• Tidak ada hasil yang ditemukan

Paradigma Pengembangan Ilmu Pada Zaman Al Ma'mun

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Paradigma Pengembangan Ilmu Pada Zaman Al Ma'mun"

Copied!
247
0
0

Teks penuh

(1)

DiajukankepadaPengelola Magister FakultasIlmuTarbiyahdanKeguruan (FITK) untukmengikutiUjianPromosiTesispada Program MagisterPendidikan

Agama Islam

Oleh:

Ahmad Khumaidi Al Anshori NIM: 2113011000011

PROGRAM MAGISTER PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)

SYARIF HIDAYATULLAH

(2)
(3)

i A.PADANAN AKSARA

Huruf Arab Huruf Latin Keterangan

ا Tidak dilambangkan

B Be

T Te

Ts Te dan es

J Je

H Ha dengan garis bawah

Kh Ka dan Ha

D De

Dz De dan Zet

R Er

Z Zet

S Es

Sy Es dan Ye

S Es dengan garis bawah D De dengan garis bawah T Te dengan garis bawah Z Zet dengan garis bawah

„ Koma terbalik di atas hadap kanan

Gh Ge dan Ha

ف F Ef

Q Ki

K Ka

ل L El

M Em

N En

H Ha

W We

ء A Apostrof

(4)

ii

-- A Fathah

-- I Kasrah

-- U Dammah

--ي Ai A dan i

-- Au A dan u

C.VOKAL PANJANG Tanda Vokal

Arab

Tanda Vokal

Latin Keterangan

--ا Â A dengan Topi di atas

--ي Î I dengan Topi di atas

-- Û U dengan Topi di atas

D.KATA SANDANG

Kata sandang dalam sistem tulisan Arab dilambangkan dengan huruf

لا, dialihaksarakan menjadi huruf (l), baik diikuti huruf syamsiyyah

maupun qamariyah. Contoh: al-syamsu bukan asy-syamsu dan al-jannah

E.SYADDAH/TASYDID

Syaddah/tasydîd dalam tulisan Arab dilambangkan dengan ّ, dalam

alih aksara dilambangkan dengan menggandakan huruf yang diberi tanda

syiddah. Akan tetapi, hal ini tidak berlaku pada huruf-huruf syamsiyyah

yang didahului kata sandang. Misalnya kata َلاَtidak ditulis an-naum melainkan al-naum

F. TA MARBÛTAH

Ta marbûtah jika berdiri sendiri dan diikuti oleh kata sifat (na’at)

dialihaksarakan menjadi huruf (h). Namun, jika huruf tersebut diikuti kata benda (ism), maka huruf tersebut dialihaksarakan menjadi huruf (t).

Contoh:

No Kata Arab Alih Aksara

1 سر Madrasah

2 ي اسإا ع اجلا Al-jâmi‟ah al

-islâmiyyah

(5)
(6)
(7)
(8)
(9)
(10)
(11)
(12)
(13)
(14)

xii

Ahmad Khumaidi Al Anshori. NIM: 2113011000011; “Paradigma Pengembangan Ilmu pada Zaman Al-Ma’mun (813-833 M)”. Tesis Program

Magister Pendidikan Agama Islam (PAI) Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) UIN SYarif Hidayatullah Jakarta. 2015

Paradigma dapat dipahami sebagai sekumpulan keyakinan dasar yang mengarahkan pada tindakan penelitian ilmiah. Paradigma seseorang tentang ilmu, akan menentukan sikap dan perilakunya terhadap ilmu tersebut. Khalifah al-Ma‟mun merupakan salah satu Kholifah Daulah Abbasiyah yang termasuk kedalam The Golden Age (Zaman Keemasan). Selama

pemerintahan al-Ma‟mun banyak hal yang ia lakukan, khususnya dalam

mengembangkan ilmu pengetahuan. Kecintaannya terhadap ilmu pengetahuan mempengaruhi pemikiran al-Ma‟mun. Masalah utama dalam

penelitian ini adalah: “Paradigma Pengembangan ilmu bagaimanakah yang di kembangkan pada zaman al-Ma‟mun? Penelitian ini bertujuan: Mengungkap fakta tentang paradigma pengembangan terhadap ilmu dalam sejarah pendidikan Islam pada zaman al-Ma‟mun (813-833M). Penelitian ini bermanfaat untuk memberikan informasi tentang sejarah paradigma pengembangan ilmu pengetahuan (sains) dalam pendidikan Islam di zaman klasik dan masih relevan pada masa kini. Data primer dalam penelitian ini adalah dari Kitab Al-Kamil fi Tarikh oleh Ibn Atsir dan Kitab Wa’fiyat Al

-A’yan wa Anba Al-Zaman oleh Ibn Khalikan dan Mukadimah Ibn Khaldun

oleh Ibnu Khaldun yang menjelaskan tentang pertumbuhan ilmu dan

perkembanganya pada zaman al-Ma‟mun Dinasti Abbasiyah (813-833). Adapun data sekundernya adalah karya tulis Tarikh Al-Tarbiyah al-Islamiyah

oleh Ahmad Syalabi, The History of Arabic oleh Philip K. Hitti dan Science Civilization in Islam oleh Syyed Hoesen Nasr dan para ilmuwan yang telah

menulis sejarah ilmu. Oleh karena itu penelitian ini sepenuhnya adalah studi pustaka. Hasil yang dicapai dalam penelitian ini menyimpulkan bahwa Paradigma pengembangan ilmu pada zaman al-Ma‟mun merupakan

pengembangan integrated yang berbasis pada tauhid yang melihat ilmu

pengetahuan (sains) dari aspek ontologis yang membahas alam jagat raya yang disusun sebagai ilmu pengetahuan (sains), epistemologis dengan metode ijbari atau eksperimen dan observasi yang dilakukan di laboratorium,

dan aksiologis dimana Islam menganjurkan dan mendorong manusia untuk mengembangkan ilmu pengetahuan alam (sains) yang merupakan satu kesatuan dari Allah. Paradigma pengembangan ilmu di zaman al-Ma‟mun

terpusatkan pada ilmu-ilmu alam (Natural Sciences) dengan Pola gerakan

intelektual yang integrated pada zamannya.

(15)

xiii

Development of Science in the Al-Ma'mun". The Master degree program

thesis Islamic Religion teaching Faculty of Education and educations in teaching and care (FITK) UIN Syarif Hidayatullah State Islamic University in Jakarta . 2015

Paradigm can be understood as a set of basic beliefs that direct the actions of scientific research. Paradigm someone about science, will determine the attitude and behavior towards the art. Caliph al-Ma'mun was one Kholifah Daula Abbasid included into The Golden Age (Golden Age). During the reign of al-Ma'mun many things he did, especially in developing science. His passion for science influence the thinking of al-Ma'mun. The main problem in this research is: "The paradigm of how science Development that was developed at the time of al-Ma'mun? This study aims: Revealing the facts about the development paradigm for the science education in the history of Islam in the time of al-Ma'mun (813-833M). This research is useful to provide information about the history of the development paradigm of science (science) in Islamic education in antiquity and is still relevant today. Primary data in this study is from the Book of Al-Kamil fi Tarikh by Ibn Atsir and Book Wa'fiyat wa Al-Anba A'yan Al-Zaman by Ibn Khalikan and Ibn Khaldun Preamble by Ibn Khaldun, explaining the

growth of science and its development in the time Abbasid al-Ma'mun (813-833). The secondary data is writing Tarbiyah Tarikh al-Ahmad al-Islamiyah

by Syalabi, The History of Arabic by Philip K. Hitti Science and Civilization in Islam by Nasr Hoesen Syyed and scientists who have written the history of

science. Therefore this research entirely is literature. The results achieved in this study concluded that the paradigm of development of science in the time of al-Ma'mun an integrated development based on monotheism who see science (science) of natural discuss ontological aspects of the universe that is structured as a science (science), epistemological ijbari method or experiments and observations made in the laboratory, and axiological where Islam advocate and encourage people to develop the natural sciences (science) which is a unity of God. Paradigm development of science in the age of al-Ma'mun concentrated in natural sciences (Natural Sciences) with integrated movement pattern intellectual of his time.

(16)

xiv

حأ

:بلاطلا قر . راصنأا ي خ

2113011000011

؛

"

ي نت ج ن

لا ع يف علا

ـ

أ

"

.

