• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pertumbuhan Ilmu Pengetahuan dan

BAB III SEJARAH PERTUMBUHAN ILMU PENGETAHUAN DAN

E. Pertumbuhan Ilmu Pengetahuan dan

Ilmu naqli adalah ilmu yang bersumber dari naqli (Al-Qur‟an dan Hadis),

yaitu ilmu yang berhubungan dengan agama Islam. Ilmu ini mulai disusun dasar perumusannya pada sekitar 200 tahun setelah hijrah Nabi sehingga menjadi ilmu yangkita kenal sekarang.

agama. Ilmu agama dapat dimakanai sebagai prosedur, proses dan produk. Ilmu agama sebagai proses merupakan aktivitas penelitian tentang fenomena dan ajaran agama secara rasional, kognitif dan teologis. Ilmu agama sebagai prosedur adalah aktifitas kajian atau penelitian tentang fenomena dan ajaran agama dengan metode-metode ilmiah. Makna ilmu agama sebagai produk adalah berisi tentang kumpulan fenomena dan ajaran agama secara sistematis merupakan hasil aktivitas kajian atau penelitian dengan menggunakan metode ilmiah (Mulyadi, 2010:159). Ilmu-ilmu yang termasuk ilmu naqli adalah sebagai berikut:

a. Ilmu Tafsir

Untuk menggunakan al-Qur‟an sebagai sumber ajaran Islam secara langsung tidak semua orang memiliki kemampuan. Sejarah mencatat, bahwa pada priode pertama dari masa pertumbuhan Islam, ternyata yang memiliki kemampuan memahami Al-Qur‟an sangat terbatas.

Dilihat dari segi pertumbuhan dan perkembangan, Ulum al-Qur‟an atau

Ulum at-Tafsir, sama dengan pertumbuhan ilmu-ilmu lainnya, yakni tumbuh dan berkembang dari keadaan yang sederhana dan bercampur dengan pembahasan ilmu lainnya hingga menjadi sebuah ilmu yang berdiri sendiri.

Pada masa Rasulullah Saw. serta masa Khulafaur Rasyidin, Ulum at-Tafsir

masih diriwayatkan melalui penuturan secara lisan. Al-Qur‟an diturunkan dalam

bahasa Arab menurut uslub-uslubnya yang diwahyukan kepada seorang yang ummy. Penafsiran al-Qur‟an telah tumbuh pada masa Nabi dan beliaulah sebagai al-Mufassir al-Awwal dari kitab Allah untuk menerangkan maksud-maksud wahyu yang diturunkan padanya. Tafsir yang diterima Nabi sedikit sekali dan sahabat-sahabat Rasul tidak ada yang berani menafsirkan al-Qur‟an ketika masih hidup.Rasul sendirilah yang memikul tugas menafsirkan al-Qur‟an

(Al Munawar, 2002: 63-64).

Ketika zaman kekhalifahan Utsman ra. Dimana orang Arab mulai bergaul dengan orang-orang non-Arab, pada saat itu Utsman memerintahkan supaya kaum Muslimin berpegang pada mushaf induk dan membuat reproduksi menjadi beberapa buah naskah untuk dikirim ke daerah-daerah. Bersamaan dengan itu ia memerintahkan supaya membakar semua mushaf-mushaf lainnya yang ditulis orang menurut caranya masing-masing.

Dengan perintah reproduksi naskah al-Qur‟an ini berarti Ustman

meletakkan dasar yang di kemudian hari dikenal dengan nama ilmu Rasmi al-Utsmani (ilmu tentang penulisan al-Qur‟an) yang merupakan bagian dari

pembahasan Ilmu al-Qur‟an. Selain itu terdapat nama lain yang juga berpengaruh terhadap perkembangan ilmu ini, yakni Ali bin Abi Thalib r.a, dengan perintahnya kepada Abul Aswadi al-Duali, agar meletakkan kaidah

Qur‟an Qur‟an

lain seperti, Ibn Abbas, Aibn Mas‟ud, Zaid bin Tsabit, Ubai bin Ka‟ab, Abu

Musa al-Asy‟ari, Abdullah bin Zubair.

