• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pemidanaan Terhadap Para Pelaku Tindak Pidana Narkotika

BAB I : PENDAHULUAN

D. Pemidanaan Terhadap Para Pelaku Tindak Pidana Narkotika

Setelah dijelaskan tentang makna pidana dan tindak pidana itu sendiri, kemudian dijelaskan pula tentang makna pemidanaan, yang sesungguhnya bertujuan untuk menjelaskan kondisi pemidanaan yang terjadi saat ini untuk kasus-kasus narkotika berdasarkan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.

Apa yang terjadi dalam pemidanaan kasus-kasus narkotika saat ini di pengadilan setelah diundangkan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika akan dikaji berdasarkan beberapa putusan perkara narkotika.

Untuk dapat mengetahui kondisi pemidanaan maupun penuntutan terhadap kasus-kasus narkotika berdasarkan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika tersebut, maka diambil 8 (delapan) putusan perkara narkotika yang mengandung disparitas pidana dalam pemidanaan. Putusan-putusan tersebut adalah:

1. Putusan Mahkamah Agung Nomor: 850 K/Pid. Sus/2011.

2. Putusan Mahmakah Agung Nomor: 2348 K/Pid.Sus/2012.

3. Putusan Mahkamah Agung Nomor: 2102 K/Pid.Sus/2012.

4. Putusan Pengadilan Negeri Payakumbuh Nomor: 22/Pid.B/2013/PN.Pyk.

5. Putusan Pengadilan Tinggi Medan Nomor: 299/Pid/2011/PT-Mdn.

6. Putusan Pengadilan Tinggi Medan Nomor: 352/Pid/2011/PT-Mdn.

7. Putusan PN Tanjung Karang Nomor: 361/Pid.Sus/2013/PN.Tk.

8. Putusan Mahkamah Agung Nomor: 1795 K/Pid.Sus/2011.

Alasan pertama, pemilihan terhadap kedelapan putusan tersebut karena dalam putusan-putusan hakim pengadilan tersebut mengandung disparitas pidana (disparity of sentencing) antara sesama hakim yang berbeda dalam memutus terhadap satu kasus yang sama. Alasan kedua, adalah karena putusan-putusan yang mengandung disparitas pidana tersebut dapat berimplikasi pada menciderai rasa keadilan masyarakat khususnya bagi para pencari keadilan.

Sebagaimana Harkristuti Harkrisnowo mengatakan, subjektifitas hakim dalam menjatuhkan pidana seharusnya membuat galau dan gamang para pembentuk undang-undang, namun ternyata tidak ada yang merasa demikian kecuali akademisi.100

Alasan keempat, bahwa putusan demikian dapat pula berimplikasi pada timbulnya skeptis dan apriori negatif masyarakat terhadap dunia pengadilan karena Alasan ketiga, putusan-putusan hakim yang mengandung disparitas pidana tersebut tidak didasarkan pada dasar pertimbangan hukum yang jelas tetapi pidana itu dijatuhkan cenderung melekat pendapat pribadi para hakim yang mengadili daripada pertimbangan hukum yang melekat pada diri pelaku, pada korban maupun pada dampak kejahatan terhadap masyarakat.

100 Harkristuti Harkrisnowo, Op. cit., hal. 7-8.

menciderai rasa keadilan masyarakat. Dispritas pidana dalam putusan-putusan perkara narkotika tersebut adalah:

1. Putusan Mahkamah Agung Nomor: 850 K/Pid. Sus/2011

JPU menyatakan terhadap terdakwa Febi Maulinawati binti M. Isa didakwa melanggar Pasal 112 ayat (1) Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika sesuai dakwaan kedua yaitu terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan perbuatan secara tanpa hak dan melawan hukum “memiliki, menyimpan, menguasai narkotika golongan I jenis Sabu-shabu. JPU menuntut pidana penjara selama 7 (tujuh) tahun dan denda sebesar Rp. 800.000.000,- (delapan ratus juta rupiah) subsider 6 (enam) bulan kurungan.

