• Tidak ada hasil yang ditemukan

Upaya Meminimalisir Disparitas Pidana Dalam Perkara-Perkara

BAB III : FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB TERJADINYA DISPARITAS

B. Upaya Meminimalisir Disparitas Pidana Dalam Perkara-Perkara

Sebagaimana telah dijelaskan di atas, dakwaan dan tuntutan JPU bisa berpotensi menimbulkan putusan hakim yang mengandung disparitas pidana, maka yang seharusnya diperlukan bagi para jaksa pada umumnya dan para JPU pada khususnya dalam menganai perkara pidana, harus menyatukan persepsinya dengan mendasarkan filosofi pemidanaan untuk melihat manfaat ke depan (forward looking).

Hal itu juga menjadi harapan bagi para hakim pengadilan untuk menyatukan persepsinya dalam satu persepsi tujuan yang sama dengan menganut filosofi pemidanaan utilitarian yang berorientasi memperhatikan manfaat ke depan dari dijatuhkannya pidana.

Disparitas pidana dapat diminimalisir dengan cara paling efektif adalah membuat pedoman pemidanaan (sentencing guidelines) di Indionesia. Karena dengan adanya pedoman pemidanaan itu dapat mengontrol kebebasan pengadilan dan diskresi hakim di Indonesia. Prinsip kebebasan pengadilan dan diskresi hakim di dalam Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman tidak bisa diukur dan tidak bisa menimbulkan kepastian hukum bagi para pencari keadilan.

Oleh sebab itu harus ada suatu pedoman baku dalam penjatuhan pidana kewenangan kebebasan pengadilan dan diskresi hakim di Indonesia dapat dikontrol.

Sebagai contoh pada tahun 1970-an hingga hingga 1980-an Amerika Serikat belum memiliki pedoman pemidanaan (sentencing guidelines). Pada waktu itu pengadilan di Amerika Serikat memiliki sistem penjatuhan pidana yang tidak menentu di mana hakim diberikan kewenangan luas untuk memutuskan hukuman bagi terdakwa dalam menetapkan hukuman penjara maksimum dan minimum.213

Marvin E. Frankel mengatakan pada waktu itu di Amerika Serikat, hakim-hakim di negara federal pada umumnya tidak dibekali pengalaman yang cukup untuk menghukum pelaku tindak pidana karena memang tidak ada standar atau tolok ukur yang jelas dalam menjatuhkan pidana. Pada satu sisi, hakim federal memiliki diskresi yang sangat besar yang mengakibatkan sering menjadi bias menimbulkan disparitas dalam penjatuhan pidana.

214

213 Michael Tonry, Op. cit. hal. 3.

214 Marvin E. Frankel, Criminal Sentences Law Without Order, (New York: Hill and Wang, 1972), hal. 6.

Kemudian untuk meminimalisir terjadinya disparitas pidana dan untuk membatasi kewenangan hakim-hakim pengadilan di Amerika Serikat yang luas itu, diadakan suatu pedoman pemidanaan (sentencing guidelines) yang mulai diberlakukan pada bulan Oktober 1987 yang disebut dengan Sentencing Guidelines 1987.215 Sentencing Guidelines 1987 ini sudah direvisi sebanyak empat kali, yakni di tahun 1997, tahun 2003, tahun 2011, dan pada tahun 2013.216

Amerika Serikat memiliki pedoman penjatuhan pidana yang tercantum dalam United States Federal Sentencing Guidelines berisi pedoman bagi hakim di pengadilan federal untuk menjatuhkan pidana. Pedoman ini merupakan hasil kerja Komisi Pemidanaan Amerika Serikat (United States Sentencing Commission) yang tujuan utamanya adalah untuk mengurangi disparitas pidana sekaligus USSC sebagai pengawas terhadap pelaksanaan sentencing guidelines.

217

Sebagai perbandingan pedoman pemidanaan yang berlaku di negara-negara bagian United States of America ditunjukkan pada tabel 2 berikut.

Sebelumnya sentencing guidelines hanya diberlakukan di beberapa negara bagian namun sejak tahun 1987 federal sentencing guidelines mulai diberlakukan pada seluruh negara bagian.