Menurut Abuddin Nata, pada pengkodifikasi al-Qur‟an, ilmu tafsir berada

di atas segala ilmu yang lain, karena ia dipandang sebagai induk ilmu

Al-Qur‟an, atau ilmu yang utama dari Ulum al-Qur‟an. Dalam pertumbuhan dan perkembangan Ilmu Tafsir yang terjadi pada abad pertama hingga, abad ke lima belas, terdapat hal-hal yang menarik untuk di pahami sebagai berikut:

Ilmu tafsir mengalami pertumbuhan dan perkembangan yang luar biasa jika dibandingkan dengan ilmu Keislaman lainya. Hal ini antara lain dapat dilihat bahwa pada setiap abad selalu terdapat ulama yang menulis kitab-kitab yang sekaligus berkaitan dengan berbagai cabang ilmu tersebut. Ilmu tafsir memiliki cabang yang sangat luas itu, memperhatikan luasnya isyarat yang terkandung di dalam al-Qur‟an. Kitab-kitab yang membahas ilmu tafsir yang demikian banyak itu boleh jadi masih berserakan di berbagai perpustakaan baik di Barat dan di Timur, dan sebagaian mungkin sudah ada yang hilang mengingat kitab itu di tulis dalam kondisi industry kertas masih belum tumbuh seperti sekarang.

Keberadaan berbagai cabang ilmu tafsir tersebut tujuan utamanya adalah agar setiap orang yang membaca, memahami, menghayati, dan mengamalkan kandungan al-Qur‟an atau menafsirkannya tidak terjerumus ke dalam kesalahan yang sesat dan menyesatkan. Munculnya berbagai cabang ilmu tafsir tersebut menggambarkan kesungguhan, ketekunan, motivasi, keikhlasan para ulama yang tinggi dalam mengembangkan khazanah studi Islam, khususnya dalam bidang ilmu tafsir yang pada gilirannya dapat meningkatkan mutu kehidupan masyarakat (Nata, 2011: 166-167).

Pemahaman ayat-ayat al-Qur‟an melalui penafsiran-penafsirannya mempunyai peranan yang sangat besar bagi maju mundurnya umat sekaligus dapat mencerminkan perkembangan serta corak pemikiran mereka (Shihab,2003: 83). Dari segi tatacara kerjanya, penafsiran al-Qur‟an yang telah

dilakukan para ulama di masa lalu dan juga masa sekarang menggunakan yang bermacam-macam. Quraish Shihab menyebutkan dalam “Membumikan Al

-Qur‟an” bahwa metode penalaran; pendekatan dan corak-corak penafsiran

Al-Qur‟an meliputi metode tahlily, maudhu‟iy, muqaran (komparasi) dan analisis. Pada masa bani Abbasiyah, para penafsir yang termasyur dari golongan ini seperti: (1) Ibn Jarir al-Thabary, (2) Ibn Athiyah al-Andalusi, (3) As-Suda yang

mendasarkan penafsirannya pada Ibn Abbas, Ibn Mas‟ud dll. Sedangkan tafsir bi al-Ra‟yi adalah penafsiran al-Qur‟an dengan menggunakan akal dengan

ngan Mu‟tazilah

b. Ilmu Hadis

Hadis merupakan sumber kedua ajaran Islam, setelah al-Qur‟an al-Karim. Dalam Ushul al-Hadist, Allah Swt. mengakhiri risalah alsamawiyah-Nya melalui ajaran Islam, dan ia mengutus Nabi Muhammad Saw.sebagai rasul yang memberikan petunjuk, dan Allah menurunkan al-Qur‟an kepadanya sebagai

mukjizat terbesar, bukti yang agung serta Nabi Muhammad Saw. diperintahkan untuk menyampaikan dan menjelaskannya kepada manusia (al-Khatib, 1989: 34).

Karena kedudukan itulah maka umat Islam berusaha menjaga dan melestarikannya di setiap kurun waktu.