Majelis hakim dalam Putusan Pengadilan Negeri Langsa Nomor:

153/Pid.B/2010/PN.Lgs., pada tanggal 03 Januari 2011 menjatuhkan putusan terhadap Febi Maulinawati binti M. Isa telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana dengan tanpa hak dan melawan hukum memiliki, menguasai dan menyimpan narkotika golongan I jenis shabu-shabu dengan menjatuhkan pidana penjara selama 2 (dua) tahun dan denda sebesar Rp.

800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah) subsidiair pidana kurungan selama 3 (tiga) bulan.

Putusan Pengadilan Tinggi di Banda Aceh Nomor: 23/Pid/2011/PT.Bna., pada tanggal 10 Pebruari 2011 amarnya menguatkan Putusan Pengadilan Negeri Langsa Nomor: 153/Pid.B/2010/PN.Lgs. Majelis hakim Pengadilan Tinggi di Banda Aceh tetap menjatuhkan pidana penjara selama 2 (dua) tahun dan denda sebesar Rp.

800.000.000,- (delapan ratus juta rupiah) sebagaimana dalam Putusan Pengadilan Negeri Langsa tidak berubah sama sekali.

Kemudian majelis hakim dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor: 850 K/Pid.Sus/2011 pada tanggal 31 Mei 2011 menghukum Febi Maulinawati binti M.

Isa dengan menjatuhkan pidana penjara selama 4 (empat) tahun dan denda sebesar Rp. 800.000.000,- (delapan ratus juta rupiah) subsidiair selama 3 (tiga) bulan kurungan. Mahkamah Agung menilai putusan judex facti tersebut berada di bawah standar yang ditetapkan dalam Pasal 112 ayat (1) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika yang memiliki ancaman pidana penjara paling singkat 4 (empat) s/d paling lama 12 (dua belas) tahun penjara.

Dari ketiga putusan tersebut untuk satu kasus yang sama jelas terlihat adanya disparitas pidana bahwa putusan majelis hakim Pengadilan Negeri dan Langsa Pengadilan Tinggi Banda Aceh berbeda jumlah pidananya dengan putusan Mahkamah Agung. Mahkamah Agung berpendapat bahwa pidana penjara selama 2 tahun yang dijatuhkan oleh pengadilan negeri dan pengadilan tinggi (judex facti) tersebut tanpa didasarkan pada alasan pertimbangan yang mendasar dan dibenarkan oleh huku m.

Lagi pula putusan judex facti tersebut tidak sesuai ketentuan Pasal 112 ayat (1) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, oleh karenanya Mahkamah Agung membatalkannya dan mengadilinya sendiri. Selengkapnya Pasal 112 ayat (1) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika menentukan:

Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan Narkotika Golongan I bukan tanaman, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp800.000.000,- (delapan ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp8.000.000.000,- (delapan miliar rupiah).

Berdasarkan ketentuan Pasal 112 ayat (1) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika tersebut, muncul pertanyaan, bukankah pembuat undang-undang telah menetapkan pidana minimum khusus untuk delik-delik tertentu tanpa maksud dan tujuan? Jika majelis hakim Pengadilan Negeri Langsa dan hakim Pengadilan Tinggi Banda Aceh dalam perkara ini memahami tujuan yang diinginkan oleh pembuat undang-undang narkotika, seperti yang tersurat dalam penjelasan umum Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika,101

Putusan yang dijatuhkan selain untuk memberikan efek jera bagi para pelaku juga harus mampu menciptakan dampak pencegahan terhadap orang lain untuk melakukan tindak pidana narkotika yang serupa serta menghindarkan adanya disparitas pidana dalam perkara sejenis. Putusan judex facti dalam perkara ini jelas mengundang opini masyarakat yang menimbulkan skeptis dan apriori negatif

maka putusan di bawah standar minimum tidak perlu terjadi bahkan putusan judex facti semakin membuat ketidakpastian Pasal 112 ayat (1) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.