يبرتلا ي كب ي اسإا يبرتلا ج انرب ريتسجا لاسر

ي عتلا

(FITK)

ها يا ه فيرش ع اجب

اع اتركاجب ي كحلا ي اسإا

5102

لا ف

ي

ثح لا افرص هج يتلا ةيساسأا ا تع لا ةع ج ك

اك . لا اج

سلا ف ا لا ي ح ، علا ع

لا يف ا

ش .ي علا

رصعلا) ي ه لا رصعلا ىلإ يسا علا ة ي لا ا ا حا

ش

أ لا ة ي لا

يف ا ص ،ه عف ري ك ءايشأ

أ لا ع يف .(ي ه لا

ع ل ه غش . علا ري

ع ةي ي ل

إ" :ثح لا ا ه يف ةيسيئرلا ة ش لا .

أ لا ري ى ع ر

(17)

xv



Segala puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT, karena atas segala karunia, rahmat dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan penulisan tesis ini. Shalawat dan salam dihaturkan kepada pendidik pertama, Nabi Besar Muhammad SAW yang telah menggariskan rambu-rambu Pengembangan sehingga dapat mengangkat derajat dan martabat manusia sebagaimana mestinya.

Dalam kesempatan ini, penulisan menyadari bahwa selama penulisan tesis ini, sejujurnya penulis banyak sekali mengalami berbagai kesulitan dan kendala baik dalam literatur, dan waktu dalam penyelesaiannya, terutama dalam menganalisis dan memahami berbagai bahan bacaan. Namun berkat bantuan dan dorongan moril dari berbagai pihak, akhirnya kesulitan-kesulitan selama penulisan tesis ini dapat diatasi. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang tidak terhingga terutama kepada yang terhormat:

1. Prof. Dr. Dede Rosyada, MA selaku Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Prof. Dr. Ahmad Thib Raya, MA. selaku Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Dr. Fachriany, M.Pd. selaku Ketua, Dr. Jejen Musfah, M.A. selaku Sekretaris dan Azkia Muharom Albantan, M.Pd.I. selaku Staf Program Magister Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

4. Prof. Dr. H. Murodi, M.A., selaku pembimbing, tesis ini. Terima kasih atas perhatian dan kesabarannya dalam mengarahkan dan membimbing penulis dalam menyelesaikan karya ilmiah ini.

5. Dr. Khalimi, M.A., selaku penguji proposal dalam tesis ini. Terima kasih atas bimbingan, perhatian dan kesabarannya pada saat menguji proposal tesis ini.

6. Prof. Dr. H. Abuddin Nata, M.A., Dr. Jejen Musfah, M.A., dan Dr. Khalimi,M.A., selaku penguji Work In Progress (WIP) I-II(Pra Tesis I-II). Terima kasih atas bimbingan, perhatian, dan kesabarannya pada saat menguji WIP I dalam tesis ini.

(18)
(19)
(20)

xviii

SURAT PERNYATAAN KARYA SENDIRI ... iii

SURAT PERNYATAAN JURUSAN ... iv

LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI WIP I ... v

LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI WIP II ... vi

LEMBAR PENGESAHAN PENGUSJI PROMOSI TESIS ... vii

LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING ... viii

ABSTRAK ... ix

KATA PENGANTAR ... xii

DAFTAR ISI ... xiv

DAFTAR GAMBAR DAN TABEL ... xvi

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Permasalahan ... 14

C. Tujuan Penelitian ... 15

D. Manfaat dan Kegunaan Penelitian ... 15

E. Kajian Pustaka ... 16

F. Metodologi Penelitian ... 18

BAB II PARADIGMA PENGEMBANGAN ILMU DALAM PENDIDIKAN ISLAM ... 23

A. Paradigma Keilmuan ... 23

B. Konsep Ilmu dalam Islam ... 27

C. Pandangan Islam terhadap Alam ... 49

D. Pandangan Islam tentang Dikotomi Ilmu ... 58

E. Dualisme Keilmuan dalam Pendidikan Islam ………63

BAB III SEJARAH PERTUMBUHAN ILMU PENGETAHUAN DAN PERKEMBANGAN DALAM ISLAM ... 69

A. Ilmu Pengetahuan Islam di Era Rasulullah SAW. ... 69

B. Ilmu Pengetahuan Islam di Era Khulafa‟ al-Rasyidin ... 71

C. Ilmu Pengetahuan Islam di Era Bani Umayyah ... 73

D. Ilmu Pengetahuan Islam di Era Daulah Abbasiyah ... 78

(21)

xix

PENDIDIKAN ISLAM PADA ZAMAN AL MA’MUN ... 97 A. Biografi Al Ma‟mun ... 97 B. Paradigma Pengembangan Sains dalam Islam ... 102 C. Langkah-langkah Kholifah Al-Ma‟mun dalam Mengembangkan

Sains ... 105 D. Hasil Pencapaian Al-Ma‟mun dalam Mengembangkan

Sains ………...…. 122

E. Pengembangan Ilmu Pengetahuan (Sains) dan Pengaruhnya

terhadap Sistem Kemajuan Masyarakat Islam…….………….….. 166

F. Pola Gerakan Intelektual yang Integrated Zaman Al Ma‟mun..… 172

G. Model Pengembangan Ilmu-Ilmu Alam (Sains)

di Zaman Al-Ma‟mun………. 177 H. Paradigma Pengembangan Sains Integrated yang Berbasis pada

Tauhid dari Aspek Aksiologis, Epistemologis, dan Ontologis …. 184

BAB V PENUTUP ... 203 A. Kesimpulan ... 203 B. Saran ... 206 Daftar Pustaka

(22)

xx

Tabel. 2.1 : Pandangan Integral Holistik ……… 25 Gambar 2.2: Konseptual Islam Tentang Ilmu dan Penelitian ………….. 49 Gambar 3.1: Silsilah Kholifah Abbasiyah Zaman Integrasi Ilmu ……… 81 Gambar 4.1: Konsep dasar pendidikan Multikultural pada Institusi

Baitul Hikmah ………. 127 Tabel 4.2: Kronologi Riwayat Hidup Ulama dan Ilmuwan serta

Keahliannya pada Zaman al-Ma‟mun……… 166 Gambar 4.3: Pola Bangunan Sains (Natural Sciences) Integratif ……… 189

(23)

A. Latar Belakang Masalah

Katakanlah: “Kalau sekiranya lautan menjadi tinta untuk (menulis) kalimat-kalimat Tuhanku, sungguh habislah lautan itu sebelum habis (ditulis) kalimat-kalimat Tuhanku, meskipun Kami datangkan tambahan sebanyak itu (pula) (Al-Qur‟an, al-Kahf: 109). Ayat ini menggambarkan betapa luas kandungan ilmu-ilmu yang diturunkan Allah baik yang terdapat dalam

ayat-ayat Qur‟aniah maupun dalam ayat-ayat-ayat kauniah. Oleh karena itu, tidak heran jika para ulama dan para filosof muslim sejak zaman dahulu menjadikan

al-Qur‟an sebagai sumber ilmu pengetahuan.

Tidak dapat dielakkan lagi bahwa penerjemahan karya-karya pemikiran Yunani ke dalam bahasa Arab, menyebabkan maraknya pengembangan filsafat dan ilmu pengetahuan di dunia Islam, termasuk pengembangan pendidikan Islam di masa klasik (Nasution,1985: 56), (Nata, 2010: 159), (Sarton, 1972: 523-24). Pemikran filsof masuk ke dalam Islam melalui falsafat Yunani yang dijumpai ahli-ahli fikir Islam di Syria, Mesopotamia, Persia dan Mesir. Walaupun pendidikan di masa klasik tidak sekompleks pendidikan modern. Pendidikan Islam di masa klasik dapat dikatakan maju, bahkan dianggap telah mencapai masa keemasan dalam sepanjang sejarah. Sejak permulaan penterjemahan karya-karya pemikiran Yunani, pendidikan Islam mengalami kemajuan pesat baik dalam materi pengajarannya (kurikulum) maupun ilmu pengetahuan dan kebudayaan (Nasution, 1985: 46).

Agar tidak salah persepsi, maka penulis sedikit mendeskripsikan, bahwa ketika al-Qur‟an diturunkan, ilmu pengetahuan telah berkembang di Mesir, Syiria, Babilonia, Yunani, Romawi, India, Cina dan Persia, akan tetapi ilmu pengetahuan tersebut banyak yang di tinggalkan, seperti Filsafat oleh Yunani atau bahkan Romawi memandang hal tersebut tidak bernilai (Nata, 2003: 68-69). Baik al-Qur‟an dan Hadits sesungguhnya tidak mempertentangkan ilmu. Akan tetapi jika ada pembagian ilmu agama dengan ilmu umum hanyalah paradigma manusia yang mengidentifikasi ilmu berdasarkan pada sumber objek kajiannya saja. Misalnya jika objek ontologisnya yang dibahas wahyu al-Qur‟an atau penjelasannya pada hadits

(24)

(Natural Sciencis) seperti: Ilmu Kimia, Biologi, Astronomi, Fisika dan lain

sebagainnya (Nata, 2003: 69-70).

