• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III : FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB TERJADINYA DISPARITAS

C. Faktor-Faktor Penyebab Terjadinya Disparitas Pidana Dalam

1. Faktor Perbedaan Filosofi Pemidanaan

Perbedaan filosofi yang dimiliki oleh para hakim pengadilan dapat menjadi faktor penyebab terjadinya disparitas pidana dalam perkara-perkara tindak pidana narkotika. Misalnya jika majelis hakim pengadilan negeri memiliki filosofi pemidanaan retributif yang berorientasi ke belakang (backward looking) sedangkan majelis hakim Mahkamah Agung memiliki filosofi pemidanaan utilitarian, maka yang terjadi dalam produk putusannya adalah disparitas pidana. Tetapi jika majelis hakim pengadilan negeri, pengadilan tinggi, dan Mahkamah Agung sama-sama memiliki orientasi ke depan (forward looking) dalam menjatuhkan pidana (sesuai paham aliran utilitarian), maka disparitas pidana dapat diminimalisir.

Untuk memperkuat argumentasi ini, sebaiknya berangkat dari pandangan Jon J. Lambiras yang mengatakan perbedaan pandangan dapat berupa kondisi di mana hakim yang berbeda pandangan mungkin akan tiba pada kesimpulan (putusan pidana) yang berbeda pula mengenai berpedaan pandangan yang diberikan atau ditunjukkan pada fakta dalam putusan. Akibatnya, hakim yang berbeda pandangan ini mungkin akan sampai pada kesimpulan yang berbeda yang diwujudkan dalam putusan terhadap kasus-kasus tertentu.149 Kemudian Ashworth penyebab mengatakan disparitas pidana dipengaruhi adanya perbedaan filosofi pemidanaan di antara para hakim.150

149 Jon J. Lambiras, “White-Collar Crime: Why the Sentencing Disparity Despite Uniform Guidelines?”, Journal Pepperdine Law Review, Volume 30, Issue 3, Article 3, (4-20-2003), hal. 500.

150 Andrew Ashworth, Op. cit., hal. 73.

Secara teoritis perbedaan pandangan-pandangan pemidanaan didasarkan pada apa yang menjadi landasan filosofi hakim, doktrin yang dianutnya, teori yang dianutnya, serta asas-asas dan prinsip-prinsip yang dianut hakim serta konsep penjatuhan pidana sebenarnya menjadi akar dan sekaligus menjadi faktor yang berpotensi menimbulkan disparitas penjatuhan pidana itu. Jika masing-masing hakim memiliki pandangan pemidanaan yang berbeda, maka sudah tentu produk putusannya akan menimbulkan suatu ketidakadilan sebagai konsekuensi dari disparitas pidana itu dan suatu ketidakadilan akan menciderai rasa keadilan masyarakat. Jika masing-masing hakim memiliki landasan filosofi yang sama dalam menjatuhkan pidana, maka disparitas pidana mungkin akan dapat diminimalisir.

Perbedaan pandangan berarti suatu perbedaan filosofi pemidanaan. Dengan demikian faktor ini dapat mengakibatkan terjadinya disparitas pidana dalam putusan hakim. Bagaimana faktor filosofi pemidanaan yang dianut oleh para hakim dapat mempengaruhi putusan? Seiring dengan perkembangan teori-teori pemidanaan, filosofi pemidanaan dalam setiap teori pemidanaan juga mengalami perbedaan.

Perkara dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor: 850 K/Pid. Sus/2011 terhadap Febi Maulinawati binti M. Isa didakwa JPU melanggar Pasal 112 ayat (1) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika dengan tuntutan pidana penjara selama 7 (tujuh) tahun dan denda sebesar Rp. 800.000.000,- (delapan ratus juta rupiah) serta subsider 6 (enam) bulan kurungan. PN Langsa dan PT Banda Aceh menjatuhkan putusan yang sama yaitu pidana penjara selama 2 (dua) tahun dan denda Rp. 800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah) serta subsidiair selama 3 (tiga) bulan

kurungan. Sementara MA menjatuhkan pidana penjara selama 4 (empat) tahun dan denda sebesar Rp. 800.000.000,- (delapan ratus juta rupiah) serta subsidiair selama 3 (tiga) bulan kurungan.