101 Paragraf 3-5 Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.

Bahwa perkembangan narkotika dalam kenyataannya menunjukkan kecenderungan yang semakin meningkat baik secara kuantitatif maupun kualitatif dengan korban yang meluas dan bertujuan untuk melindungi masyarakat dan mencegah serta memberantas peredaran Narkotika selain untuk menimbulkan efek jera terhadap pelaku penyalahgunaan Narkotika sehingga diatur mengenai pemberatan sanksi pidana baik dalam bentuk pidana minimum khusus, pidana penjara 20 tahun, pidana penjara seumur hidup maupun pidana mati.

terhadap citra pengadilan dan merugikan citra penegak hukum itu sendiri akibat adanya disparitas pidana dalam putusan.

Bahwa dengan diputuskannya perkara di bawah batas minimum jelas sekali dapat menimbulkan disparitas pidana (disparity of sentencing). Tidak terdapat suatu alasan apapun dalam pertimbangan judex facti tersebut yang dapat dijadikan alasan pembenar secara yuridis, sebagai alasan untuk dapat menjatuhkan pidana penjara di bawah standar minimum pidana yaitu di bawah pidana 4 (empat) tahun penjara.

Sebelumnya telah disebutkan bahwa Harkristuti Harkrisnowo mengatakan disparitas pidana menyangkut adanya perbedaan dalam penjatuhan pidana untuk kasus yang serupa atau setara keseriusannya, tanpa alasan atau pembenaran yang jelas.102 Hal itu juga dikatakan Muladi dan Barda Nawawi Arief bahwa penerapan pidana yang tidak sama terhadap tindak pidana yang sama (same offence) atau terhadap tindak pidana sifat bahayanya dapat diperbandingkan (offences of comparable seriousness) tanpa dasar pembenaran yang jelas.103

Itulah sebabnya Mahkamah Agung mengatakan dalam perkara ini tidak terdapat suatu alasan apapun dalam pertimbangan judex facti yang dapat dijadikan alasan pembenar secara yuridis, sebagai alasan untuk dapat menjatuhkan pidana penjara di bawah standar minimum pidana 4 (empat) tahun penjara. Pidana penjara

Tanpa dasar pembenaran yang jelas inilah yang dapat direlevansikan bahwa suatu putusan hakim dimaknai mengandung disparitas pidana.

102 Ibid.

103 Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-Teori....Op. cit., hal. 52-53.

yang dijatuhkan judex facti yaitu selama 2 (dua) tahun penjara tersebut jelas sekali tanpa didasarkan pada alasan pertimbangan yang mendasar dan dibenarkan oleh hukum, sehingga dengan demikian putusan judex facti itu bertentangan dengan norma di dalam Pasal 112 ayat (1) Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika.

Ada kecenderungan judex facti ingin melakukan penerobosan hukum dengan cara melanggar ketentuan positivisme hukum positif yang berlaku. Ketentuan hukum positif sudah jelas ditentukan pidana penjara paling singkat 4 (empat) s/d paling lama 12 (dua belas) tahun penjara, namun judex facti tidak mematuhi ketentuan tersebut dengan menjatuhkan putusan di bawah standar. Pasal 112 ayat (1) Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009 dengan tegas menentukan paling singkat 4 (empat) tahun penjara. Tampaknya argumentasi judex facti dalam kasus ini sangat tidak berdasar sehingga menimbulkan disparitas pidana (disparity of sentencing).

Pemikiran yuridis dengan norma khusus berupa putusan badan peradilan, tidak terlepas dari keadilan yang diberikan oleh hakim dalam putusannya, oleh sebab itu hakim harus mendasarkan putusannya pada hukum positif yang merupakan representasi kedaulatan rakyat yang mempunyai legitimasi sebagai hukum yang mengikat sehingga hakim tidak boleh mengambil putusan yang bertentangan dan menyimpang dari apa yang telah diatur oleh hukum positif dan hakim tidak dapat menggali hukum jika hukum tersebut telah diatur dalam hukum positif, kecuali sama sekali belum diatur, maka hakim wajib melakukan penemuan hukumnya.

Menjatuhkan pidana penjara di bawah standar dinilai tidak memberikan efek jera bagi para pelaku, sehingga dengan menjatuhkan pidana paling singkat 4 (empat) tahun penjara tersebut menciptakan kepastian hukum dan setidaknya mampu menciptakan dampak pencegahan terhadap orang lain untuk melakukan tindak pidana serupa serta menghindarkan adanya disparitas putusan terhadap perkara sejenis, untuk mencegah timbulnya opini yang merugikan citra penegak hukum akibat adanya disparitas putusan yang berbeda antara terdakwa yang satu dengan terdakwa lain dalam perkara sejenis.

