• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I : PENDAHULUAN

A. Pengertian Tindak Pidana

Pengertian tindak pidana memiliki arti yang sama (sinonim) dengan istilah peristiwa pidana yang menurut KUH Pidana59 adalah terjemahan dari istilah bahasa Belanda strafbaar feit yaitu suatu tindakan pada tempat, waktu dan keadaan tertentu dilarang atau diharuskan dan diancam dengan pidana oleh undang-undang, bersifat melawan hukum, serta dengan kesalahan, dilakukan oleh seseorang yang mampu bertanggung jawab.60

Beberapa sarjana berusaha memberikan perumusan tentang pengertian dari peristiwa pidana, diantaranya: Moeljatno cenderung menggunakan kata ”perbuatan pidana ” dari pada kata ”tindak pidana”. Menurut beliau”tindak pidana” banyak digunakan dalam perundang-undangan untuk menyebut suatu ”perbuatan pidana”.

Moeljatno berpendapat bahwa perbuatan pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh aturan hukum, larangan mana disertai ancaman (sanksi) berupa pidana tertentu bagi siapa yang melanggar larangan tersebut.61

Vos hanya memberikan perumusan singkat yakni kelakuan atau tingkah laku manusia yang oleh peraturan perundang-undangan diberikan pidana. Perumusan

59 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUH Pidana).

60 Moeljatno (I), Azas-Azas Hukum Pidana, (Jakarta: Bina Aksara, 1998), hal. 56.

61 Ibid.

peristiwa pidana menurut Simons adalah perbuatan melawan hukum yang diancam pidana dan dilakukan oleh seseorang yang mampu bertanggung jawab. Dari perumusan ini menunjukkan unsur-unsur peristiwa pidana diantaranya perbuatan manusia (handeling). Perbuatan manusia tidak hanya perbuatan yang telah dilakukan (een doen) akan tetapi juga termasuk tidak berbuat (een natalen atau niet doen).62

Hukum pidana menggunakan istilah strafbaar feit untuk menyebut istilah tindak pidana.63 Simons mengatakan tindak pidana merupakan suatu tindakan atau perbuatan (handeling) yang diancam dengan pidana oleh undang-undang, bertentangan dengan hukum dilakukan dengan kesalahan (schuld) oleh seorang yang mampu bertanggung jawab.64 Van Hattum berpendapat strafbaar feit adalah tindakan yang membuat seseorang menjadi dapat dihukum.65 Kedua pendapat ini tetap merujuk kepada penggunaan istilah tindak pidana dalam merumuskan strafbaar feit.

Berbeda dengan Moeljatno yang mengartikan strafbaar feit sebagai perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana bagi barang siapa saja yang melanggar larangan itu. Moeljatno lebih merujuk pada istilah “perbuatan pidana” untuk merumuskan strafbaar feit.66

Jadi istilah tindak pidana telah digunakan oleh masing-masing penerjemah dan telah memberikan sandaran perumusan dari istilah strafbaar feit dalam hukum

62 C.S.T. Kansil, Pokok-Pokok Hukum Pidana, (Jakarta: Pradnya Paramita, 2004), hal. 37.

63 P.A.F. Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, (Bandung: Sinar Baru, 1990), hal. 172.

64 S.R. Sianturi, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya, (Jakarta: Alumni Ahaem Petehaem, 1989), hal. 205.

65 P.A.F. Lamintang, Op. cit., hal. 175.

66 Moeljatno (I), Op. cit, hal. 54.

pidana. Sehingga istilah strafbaar feit itu sendiri telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia sebagai perbuatan yang dapat atau boleh dihukum, juga diterjemahkan sebagai peristiwa pidana, sebagai perbuatan pidana, atau sebagai tindak pidana.67

Berdasarkan pendapat beberapa ahli pidana di atas dapat dipahami bahwa tindak pidana itu sesungguhnya merupakan suatu perbuatan yang melawan hukum.

Orang yang dikenai pidana atau sanksi (hukuman) tentunya harus mempunyai kesalahan berdasarkan asas tiada pidana tanpa kesalahan (geen straf zonder schuld).

Kesalahan mengandung dua pengertian yaitu kesengajaan (opzet) berbuat dengan kehendak dan maksud atau dengan menghendaki dan mengetahui (willen en wetens) dan kelalaian (dolus atau culpa).68

Kelalaian (culpa) berarti pada diri pelaku terdapat kekurangan pemikiran, kekurangan pengetahuan, dan unsur yang ketiga yaitu pertanggungjawaban subjek.

Sesuatu dapat dikatakan sebagai tindak pidana apabila ada subjek (pelaku) dari tindak pidana itu sendiri. Agar dapat dipidana, dalam diri subjek atau pelaku pidana tidak terdapat dasar penghapus pidana, baik dasar pembenar maupun dasar pemaaf.

kekurangan kebijaksanaan yang diperlukan.