218

215 Dean John Champion, Sentencing, (United States: ABC-CLIO inc., 2008), hal. 10.

216http://www.ussc.gov/guidelines-manual/2013-ussc-guidelines-manual, diakses tanggal 10 Juni 2014, website resmi Komisi Penjatuhan Hukuman Amerika Serikat di ussc.gov, berjudul, “2013 USSC Guidelines Manual”, Tahun 2013.

217http://www.ussc.gov/guidelines-manual/guidelines-manual, diakses tanggal 15 Juni 2014, Situs Resmi United States Federal Sentencing Guidelines Amerika Serikat.

218http://www.ussc.gov/Guidelines/2012_Guidelines/Manual_PDF/Sentencing_Table.pdf, diakses tanggal 8 Desember 2013.

Tabel 2

Pedoman Pemidanaan di United States of America219

Dari pedoman pemidanaan dibagi dalam empat zona, yaitu Zana A, Zona B, Zona C, dan Zona D. Pembagian ke dalam zona-zona tersebut dikategorisasikan dari jumlah pidana yang dijatuhkan. Dengan pembagian zona tersebut berarti hanya ada empat kelompok besar yang diperbolehkan hakim untuk menjatuhkan pidana jumlah

219

http://www.ussc.gov/sites/default/files/pdf/guidelines-manual/2013/manual-pdf/Sentencing_Table.pdf, diakses tanggal 15 Juni 2014, di Situs Resmi United States Federal Sentencing Guidelines Amerika Serikat. Lihat juga: Michael Tonry, Op. cit., hal. 1-11. 44-45.

pidananya. Kategori setiap zona didasarkan pada tingkat keseriusan kejahatan yang dilakukan.

National Center for State Courts (NCSC) sebuah lembaga di Amerika Serikat yang bergerak dalam bidang pengembangan administrasi peradilan pada tahun 2008 melakukan penelitian mengenai konsistensi pengadilan dalam penerapan sentencing guidelines di tiga negara bagian yaitu Minnesota, Michigan, dan Virginia. Penerapan sentencing guidelines di tiga negara bagian tersebut juga dikaitkan dengan prinsip diskresi hakim (discretion) dalam menjatuhkan putusan pidana.220

NCSC mengungkapkan bahwa keberadaan sentencing guidelines di Amerika Serikat diterapkan secara bervariasi antara mandatory dan voluntary atau advisory.

Minnesota merupakan negara bagian yang menerapkan sistem yang ketat dalam melaksanakan sentencing guidelines, sementara Michigan menerapkan guidelines dengan tetap mengedepankan diskresi pengadilan (judicial discretion), dan Virginia benar-benar menerapkan sistem voluntary.

221

Menurut Michael Tonry beberapa sentencing commission

222 mengklaim pedoman pemidanaan di Amerika Serikat telah mengurangi angka disparitas pidana dibandingkan dengan pola pemidanaan sebelumnya.223

220 Brian J. Ostrom, Charles W. Ostrom, Roger A. Hanson, dan Matthew Kleiman, Assessing Consistency and Fairness in Sentencing: A Comparative Study in Three States, (National Center for State Courts (NCSC), VisualResearch, Inc., and Mazmedia, 2008), hal. 7.

Salah satu contoh adalah negara bagian Minnesota yang melakukan evaluasi pemberlakuan pedoman

221 Ibid., hal. 4.

222 Andrew Von Hirsch, Kay A.Knapp, dan Michael Tonry, The Sentencing Comission and Its guidelines, (Boston: Northeastern University Press,1987) hal. 7.

223 Michael Tonry, Loc. cit

penjatuhan pidana lebih dari negara bagian yang lain pada evaluasi empat tahun pertamanya menyimpulkan bahwa disparitas penjatuhan pidana berkurang sejak pemberlakuan pedoman penjatuhan pidana. Satu sisi berkurangnya disparitas pidana sedangkan di sisi lain bertambahnya penjatuhan pidana yang seragam dan proporsional.224

Untuk mengadopsi model pedoman pemidanaan sebagaimana yang telah ada di Amerika Serikat tersebut bukan tidak bisa diterapkan di Indonesia untuk mengurangi disparitas pidana dalam perkara tindak pidana pada umumnya dan tidak pidana narkotika pada khususnya. Menurut Harkristuti Harkrisnowo, pedoman pemidanaan dapat menjadi satu alternatif yang paling memungkinkan diberikannya rambu-rambu bagi hakim, dan tetap mengacu pada judicial independence.