2. Putusan Mahmakah Agung Nomor: 2348 K/Pid.Sus/2012

Dalam perkara ini JPU menyatakan terhadap terdakwa Noerdin Muhammad Amin alias Tudin didakwa melanggar Pasal 114 ayat (2) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, yaitu melakukan tindak pidana “tanpa hak atau melawan hukum menjadi perantara dalam jual beli atau menyerahkan narkotika golongan I dalam bentuk bukan tanaman”. JPU menuntut agar kepada terdakwa dijatuhkan pidana mati.

Majelis hakim dalam Putusan Pengadilan Negeri Medan Nomor:

58/Pid.B/2012/PN.Mdn tanggal 31 Mei 2012 amar putusannya menyatakan Noerdin Muhammad Amin alias Tudin terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “tanpa hak atau melawan hukum menerima narkotika golongan I bukan tanaman“ sebagaimana yang didakwakan pada Dakwaan Kesatu JPU. Majelis hakim menjatuhkan pidana kepada Noerdin Muhammad Amin Alias Tudin yaitu pidana penjara selama 20 (dua puluh) tahun dan denda sebesar Rp.

8.300.000.000,- (delapan miliar tiga ratus juta Rupiah) dengan ketentuan, jika denda tidak dibayar, harus diganti dengan pidana penjara selama 5 (lima) bulan.

Majelis hakim dalam Putusan Pengadilan Tinggi Medan Nomor:

373/Pid/2012/PT.Mdn, tanggal 27 Juli 2012 menguatkan Putusan Pengadilan Negeri Medan Nomor: 58/Pid.B/2012/PN.Mdn, tanggal 31 Mei 2012 tersebut. Sedangkan Mahkamah Agung dalam Putusan Nomor: 2348 K/Pid.Sus/2012 tanggal 26 Februari 2013 menjatuhkan pidana kepada Noerdin Muhammad Amin Alias Tudin tersebut dengan pidana penjara seumur hidup. Putusan ini juga mengandung disparitas pidana di mana judex facti menjatuhkan pidana penjara selama 20 (dua puluh) tahun sedangkan Mahkamah Agung menjatuhkan pidana penjara seumur hidup.

Jika diperhatikan secara seksama dalam perkara ini terdapat kekliruan judex facti dalam dalam menjatuhkan putusannya, judex facti salah menerapkan hukum, karena tidak mempertimbangkan dengan benar hal-hal yang relevan secara yuridis yaitu perbuatan Noerdin Muhammad Amin Alias Tudin secara tanpa hak dan melawan hukum menerima narkotika golongan I dalam jumlah banyak yaitu berat total 6955 gram (enam ribu sembilan ratus lima puluh lima gram). Selain tidak mendukung program Pemerintah dalam memberantas peredaran gelap narkotika, dengan berat total demikian menjadi alasan utama pemberatan yang dijatuhkan oleh Mahkamah Agung terhadap Noerdin Muhammad Amin Alias Tudin dengan pidana penjara seumur hidup.

Mahkamah Agung mengatakan putusan judex facti tersebut jelas-jelas mengandung disparitas pidana dengan kasus yang serupa yang pernah diadili dan

dijatuhkan pidana. Bahwa pidana penjara selama 20 (dua puluh) tahun yang dijatuhkan judex facti menimbulkan disparitas pidana dan ketidakadilan atau menimbulkan perlakuan diskriminatif terhadap pelaku tindak pidana narkotika, sebab dalam perkara semacam dengan tingkat perbuatan dan kesalahan dan peran sebagai kurir dijatuhi hukuman rata-rata pidana seumur hidup.104

Jika dikaitkan dengan filosofi pemidanaan tergambar bahwa maksud majelis hakim Mahkamah Agung menjatuhkan pidana yang lebih berat kepada Noerdin Muhammad Amin alias Tudin dari 20 (dua puluh) tahun penjara menjadi penjara seumur hidup untuk melindungi masyarakat bangsa Indonesia dari bahaya peredaran gelap narkotika yang merupakan sindikat atau jaringan peredaran gelap narkotika internasional karena ternyata Shabu tersebut berasal dari luar wilayah Indonesia.