69

Jadi untuk dapat dikenakan pidana kepada seseorang, maka seseorang itu harus memiliki kesalahan baik disebabkan secara disengaja maupun yang disebabkan karena kelalaian. Sehingga subjek atau pelaku baru dapat dipidana jika ia memiliki kesahalan dan memiliki kemampuan bertanggung jawab serta harus pula melekat

67 S.R. Sianturi, Op. cit., hal. 204.

68 Jan Remmelink, Op. cit., hal. 173.

69 S.R. Sianturi, Op. cit., hal. 192.

suatu unsur melawan hukum yaitu dalam arti melawan hukum secara formil dan secara materil.70

Tindak pidana dapat dibagi dengan menggunakan kriteria. Pembagian ini berhubungan erat dengan berat atau ringannya ancaman, sifat, bentuk dan perumusan tindak pidana serta dipengaruhi oleh ajaran-ajaran hukum pidana.

71 Dalam KUH Pidana sendiri terdapat dua macam kelompok tindak pidana, yaitu kelompok disebut kejahatan (misdrijven) yang ditempatkan dalam buku ke-II dan pelanggaran (overtredingen) yang ditempatkan dalam buku ke-III.72

Istilah kejahatan berasal dari kata jahat, maknanya berarti sangat tidak baik, sangat buruk, sangat jelek yang ditumpukan terhadap tabiat dan kelakuan orang. B.

Simandjutak menyebut kejahatan adalah suatu tindakan anti sosial yang merugikan, tidak pantas, tidak dapat dibiarkan, dapat menimbulkan kegoncangan dalam masyarakat. Van Bammelen menyebut kejahatan adalah setiap kelakuan yang bersifat tercela yang merugikan dan menimbulkan begitu banyak ketidaktenangan dalam suatu masyarakat tertentu, sehingga masyarakat itu berhak mencelanya dan menyatakan menolak atas kelakuan itu. J. E. Sahetapy dan Mardjono Reksodipuro menyebut kejahatan dilekati sifat jahat.73

Sedangkan pelanggaran dalam buku III KUH Pidana juga merupakan tindak pidana tetapi ancaman sanksinya lebih ringan dibandingkan dengan kejahatan. Jika

70 J.M. van Bemmelen, Hukum Pidana I: Hukum Pidana Material Bagian Umum, Diterjemahkan oleh Hasan (tanpa tempat: Bina Cipta, 1984), hal. 102-103.

71 Ibid, hal. 228.

72 Ibid, hal. 230.

73 Moeljatno (II), Asas-Asas Hukum Pidana, (Jakarta: Rineka Cipa, 2002), hal. 71-72.

seseorang melanggar atau tidak patuh terhadap ketentuan ini disebut dengan pelanggaran. Misalnya melanggar rambu-rambu lalu lintas, tidak tepat disebut sebagai kejahatan rambu-rambu lalu lintas, karena tidak patuh terhadap rambu-rambu lalu lintas bukan sebagai kejahatan tetapi pelanggaran.

Pelanggaran hukum adalah perbuatan yang disadari oleh masyarakat sebagai suatu tindak pidana karena undang-undang menyebutnya sebagai suatu delik yang berupa pelanggaran terhadap perintah, yaitu tidak melakukan sesuatu yang diperintahkan atau yang diharuskan oleh undang-undang. Contoh lain dari pelanggaran adalah jika seseorang tidak mau menolong orang yang membutuhkan pertolongan sebagaimana diatur dalam Pasal 531 KUH Pidana, maka ia disebut melakukan pelanggaran, bukan melakukan kejahatan.

KUH Pidana telah menentukan tindak pidana yang masuk dalam kelompok pelanggaran dalam buku III KUH Pidana yaitu pelanggaran tentang keamanan umum bagi orang dan barang serta kesehatan umum, pelanggaran terhadap ketertiban umum, pelanggaran terhadap kekuasaan umum, pelanggaran terhadap kedudukan warga, pelanggaran terhadap orang yang perlu ditolong, pelanggaran terhadap kesopanan, pelanggaran tentang polisi daerah, pelanggaran dalam jabatan, pelanggaran dalam pelayaran.74

Menjelaskan tentang makna tindak pidana dalam sub bab ini dimaksudkan bahwa kajian dalam penelitian ini mengkaji tindak pidana narkotika. Setiap orang

74 R. Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUH Pidana), (Bogor: Politeia, 1994), hal. 9.

akan dapat dikatakan telah melakukan tindak pidana narkotika, jika telah terpenuhi syarat perbuatan melawan hukum narkotika. Kemudian bahwa dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, bukan saja undang-undang ini mengandung tindak pidana sebagai kejahatan tetapi juga diatur tindak pidana sebagai pelanggaran.

Misalnya Pasal 14 Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika yang mengatur tentang penyimpanan dan pelaporan. Kepada industri-industri farmasi, pedagang besar farmasi, sarana penyimpanan sediaan farmasi pemerintah, apotek, rumah sakit, pusat kesehatan masyarakat, balai pengobatan, dokter, dan lembaga ilmu pengetahuan diwajibkan membuat, menyampaikan, dan menyimpan laporan berkala mengenai pemasukan dan/atau pengeluaran narkotika yang berada dalam penguasaannya kepada Menteri Kesehatan melalui rekomendasi dari Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM). Jika ketentuan ini tidak dilaksanakan disebut sebagai pelanggaran yang sanksinya berupa sanksi administratif dari Menteri Kesehatan.