Jika di atas objek ontologisnya masing-masing menggunakan metode yang berbeda seperti, metode ijtihad, eksperimen (ijbari), observasi, maka

untuk objek kajiannya menggunakan metode mujadalah atau logika terbimbing

maka yang dihasilkannya adalah Filsafat dan ilmu-ilmu Humaniora. Dan jika objek ontologinya menggunakan intuisi dengan metode penyucian batin (tazkiyah al-nafs), maka ilmu yang dihasilkan adalah ilmu ma‟rifah.

Jika menyesuaikan pada judul penelitian ini, Paradigma secara sederhana dapat diartikan sebagai kerangka berpikir untuk melihat suatu permasalahan. Pengertian paradigma selanjutnya berkembang dari definisi paradigma pengetahuan yang dikembangkan oleh Kuhn dalam rangka menjelaskan cara kerja dan mengembangkan ilmu pengetahuan. Paradigma pengetahuan merupakan perspektif intelektual yang dalam kondisi normal

memberikan pedoman kerja terhadap ilmuwan yang membentuk „masyarakat ilmiah‟ dalam disiplin tertentu. Pengertian lain dari paradigma ilmiah adalah sebagai gambaran intelektual yang daripadanya dapat ditentukan suatu subjek kajian. Perspektif intelektual inilah yang kemudian akan membentuk ilmu pengetahuan normal (normal science) yang mendasari pembentukan kerangka

teoritis terhadap kajian-kajian ilmiah. Pengertian paradigma juga menjadi gambaran fundamental mengenai subjek ilmu pengetahuan. Paradigma memberikan batasan mengenai apa yang harus dikaji, pertanyaan yang harus diajukan, bagaimana harus dijawab dan aturan-aturan yang harus diikuti dalam memahami jawaban yang diperoleh (Bachtiar, 2006: 45).

Dalam mengembangkan suatu paradigma ilmu, harus dapat melihat cara pandang yang menjadi aspek filosofis dan metodologis dalam menemukan ilmu pengetahuan, yaitu: dimensi ontologis (dimensi yang membicarakan hakikat ilmu), dimensi epistemologis (dimensi yang membicarakan bagaimana memperoleh ilmu), dimensi aksiologis (dimensi yang membicarakan nilai ssebuah ilmu), dimensi retorik (dimensi yang membicarakan tentang bahasa yang dipakai dalam pemikiran ilmu), dan dimensi metodologis (dimensi yang membicarakan metode-metode memperoleh ilmu). Sebagai contoh: Jika kita berhadapan dengan seorang musuh, maka sudut padang kita adalah bagaimana caranya agar dapat menjatuhkan (mengalahkan) musuh tersebut, dan begitupula sebaliknya, jika kita melihat seorang teman, maka bagaimana caranya agar kita dapat mengambil kebaikan dari teman tersebut.

(25)

tingkat dasar, pada abad pertama masa Islam hanya mengajarkan pelajaran membaca dan menulis ilmu agama (Stanton,1994: 35). Sebagaimana Ahmad Shalabi berpandangan bahwa kuttab lebih fokus pada pendidikan anal-anak

tentang al-Qur‟an dan isinya. Namun sejak abad 8 M, kuttab mulai

mengajarkan ilmu non-agama (Syalabi, 1954: 16-17).

Dikarenakan lembaga pendidikan belum menghasilkan sarjana-sarjana di berbagai bidang yang Islami, maka muncul gagasan, bahwa madrasah-madrasah yang diselenggarakan oleh swasta atau pemerintah ingin memasukkan mata pelajaran ilmu pengetahuan umum dalam lembaga pendidikan yang didirikannya. Gagasan semacam ini juga dilatarbelakangi sejarah umat Islam sejak abad ke-2 Hijriah sampai akhir abad ke-4 telah didirikan lembaga-lembaga pendidikan yang di bangun Darul Hikmah di Kairo

dan Baghdad, disampaing ilmu agama, sastra, dan sejarah, dipelajari pula aljabar, fisika, kedokteran, filsafat dan ilmu-ilmu lainnya (Tamsir, 2006: 47-48).

Dalam Integrasi Ilmu, Abuddin Nata dkk. menyatakan bahwa masa awal dari Dinasti Abbasiyah pada tahun 133-766 H / 750-1258 M. masa awal abad pertengahan umat Islam memiliki kekayaan ilmu dan pengetahuan (Nata, 2003: 16). Akan tetapi, memasuki abad pertengahan sampai akhir abad ke-19 M. Umat Islam mengalami kemunduran, khususnya dalam bidang pendidikan Islam (Rahman, 2000: 103). Faktor penyebabnya yakni: hancurnya sarana pengembangan ilmu pengetahuan dan perpustakaan, karena serangan tentara Mongol yang mengancurkan kota Bagdad, hilangnya budaya berfikir rasional dikalangan umat Islam, dan Serangan Al-Ghazali pun turut membuat hilangya budaya berpikir ilmiah di kalangan umat Islam, karena Imam Al Ghazali mengkritik para filsuf dan tokoh rasionalis seperti Al-Farabi dan Ibnu Sina yang dikemukakannya dalam buku Tahafut al-Falasifah (Nizar, 2008:

233-234, Zuhairini, 2006: 109).

Adapun faktor penyebab kemunduran lainnya yang terjadi di atas akibat dikotomi adalah. Pertama, pihak kaum pendukung ilmu-ilmu agama

menganggap ilmu-ilmu umum itu bid‟ah atau haram dipelajari karena berasal dari orang-orang kafir, sementara para pendukung ilmu-ilmu umum menganggap ilmu-ilmu agama sebagai mitologi yang tidak akan mencapai tingkat ilmiah, karena tidak bersifat empiris (Kartanegara, 2003: 2). Kedua,

adanya kesenjangan tentang sumber ilmu antara ilmu agama dan ilmu umum yakni, munculnya perbedaan antara ilmu agama dan ilmu-ilmu umum. Pada umumnya pendukung ilmu-ilmu-ilmu-ilmu agama hanya akan menganggap valid sumber Ilahiah dalam bentuk kitab suci yakni Al-Qur‟an

(26)

22-23). Ketiga, berkenaan dengan objek-objek ilmu yang dianggap “sah”, bagi

kaum sains modern segala objek yang bisa di observasi dianggap sah. Sedangkan, para pendukung ilmu-ilmu agama justru sebaliknya, objek-objek yang non-fisik (metafisik) seperti Tuhan, malaikat sebagai objek-objek yang mulia, yang mana bagi yang mempelajarinya akan menemukan kebahagiaan.

Keempat, munculnya disintegrasi pada tatanan klasifikasi ilmu. Kelima,

menyangkut metode ilmiah. Sains modern seperti dikatakan oleh Zainuddin Sardar, pada dasarnya hanya mengenal satu metode ilmiah yang disebut metode observasi atau eksperimen. Sedangkan kaum agamis, mengembangkan metode-metode yang menjauhkan umatnya dari menggunakan pengamatan indra dan juga penalaran akal dalam ilmu-ilmu agama (Kartanegara, 2005: 8-9). Keenam, sulitnya mengintegrasikan berbagai pengalaman manusia,

khususnya indera, intelektual, dan intiusi sebagai pengalaman-pengalaman legitimate dan real dari manusia. Sains modern dengan bias positivistisnya yang kuat sering menganggap tidak objektif seluruh pengalaman manusia selain pengalaman indrawi. Sedangkan kaum agamis dengan penekanannya yang kuat terhadap pengalaman mistik dan religious, yang memuncak pada kenabian dan pewahyuan, para ulama sering mengabaikan pentingnya pengalaman inderawi dan rasional, sebagaimana yang digeluti dalam bidang-bidang filsafat dan ilmiah, sehingga terjadi ketimpangan yang akut dalam memberikan penekanan terhadap pengalaman indrawi (Kartanegara, 2005: 8-9).

Kebenaran di atas, penulis maksudkan adalah dalam hal akidah, satu-satunya sumber yang otoritatif untuk mencapai kebenaran melalui al-Qur‟an

dan al-Hadits, sedangkan akal tidak mampu mengetahui mana yang baik atau yang buruk, karena informasi tentang itu hanya bisa dicapai melalui kitab suci bukan dalam hal ilmu pengetahuan.