Perbuatan Noerdin Muhammad Amin alias Tudin menjadi kaki tangan asing dalam peredaran gelap narkotika di Indonesia sangat membahayakan keselamatan masyarakat, bangsa dan negara Indonesia dan tentu saja dapat berpotensi menghancurkan sendi-sendi kehidupan manusia. Sehingga dapat dikatakan bahwa majelis hakim Mahkamah Agung dalam perkara ini lebih mempertimbangkan pada manfaat dijatuhkannya pidana seumur hidup agar menimbulkan efek pencegahan (detterence effect) bagi orang lain.

3. Putusan Mahkamah Agung Nomor: 2102 K/Pid.Sus/2012

JPU menyatakan terhadap terdakwa Ferizal Bin Ramulis Taher didakwa melanggar Pasal 112 ayat (1) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang

104 Putusan Mahmakah Agung Nomor: 2348 K/Pid.Sus/2012, hal. 16.

Narkotika yaitu bersalah melakukan tindak pidana memiliki narkotika golongan I bukan tanaman. JPU menuntut kepada terdakwa agar dijatuhkan pidana penjara selama 5 (lima) tahun dikurangkan selama terdakwa berada dalam tahanan sementara dan denda sebesar Rp. 800.000.000,- (delapan ratus juta rupiah) serta subsidair 3 (tiga) bulan penjara.

Majelis hakim dalam Putusan Pengadilan Negeri Palembang Nomor:

302/Pid.B/2012/PN.Plg, tanggal 10 Mei 2012 amarnya menyatakan terhadap Ferizal Bin Ramulis Taher terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “tanpa hak atau melawan hukum sebagai pengguna narkotika golongan I bagi diri sendiri”. Menjatuhkan pidana terhadap Ferizal Bin Ramulis Taher yaitu pidana penjara selama 2 (dua) tahun.

Majelis hakim dalam Putusan Pengadilan Tinggi Palembang Nomor:

120/Pid/2012/PT.Plg tanggal 1 Agustus 2012 amarnya menguatkan Putusan Pengadilan Negeri Palembang Nomor: 302/Pid.B/2012/PN.Plg tanggal 10 Mei 2012 tersebut. Sedangkan Mahkamah Agung dalam Putusan Nomor: 2102 K/Pid.Sus/2012 tertanggal 22 Januari 2013 menjatuhkan pidana terhadap Ferizal Bin Ramulis Taher yaitu pidana penjara selama 4 (empat) tahun dan denda sebesar Rp. 800.000.000,- (delapan ratus juta rupiah) subsidair 3 (tiga) bulan penjara.

Putusan dalam kasus ini juga dinilai masih mengandung disparitas pidana yaitu antara pidana penjara selama 2 (dua) tahun yang diputus oleh judex facti sangat berbeda dengan jumlah pidana penjara selama 4 (empat) tahun yang diputuskan oleh Mahkamah Agung (judex juris) lagi pula disparitas semakin terlihat karena MA juga

menjatuhkan pidana denda sebesar Rp. 800.000.000,- (delapan ratus juta rupiah) subsidair 3 (tiga) bulan penjara.

Disparitas pidana yang muncul di dalam perkara ini disebabkan perbedaan pandangan hakim dalam menilai perbuatan pelaku. Majelis hakim Pengadilan Negeri Palembang mengatakan pelaku “tanpa hak atau melawan hukum sebagai pengguna narkotika golongan I bagi diri sendiri” dan dikuatkan Pengadilan Tinggi Palembang.

Sedangkan Mahkamah Agung mengatakan pelaku “tanpa hak atau melawan hukum memiliki

Antara menggunakan dan memiliki jelas mengandung makna yang berbeda.

Menggunakan sudah pasti memiliki, tetapi memiliki belum tentu menggunakan. Lalu masalahnya mengapa jumlah pidana yang dijatuhkan Mahkamah Agung justru lebih berat daripada pidana yang dijatuhkan oleh Pengadilan Negeri Palembang. Jika dipahami makna antara menggunakan dan memiliki, maka seharusnya putusan Pengadilan Negeri Palembang lebih berat daripada putusan Mahkamah Agung, tetapi yang terjadi justru sebaliknya.

narkotika Golongan I bukan tanaman”.