Pertumbuhan dan perkembangan Ilmu hadits tersebut sangat terkait dengan permasalahn yang timbul dalam perjalanan hadis itu sendiri. Para ahli pada umumnya membagi hadis pada dua priode besar, yaitu masa mutaqaddimin

dan masa muta‟akhirin. Masa mutaqadimin terbagi melaui lima tahap priode: 1) Masa turunnya wahyu (13 SH/609M-11 H/632 M)

Pada masa ini menerima hadis dari Nabi Muhammad Saw. secara lisan, kemudian disebarluaskan secara lisan juga. Selain khawatir jarang orang yang dapat menulis, juga Nabi Muhammad sesudah kekhawatiran itu hilang dan para sahabat sudah cukup memahami dan mendalami serta menghafal al-Qur‟an,

maka diperbolehkanlah Abdullah ibn Amr bin Ash. Karakteristik priode ini ialah bahwa wahyu merupakan focus segala kegiatan ilmiah, baik hafalan maupun tulisan. Adapun hadis lebih banyak berupa hafalan dan ingatan para sahabat yang mendengar atau melihat Nabi Muhammad melakukan suatu perbutan (Abdurrahman, 2002: 64-65).

.

2) Masa Khulafa al-Rasyidin (12 H/634 M – 40 H/661 M)

Pada masa khulafaur al-Rasyidin, para sahabat tidak lagi berpusat di Madinah tetapi mulai menyebar ke berbagai penjuru wilayah Islam untuk menyampaikan ajara Islam, termasuk Hadits, sehingga penyebaran Hadits sudah mulai berkembang. Untuk menjaga segala kemungkinan, maka Abu Bakar dan Umar ibn Khathatab memerintahkan penjagaan ketat dalam periwayatan Hadits. Periwayatan hadits dilakukan hanya jika diperlu saja dan harus dengan kesaksian lain dan berhati-hati dalam penelitiannya (Ash Shiddieqy, 2000: 245).

Pada masa itu dikenal dengan aqallu al-riwayah, yakni menyedikitkan (memperkuat) dalam periwayatan hadits. Adanya usaha dalam memperketat penyebaran hadits yang digunakan oleh para sahabat merupakan indicator terhadap seseorang bahwa tidak mudah menerima dan menyebarluaskan segala sesuatu yang dinisbahkan kepada nabi Muhammad Saw.

Pada masa sahabat kecil dan Tabi‟in,

dirintis masa khulafa al-Rasyidin sudah semakin meluas, sehingga menyebabkan terjadinya perlawatan para sahabat ke kota-kota lain. Di kota-kota yang baru banyak berkumpul orang-orang Arab dan „Ajam (non-Arab) untuk mendapatkan ilmu dari kalangan sahabat.Kegiatan itu menghasilkan banyak ilmuwan di

kalangan Tabi‟in.

Namun, pada masa itu mulai terjadi pertemuan atau pergumulan antara berbagai agama dan budaya, antara agama dan budaya Islam dengan agama dan budaya-budaya lainnya. Pertemuan itu menimbulkan perbedaan pendapat yang membawa kepada pertentangan antar golongan. Disamping itu, mulai juga terjadi pertentangan antar berbagai kepentingan politik. Masing-masing golongan berusaha untuk menguatkan dan memenangkan hujjah politik dan golongannya masing-masing. Jika mereka tidak mendapatkan hujjah yang didukung Al-Qur‟an da Hadis, sebagian mereka tidak segan-segan membuatnya

sendiri. Disisi lain pertentanga politik Ali dan Mu‟awiyah, permusuhan Ali,

Aisyah, dan Mu‟awiyyah, pertentangan antara Arab dan non-Arab, juga menjadi pemicu lahirnya hadits-hadits palsu. Keadaan pertentangan yang membawa terjadinya banyak pemalsuan hadits seperti itu, akhirnya mendorong para sarjana muslim untuk mempelajari hadits dengan telitii sehingga dapat membedakan hadis yang shahih atau yang palsu. Kegiatan terhadap rangkaian dan kesinambungan perawi hadis melahirkan ilmu Rijal al Hadits yang mempelajari masing-masing perawi hadits, sehingga dapat diketahui perawi yang jujur dan yang berbohong. Penelitian lain dari kesesuian hadits dengan prinsip-prinsip agama melahirkan ilmu Dirawah al-Hadits.

