanction, (California: Standford University Press, 1968), hal. 11-12.

(38)

retributive (retributive view) yang mengandalkan pidana sebagai ganjaran negatif terhadap setiap perilaku menyimpang yang dilakukan oleh warga masyarakat45. Kedua adalah pandangan utilitarian (utilitarian view) yang lebih melihat pidana dari segi manfaat atau kegunaannya. Pandangan yang pertama beranggapan bahwa setiap orang bertanggung jawab atas pilihan-pilihan moralnya masing-masing. Jika pilihannya itu benar maka ia mendapat ganjaran positif seperti pujian, sanjungan, penghargaan dan lain-lain. Tetapi jika salah ia harus bertanggung jawab dengan diberi hukuman (ganjaran negatif).46

Pandangan kedua (utilitarian) melihat pada situasi atau keadaan yang ingin dihasilkan dengan dijatuhkannya pidana dan penjatuhan pidana tersebut harus dilihat dari segi tujuan, manfaat, atau kegunaannya untuk perbaikan dan pencegahan. Jadi pada satu sisi pemidanaan dimaksudkan untuk memperbaiki sikap atau tingkah laku terpidana sehingga kelak tidak akan mengulangi lagi perbuatan yang sama. Pada sisi lain pemidanaan dimaksudkan untuk mencegah orang lain dari kemungkinan melakukan perbuatan yang serupa.

47

Jeremy Bentham menyatakan memidana harus memperhatikan manfaat, bukan hanya sekedar membalas perbuatan pelaku sebagaimana dianut oleh aliran retributivist.48

45 Suhariyono A.R., (I), Op. cit, hal. 34.

Muladi dan Barda Nawawi Arief juga menekankan dalam memidana

46 Ibid.

47 Ibid.

48 Chairul Huda, Dari Tiada Pidana Tanpa Kesalahan Menuju Kepada Tiada Pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan, (Jakarta: Kencana, 2008), hal. 133.

(39)

bukan sekedar untuk melakukan pembalasan kepada orang yang telah melakukan tindak pidana, tetapi mempunyai tujuan-tujuan tertentu yang bermanfaat.49

Para penganut utilitarian disebut juga sebagai consequentialist, karena salah atau benarnya suatu tindakan hanya bergantung pada konsekuensinya secara keseluruhan. Menjadi benar jika konsekuensinya baik, menjadi salah jika konsekuensinya buruk. Jadi untuk menjustifikasi system pemidanaan, tidak hanya menilai dari apakah perbuatan itu baik atau bisa mencegah kejahatan terjadi tetapi juga harus menilai dari tidak adanya alternatif yang di luar dari konsekuensi baik atau buruk tersebut.

50

Menurut teori utilitarianisme tujuan pengenaan pidana adalah “mencegah”

dan “mengurangi”. Mencegah berarti mencegah pelaku mengulangi perbuatan tersebut dan mencegah masyarakat dirugikan lagi akibat perbuatan pelaku tersebut.

Mengurangi berarti mengurangi frekuensi kejahatan. Bagi Walker tujuan pemidanaan adalah mengubah atau mengurangi keinginan pelaku dan masyarakat untuk mengulangi tindak pidana.

51 Bagi Bruce Western memiliki argumentasi dan menyatakan pemidanaan secara rasional diperlukan di samping memberikan efek jera kepada pelaku kejahatan, diperlukan upaya pencegahan yang rasional terhadap perilaku terpidana.52

49 Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-Teori…Op. cit., hal. 16.

50 Anthony Duff & David Garland, A Reader on Punishment, (Oxford:Oxford University Press, 1995), hal. 6.

51 Nigel Walker, Sentencing in a Rational Society, (Middlesex : Penguin Books, 1972), hal.18.

52 Bruce Western, Punishment and Inequality in America, (New York: Russel Sage Foundation, 2006), hal. 177.

(40)

Pilosofi hakim hendaknya mempersepsikan teori pemidanaannya pada teori utilitarian ini sekaligus sebagai upaya untuk meminimalisir terjadinya disparitas pidana khususnya dalam perkara tindak pidana narkotika. Implementasinya adalah Pemerintah dan DPR seharusnya membuat suatu pedoman pemidanaan (sentencing guidelines). Kajian ini lebih memperhatikan aspek manfaat atau kegunaan di masa yang akan datang (forward looking), baik kegunaan untuk terpidana maupun manfaatnya bagi masyarakat luas, bukan sekedar melakukan upaya refresif dan penderitaan saja.