Ternyata alasan utama Mahkamah Agung untuk menjatuhkan pidana yang lebih berat kepada pelaku adalah Putusan Mahkamah Agung Nomor: 2006 K/Pid.Sus/2012 dijadikan sebagai yurisprudensi dalam perkara a quo. Dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor: 2006 K/Pid.Sus/2012 ini pelaku dijatuhkan pidana juga 4 (empat) tahun penjara dengan pertimbangan bahwa pelaku adalah memiliki narkotika Golongan I bukan tanaman.

Sehingga untuk menghindari disparitas pidana terhadap kasus yang serupa dengan Putusan Mahkamah Agung Nomor: 2102 K/Pid.Sus/2012 ini Mahkamah Agung menyamakan perkara a quo dengan perkara di dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor: 2006 K/Pid.Sus/2012. Disparitas pidana menjadi hilang oleh karena Mahkamah Agung menyamakan kasus dalam perkara a quo dengan kasus dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor: 2006 K/Pid.Sus/2012, tetapi disparitas pidana justru terjadi antara Putusan Mahkamah Agung Nomor: 2102 K/Pid.Sus/2012 dan Putusan Pengadilan Negeri Palembang Nomor: 302/Pid.B/2012/PN.Plg.

Selain terjadi disparitas pidana dalam pemidanaan oleh hakim, juga terjadi disparitas pidana dalam tuntutan JPU. Disparitas juga bisa terjadi antara jumlah pidana yang dituntut oleh JPU (penuntutan) dengan jumlah pidana yang dijatuhkan oleh hakim (pemidanaan). Faktor-faktor sangat berpotensi bisa terjadi sebagai akibat dari tidak profesionalnya JPU dalam membuat dakwaan dan tuntutan.

Argumentasi pada profesionalisme JPU dijadikan sebagai salah satu faktor yang menimbulkan masalah disparitas pidana dalam perkara tindak pidana narkotika sehubungan dengan doktrin-doktrin dan yurisprudensi yang mengatakan bahwa

“dakwaan menjadi tumpuan hakim dalam memutus perkara pidana”. Berdasarkan yurisprudensi Mahkamah Agung Nomor 47/K/Kr/1956 tanggal 28 Maret 1957 hakim semestinya berpegang teguh pada surat dakwaan yang diajukan oleh JPU.105

105 Yurisprudensi Mahkamah Agung Nomor 47/K/Kr/1956 tanggal 28 Maret 1957 menentukan bahwa yang menjadi dasar hakim pengadilan memutus perkara adalah tuduhan (dakwaan) bukan tuduhan atau berkas perkara yang dibuat oleh Polisi.

Meskipun dikatakan hakim bebas menentukan keputusan namun tetap terikat pada apa yang didakwakan JPU.106

M. Yahya Harahap juga mengatakan hal serupa bahwa surat dakwaan menjadi lendasan pemeriksaan hakim di sidang pengadilan. Pemeriksaan di sidang pengadilan tidak boleh menyimpang dari apa yang dirumuskan di dalam surat dakwaan.

107

Matteus A. Rogahang mengatakan surat dakwaan dapat diubah tetapi harus sesuai dengan ketentuan KUHAP dilakukan sebelum pemeriksaan di sidang Pengadilan.108

Hakim akan melihat tentang apa yang didakwakan, jika dakwaan tersebut membuka lebar dan terlalu luas, maka JPU harus pula membuktikan dakwaan yang terbuka lebar dan luas itu. Oleh karenanya, surat dakwaan harus dibuat ringkas, cermat, jelas dan tepat atas terjadinya delik (tindak pidana) yang didakwakan.

Kebiasaan JPU menguraikan panjang lebar tentang latar belakang fakta-fakta delik bisa menimbulkan disparitas pidana dalam tuntutan dengan jumlah pidana dalam putusan hakim.