4) Masa Pembukuan Hadis secara resmi (Abad ke-2 H)

Pada masa Rasulullah dan Tabi‟in periwayatan hadis masih lebih banyak

mendasarkan pada kekuatan hafalan. Sedangkan sahabat kemudian banyak yang wafat. Hal ini akhirnya mendorong khalifah Umar ibn Abdul al-Aziz dari daulah Bani Umayyah untuk membukukan Hadis. Khalifah Umar meminta gubernur Madinah Muhammad ibn Amr ibn Hazm. Untuk menuliskan hadis-hadis Rasul. Ternyata, Ibn Hazm menuliskan hadis-hadis yang didapati dari Amrah binti Rahman al-Anshariyah dan Qasim ibn Muhammad ibn Abi Bakar. Pada masa ini, seorang ulama besar di bidang Hadis pada masanya, juga membukukan

7Disebut sahabat kecil, karena mereka masih kanak-kana pada saat hidupnya Nabi Muhammad dan tidak jauh usiannya dengan mereka yang lahir sesudah priode sahabat ini.dan generasi berikutnya sesudah sahabat ini, yakni generasi yang tidak bertemu langsung dengan nabi

Muhammad, hanya bertemu dengan sahabat yang masih hidup, mereka disebut dengan tabi‟in.

tanpa penyaringan, mana yang dari Nabi, Sahabat dan Tabi‟in, sehingga, kitab -kitab Hadis susunan ulama pada masa ini masih terdapat Hadis marfu yang

mauquf dan maqthu‟.8Di antara kitab-kitab hadis dihasilkan diabad ke-2 H. ini, yang termashur adalah kitab al-Muwaththa susunan Imam Malik, yang mengandung 1726 hadis. Selain itu juga kitab Musnad susunan as-Syafi‟i, Musnad Abu Hanifah dan al-Jami susunan Imam Abd al-Razzaq ibn Hammam. 5) Masa Pentashihah dan Penyaringan Hadis (Abad ke-3 H)

Masa pembukuan hadis di abad ke-2 H. masih bercampur, baik yang

datang dari Nabi Muhammad, sahabat maupun Tabi‟in. Begitu juga, masih bercampurnya antara Hadis-hadis yang shahih, hasan, dan dha‟if. Hal tersebut membuat ulama Hadis pada abad ke-3 H. tergugah untuk meneliti hadis secara lebih seksama, memisahkan hadis yang shahih dari hadis yang tidak shahih, serta hadis yang kuat dari hadis yang lemah. Untuk itu, mereka mempelajari sejarah rawi dan perjalanan hidupnya, mempelajari sifat-sifat rawi yang baik dan yang cacat, lalu memberitahukannya kepada umum dan membukukannya. Berkenaan dengan hal ini, para ulama membuat ketentuan untuk menetapkan mana rawi yang boleh diterima hadisnya dan mana yang tidak. Ketentuan hal ini disebut dalam ilmu Jarh wa Ta‟dil yang membahas tentang cacat dan keadilan perawi hadis (Yunus, 1955: 11).