225

Tetapi beliau juga mengatakan untuk mengurangi disparitas pidana dengan semata-mata menyusun pedoman pemidanaan bagi penjatuhan pidana memanglah tidak mungkin. Ada dua upaya menrutnya yang mesti dilakukan pertama, menyusun parameter yudikasi untuk mengurangi disparitas, dengan memberikan beberapa keuntungan antara lain:

226

a. Mendorong terciptanya kesamaan visi antara legislator dengan para hakim dalam melihat suatu tindak pidana;

b. Mempermudah hakim dalam menjatuhkan putusan pemidanaan; dan

c. Memudahkan masyarakat untuk melihat apakah hakim telah mempertimbangkan hal-hal tertentu atau tidak.

224 Ibid.

225 Harkristuti Harkrisnowo, Op. cit., hal. 24.

226 Ibid., hal. 25.

Selain upaya menyusun parameter yudikasi dalam pidatonya juga dikatakan melakukan upaya-upaya non hukum tidak kalah pentingnya dimulai dari proses rekruitmen dan pelatihan calon hakim, serta mekanisme kontrol, baik secara internal maupun eksternal.227

Untuk menciptakan kepastian hukum pedoman pemidanaan itu merupakan bagian terpenting. Masalah berat ringannya jumlah pidana selama ini tidak pernah selesai dibicarakan dalam dunia peradilan, padahal para hakim pengadilan sudah menerapkan pedoman pemidanaan sebagaimana yang ada di dalam KUH Pidana yang tidak jelas arahnya itu. Sependapat atau tidak sependapat dengan pandangan ini merupakan suatu kewajaran.

Mengadakan suatu pedoman pemidanaan di Indonesia dinilai sebahagian orang tidak dapat mengurangi masalah disparitas pidana bahkan terkadang tidak konsisten.

Jika diperhatikan kewenangan-kewenangan hakim yang ada di dalam Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman antara lain:

kewenangan independensi pengadilan, kewenangan melakukan diskresi, kewenangan melakukan interpretasi hukum, kewenangan atas keyakinan hakim, dan kewenangan-kewenangan lainnya. Bagaimana mungkin untuk meminimalisir disparitas pidana seutuhnya diserahkan kepada kewenangan itu? Ini merupakan sesuatu hal yang tidak mungkin dilakukan, tetapi pedoman baku pemidanaan lebih penting daripada itu untuk mengontrol kewenangan-kewenangan hakim.

227 Ibid.

Memandang perlu atau tidaknya dibuat pedoman pemidanaan ini, tidak ada alasan yang menentukan hal-hal yang berhubungan dengan “keseriusan” suatu tindak pidana sebagai salah satu pedoman menjatuhkan pidana. Chairul Huda dengan tegas mengatakan kategori serius atau tidak seriusnya kejahatan tidak cukup sebagai pedoman memidana pelaku.228

Kesalahan lah semestinya menjadi bahan pertimbangan utama menjatuhkan pidana ditambah hal-hal lain di luar dapat dicelanya pembuat dan keseriusan suatu tindak pidana itu juga. Batas pengenaan pidana ditentukan banyak faktor selain kesalahan pembuat, faktor lain di luar sifat melawan hukum dari perbuatan juga dapat dicelanya pembuat.

229

228 Chairul Huda, Op. cit., hal. 157.

229 Ibid., hal. 158.

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan pembahasan terhadap ketiga permasalahan di dalam penelitian ini, disimpulkan:

1. Pemidanaan terhadap para pelaku tindak pidana narkotika berdasarkan UU Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika dalam putusan pengadilan dapat berpotensi menimbulkan disparitas pidana sebab interval antara ketentuan ancaman pidana minimum dan pidana maksimum terbuka lebar. Terjadinya disparitas pidana berimplikasi pada timbulnya pandangan negatif dari masyarakat terhadap dunia peradilan dan kejaksaan. Hakim dinilai bersifat subjektif dalam menjatuhkan pidana dan demikian pula bagi JPU dinilai tidak profesional dalam membuat tuntutan pidana. Hakim yang bersifat subjektif berarti menjatuhkan pidana tidak didasarkan pada pertimbangan yuridis, sosiologis, dan filosofis, melainkan didasarkan pada pendapat pribadinya.