Bahwasanya sains modern Barat sering menganggap rendah setatus keilmuan dari ilmu-ilmu keagamaan, bahkan ketika yang terakhir berbicara tentang hal-hal ghaib maka ilmu agama tidak bisa dipandang ilmiah. Karena ilmu-ilmu tersebut dikatakan ilmiah apabila objek-objeknya bersifat empiris, padahal ilmu-ilmu agama pasti akan berbicara ihwal yang gaib, seperti Tuhan, Malaikat dan sebagainya sebagai pembicaraan yang pokok mereka.

Bahkan dalam pandangan Syafi‟i Ma‟arif yang dikutip oleh Moh. Sofwan mengatakan bahwa:

(27)

modernis (ala barat) yang pada perkembangannya ditenggarai mulai kehilangan ruh-ruh mendasarnya (trasendental)” (Sofwan, 2004: 6).

Implikasi dari anggapan ini terhadap paradigma umat Islam, ternyata menimbulkan konsekuensi yang tidak baik. Tidak sedikit umat Islam berlomba-lomba untuk menjadi beriman atau orang alim dengan mempelajari ilmu agama saja, dengan alasan untuk tujuan akhirat dan mengabaikan ilmu umum. Dampak yang terjadi yakni sedikit sekali umat Islam yang mempelajari perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek), padahal hal tersebut adalah cerminan dari budaya yang maju pada sebuah bangsa atau negara.

Pada akhirnya perkembangan iptek dikuasai oleh orang-orang Barat, dimana sebelumnya Barat pernah di tutupi kegelapan atau disebut The Dark Age, akibat dari otoriter gereja, yang menjadikan agama Kristen menjadi

agama resmi Negara dan berkuasa (Burn, 1964: 37), (Paus dan pemuka-pemuka agama Kristen kala itu menetapkan beberapa teori ilmu pengetahuan dan mensucikannya sehingga menjadi teori yang tidak terbantahkan. Siapa pun yang menentang otoriter gereja akan menghadapi pengadilan di mahkamah gereja (inkuisisi) (Burn, 1964: 246-247).

Akhirnya, masa kejayaan yang pernah terjadi, sebutan untuk umat Islam tidak lebih dari sekedar kaum tradisional, atau sebutan lain yang terkesan ortodok. Sementara umat Islam sedang mencapai puncak kejayaannya. Hampir semua disiplin ilmu pengetahuan sudah dikembangkan. Mulai dari ilmu eksak seperti matematika, fisika, kimia, astronomi, optik, teknik, hingga ilmu-ilmu non-eksak seperti politik, ekonomi, sosial dan budaya. Lebih dari sepuluh abad (dari abad 6 M hingga 16 M) umat Islam menguasai kemajuan iptek dan menjadi penghulu bagi dunia saat itu (Titus, 1985: 36).

Kejadian di atas, demikian jelas sangat bertolak belakang dengan keadaan yang pernah terjadi pada pada zaman Nabi Muhammad SAW dan para sahabatnya. Mereka sangat menghargai dan mencintai ilmu pengetahuan, sebagaimana ilmuan Muslim pada masa tabi‟in atau sesudahnya.

Al-Qur‟an dan al-Sunah sesungguhnya tidak membedakan antara ilmu agama Islam dan ilmu-ilmu umum. Yang ada dalam al-Qur‟an adalah ilmu.

(28)

nonformal dan informal.

Sejarah telah membuktikan bahwa umat Islam mampu menguasai ilmu pengetahuan, sains dan teknologi melebihi atau melampaui kemampuan umat sebelumnya dan umat yang lain sezamannya. Umat Islam mampu menguasai ilmu kedokteran, ilmu perbintangan, ilmu pasti, ilmu alam, ilmu hitung dan berbagai disiplin ilmu lainnya. Semua hal itu tidak terlepas dari peran dan aktivitas para ilmuwan muslim yang selalu menggali, mendalami, memahami serta mencari berbagai rahasia alam dan ilmu pengetahuan yang tersimpan dalam al-Qur‟an. Para ilmuwan muslim menempatkan al-Qur‟an sebagai sumber juga sebagai paradigma kerangka berpikir dalam mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi. Banyak berbagai penemuan para ilmuwan muslim yang sangat mengagumkan dalam dunia sains dan teknologi.

Dalam tradisi intelektual Islam, pendidikan telah lama dikenal yaitu sejak awal Islam. Pada masa awal, pendidikan identik dengan upaya da‟wah

Islamiyah, karena itu pendidikan berkembang sejalan dengan perkembangan

agama itu sendiri. Fazlur Rahman, menyatakan kedatangan Islam membawa untuk pertama kalinya suatu instrumen pendidikan tertentu yang berbudayakan agama, yaitu al-Qur‟an dan ajaran ajaran nabi Muhammad sendiri (Rahman,2000: 263). Tetapi, perlu digaris bawahi pula, bahwa pada masa awal perkembangan Islam, tentu saja pendidikan formal yang sistematis belum terselenggara (Syalabi, 1954: 1). Bahkan keadaan pada saat umat Islam mengalami puncak kejayaan yang sangat luar biasa, di zaman dinasti Abbasiyah. Umat Islam menoreh prestasi yang gemilang di mata dunia. Perubahan tersebut terjadi setelah tahun 750 M.

Konesp paradigma mengembangkan ilmu pengetahauan dalam Islam, sebagaimana yang dipraktikan para ulama dan ilmuan Islam di zamna klasik (Nata, 2012: 4-5). Gerakkan membangun ilmu secara besar-besaran dirintis

oleh khalifah Ja‟far al-Mansur dinasti Abbasiyah. Setelah ia mendirikan kota Baghdad (144 H/762 M) dan menjadikannya sebagai ibu kota Negara. Ia menarik banyak ulama dan para ahli dari berbagai daerah untuk datang dan tinggal di Baghdad. Ia merangsang usaha pembukuan ilmu agama, seperti fiqih, tafsir, tauhid, sejarah. Akan tetapi yang lebih mendapat perhatian adalah penerjemahan buku ilmu yang berasal dari luar (al-Gurabi, 1954: 137). Strategi penguasa daulah Abbasiyah, oleh karenanya banyak memperkerjakan kaum terpelajar sebagai staff pemerintahan (Jenggis, 2011: 51).

Di sisi lain masa puncak kejayaannya, umat Islam menguasai peradaban dunia, di mana pada saat itu negara-negara barat masih berada dalam kegelapan (the dark age) atau lebih tepatnya hampir mendekati pada

(29)

berguna untuk ilmu pengetahuan dan kemajuan, tetapi berbeda dengan paham yang dianut gereja selama ini, diberantas, bahkan tidak sedikit yang akhirnya dihukum mati karenanya karena tidak sepaham oleh peraturan yang dibuat oleh gereja (Jenggis,2011: 55). Pertentangan gereja ini mencapai puncaknya di tahun 1616 (Hart, 1982: 56).

Hal tersebut pernah terjadi pada ilmuwan Barat yang bernama Galileo Galilei pada tahun1042 M, saat itu Galileo dipaksa merubah keyakinannya tentang Heliocentris karena bertentangan dengan paham gereja yang menganut

paham Geocentris. Paham Heliocentris adalah paham yang menyatakan bahwa

dalam tata surya, bumi mengelilingi matahari, yakni matahari sebagai pusat peredaran. Sedangkan Geosentris meyatakan bahwa bumi sebagai pusat

peredaran, planet-planet lain termasuk matahari mengelilingi bumi (Ahmed, 1997: 5). Galileo Galilei merupakan tokoh utama selain Descartes yang melakukan matematisasi alam. Ia mentransformasikan buku tentang alam, yang telah dianggap oleh umat Islam, Kristen, Yahudi berabad-abad lamanya sebagai tanda-tanda Allah (sign of god), kedalam sebuah buku matematika

yang dipahami oleh pengetahuan matematis-bawaan pikiran manusia. Di satu sisi juga mengidentifikasi bahwa paradigma dikotomis yang nondiskriminatif dapat membawa pada penyatuan ilmu (Nasr, 1996: 136). Pemikiran Galileo ternyata sejalan dengan perkembangan zaman dan sesuai dengan apa yang terdapat dalam kitab suci Al-Qur‟an (Ahmed, 2000: 7).