2. Landasan Konsepsional

Untuk menghindari penafsiran yang berbeda terhadap istilah-istilah yang digunakan, maka di dalam penelitian ini digunakan landasan konsepsional dalam yaitu:

a. Pidana adalah penderitaan (nestapa) yang sengaja dikenakan atau dijatuhkan negara (melalui para hakim) kepada para pelaku tindak pidana narkotika yang telah terbukti bersalah melakukan suatu tindak pidana narkotika.

b. Tindak pidana adalah perbuatan yang dapat atau boleh dihukum yang artinya sama dengan persitiwa pidana, atau perbuatan pidana (strafbaar feit) atau delict atau offense atau crminal act yang telah ditentukan di dalam Undang- Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.

c. Pemidanaan adalah mengimplementasikan atau menerapkan hukum pidana kepada orang-orang yang melakukan tindak pidana narkotika.

(41)

d. Tindak pidana narkotika adalah rumusan tindak pidana yang terdapat di dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.

e. Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintetis maupun semisintetis, yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan, yang dibedakan ke dalam golongan-golongan sebagaimana terlampir dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.

f. Disparitas pidana adalah perbedaan jumlah pidana yang dijatuhkan atau diputuskan oleh majelis hakim pada pengadilan tingkat pertama dengan pengadilan tingkat kedua dan Mahkamah Agung.

g. Pelaku tindak pidana adalah pelaku tindak pidana narkotika sebagaimana jenis-jenis pelaku tindak pidana narkotika yang telah ditentukan dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.

h. Putusan Pengadilan adalah putusan pengadilan yang terdiri dari 8 (delapan) putusan berikut ini, yaitu: Putusan Mahkamah Agung Nomor: 850 K/Pid.

Sus/2011, Putusan Mahmakah Agung Nomor: 2348 K/Pid.Sus/2012, Putusan Mahkamah Agung Nomor: 2102 K/Pid.Sus/2012, Putusan Pengadilan Negeri Payakumbuh Nomor: 22/Pid.B/2013/PN.Pyk, Putusan Pengadilan Tinggi Medan Nomor: 299/Pid/2011/PT-Mdn, Putusan Pengadilan Tinggi Medan Nomor: 352/Pid/2011/PT-Mdn, Putusan Pengadilan Negeri Tanjung Karang

(42)

Nomor: 361/Pid.Sus/2013/PN.Tk., dan Putusan Mahkamah Agung Nomor:

1795 K/Pid.Sus/2011.

G. Metode Penelitian

1. Jenis dan Sifat Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan adalah yuridis normatif yaitu penelitian yang mengacu pada teori-teori, doktrin-doktrin, norma-norma, dan asas-asas serta kaidah- kaidah hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan maupun di dalam putusan pengadilan.53 Penelitian hukum normatif dapat dikaitkan pula dengan teori- teori yang berkaitan dengan masalah yang sedang diteliti dan juga meneliti terhadap kaedah-kaedah dan asas-asas hukum.54 Sedangkan sifat penelitian ini adalah deskriptif analitis, yaitu menggambarkan dan menguraikan serta sekaligus menganalisis mengani fakta-fakta melalui pendekatan kasus dan peraturan perundang-undangan.55

2. Sumber Data

Sebagai data dalam penelitian ini yang digunakan adalah data sekunder, meliputi:

a. Bahan hukum primer yaitu: Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUH Pidana), Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, dan

53 Johny Ibrahim, Teori dan Metedologi Penelitian Hukum Normatif, (Surabaya: Bayumedia, 2008), hal. 282.

54 Soerjono Soekanto dan Sri Mamuji, Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan Singkat, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1994), hal. 13.

55 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2005), hal. 96.

(43)

Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.

Putusan pengadilan yaitu: Putusan Mahkamah Agung Nomor: 850 K/Pid.