Disparitas pidana juga berimplikasi pada ketidakadilan bagi para pencari keadilan sebab dalam perkara nerkotika dengan tingkat keseriusan yang sama dijatuhkan putusan yang berbeda oleh majelis hakim akan menimbulkan kontroversi.

2. Faktor-faktor penyebab terjadinya disparitas pidana dalam tindak pidana narkotika antara lain adalah tidak bekerjanya elemen-elemen SPP

sebagaimana mestinya menurut aturan perundang-undangan yang berlaku.

Perbedaan filosofi yang dianut oleh masing-masing hakim yang berbeda dapat menimbulkan disparitas pidana. Dalam satu perkara narkotika dengan tingkat keseriusan kejahatannya sama, diadili oleh majelis hakim di pengadilan tingkat pertama dan kedua yang memiliki filosofi pemidanaan retributif (pembalasan), maka orientasinya akan menjatuhkan pidana kepada pelaku dengan tujuan untuk membalas atau memberikan derita yang berkepanjangan bagi pelaku kejahatan. Sedangkan jika majelis hakim pada tingkat Mahkamah Agung memiliki filosofi pemidanaan utilitarian, maka orientasinya dalam menjatuhkan pidana akan lebih mempertimbangkan pada manfaat (utility) baik bagi pelaku, korban dan keluarganya, serta kepentingan negara dan masyarakat. Ketiadaan pedoman pemidanaan bagi para hakim dalam menjatuhkan pidana, berimplikasi pada masing-masing hakim akan menggunakan kewenangan yudisial independen dan kewenangan diskresinya secara tidak terkontrol.

3. Upaya meminimalisir terjadinya disparitas pidana dalam perkara-perkara tindak pidana narkotika dapat dilakukan dengan cara yang paling efektif adalah membentuk pedoman pemidanaan (sentencing guidelines) yang jelas sehingga kepastian hukum semakin terbentuk. Para JPU harus pula profesional dalam membuat dakwaan dan tuntutannya untuk meminimalisir terjadinya disparitas penuntutan pidana narkotika. Sehingga dengan pedoman pemidanaan yang dibentuk akan bisa mengontrol kewenangan yudisial

independen dan kewenangan diskresi hakim serta menyatukan persepsi para hakim pada filosofi pemidanaan utilitarian.

B. Saran

Sebagai masukan atau saran terhadap ketiga permasalahan di dalam penelitian ini, disarankan:

1. Diharapkan agar para hakim memiliki persepsi yang sama dengan mendasarkan pada filosofi pemidanaan yang sama dalam menjatuhkan pidana dalam perkara tindak pidana narkotika yaitu dengan menyatukan persepsi pemidanaan terhadap perkara-perkara narkotika pada filosofi pemidanaan utilitarian. Sehingga dalam putusan-putusan hakim, selain menjatuhkan pidana kepada para pelaku untuk semua jenis tindak pidana narkotika, juga diperintahkan untuk direhabilitasi. Undang-undang narkotika saat ini masih mengatur putusan rehabilitasi hanya diperuntukkan bagi pemakai atau penyalahguna saja.

2. Agar para aparat penegak hukum dalam elemen-elemen SPP dalam menjalankan integrated criminal justice system harus diletakkan pada landasan prinsip diferensiasi fungsional sesuai dengan kewenangan yang diberikan undang-undang dijalankan dengan baik dan benar sebagaimana mestinya. Menyatukan persepsi semua elemen aparat penegak hukum pada filosofi pemidanaan utilitarian, sebab orientasi pemidanaannya melihat manfaat ke depan baik bagi pelaku, korban dan keluarganya, serta

kepentingan negara dan masyarakat. Kemudian kewenangan yudisial independen dan kewenangan diskresi hakim harus dijalankan secara terkontrol pada nilai-nilai dan norma-norma dan tidak bertentangan dengan hukum.

3. Agar Indonesia perlu mempelajari pedoman pemidanaan di negara-negara lain guna sebagai masukan dalam pembentukan pedoman pemidanaan di Indonesia tanpa mengabaikan segala pertimbangan dari berbagai aspek seperti aspek hukum, keadilan, sosial, dan filosofis. Sehingga pembentukan pedoman pemidanaan di Indonesia dapat tercapai sempurna.

DAFTAR PUSTAKA A. Buku-Buku

Abadinsky, Howard, Discretionary Justice, An Introduction to Discretion in Criminal Justice, Springfield-Amerika Serikat: Charles C. Thomas Publisher, 1984.