Dalam masa rezim dan kekuasaan Islam di kala kejayaannya, pada masa dinasti Abbasiyah, pemerintahan Islam justru memfasilitiasi transformasi ilmu pengetahuan. Perkembangan ilmu pengetahuan sangat pesat. Penterjemahan terhadap karya-karya ilmu pengetahuan Yunani dilakukan besar-besaran. Di mana Yunani sudah memiliki banyak kemajuan dalam kajian teori, namun belum dapat dikembangkan. Tokoh-tokoh besar yang memajukan ilmu pengetahuan, baik di bidang ilmu-ilmu kedokteran, sosial dan ilmu pasti muncul dari kalangan umat Islam. Merekalah yang menjadi pelopor ilmu kedokteran, astronomi, sastra, aljabar, kimia, seni, sosial dan sebagainya. Maka sudah sepantasnya umat Islam dapat menjadi pusat perhatian dunia, karena peradaban yang sangat maju dan berkembang (Rahman, 2000: 104).

(30)

sampai abad ke-12 (Saefuddin, 2002: 8).

Ironisnya ketika dalam puncak kejayaannya, umat Islam justru terbawa derasnya arus kebudayaan, yaitu proses dari akibat akulturasi atau mungkin juga diakibatkan karena kekurang kehati-hatian umat muslimin itu sendiri terhadapnya. Mereka telah memasukkan ke dalam ilmu-ilmu yang mereka kaji, teori-teori yang bertentangan dengan ajaran Islam, sepertiyang telah diuraikan oleh Al-Ghazali dalam bukunya Tahâfut al-Falâsifah (Kehancuran para

Filsuf). Buku tersebut dibuat karena berkecamuk pemikiran bebas yang membuat banyak orang meninggalkan ibadah (Majid (ed), 1984: 33). Akhirnya, terjadi pulalah pertentangan yang hebat di kalangan ilmuwan Islam dan tokoh agama Islam (Zaini, 1989: 9).

Menurut Fuad al-Ahwani dalam bukunya berjudul Filsafat Islam, mengatakan:

Pertentangan sebenarnya berawal sejak terjadinya percampur adukan antara ilmu filsafat dan ilmu kalam setelah abad 6 H. Ilmu kalam menelan mentah-mentah kaidah-kaidah ilmufi lsafat yang kemudian dituangkan ke dalam berbagai buku dengan nama ilmu tauhîd, yakni

pembahasan problem ilmu kalam dengan menekankan penggunaan semantik (logika) Aristoteles sebagai metode, sama dengan metode yang ditempuh kaum filosof (Ahwani, 1985: 22).

Sejak saat itu, sampai berabad-abad lamanya umat Islam tidak mau mendekati ilmu filsafat yang dianggap dapat membawa kepada kekafiran dan atheisme. Hal ini juga semakin diperparah oleh beberapa ulama yang kemudian mengeluarkan fatwa-fatwa yang mengharamkan ilmu pengetahuan, terutama ilmu filsafat, serta mengkafirkan orang yang mempelajari dan mengajarkannya. Lebih parahnya lagi, orang-orang yang mempelajari dan mengajarkannya ditangkap lalu dipenjarakan dan disiksa, serta buku-bukunya dibumi hanguskan, seperti yang dialami oleh Al-Rukn dan Ibn Rusyd. Meskipun Ibnu Rusyd sangat berhati-hati agar buku fiqih dan filsafatnya tidak menyinggung orang lain, dengan mengemukakan pendapatnya secara tidak langsung, akan tetapi tetap saja masih mendapat serangan yangbelum pernah di terima pemikir sebelumnya. Ia dianggap kafir dan bukunya pun di bakar (Amin, 1995: 192).

(31)

Ihya „Ulûm al

mengklasifikasikan ilmu pengetahuan kepada dua macam ilmu, yakni (1) ilmu

syar‟iyyah, dan (2) ilmu ghairu syar‟iyyah. Ia memandang bahwa ilmu

syar‟iyyah adalah ilmu wajib yang tidak diragukan lagi dampak bagi penuntutnya, sedangkan ilmu ghairu syar‟iyyah termasuk ilmu yang diserahkan pencapaiannya kepada manusia melalui penangkapan pancainderanya, penalaran hatinya dan penghayatan hatinya (al-Ghazali, t.t: 5). Berbeda dengan ilmu syar‟iyyah yang bersifat wajib dan sudah jelas kebenarannya, kebenaran ilmu-ilmu ini bersifat relatif yang tingkat validitasnya masih sangat terbatas karena perbedaan pemaknaan dan penafsiran setiap individu, sehingga tidak wajib mempelajarinya dan tergantung kepada minat masing-masing individu. Sedangkan dalam kitab al-Mustashfa miliknya,

dalam kitab ini menjelaskan bahwa Ghazali mengkalisifikasikan hukum agama harus diambil dari ajaran-ajaran wahyu bukan dari akal manusia. Pemikiran ini merupakan bentuk antisipatif terhadap pemikiran Mu‟tazilah yang menyatakan

bahwa akal manusia termasuk sumber syari‟at Islam.

Dalam sejarah Islam memang didapati bahwa dalam perjalanan rezim dan politik Islam telah mengalami suatu kejadian yang memicu resistensi umat Islam terhadap ilmu-ilmu non-agama. Ketika al-Ma‟mun berkuasa, ia

meneruskan jejak ayahnya (Harun al-Rasyid) dengan mendirikan Baitul al Hikmah (Yunus, 1992: 62-63). suatu lembaga perguruan tinggi dan memiliki

perpustakaan rasional untuk kegiatan penelitian dan penterjemahan pada 830 M. (Asrorah, 1992: 30), (Nasution, 1985: 68). Kejadian-kejadian politis yang bisa diketengahkan di antaranya adalah pada masa pemerintahan

khalifahaAl-Ma‟mun zaman dinasti Abbasiyah yang menerapkan Mihnah (ujian) bagi

orang-orang yang menempati posisi penting di pemerintahan, termasuk juga para pemuka masyarakat. Hal ini terjadi karena khalifah Al-Ma‟mun yang

berpaham Mu‟tazilah kemudian menjadikan paham tersebut sebagai paham resmi negara. Pada waktu itu, yang sedang hangat diperdebatkan adalah isu tentang mempersoalkan apakah Al-Qur‟an itu bersifat qodim atau tidak. Istilah

lainnya adalah apakah Al-Qur‟an itu makhluk atau bukan? (Zahra, 1996: 176). Yang tergolong persoalan yang memunculkan mahkamah pemeriksaan yang pertama dalam sejarah Islam. Dalam kondisi tersebut, jika keadaan Negara (daulah) lemah, maka akan muncul banyak fitnah dan mihnah, sehingga

hilanglah persaudaraan dan persatuan di kalangan umat Islam dan sebalinya menjadi permusuhan (Al-Sayyis, t.t: 111).

Fenomena politik khalifah al-Ma‟mun dalam pemaksaan paham

(32)

Ma‟mun

menginginkan ilmu pengetahuan yang berkembang tetap terkontrol dan

dibatasi oleh pemerintah dan paham Mu‟tazillah sebagai tamengnya (Al-Sayyis, t.t: 509).

Akan tetapi akibat peristiwa Mihnah tersebut, banyak pemuka-pemuka

Islam dari ahli fiqh dan hadits yang disiksa karena tidak sejalan dengan paham al-Ma‟mun yang menyatakan bahwa al-Qur‟an tidak qadim atau al-Qur‟an adalah makhluk (Zahrah, 1996: 176).

Hal ini jelas menyulut kemarahan umat Islam kala itu. Implementasi

ajaran Mu‟tazilah yang dipengaruhi filsafat dan bersifat rasional, telah

menimbulkan peristiwa yang menyakitkan mayoritas umat Islam, sehingga mereka membenci dan menentang ilmu-ilmu yang bersifat rasional. Puncaknya atau klimaksnya, umat Islam kemudian menjauhi dan membenci semua ilmu non-agama kecuali sebagian kecil saja seperti ilmu hitung (hisab) karena

diperlukan dalam ilmu faraidh (ilmu pembagian pusaka atau waris) (Hanafi,

1996:19). Akan tetapi umat Islam yang eksis pada era kontemporer ini berhutang kepada khalifah al-Ma‟mun karena dia adalah khalifah yang paling banyak perhatiannya pada perkembangan ilmu pengetahuan, maka layak jika kahlifah al-Ma‟mun disebut sebagai khalifah sains. Bahkan ia yang pertama kali mendirikan gerakan pemikiran dalam sejarah, sekaligus pemakarsa paling besar dalam penerjemahan buku-buku berbahasa Yunani dan Suryani (Masood, 2009: 46).