Dalam perkara ini tampak dari putusannya bahwa masing-masing hakim pengadilan berbeda memiliki filosofi pemidanaan yang berbeda pula. Majelis hakim PN Langsa dan PT Banda Aceh tidak beralasan yuridis yang jelas dan tepat memutuskan pidana selama 2 (dua) tahun penjara karena jumlah pidana itu sangat di bawah standar ancaman pidana yang disebutkan dalam Pasal 112 ayat (1) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika yaitu minimal 4 (empat) tahun penjara.

Filosofi pemidanaan yang dimiliki oleh majelis hakim PN Langsa dan majelis hakim PT Banda Aceh tidak memiliki filosofi pemidanaan utilitarian yang lebih menekankan tujuan pemidanaan untuk memberi manfaat. Karena putusan majelis hakim PN Langsa dan majelis hakim PT Banda Aceh tersebut sama sekali tidak memberi manfaat bagi masyarakat bangsa Indonesia di saat-saat program Pemerintah sedang gencarnya memberantas peredaran gelap narkotika.

Putusan majelis hakim PN Langsa dan majelis hakim PT Banda Aceh tersebut juga tidak bermanfaat pula bagi diri pelaku itu sendiri, sebab dengan jumlah pidana penjara selama 2 (dua) tahun tidak ada dicantumkan oleh pembuat undang-undang di dalam Pasal 112 ayat (1) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.

Ancaman pidana penjara minimal selama 4 (tahun) sudah merupakan keputusan yang final oleh pembuat undang-undang yang berarti telah mengikat seluruh kepentingan

rakyat Indonesia. Hal itu berarti jika dijatuhkan pidana penjara minimal selama 4 (tahun) dirasa sudah cukup untuk memperbaiki diri si pelaku agar tidak mengulangi perbuatannya lagi untuk menyalahgunakan narkotika.

Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, ada dua kelompok teori pemidanaan yaitu teori absolut dan teori relatif. Teori absolut bersifat retributif yang menekankan pemidanaan pada tindaka pembalasan bahwa pidana yang dijatuhkan kepada pelaku agar pelaku memperoleh nestapa atau derita yang pada akhirnya akan menimbulkan penjeraan. Namun majelis hakim PN Langsa dan majelis hakim PT Banda Aceh dalam perkara a quo tampaknya tidak memiliki filosofi pemidanaan retributif ini. Karena menjatuhkan pidana tanpa argumentasi yang jelas dan tepat serta berada di bawah standar ancaman pidana minimum.

Sedangka teori relatif lebih menekankan pada tujuan pemidanaan bukan hanya pada pemberian nestapa atau derita kepada pelaku tetapi mencari solusi lain yang lebih bermanfaat, antara lain teori perawatan (treatment) atau teori perbaikan (rehabilitation), teori restorative, teori tertib sosial (social defence), dan teori utilitarian. Dalam perkara a quo ini, teori tertib sosial (social defence) tampaknya diterapkan oleh Mahkamah Agung. Demi untuk menjaga ketertiban masyarakat, Mahkamah Agung membatalkan putusan PN Langsa dan PT Banda Aceh sebab tidak memenuhi syarat penjatuhan pidana penjara minimum.

Mahkamah Agung menyatakan penjatuhan pidana di bawah standar ancaman pidana penjara minimum yang telah ditentukan oleh pembuat undang-undang dalam Pasal 112 ayat (1) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika dapat

melukai rasa keadilan masyarakat dan putusan judex pacti ini jelas bertentangan dengan asas legalitas dalam konsep sistim hukum civil law.

Penjatuhan jumlah pidana di bawah standar ancaman pidana minimum juga terdapat dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor: 2102 K/Pid.Sus/2012 terhadap Ferizal Bin Ramulis Taher didakwa melanggar Pasal 112 ayat (1) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika dengan tuntutan pidana penjara selama 5 (lima) tahun dan denda sebesar Rp. 800.000.000,- (delapan ratus juta rupiah) serta subsidair 3 (tiga) bulan penjara. Analisis terhadap perkara ini sama dengan analisis pada perkara dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor: 850 K/Pid.Sus/2011 atas terpidana Febi Maulinawati binti M. Isa.

Dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor: 2102 K/Pid.Sus/2012 ini majelis hakim dalam PN Negeri Palembang dan PT. Palembang sama-sama menjatuhkan pidana penjara selama 2 (dua) tahun. Jumlah pidana yang dijatuhkan judex facti ini juga berada di bawah standar ancaman pidana penjara minimum yang telah ditentukan dalam Pasal 112 ayat (1) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Sehingga dengan demikian menyebabkan semakin lebarnya terjadi disparitas pidana dalam perkara yang sama-sama melanggar pasal ini. Untuk menghindari terjadi disparitas pidana Mahkamah Agung menjatuhkan pidana penjara selama 4 (empat) tahun dan denda sebesar Rp. 800.000.000,- (delapan ratus juta rupiah) serta subsidair 3 (tiga) bulan penjara.

Kemudian dalam Putusan Mahmakah Agung Nomor: 2348 K/Pid.Sus/2012 terhadap Noerdin Muhammad Amin alias Tudin didakwa JPU melanggar Pasal 114

ayat (2) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika dan menuntutnya dengan pidana mati. Namun majelis hakim PN Medan dan PT Medan menjatuhkan jumlah pidana yang sama yakni selama 20 (dua puluh) tahun penjara.

Penjatuhan jumlah pidana selama 20 (dua puluh) tahun penjara oleh majelis hakim PN Medan dan PT Medan ini dapat dipandang sebagai bahwa majelis hakim pada judex pacti memiliki filosofi pemidanaan utirilarian. Hal itu jelas sekali tampak dari produk putusannya tidak menjatuhkan pidana mati tetapi menjatuhkan pidana penjara selama 20 (dua puluh) tahun penjara dan pidana denda sebesar Rp.

8.300.000.000,- (delapan miliar tiga ratus juta Rupiah) serta subsidiair pidana penjara selama 5 (lima) bulan.

Filosofi pemidanaan utilitarian pada hakim judex facti di samping mengurangi jumlah pidana dari pidana mati menjadi pidana penjara selama 20 (dua puluh) tahun, majelis hakim judex facti menambahkan pidana denda sebesar Rp.

8.300.000.000,- (delapan miliar tiga ratus juta Rupiah) serta subsidiair pidana penjara selama 5 (lima) bulan. Dengan demikian upaya majelis hakim judex facti di sini jika di pandang dari sisi pelaku, maka putusan judex facti tersebut dinilai lebih bermanfaat karena pelaku masih bisa bertahan hidup selama 20 (dua puluh) tahun walaupun itu di dalam penjara.

Pelaku merupakan perantara jual-beli Narkotika Golongan I dalam bentuk bukan tanaman. Dari perannya sebagai perantara berarti berpotensi dapat menjualkan narkotika kepada orang lain dan mungkin jumlah pelanggannya akan bertambah banyak. Jika seandainya kepada pelaku dijatuhkan pidana mati, sudah tentu akan

lebih merugikan keluarganya. Sehingga dengan penjatuhan pidana denda sebesar Rp.

8.300.000.000,- (delapan miliar tiga ratus juta Rupiah) sebagai akumulasi dari pidana penjara dan pidana denda untuk dibandingkan dengan pidana mati dinilai sudah tepat dan memenuhi prinsip keadilan utilitarian.

Jika dibandingkan dengan jumlah pidana dalam tuntutan JPU, pidana seumur hidup yang dijatuhkan oleh Mahkamah Agung (judex juris) kepada pelaku (Noerdin Muhammad Amin alias Tudin) dapat memenuhi prinsip utilitarian karena judex juris dalam hal ini lebih mempertimbangkan kepentingan terbaik dari sisi pelaku. Tetapi putusan majelis hakim judex facti lebih baik daripada putusan majelis hakim judex juris sebab putusan judex facti lebih berprinsip pada utilitarian dibandingkan judix juris.

Pandangan utilitarian dalam penjatuhan pidana pada prinsipnya bermaksud hendak mewujudkan sesuatu yang adil yang menjadi dasar filosofis dalam menjatuhkan putusan oleh hakim. Sebagaimana retributive view atau teori retributif (pembalasan) bersifat backward looking (orientasinya ke belakang) sementara utilitarian view bersifat forward looking (orientasinya ke depan).151 Upaya merehabilitasi merupakan salah satu upaya sifatnya berorientasi ke depan (forward looking).152 Tetapi jika pemidanaan bersifat backward looking, maka pemidanaannya akan bersifat pembalasan.153

151 Suhariyono A.R., (II), Op.cit., hal. 34-35.

152 Roelof Haveman & Olaoluwa Olusanya, Sentencing and Sanctioning in Supranational Criminal Law, (Oxford: Intersentia, 2006), hal. 101.

153 Ibid., hal. 103.