Adji, Oemar Seno, Hukum-Hukum pidana, Jakarta: Erlangga, 1984.

A.R., Suhariyono (I), Pembaruan Pidana Denda di Indonesia, Pidana Denda Sebagai Sanski Alternatif, Jakarta: Papas Sinar Sinanti, 2012.

______(II), Pembaruan Pidana Denda di Indonesia, Disertasi, Jakarta: Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Indonesia, 2009.

Arief, Barda Nawawi, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Perkembangan Penyusunan Konsep KUHP Baru, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008.

Ashworth, Andrew, Sentencing & Criminal Justice (Fourth Edition), Cambridge:

Cambridge University Press, 2005.

Atmasasmita, Romli (I), Sistem Peradilan Pidana Kontemporer, Jakarta: Kencana Prenada Media Grup, 2010.

______(II), Sistem Peradilan Pidana Perspektif Eksistensialisme dan Abolisionisme, Jakarta: Binacipta, 1996.

Bakhri, Syaiful, Perkembangan Stelsel Pidana Indonesia, Yogyakarta: Total Media, 2009.

Bemmelen, J.M. van, Hukum Pidana I: Hukum Pidana Material Bagian Umum, Diterjemahkan oleh Hasan, tanpa tempat: Bina Cipta, 1984.

Bertens, K., Pengantar Etika Bisnis (Seri Filsafat Atmajaya:2), Yogyakarta:

Kanisius, 2000.

Black, Henry Campbell, Black’s Law Dictionary, St. Paul : West Publishing. Co, 1991.

Champion, Dean John, Sentencing, United States: ABC-CLIO inc., 2008.

Duff, Anthony & David Garland, A Reader on Punishment, Oxford:Oxford University Press, 1995.

Effendy, Marwan, Diskresi, Penemuan Hukum, Korporasi & Tax Amnesty Dalam Penegakan Hukum, Jakarta: Referensi, 2012.

Ekaputra, Mohammad dan Abul Khair, Sistim Pidana di Dalam KUHP dan Pengaturannya Menurut Konsep KUHP Baru, Medan: USU Press, 2010.

Fachmi, Kepastian Hukum Mengenai Putusan Batal Demi Hukum dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia, Bogor: Ghalia Indonesia Publisihing, 2011.

Fajar, Mukti dan Yulianto Achmad, Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan Empiris, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012.

Frankel, Marvin E., Criminal Sentences Law Without Order, New York: Hill and Wang, 1972.

Hakim, M. Arief, Narkoba Bahaya dan Penanggulangannya, Bandung: Jember, 2007.

Hamzah, Andi, Hukum Acara Pidana Indonesia, Jakarta: Sapta Artha Jaya, 1996.

Harahap, M. Yahya, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, Penuntutan dan Penyidikan, Jakarta: Sinar Grafika, 2007.

Harahap, Cardiana, Peranan Kejaksaan Dalam Melakukan Penuntutan Perkara Tindak Pidana Narkotika, Tesis, Medan: Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, 2013.

Haveman, Roelof & Olaoluwa Olusanya, Sentencing and Sanctioning in Supranational Criminal Law, Oxford: Intersentia, 2006.

Hirsch, Andrew Von, dkk., The Sentencing Comission and Its guidelines, Boston:

Northeastern University Press,1987.

Huda, Chairul, Dari Tiada Pidana Tanpa Kesalahan Menuju Kepada Tiada Pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan, Jakarta: Kencana, 2008.

Hudson, Barbara A., Understanding Justice: an Introduction to Ideas, Perpectives and Controversies in Modern Penal Theory, Second Edtition, Great Britain:

Open University Press, 2003.

Ibrahim, Johny, Teori dan Metedologi Penelitian Hukum Normatif, Surabaya:

Bayumedia, 2008.

Kansil, C.S.T., Pokok-Pokok Hukum Pidana, Jakarta: Pradnya Paramita, 2004.

Lamintang, P.A.F., Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Bandung: Sinar Baru, 1990.

______Hukum Penitensir Indonesia, Bandung: Armico, 1984.

Lawrence Milton Friedman, The Legal A Social Science Perspective, New York:

Russel Sage Foundation, 1975.

Lovegrove, Austin, The Framework of Judicial Sentencing, Cambridge: Cambridge University Press, 1997.