Al-Ma‟mun ingin umat Islam maju dalam segala hal, terutama dalam ilmu pengetahuan. Ia mengajak umat Islam agar selalu menggunakan akal berfikir. Oleh karena itu dengan adanya Mihnah, al-Ma‟mun agak keras

terhadap umat Islam, terutama masalah qodariyah. Akan tetapi yang

mendikotomi ilmu bukanlah al-Ma‟mun, karena sudah jelas arah dan tujuannya

agar umat Islam maju dengan menggunakan akal berfikir rasional, dan orang yang membuat menjauhi ilmu adalah orang-orang setelah al-Ma‟mun yang tidak suka dengan cara al-Ma‟mun.

Seorang pakar sejarah sains dari universitas Harvad, Abdel Hamid Sabra pernah menuturkan dalam Ahmad P. Jengis :

Gerakan penterjemahan karya-karya ilmiah dari bahasa Yunani dan Suryani ke dalam bahasa Arab mewakili fase pertama dari tiga tahap Islamisasi sains. Beliau menyebutkan:

Pertama. Sebagai fase peralihan atau akuisisi, di zaman sains Yunani

memasuki wilayah peradaban Islam bukan sebagai kekuatan penjajah, melainkan sebagai tamu yang diundang. Kedua. Adalah fase penerimaan atau adopsi, dimana Umat Islam mulai mengambil dan

(33)

orang-mampu meramu dan mengolah karya-karya ilmiah sendiri, menciptakan karya-karya baru, bahkan menyebarkan ke masyarakat luas. Inilah yang ditunjukkan oleh al-Khawarizmi dan Umar al Khayyam dalam Matematika, Ibnu Sina dan Ibn an Nafis dalam kedokteran, Ibn Haytsam dan Ibn al Syatir dalam Astronomi, al Biruni dan al Idris dalam Geografi, dan masih banyak lagi sederetan ilmuwan-ilmuwan muslim lainnya (Jenggis P., 2011: 51-52).

Di samping itu, kejadian lainnya yang bisa dianggap besar pengaruhnya adalah fatwa yang sangat keras dari peranan al-Asy‟ari dengan kapasitas

intelektualnya tentang hukum mempelajari ilmu filsafat, yang kemudian menjadi pegangan penting bagi golongan Ahl al-Sunnah. Dengan meminjami metode Mu‟tazilah, berhasil merumuskan paham Suni (Majid, 2000: 34). Sebelumnya, memang beberapa tokoh sudah menghujat dan menentang ilmu filsafat seperti Ibn Hazm, Al-Ghazali, Ibn Taimiyah dan Ibn Al-Qayyim, tetapi pengaruhnya tidak sehebat pengaruh fatwa al-Asy‟ari (Zaini, 1989: 9).

Munculnya fatwa di atas secara otomatis pendidikan Islam kehilangan dimensi dialektikal konkret kemanusiaan dan memunculkan dimensi vertikal keabadian. Seharusnya antara kedua dimensi tersebut menjadi karakteristik utama pendidikan Islam. Artinya, secara filosofis pendidikan Islam tidak hanya menyentuh persoalan hidup yang multidimensional di dunia, tetapi juga menyangkut dimensi transendental. Akan tetapi sejarah mencatat tidak demikian.

(34)

pengetahuan. Al-Qur‟an sebagai sebuah kitab suci telah memancarkan sinar

cahaya ilmu pengetahuan bagi para ilmuwan Muslim. Al-Qur‟an dijadikan

sebagai sumber dan kerangka berpikir dalam merenungkan kekuasaan Allah dan mengembangkan ilmu pengetahuan, sains dan teknologi bagi para ilmuwan Muslim.

Alam jagat raya adalah salah satu sumber ilmu pengetahuan, dengan memahami dan mengkaji alam jagat raya maka para ahli akan menemukan berbagai teori yang disusun menjadi ilmu pengetahuan alam (sains), seperti ilmu tumbuh-tumbuhan (flora), makhluk hidup (biologi), binatang (fauna), perbintangan dan planet (astronomi), benda cair dan keras (fisika), melalui ilmu-ilmu murni ini lahir ilmu botani, kimia, kedokteran dan lain sebagainya.

Dengan menyadari alam sebagai ciptaan dan ayat Allah, maka manusia semakin memahami alam dengan segala hukum, hikmah, dan rahasia yang terkandung di dalamnya, maka manusia akan menyadari kelemahan dirinya sekaligus bersyukur kepada-Nya. Dengan cara demikian seorang ilmuan dengan ilmunya yang luas dapat digunakan, mengenal, mendekati, dan mencintai Allah Swt. sebagaimana Ian Babour dikatakan dengan ungkapan menemukan Tuhan dalam sains (Babour, 1997: 87).

Terjadinya perkembangan ilmu yang selanjutnya melahirkan paradigma budaya dan peradaban, karena adanya faktor internal dan eksternal. Faktor internal adalah faktor yang berasal dari ajaran Islam itu sendiri, yaitu al-Qur‟an

dan Sunah yang memerintahkan manusia menggunakan daya cipta (pikiran), rasa (potensi batin), karsa (potensi fisik), yang digunakan untuk membaca, menulis, dan meneliti baik yang bersifat bayani, burhani, ijbari, jadali maupun irfani. Faktor yang bersifat internal ini dapat pula disebut faktor yang

disengaja, yakni Allah Swt. dan Rasul-Nya secara sengaja menjadikan Islam sebagai agama ilmu pengetahuan, pendidikan, kebudayaan dan peradaban. Adapun faktor eksternal adalah faktor yang berasal dari luar ajaran Islam, yakni faktor yang sudah ada sebelum datangnya ajaran Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad Saw. namuan demikian, dari segi pemanfaatnnya berbagai faktor tersebut ada juga dilakukan secara sengaja, yakni dilakukan atau usaha, dorongan dan dukungan dari khalifah yang berkuasa pada waktu itu.

Ketika para ilmuwan Muslim atau umat Islam mulai mengabaikan, meninggalkan serta menjauhkan kajian al-Qur‟an yang mendalam dari aktivitas

keilmuan dan aktivitas kehidupan, maka di situlah titik awal kemunduran umat Islam. Dan jika hal itu terus berlangsung sampai saat ini, dan kalau ada kajian-kajian al-Qur‟an itu hanya sebatas kajian biasa bukan kajian yang mendalam.

Suatu kajian untuk menemukan rahasia alam dalam al-Qur‟an. Al-Qur‟an dan

(35)

motivasi dan niat yang tulus, kesungguhan dalam meneliti, orientasi kehidupan yang lebih mengutamakan segi-segi yang bersifat inteletual, moral, dan spiritual, serta penghargaan terhadap orang-orang yang mendalami ilmu agama dan umum. Keadaan ini semakin diperkuat lagi oleh adanya dominasi kekuasan dan pengaruh para ulama dan ilmuwan di masyarakat. Menurut Abbuddin Nata, di masa sekarang saat dimana para ulama dan ilmuwan kurang dihargai dan tergeser peran dan kedudukannya oleh kekuasaan para penguasa, menyebabkan ukuran ketinggian suatu bangsa bukan lagi ilmu, moral dan spiritual, melainkan hal-hal yang bersifat materialistic, hedonistik, kapitalistik, dan skularistik yang di sertai dengan terjadinya kehancuran di bidang moral dan akhlak mulia. Faktor-faktor yang bersifat nonfisik inilah yang saat ini dapat dikatakan mengalami krisis, sehingga walaupun secara ekonomi, teknologi dan keamanan sudah meningkat, namun tidak memiliki hubungan

yang signifikan dengan perkembangan gerakan intelektual (Nata, 2012: 18-19). Paradigma sangat penting perannya dalam mempengaruhi teori, analisis

mau pun tindak perilaku seseorang (Sitanggang, Rinto, 2010:

“http://www.docstoc.com.). Karena paradigma sangat menentukan apa yang tidak kita pilih, tidak ingin kita lihat, dan tidak ingin kita ketahui. Paradigma pulalah yang mempengaruhi pandangan seseorang apa yang baik dan buruk, adil dan yang tidak adil. Oleh karena itu, jika ada dua orang yang melihat sesuatu realitas sosial yang sama, akan menghasilkan pandangan, penilaian, sikap dan perilaku yang berbeda pula. Perbedaan ini semuanya dikarenakan perbedaan paradigma yang dimiliki, yang secara otomatis memengaruhi persepsi dan tindak komunikasi seseorang.

Berdasarkan dari latar belakang di atas, penulis sekiranya memandang bahwa persoalan pengembangan terhadap ilmu dalam pendidikan Islam adalah kunci permasalahannya terhadap kemajuan atau kemundurannya umat Islam, karena pandangan seseorang terhadap ilmu pengetahuan akan menentukan sikapnya ke depan, apakah ia akan mengutamakan, akan menganggap biasa-biasa saja, atau bahkan akan sangat tidak peduli dan meninggalkannya. Itu semua menjadi semacam spirit kehidupan bagi berkembanganya budaya eksplorasi ilmu pengetahuan untuk masyarakat Islam.