Ulama yang mula-mula menulis hadis dengan menyaring hadis-hadis yang shahih adalah Imam al-Bukhary (w. 256 h) yang hadis terkenal dengan kitab al-Jami al-Shahih, kemudian diikuti oleh muridnya yaitu Imam Muslim (W. 261 H) dengan kitab hasil karyanya Shahih Muslim. Dengan usaha yang dilakukan oleh keduannya, maka terbentuklah sumber hadis yang bersih. Sesudah itu, muncul beberapa imam ahli hadis yang menyaring hadis-hadis yang belum disaring oleh kedua imam tersebut, Imam Abu Daud (w. 275 H) al-Turmudzi (w.279 H), al-Nasai (w 303 H), Ibn Majah (w 273 H), yang masing- masing menyusun kitab hadis denagn sebutan Sunan.Kitab-kitab tersebutlah yang disebut kitab induk yang enam (kutub al-Sittah). Sesudah itu muncul Imam Ahmad ibn Hanbal (w. 241 H) yang kitabnya disebut Musnad Ash-Shiddieqy, 2000, 63). Usaha pelestarian Hadis di masa mutaakhirin (jika dibandingkan dengan masa mutaqaddimin), dibagi menjadi beberapa tahap dengan ciri tersendiri, baik sistemnya maupun pen-tadwin-an (pembukuan). Para

mutaqaddimin mengumpulkan hadisnya dengan cara menemui sendiri para

8Istilah Marfu‟ dalam ilmu hadis adalah hadis riwayatnya sampai kepada nabi Muhammad.Istilah hadis Mauquf adalah perkataan sahabat Nabi, sehingga riwayatnya pun hanya sampai kepada sahabat dan hadis Maqthuf adalah hadis yang sanadnya hanya sampai kepada

Masa ini ulama mempergunakan sistem istidrak dan istikhraj.9 Kitab-kitab istidrakini disebut Mussirak, misalnya tiga Mu‟jam yaitu Mu‟jam Kabir,

Mu‟jam Ausath, Mu‟jam Shaghir susunan Imam Sulaiman ibn Ahmad al-Tabani (w. 360 H) Mustadrak susunan al-Hakim Naisaburi (w. 405 H), shahih ibn Huzaimah (w. 311 H), Mustadrak al-Taqsim wa al-Anwa susunan Abi Hakim Muhammad ibn Hiban (w. 354 H) dan lain-lain. di antara kitab-kitab mustakhraj adalah Mustakhraj Shahih al-Bukhari karangan al-Hafidz Abu Bakar al-Barkoni (w. 425 H), dan lain-lain. dengan demikian pada akahir abad ke-4 dapat dikatakan pembinaan dan pelestarian Hadis yang diterima dari Nabi Muhammad Saw. telah selesai.

Pada abad ke-5 sampai abad ke-7, para ulama hanya berusaha untuk memperbaiki susunan kitab, mengumpulkan Hadis al-Bukahari dan Muslim dalam kitab, mempermudah jalan pengambilannya, mengumpulkan Hadis hukum dalam satu kitab, mengumpulkan Hadis taghrib dan tarhib dalam satu kitab, memberikan syarat terhadap susunan Hadis yang ada, menyusun kitab atraf dan lain-lain, dalam abad ini timbulah istilah al-jami, al-jawami, al-takhrij

(Ash-Shiddqiey, 2000: 93-94).10 c. Ilmu Kalam

Ilmu kalam adalah ilmu yang membicarakan tentang wujud Tuhan (Allah), sifat-sifat yang mesti ada pada-Nya, sifat-sifat yang tidak boleh ada pada-Nya dan sifat-sifat yang mungkin ada pada-Nya, serta membicarakan tentang Rasul-rasul Tuhan, untuk menetapkan kerasulannya dan mengetahui sifat-sifat yang mesiti ada padanya, sifat-sifat yang tidak boleh ada padanya, dan sifat-sifat yang mungkin ada padanya (Hanafi, 1986: 3).

9Yang dimaksud dengan sistem Istidrak adalah mengumpulakn hadis yang diriwayatkan oleh al-Bukaharai dan Muslaim atau tidak oleh salah satu dari keduannya tetapi memenuhi syarat-syarat yang dipergunakan oleh al-Bukahari dan Muslim atau salah satu dari keduannya. Sedangkan yang dimaksud dengan Istikhraj adalah mengambil hadits dari al-Bukhari dan Muslim, lalu meriwayatkandengan cara sendiri, bukan dari sanad al-Bukhari atau Muslim, lalu meriwayatkan dengan cara sendiri, bukan dari sanad al-Bukhari atau Muslim.

