• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III : FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB TERJADINYA DISPARITAS

C. Faktor-Faktor Penyebab Terjadinya Disparitas Pidana Dalam

3. Faktor Dari Kewenangan Yudisial Independen

Adanya kewenangan yudisial independen (judicial independence) yang diberikan kepada para hakim juga menjadi faktor penyebab terjadinya disparitas pidana dalam perkara-perkara tindak pidana pada umumnya dan perkara tindak pidana narkotika pada khususnya. Kewenangan pengadilan telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasan Kehakiman sekaligus menjadi pedoman hakim dalam menjalankan tugas dan wewenangnya dalam mengadili perkara-perkara pidana.

Menurut Scheltema keputusan terhadap perkara-perkara oleh pengadilan yang dilaksanakan secara independen merupakan dasar bagi sistem hukum yang efektif, bertujuan untuk memastikan bahwa pemerintah tidak turut campur dalam pengadilan,

156http://berkas.dpr.go.id/pengkajian/files/buku_lintas_tim/buku-lintas-tim-4.pdf, diakses tanggal 10 Juni 2014. Oemar Seno Adji dalam Prianter Jaya Hairi, “Urgensi Pembentukan Sistem Kamar Mahkamah Agung Republik Indonesia”. Ditulis oleh Prianter Jaya Hairi, calon Peneliti Pada Pusat Pengkajian Pengolahan Data dan Informasi (P3DI) Sekretariat Jenderal DPR RI.

157 Ibid.

hakimlah yang harus memutuskan perkara. Peran hakim menurut Scheltema dikeluhkan oleh warga dalam kapasitasnya sebagai lembaga yang independen.158

Dalam penjatuhan pidana terhadap pelaku tindak pidana pada umumnya dan tindak pidana narkotika pada khususnya dalam persidangan didasarkan pada kekuasaan kehakiman yang merdeka merupakan dasar bagi berfungsinya sistem hukum dengan baik. Setiap orang akan mendapat jaminan bahwa Pemerintah akan bertindak sesuai dengan hukum yang berlaku, dan dengan hanya berdasarkan hukum yang berlaku itu kekuasaan kehakiman yang merdeka bebas dalam memutus suatu perkara yang diajukan kepada para hakim.

Prinsip mendasari kekuasaan kehakiman yang merdeka sebagai salah satu sendi penyelenggaraan Negara Kesatuan Republik Indonesia, tidak dapat dipisahkan dari asas bahwa negara Indonesia adalah negara berdasarkan konstitusi dan negara hukum. UUD 1945 menegaskan bahwa Indonesia adalah negara hukum.159

Norma dasar ini telah ditegaskan dalam Pasal 24 ayat (1) UUD 1945 bahwa:

”Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan”.

Sejalan dengan ketentuan tersebut maka salah satu prinsip penting negara hukum adalah adanya jaminan penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yang merdeka, bebas dari pengaruh kekuasaan lainnya untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.

158 Scheltema dalam Bagir Manan, Kekuasaan Kehakiman Republik Indonesia, (Bandung:

LPPM-UNISBA, 1995), hal. 5-6.

159 Pasal 1 ayat (3) UUD 1945.

undang di Indonesia yang mengatur tentang kekuasaan kehakiman diatur dalam Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia.

Faktor yang dapat mempengaruhi kemerdekaan, kemandirian dan kebebasan hakim menurut Andi Hamzah adalah faktor politis, faktor ekonomi, dan faktor sosial serta faktor rendahnya kemampuan pengetahuan dan teknis yuridis hakim. Faktor politis misalnya terdapat kepentingan-kepentingan penguasa atau orang-orang tertentu yang berupaya mempengaruhi yudisial independensi hakim, faktor ekonomi misalnya gaji hakim sangat menentukan pula atas merdeka tidaknya hakim dalam mengambil keputusan.160

Faktor sosial misalnya menjamurnya praktik main hakim sendiri (eigen richting) di kalangan masyarakat karena kurang percaya pada putusan hakim, sehingga muncul demonstrasi yang mendesak hakim agar memutus sesuai dengan kehendak demontsran atau pihak yang menggerakkannya. Faktor rendahnya kemampuan pengetahuan dan teknis yuridis hakim, tidak diimbangi dengan