(36)

ada, penulis mencoba meneliti tentang Paradigma pengembangan ilmu pada zaman al-Ma‟mun priode klasik melalui adanya pengembangan dari fenomena-fenomena alam jagat raya yang menghasilkan ilmu alam (natural sciencis).

Penulis mencoba memaparkannya melalui pendekatan perspektif sejarah Islam (Islamic historical perspective), dimana perkembangan ilmu pengetahuan

dalam Islam pada puncaknya dengan mengetengahkan judul “Paradigma Pengembangan Ilmu Zaman Al-Ma‟mun (813 -833 M)”.

B. Permasalahan 1. Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas dapat di identifikasi permasalahan sesuai dengan judul penelitian ini, maka dapat di identifikasikan beberapa hal, diantaranya:

a. Siapakah sebenarnya al-Ma‟mun itu?

b. Paradigma atau sudut pandang bagaimanakah pengembangan ilmu pengetahuan yang ada pada zaman al-Ma‟mun itu?

c. Apakah yang dimaksud dengan paradigma pengembangan ilmu?

d. Bagaimana peranan atau langkah-langkah apa saja yang dilakukan

al-Ma‟mun dalam mengembangkan peradaban Islam di era klasik?

e. Tradisi intelektual yang berkembang bagaimanakah di zaman al-Ma‟mun?

f. Ilmu pada fenomena apa saja yang berkembang pada masa kepemimpinan al-Ma‟mun?

g. Institusi-institusi apa saja yang berkembang pada kepemimpinan

al-Ma‟mun?

h. Bagaimanakah peranan ulama dan ilmuan dalam mengintegrasikan ilmu pengtahuan?

2. Pembatasan Masalah

Berdasarkan identifikasi masalah yang didapatkan, agar tidak meluasnya pembahasan dalam penelitian ini, maka akan dibatasi hanya pada : a. Biografi al-Ma‟mun

b. Paradigma Pengembangan sains

c. Pengembangan institusi-institusi pendidikan Islam pada zaman al-Ma‟mun d. Tokoh-tokoh yang berperan dalam pengembangan ilmu pada pemerintahan

zaman al-Ma‟mun

e. Tradisi intelektual yang berkembang

f. Langkah-langkah al-Ma‟mun dalam mengembangkan sains

(37)

3. Perumusan Masalah

Setelah membatasi permasalahan di atas main research question pada

penelitian ini adalah “Paradigma Pengembangan Ilmu bagaimanakah yang di kembangkan atau digunakan pada zaman al-Ma‟mun? maka sub dari permasalahan dalam penelitian ini dapat dirumuskan dalam pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut:

a. Siapakah al-Ma‟mun itu?

b. Apa yang dimaksud paradigma pengembangan sains?

c. Langkah-langkah apa saja yang dilakukan al-Ma‟mun dalam

mengembangkan sains?

d. Hasil bagaimanakah, yang dapat dicapai al-Ma‟mun dalam mengembangkan sains ?

C. Tujuan Penelitian

Sejalan dengan rumusan permasalahan dalam penelitian ini, maka tujuan yang diharapkan dari penelitian ini adalah:

1. Mengungkap fakta tentang pengaruh paradigma pengembangan terhadap sains dalam sejarah pendidikan Islam pada zaman al-Ma‟mun.

2. Menganalisis secara kritis fakta sejarah tentang Paradigma pengembangan ilmu pengatahuan dan pengaruhnya dalam pendidikan Islam, kemudian menjadikannya sebagai pelajaran yang berharga bagi umat Islam terutama dalam mengelola sistem pendidikannya.

3. Menemukan akar-akar sejarah tentang proses terjadinya pengembangan sains pengetahuan dalam pendidikan Islam pada priode klasik khususnya pada zaman al-Ma‟mun.

D. Manfaat dan Kegunaan Penelitian

Manfaat atau signifikansi penelitian ini, seiring dengan semangat yang diharapkan dari tujuan penelitian,maka manfaat yang diharapkan dari penelitian ini diantaranya:

1. Menjelaskan sejarah tentang paradigma pengembangan ilmu dan pengaruhnya dalam pendidikan Islam, serta kontribusinya yang sangat berharga bagi Masyarakat Islam terutama dalam sistem pendidikan Islam. 2. Memberikan informasi tentang sejarah atau proses pengambangan sains

pengetahaun dalam pendidikan Islam zaman klasik.

(38)

E. Kajian Pustaka

Ada Beberapa tulisan yang membahas tentang tema, yaitu “U

paya-upaya integrasi ilmu, seperti tulisan dari karya ilmiah “Asnawi dalam Integrasi Ilmu Agama dan Ilmu Umum (Studi Komparasi Pola Pembelajaran antara Pesantren Tradisional Plus dan Pesantren Modern)dan tulisan “Abuddin Nata” dalam Integrasi Ilmu Agama dan Ilmu Umum. Dalam tulisan ini memuat

hal ihwal Paradigma pengembangan Ilmu berdasarkan pada objek ontologis yang dibahas adalah wahyu (al-Qur‟an) dan hadits, dengan menggunakan

metode ijtihad, maka akan menhasilkan ilmu-ilmu agama. (Asnawi, Tesis, 2010: tidak dipublikasikan, Nata, 2003).

Selanjutnya tulisan Affandi Mochtar, dkk dalam “Paradigma Baru Pendidikan Islam”. (Mochtar, dkk., 2008). Dalam tulisan tersebut

membicarakan pola pengembangan baru dalam pendidkan Islam di Indonesia melalui pengalaman yang berharga yang pantas untuk di implementasikan secara komperhensif dan intensif di perguruan tinggi khususnya.

Lalu tulisan M. Zainuddin, dalam “Paradigma Pengembangan Pendidikan Islam: Menyiapkan Generasi Ulul Albab”. Dalam tulisan tersebut

berbicara tentang konsep integrasi ilmu dan agama dalam pendidikan Islam, dengan menyiapkan generasi ulul albab yang dapat bermanfaat bagi

pengembangan ilmu pengetahuan dan memiliki kontribusi bagi lembaga pendidikan Islam. (Zainuddin, 2008).

Selanjutnya tulisan Latifudin, dalam “Paradigma Pendidikan

Multikultural dalam Pendidikan Islam”. Tesis karya Latifudin mengungkapkan Pola pendidikan multicultural berbasis agama akan mendorong terciptanya budaya toleransi dengan memadukan model-model pengembangan ilmu sains dan agama di sekolah maupun di masyarakat. (Latifudin, Tesis, 2008. tidak dipublikasikan)

Kalau sekiranya juga hendak dipaksakan untuk dipersamakan secara obyek dan waktu penelitian, yakni penelitian sejarah tentang paradigma pengembangan ilmu terhadap umat Islam terhadap ilmu adalah kejadian atau peristiwa Mihnah di zaman pemerintahan Dinasti Abbasiyah pada masa

pemerintahan khalifah al-Ma‟mun. Tentang bahasan peristiwa Mihnah secara

khusus dan mendalam, penulis dapati satu tulisan, yakni tesis karya Didin

Izzuddin dengan judul “Mihnah dan Politisasi Teologi: Studi Sejarah dan

Politik”. (Izzuddin, Tesis, 2000:. tidak dipublikasikan. Kesimpulannya, Didin Izzuddin mengungkapkan bahwa peristiwa Mihnah adalah lebih sebagai

(39)

Jurnal Studi Keislaman, “Ulumuna”,

Popper, Khun, Lakatos terhadap Pengembanagn Ilmu-Ilmu Keislaman”.

Dalam tulisan tersbut ia menjelaskan bahwa pada waktu masyarakat Barat memasuki zaman kegelapan (dark age) dan berada pada titik nadir,

ironisnya pendulum ilmu pengetahuan berpindah kepada umat Islam yang mampu meraih masa keemasan. (the golden age). Pada waktu itu peradaban

Islam mencapai puncaknya kejayaannya. Gerakan penerjemah karya-karya filsafat dan ilmu pengetahuan berharga dari bahasa Yunani, Syiria, Sanskrit, Pahlavi, kedalam bahasa Arab. terutama yang paling impresif adalah pada ,masa pemerintahan khalifah al-Ma‟mun (813-833 M) dengan Bayt al-Hikmah

yang pada mulanya adalah pusat penerjemahan dan penelitian yang kemudian menjadi sebuah akademi yang sangat besar. (Rofiq, 2010: Jurnal Studi Keislaman,Vol.IXV,No.1). Kegiatan penerjemahan itu sangat intensif. Aktifitas ilmiah dikonsentrasikan dipusat-pusat kota metopolitan, misalnya Baghdad, Damaskus, Aleppo, Qayrawan, Fez, dan Kairo di bawah naungan dan sepenuhnya di dukung oleh pemerintahan Islam, sehingga berhasil mentransfer ilmu dan peradaban lain serta selanjutnyaya mengembangkannya dengan penuh kegemilangan. Kesuksesannya terbukti dengan penuh dan banyaknya ilmuan yang hasil pemikirannya kemudian dimanfaatkan oleh Barat sejak abad XII. (Nakosteen, 1964:144-5).