10Yang dimaksud dengan takhrij adalah menerangkan derajat, tempat pengambilan dan pemberian penilaian terhadap hadis-hadis yang terdapat pada kitab fiqih, kitab tafsir dan kitab-kitab ilmiah lainnya yang belum diterangkan perawi pentakhrijnya maupun penilaiannya.Taghrib dan tarhib adalah menerengkan keutamaan amal, menggemarkan agar orang suka beramal, dan keutamaan agar orang menjauhkan diri dari perbuatan yang terlarang.Kitab atraf ialah kitab yang hanya menyebut sebagian hadis, kemudian mengumpulkan seluruh sanad baik sanad suatu kitab maupun sanad dari beberapa kitab.Sedangkan yang dimaksud syarah ialah menerangkan arti dari hadits-hadis yang bersangkutan.

terhadap orang-orang yang menyeleweng dari kepercayaan-kepercayaan aliran golongan salaf dan ahli sunah (Hanafi, 1986: 3).

Ilmu kalam adalah salah satu dari empat disiplin keilmuan yang telah tumbuh dan menjadi bagian tradisi kajian tentang agama Islam.Tiga lainnya ialah disiplin-disiplin keilmuan fiqih, tasawuf, dan falsafah. Ilmu kalam erat kaitannya dengan ilmu mantiq atau logika, dan pada kerangka ini, Nurcholish Madjid secara lugas mendeskripsikan bahwa ilmu kalam tumbuh dalam kerangka logika dan seiring dengan falsafah secara keseluruhan yang mulai dikenal bergaul dengan bangsa-bangsa yang berlatar belakang peradaban Yunani (Hellenisme) (As-Shiddqiey, 2000: 93).

Akan tetapi pada dasarnya ketika logika sebagai dasar menyusun argument dan menguji silogisme, masuk dalam Islam, para teolog tidak menggunakannya, sebab logika erat kaitannya denga filsafat. Dan banyak para kalangan yang berpendapat bahwa lahirnya ilmu kalam beberapa abad pasca wafatnya Nabi Muhammad dan dilatarbelakangi oleh sosial politik umat Islam pada masa awal pertumbuhannya. Akan tetapi, secara umum latar belakang lahirnnya ilmu kalam oleh dua faktor sebagai berikut:

Pertama, teori politik. Teori ini antara lain digunakan oleh Harun Nasution. Misalnya ia mengatakan bahwa, peroalan politik yang terjadi antara Ali bin Abi Thalib dan Mu‟awiyyah tentang perebutan kekuasaan yang diselesaikan dengan jalan abitrase oleh kaum Khawarij dipandang bertentangan dengan ajaran Islam. Disamping itu mengutip pendapat Musyrifah Susanto yakni ”untuk

membela Islam dengan bersenjatakan filsafat, seperti halnya musuh yang menyerang dan menjelek-jelekkan Islam dengan memakai senjata”. Kedua, karena semua masalah termasuk masalah agama telah bergeser dari pola rasa kepada pola akal dan ilmu. Kaum Mu‟tazilah berjasa dalam menciptakan ilmu

kalam, karena mereka adalah pembela gigih berani terhadap Islam dari serangan Yahudi, Nashrani, dan Wasani. Menurut riwayat, mereka mengirim juru-juru dakwah ke segenap penjuru untuk menolak serangan musuh. Diantara pelopor dan ahli ilmu Kalam yang terbesar yaitu Washil bin Atha, Abu Huzail al-Allaf, Au Hasan al-Asya‟ari dan Imam Al-Ghazali (Amin, 1967: 364).