Andi Hamzah mengatakan tidak perlu JPU menguraikan panjang lebar tentang latar belakang fakta-fakta delik dalam dakwaan, karena dengan berbuat demikian menurutnya JPU telah membuka arena lebih luas lagi, sehingga JPU harus

106 Andi Hamzah, “Kemandirian dan Kemerdekaan Op. cit., hal. 2-3.

107 M. Yahya Harahap, Op. Cit., hal. 389. Jika surat dakwaan berisi tuduhan melakukan perampokan di malam hari dengan menggunakan senjata dengan didahului dengan pembongkaran dan penembakan, maka sepanjang ruang lingkup itulah batas-batas pemeriksaan yang dibolehkan di sidang Pengadilan.

108 Matteus A. Rogahang, “Suatu Study Tentang Akibat Hukum Dari Surat Dakwaan Kabur Dalam Perkara Pidana”, Jurnal Lex Crimen, Vol.I/No.4/Okt-Des/2012, hal. 2-3.

membuktikan hal-hal yang ditambahkan itu.109 Jika kondisi itu terjadi, maka produk yang dihasilkannya cenderung akan menimbulkan persoalan di mana persoalan itu akan mengarah pada suatu kondisi ketidakprofesionalan JPU sebab lembaga Kejaksaaan merupakan lembaga profesi hukum yang membutuhkan profesionalisme.110

1. Putusan Pengadilan Negeri Payakumbuh Nomor: 22/Pid.B/2013/PN.Pyk Seperti yang terjadi dalam kasus-kasus narkotika berikut ini:

JPU menyatakan terhadap terdakwa Irwan alias Wan didakwa melanggar Pasal 127 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika yaitu secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “tanpa hak atau melawan hukum menggunakan narkotika golongan I bukan tanaman jenis shabu-shabu sebanyak 0,64 gr (nol koma enam puluh empat) gram bagi diri sendiri. JPU menuntut agar kepada terdakwa Irwan alias Wan dijatuhkan pidana penjara selama 2 (dua) tahun dikurangi selama terdakwa berada dalam tahanan sementara.

Namun majelis hakim dalam Putusan Pengadilan Negeri Payakumbuh Nomor:

22/Pid.B/2013/PN.Pyk tanggal 8 Mei 2013 justru berpandangan lain dari JPU.

Majelis hakim Pengadilan Negeri Payakumbuh justru menyatakan Irwan alias Wan dijatuhkan pidana penjara selama 10 (sepuluh) bulan. Disparitas dalam kasus ini disebut sebagai disparitas penuntutan. Bahwa antara jumlah pidana yang dituntut oleh JPU yaitu pidana penjara selama 2 (dua) tahun masih sangat berbeda dengan jumlah

109 Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, (Jakarta: Sapta Artha Jaya, 1996), hal.

177.

110 Supriadi, Etika & Tanggung Jawab Profesi Hukum di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), hal. 28-147.

pidana yang dijatuhkan oleh majelis hakim yaitu pidana penjara selama 10 (sepuluh) bulan.

2. Pengadilan Tinggi Medan Nomor: 299/Pid/2011/PT-Mdn

JPU menyatakan terhadap para terdakwa (yaitu: Khairul alias Rul, Erwin alias Win, Umarzuki alias Umar, Bambang, dan Alfian Bangun alias Adek didakwa melanggar Pasal 127 ayat 1 huruf a Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika yaitu terbukti bersalah melakukan tindak pidana “menggunakan narkotika bagi diri sendiri”. JPU menuntut agar kepada para terdakwa dijatuhkan pidana penjara selama 4 (empat) tahun dikurangi selama para terdakwa berada dalam tahanan sementara.

Majelis hakim dalam Putusan Pengadilan Negeri Binjai Nomor:

131/Pid.B/2011/PN-Bj tanggal 25 April 2011 justru berpandangan lain dari JPU.

Majelis hakim Pengadilan Negeri Binjai menjatuhkan putusannya kepada para terdakwa telah terbukti secara sah dan manyakinkan bersalah melakukan tindak

Majelis hakim Pengadilan Negeri Binjai menjatuhkan putusannya kepada para terdakwa telah terbukti secara sah dan manyakinkan bersalah melakukan tindak