160 Andi Hamzah, “Kemandirian dan Kemerdekaan Kekuasaan Kehakiman”, Makalah Disampaikan pada: Seminar Pembangunan Hukum Nasional VIII Tema Penagakan Hukum Dalam Era Pembangunan Berkelanjutan, Diselenggarakan Oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, Denpasar, Tanggal 14-18 Juli 2003, hal. 5.

kemampuan penguasaan terhadap hukum, dan kurangnya pengalaman hakim-hakim.161

Merdeka berarti kekuasaan kehakiman tidak boleh dicampuri, diintervensi, tetapi harus merdeka dalam menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, demi terselenggaranya negara hukum di Republik Indonesia. Tetapi makna merdeka atau kebebasan dalam melaksanakan wewenang yudisial tidaklah bersifat mutlak/absolut, karena tugas hakim adalah untuk menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, sehingga putusannya harus mencerminkan rasa keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia.

Kekuasaan kehakiman yang merdeka bukan berarti bahwa kekuasaan kehakiman dapat dilaksanakan sebebas-bebasnya tanpa rambu-rambu pengawasan, oleh karena dalam aspek beracara di pengadilan dikenal adanya asas umum untuk berperkara yang baik (general principles of proper justice), dan peraturan-peraturan yang bersifat prosedural atau hukum acara yang membuka kemungkinan diajukannya berbagai upaya hukum.

Jika kekuasaan kehakiman ini dilaksanakan oleh para hakim tanpa rambu-rambu dan dengan sebebas-bebasnya menafsirkan kekuasaan kehakiman, maka berpotensi pula menimbulkan disparitas pidana dalam putusan-putusannya, apalagi kebebasan itu terkadang diwujudkan dalam bentuk perlakuan diskriminatif.

Sebagaimana Harkristuti Harkrisnowo mengatakan, walaupun konstitusi dan perangkat hukum lainnya memberikan jaminan persamaan di muka hukum (e quality

161 Ibid., hal. 6.

before the law), bukan rahasia lagi bahwa perlakuan terhadap tersangka dan terdakwa acapkali tergantung pada who is who. Faktor penentu dari status sosial dan ekonomi, baik terdakwa maupun korban, bukan rahasia lagi, yang disebutnya sebagai discriminative treatment.162

Berfungsinya kekuasaan kehakiman menyangkut keseluruhan rangkaian kegiatan berupa mengadili suatu perkara sengketa yang individual konkret dan dalam kaitannya dengan konsep kekuasaan kehakiman yang merdeka, yang dalam konteks hukum meliputi wewenang, otoritas, hak dan kewajiban, maka kekuasaan kehakiman dapat diartikan sebagai kekuasaan, hak dan kewajiban untuk menentukan apa dan bagaimana norma hukum terhadap perkara-perkara yang diajukan kepadanya, maka kekuasaan kehakiman terikat pada peraturan-peraturan yang bersifat prosedural yang disebut hukum acara.

Kekuasaan kehakiman yang merdeka diwujudkan dalam kebebasan hakim dalam proses peradilan, dan kebebasan hakim dalam menjalankan kewenangannya, ada pada rambu-rambu aturan hukum formal dan hukum material, serta norma-norma tidak tertulis yang disebut asas umum penyelenggaraan peradilan yang baik.

Kekuasaan peradilan harus terikat pada aturan hukum material dan peraturan-peraturan yang bersifat prosedural yakni hukum acara.

Aturan hukum material dan peraturan-peraturan yang bersifat prosedural, dapat dikatakan sebagai batas normatif terhadap kebebasan kekuasaan peradilan atau kebebasan hakim dalam proses peradilan, bukan berarti hakim dengan

sebebas-162 Harkristuti Harkrisnowo, Op. cit., hal. 5.

bebasnya menentukan kehendaknya dalam memutus perkara-perkara yang diajukan kepadanya.