Dalam perkembangan selanjutnya, ilmu kalam tidak lagi memonopoli

kaum Mu‟tazilah. Adalah seorang sarjana dari kota Basrah di Irak, bernama Abu

al Hasan al-Asy‟ari (260-324 H./873-935 M. ) yang terdidik dalam alam

Mu‟tazilah. Tetapi kemudian pada usia 40 tahun ia meninggalkan paham

Mu‟tazilah dan justru mempelopori suatu jenis ilmu kalam yang anti Mu‟tazilah. Ilmu kalam Asy‟ari itu, yang juga sering disebut Asy‟ariyyah, kemudian tumbuh

dan berkembang menjadi ilmu kalam yang paling berpengaruh dalam Islam sekarang, Karena dianggap paling sah menurut pandangan sebagian besar kaum

d. Ilmu Tasawuf

Secara bahasa kalimat tasawuf masuk dalam “babut-taful” dengan wazan, tasawwuffa,yatasawwuf, tasawwufan. Tasawwufal-rajulu yakni, seorang laki-laki telah berpindah halnya daripada kehidupan biasa pada kehidupan sufi. Sedangkan

Asmaran AS. mengatakan bahwa tasawuf berasal dari kata “saf” yang artinya suci, bersih atau murni; atau kata “saf” yang artinya sah atau baris dari kata “suffah” yang berarti serambi masjid; dan juga “shuf” yaitu bulu domba.

Asmaran 1996:42). Sedangkan Karen Amstrong diartikan dengan pakainan bersahaja yang terbuat dari wol kasar yang diduga merupakan pakaiaan kegemaran Nabi Muhammad Saw. (Zuhri, 1995: 45).

Ilmu Tasawuf adalah salah satu ilmu yang tumbuh dan matang pada zaman Abbasiyah. Inti ajarannya tekun beribadah dengan menyerahkan diri sepenuhnya kepada Allah, meninggalkan kesenangan dan perhiasan dunia, serta bersunyi diri beribadah. Dalam sejarah sebelum timbul aliran tasawuf terlebih dahulu muncul aliran zuhud. Aliran zuhud ini timbul pada akhir abad ke-1 dan permulaan abad ke-2 H. terdapat sejumlah terori yang berkaitan dengan pengertian tasawuf. Harun Nasution mislanya, mengatakan bahwa, teori yang

diterima adalah istilah itu berasal dari kata “suf” yang berarti wol. Kemunculan Tasawuf adalah sebagai reaksi terhadap hidup mewah dari kahlifah dan keluarga serta pembesar-pembesar negara sebagai akibat dari kekayaan yang diperoleh setelah Islam meluas ke Syiria, Mesir, Mesopotamia, Persia. Aliran zuhud ini mulai nyata kelihatan di Kufah dan Basrah di Irak. Para Zahid Khufahlah yang pertama sekali memakai wol kasar sebagai reaksi terhadap pakaian sutra yang dipakai golongan bani Umayyah seperti Sufyan al-Tsauri (w.235 H).

Orang sufi ingin hidup sederhana dan menjauhi hidup keduniawian dan kesenangan jasmani, dan untuk itu mereka hidup sebagai orang miskin dengan wol kasar tersebut (Nasution, 1985: 72, Rachman, 1994: 42). Basrah sebagai kota tenggelam dalam kemewahan, aliran zuhud mengambil corak lebih ekstrim sehingga akhirnya meningkat kepada ajaran mistik. Zahid-zahid yang terkenal di sini adalah Hasan al-Bashri (w. 110 H), dan Rabi‟ah al-Adawiyah (w. 185 H.). (Nasution, 1978: 64).

Dalam memperhatikan kemewahan hidup dan maksiat yang dilakukan khalifah dan pembesar-pembesar orang yang zahid ini teringat kepada ancaman yang terdapat dalam al-Qur‟an terhadap orang yang tidak patuh kepada Allah, tak

perduli pada larangan dan tak menjalankan perintah-perintah-Nya. Karena itu mereka melarikan diri dari masyarakat mewah dan tak patuh. Mereka teringat kepada dosa mereka, maka mereka bertaubat (Nasution, 1978: 66).

Adapun yang dimaksud dengan ilmu bahasa dalam hal ini adalah ilmu yang tidak berdiri sendiri, akan tetapi menyeluruh meliputi ilmu Nahwu, Sharaf,

Dokumen terkait