Mahmud Mulyadi dan Feri Antoni Surbakti, Politik Hukum Pidana Terhadap Kejahatan Korporasi, Jakarta: Sofmedia, 2010.

Makarao, Muhammad Taufik, Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia, Studi Tentang Bentuk-Bentuk Pidana Khususnya Pidana Cambuk Sebagai Suatu Bentuk Pemidanaan, Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2005.

Manan, Bagir, Kekuasaan Kehakiman Republik Indonesia, Bandung: LPPM-UNISBA, 1995.

Mardani, Penyalahgunaan Narkoba Dalam Perspektif Hukum Islam dan hukum Pidana Nasional, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2007.

Marwan, M., dan Jimmy P., Kamus Hukum, Surabaya: Reality Publisher, 2009.

Marzuki, Peter Mahmud, Penelitian Hukum, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2005.

Moeljatno (I), Azas-Azas Hukum Pidana, Jakarta: Bina Aksara, 1998.

______Asas-Asas Hukum Pidana, Jakarta: Rineka Cipa, 2002.

Muhammad, Rusli, Sistem Peradilan Pidana Indonesia, Yogyakarta: UII Press, 2011.

Muhammad, Abdul Kadir, Etika Profesi Hukum, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1997.

Muladi, Lembaga Pidana Bersyarat, Bandung: Alumni, 1992.

______dan Barda Nawawi Arief, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana, Bandung:

Alumni, 2005.

Mulyadi, Mahmud, Criminal Policy, Pendekatan Integral Penal Policy dan Non-Penal Policy Dalam Penanggulangan Kejahatan Kekerasan, Medan: Pustaka Bangsa Press, 2008.

Mulyadi, Lilik, Hukum Acara Pidana, Sutau Tinjauan Khusus Terhadap Surat Dakwaan, Eksepsi dan Putusan Peradilan, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1996.

Nonet, Philippe dan Philip Selznick, Hukum Responsif, Bandung: Nusa Media, 2010.

Ostrom, Brian J., dkk., dan Matthew Kleiman, Assessing Consistency and Fairness in Sentencing: A Comparative Study in Three States, National Center for State Courts (NCSC), Visual Research, Inc., and Mazmedia, 2008.

Packer, Herbert L., The Limits of The Criminal Sanction, California: Standford University Press, 1968.

Pangaribuan, Luhut M.P, Lay Judges dan Hakim Adhoc; Suatu Studi Teoritis Mengenai Sistem Peradilan Pidana di Indonesia, Jakarta: fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2009.

______dkk., Menuju Sistem Peradilan Pidana Yang Akusatorial dan Adversial, Jakarta: Papas Sinar Sinanti bekerja sama dengan Peradi, 2010.

Partodiharjo, Subagyo, Kenali Narkoba dan Musuhi Penyalahgunaannyai, Jakarta:

Gelora Aksara Pratama, 2003.

Poyk, Fanny Jonathans, Sebuah Kesehatan Narkoba Sayonara, Jakarta: PT. Gelora Aksara Pratama, 2006.

Prasetyo, Teguh, Kriminalisasi Dalam Hukum Pidana, Bandung: Nusa Media, 2010.

Rahardjo, Satjipto (I), Sisi-sisi Lain Dari Hukum di Indonesia, Jakarta: Kompas Media Nusantara, 2006.

______(II), Ilmu Hukum, Bandung: Citra Aditya, 2006.

Rawls, John, A theory of Justice, London: Harvard University Press, 1971.

Reksodiputro, Mardjono, Sistem Peradilan Pidana Indonesia: Melihat pada Kejahatan dan Penegakan Hukum dalam Batas-batas Toleransi, Jakarta:

FHUI,1993.

Remmelink, Jan, Hukum Pidana, Komentar Atas Pasal-Pasal Terpenting dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Belanda dan Padanannya Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2003.

Santoso, Topo, Polisi dan Jaksa: Keterpaduan Atau Pergulatan?, Depok: Pusat Studi Peradilan Pidana Indonesia, 2000.

Sarwono, Sarlito Wirawan, Psikologi Remaja, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2008.

Sianturi, S.R., Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya, Jakarta:

Alumni Ahaem Petehaem, 1989.

Spohn, Cassia, How Do Judges Decide? The Search For Fairness And Justice In Punishment, California: SAGE Publications Inc.