Sus/2011, Putusan Mahmakah Agung Nomor: 2348 K/Pid.Sus/2012, Putusan Mahkamah Agung Nomor: 2102 K/Pid.Sus/2012, Putusan Pengadilan Negeri Payakumbuh Nomor: 22/Pid.B/2013/PN.Pyk., Putusan Pengadilan Tinggi Medan Nomor: 299/Pid/2011/PT-Mdn., Putusan Pengadilan Tinggi Medan Nomor: 352/Pid/2011/PT-Mdn., Putusan Pengadilan Negeri Tanjung Karang Nomor: 361/Pid.Sus/2013/PN.Tk., dan Putusan Mahkamah Agung Nomor:

1795 K/Pid.Sus/2011.

b. Bahan hukum sekunder yaitu bahan yang memberikan penjelasan dan ulasan- ulasan terhadap bahan hukum primer, antara lain: buku-buku, makalah, majalah, jurnal ilmiah, artikel, surat kabar, bahkan dokumen pribadi atau pendapat dari para pakar hukum yang relevan dengan permasalahan ini.

c. Bahan hukum tersier yaitu bahan hukum penunjang yang dapat memberi petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, antara lain berupa Kamus Umum Bahasa Indonesia, Kamus Bahasa Hukum, dan Kamus Bahasa Inggris.

3. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data dilakukan melalui studi pustaka (library research) di perpustakaan, dengan mengumpulkan bahan-bahan hukum tertulis yang relevan

(44)

dengan masalah di dalam penelitian ini.56

4. Analisis Data

Baik terhadap bahan hukum primer, sekunder, maupun tersier, diperoleh melalui membaca referensi, melihat, mendengar melalui seminar, pertemuan-pertemuan ilmiah, mendownload data melalui internet dan melakukan pendekatan kasus perkara tindak pidana narkotika yang mengandung disparitas pidana dalam Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia.

Semua data yang diperoleh akan dipilah-pilah dan diurutkan guna memperoleh data yang sesuai dengan permasalahan dalam penelitian ini.

Semua data akan dianalisis berdasarkan tingkat relevansi data dengan rumusan masalah yang diteliti yang disebut dengan analisis data kualitatif, bukan berdasarkan banyaknya data (kuantitatif).57

Dalam menganalisis semua data sekaligus memberikan argumentasi- argumentasi hukum. Argumentasi-argumentasi hukum tersebut dikemukakan secara

Fokus analisis dalam penelitian ini adalah putusan-putusan hakim pengadilan yang mengandung disparitas pidana sebagaimana pada putusan-putusan tersebut di atas. Difokuskan pada analisis mengenai pemidanaan perkara tindak pidana narkotika saat ini, mengapa terjadi disparitas pidana dalam perkara-perkara tindak pidana narkotika, dan bagaimana cara mengatasinya. Putusan-putusan tersebut akan dianalisis berdasarkan teori-teori yang relevan, doktrin-doktrin, norma-norma, asas-asas, dan ketentuan-ketentuan yuridis yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan.

56 Mukti Fajar dan Yulianto Achmad, Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan Empiris, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012), hal. 160.

57 Ibid., hal. 161.

Referensi

Dokumen terkait

Dalam skripsi ini penulis mengemukakan permasalahan yang menjadi factor-faktor penyebab terjadinya peredaran narkotika di Kota Gunungsitoli dan bentuk-bentuk tindak pidana

Disparitas pidana adalah penerapan pidana yang tidak sama terhadap tindak pidana yang sama atau terhadap tindak pidana yang sifat bahayanya dapat diperbandingkan

Dari berbagai faktor penyebab disparitas pidana tersebut di atas terlihat bahwa penyebab timbulnya disparitas dapat bersumber dari aturan-aturan hukum pidana itu sendiri, hal-hal

Kegiatan pengabdian Peran Hukum Pidana dalam Pemberantasan Tindak Pidana Narkotika di SMA Muhammadiyah 1 Karanganyar bertujuan untuk mencegah terjadinya tindak pidana

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, diketahui bahwa pada dasarnya faktor yang menyebabkan disparitas pidana terhadap tindak pidana korupsi adalah

permasalahan tersendiri terhadap tegaknya hukum dalam upaya memberantas tindak pidana narkotika, terjadinya disparitas pidana dalam memberikan ancaman hukuman pidana

Kesimpulan yang di dapat adalah kondisi/kategori seseorang di anggap melakukan pembiaran tindak pidana narkotika ketika seseorang tersebut melihat secara langsung terjadinya

Hasil penelitian ini menunjukkanbahwadari dua putusan hakim dalam tindak pidana Pencurian dengan Pemberatan terdapat disparitas pidana, disebabkan faktor subyektif dan obyektif hakim,