Soedarto, Hukum dan Hukum Pidana, Bandung: Alumni, 1981.

Soekanto, Soerjono, Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Jakarta:

RajaGrafindo Persada, 2002.

______dan Sri Mamuji, Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan Singkat, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1994.

Soesilo, R., Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUH Pidana), Bogor: Politeia, 1994.

Supriadi, Etika & Tanggung Jawab Profesi Hukum di Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika, 2006.

Tim Penyusun Visimedia, Rehabilitasi Bagi Korban Narkoba, Tangerang: Penerbit Visimedia, 2006.

Tonry, Michael, Sentencing Matters, Oxford: Oxford University Press, 1996.

Utsman, Sabian, Mengenal Sosiologi Hukum, Malang: Mediasi Pustaka, 2005.

______Menuju Penegakan Hukum yang Responsif, Konsep Philippe Nonet & Philip Selznick, Perbandingan Civil Law System & Common Law System, Spiral Kekerasan & Penegakan Hukum, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010.

Walker, Nigel, Sentencing in a Rational Society, Middlesex : Penguin Books, 1972.

Western, Bruce, Punishment and Inequality in America, New York: Russel Sage Foundation, 2006.

Weston, Paul B., Supervision in The Administration of Justice Police, Coorection, Courts, Springfield: Charles & Thomas, 1965.

Widiyaningum, Irene, Kebijakan Kriminal Dalam Penerapan Pidana Tambahan Pembayaran Uang Pengganti (Studi Kasus Perkara an. Ahmad Dadang, dkk), Jakarta: Fakultas Hukum Program Pascasarjana Hukum Universitas Indonesia, 2013.

Zulfa, Eva Achjani, Pergeseran Paradigma Pemidanaan, Bandung: Lubuk Agung, 2011.

B. Perundang-Undangan

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUH Pidana).

Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.

Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.

C. Makalah, Jurnal, dan Artikel

Anderson, James M., dan Jeffrey R. Kling, “Measuring Inter-Judge Sentencing Disparity Before And After The Federal Sentencing Guidelines”, Kate Stith, Yale Law School, Journal of Law and Economics, forthcoming, February 1999.

Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, “Laporan Singkat Rapat Dengar Pendapat Umum Komisi III DPR RI dengan Prof. Dr. Muladi, SH”, Diselenggarakan oleh Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Bidang Hukum, Perundang-Undangan, HAM dan Keamanan, di Ruang Rapat Komisi III DPR RI, Tanggal 27 Mei 2013.

Effendy, Marwan, “Apakah Suatu Kebijakan Dapat di Kriminalisasi? (Dari Perspektif Hukum Pidana/Korupsi)”, Makalah yang disampaikan dalam Seminar Pertanggungjawaban Kebijakan Ditinjau Dari Hukum, Diselenggarakan oleh Lembaga Pengembangan Fraud Auditing (LPFA), di Hotel Bumi Karsa Bidakara, Jakarta, Selasa 11 Mei 2010.

Fatoni, Syamsul, “Pendekatan Logika Hukum Sebagai Upaya Meminimalisir Disparitas Pidana Dalam Sistim Peradilan Pidana”, Artikel pada Jurnal Media Hukum, Vol.15 No.2 Desember 2008.

Hamzah, Andi, “Kemandirian dan Kemerdekaan Kekuasaan Kehakiman”, Makalah Disampaikan pada: Seminar Pembangunan Hukum Nasional VIII Tema Penagakan Hukum Dalam Era Pembangunan Berkelanjutan, Diselenggarakan Oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, Denpasar, Tanggal 14-18 Juli 2003.

Harkrisnowo, Harkristuti, “Rekonstruksi Konsep Pemidanaan: Suatu Gugatan Terhadap Proses Legislasi dan Pemidanaan di Indonesia”, Teks Pidato pada Upacara Pengukuhan Guru Besar Tetap Dalam Ilmu Hukum Pidana, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, di Balai Sidang Universitas Indonesia,

Harkrisnowo, Harkristuti, “Rekonstruksi Konsep Pemidanaan: Suatu Gugatan Terhadap Proses Legislasi dan Pemidanaan di Indonesia”, Teks Pidato pada Upacara Pengukuhan Guru Besar Tetap Dalam Ilmu Hukum Pidana, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, di Balai Sidang Universitas Indonesia,