Dalam tulisan tersebut menjelaskan bahwa al-Ma‟mun memusatkan

perhatian terhadap pengembangan ilmu pengetahuan melalui penterjemahan sampai menemukan dan mengembangkan ilmu pengetahuan dari pusat peradaban di kota-kota taklukkan Abbasiyah.

Dalam penelitian ini memiliki distingsi atau perbedaan terhadap penelitian-penelitian sebelumnya, jika penelitian sebelumnya membicarakan politik pemerintahan al-Ma‟mun dengan menerapkan Mihnah, lalu ada juga

yang membicarakan pengembangan ilmu antara ilmu pengetahuan agama dan umum, lalu ada juga yang membicarakan tentang Paradigma Baru Pendidikan Islam, dan ada juga yang membicarakan tentang paradigma pengembangan ilmu melalui metode Ijtihad dari wahyu dan hadits dan Integrasi ilmu agama dan umum, maka kelebihan daripada penelitian ini lebih memfokuskan pada

“Paradigma atau Pola Pengembangan yang bersifat Integrated yang berbasis

pada tauhid di zaman al-Ma‟mun dengan focus penelitian pada fenomena-fenomena ilmu alam jagat raya”.

Dibawah ini adalah sumber-sumber dari kitab-kitab sejarah dalam penelitian ini diantaranya adalah sebagai berikut:

1. “Al-Kâmil fi al-Târîkh” oleh Ibn Atsir.

(40)

5. “Târîkh al-Madzâhib al-Islâmiyyah”oleh Abu Zahrah.

6. Fajar Islam oleh Ahmad Amin

Jenis kitab-kitab diatas ini pun sama-sama menampilkan persoalan

Pengembangan ilmu dalam bentuk uraian tentang madzhab dan aliran teologis.

Meskipun demikian, semua referensi tersebut adalah referensi yang berharga bagi penulis untuk lebih akurat dalam melacak sumber data sejarah tentang Paradigma Pengembangan ilmu pada zaman al-Ma‟mun.

F. Metodologi Penelitian

Dalam penulisan ini mengikuti sedikitnya empat langkah pokok dalam metodologi penelitian sejarah, yakni dengan:

1. Heuristic,yaitu mencari dan mengumpulkan obyek atau gambaran dari

suatu zaman secara menyeluruh tentang data, fakta dan peristiwa yang sebenarnya mengenai obyek penelitian.

2. Kritik atau verifikasi, yakni menyingkirkan bahan-bahan (atau bagian-bagian daripadanya) yang tidak otentik.

3. Interpretasi atau menyimpulkan kesaksian yang dapat dipercaya berdasarkan bahan-bahan yang otentik.

4. Historiografi, yaitu penyusunan atau penulisan kesaksian sejarah itu

menjadi suatu kisah atau penyajian yang berarti

Data, fakta dan peristiwa tersebut diperoleh dari sumber-sumber yang dapat dipertanggung jawabkan berdasarkan metodologi sejarah. (Nata, 2011: 365). Karena itu, sumber-sumber yang ditulis oleh penulis sezaman, orang yang terlibat atau menyaksikan peristiwa yang menjadi obyek penelitian ini merupakan faktor yang menentukan. (Kuntowijiyo, 1994: 33)

Adapun pendekatan politik lebih bermakna secara umum, yakni kajian tentang jalannya sejarah yang ditentukan oleh kejadian politik, perang diplomasi dan tindakan tokoh-tokoh politiknya. Sedangkan pendekatan sejarah pendidikan digunakan untuk membahas segala aspek yang berhubungan dengan pendidikan berdasarkan peninggalan atau dokumen sejarah yangada. Dengan pendekatan historis-kritis diharapkan dapat lebih mengungkap dan mengkritisi kenyataan sejarah yang didapat dari dokumen sejarah itu untuk menemukan esensi dasarnya.

Adapun hasil akhir yang diharapkan dari tulisan ini lebih bersifat

deskriptif, yakni memberikan gambaran umum dan menyeluruh tentang

(41)

1) Paradigma pengembangan sains 2) Biografi Kholifah al-Ma‟mun

3) Langkah-langkah al-Ma‟mun dalam mengembangkan sains pengetahuan dalam memajukan peradaban Islam di zaman klasik 4) Hasil yang dapat dicapai al-Ma‟mun dalam mengembangkan ilmu

pengetahuan

5) Sumbangan al-Ma‟mun terhadap kemajuan Islam di zaman klasik dan

juga tokoh-tokoh lain yang ikut berperan dalam mengembangkan ilmu. 6) Fenomena-fenomena alam yang berlandaskan pada penelitian ijbari

atau eksperimen di zaman al-Ma‟mun

b. Sumber data

1) Data tertulis (library research) atau Data dokumentasi. Melalui

sumber ini, penulis mencari dan menelusuri bahan-bahan yang ada hubungannya dengan teori paradigma pengembangan ilmu dalam sejarah pendidikan Islam. dan Melalui sumber ini, penulis mencari dan menelusuri bahan-bahan atau tulisan-tulisan penting tentang al-

Ma‟mun pada dinasti Abbasiyah tahun 813-833 M.

Sumber data primer dalam penelitian ini secara eksplisit agak sulit penulis dapatkan. Akan tetapi setelah beberapa konsultasi dengan para pakar sejarah pendidikan di kampus UIN Jakarta, secara umum didapati buku-buku sejarah dan pendidikan Islam yang mendukung atau menjelaskan tentang pemikiran dan kronologis terjadinya paradigma pengambangan terhadap ilmu dalam sejarah pendidikan Islam. Buku-buku tersebut diantaranya adalah sebagai berikut:

1. “Târîkh Al-Umam wa al-Mulk‟ oleh At-Thabari.

2. “Dhuhâ al-Islâm”dan “Fajar Isla”oleh Ahmad Amin.

3. “Al-Maushu‟ah al-Târîkh al-Islâmi wa al-Hadharah al-Islâmiyyah”

oleh Ahmad Syalabi.

4. “Ihya‟ „Ulûm al-Dîn”, oleh Al-Ghazali.

5. “Tarikh al-Firaq al Islamiyah”, oleh Ali Mustafa al Gurabi

6. “The Histoy of Arab” oleh Philip K. Hitty 7. “Muqodimah Ibnu Khladun” oleh Ibnu Khaldun 8. “Tarikh al-Baghdadi” oleh Ahmad al-Baghdadi

9. “Religion and the Order of Nature” oleh Sayyed Hosein Nasr 10. “The Making of Europe” oleh Christhoper Dawson

11. Al-Biruni oleh Al-Biruni

12. Al-Kamil fii Tarikh, oleh Ibn Atsir

(42)

dalam penelitian ini. Karya tulis tersebut diantaranya:

1. “Al-Tarbiyyah fial-Islâm” karya Al-Ahwani.

2. “Al-Tarbiyyah al-Islâmiyyah” karya Muhammad Athiyah al-Abrasy.

3. “Al-Tarbiyyah al-Islâmiyyah fi al-Qarnal-Râbi” karya Hasan Abd

al-„Ali.

4. “Tarik at-Tarbiyyah al-Islâmiyyah” karya Ahmad Syalabi. 5. “Science Civilization in Islam” oleh Syyed Hossein Nasr

Setelah data dikumpulkan kemudian dikaji, dianalisis dan diinterpretasi, untuk selanjutnya dengan analisis deskriptif dituangkan secara apa adanya dengan sedikit interpretasi dan pengambilan substansi dengan analisis yang cermat ke dalam konstruksi pembahasan yang logis, sistematis dan komprehensif. Kemudian dilakukan analisis komparatif, tidak saja terhadap pernyataan yang sama, tetapi juga yang berbeda selagi masih dalam permasalahan yang sama. Selanjutnya, agar tidak terjebak kepada pembahasan yang bersifat naratif dan konvensional, penelitian ini juga akan berusaha mencari penyebab mengapa suatu keadaan atau peristiwa terjadi dengan analisis kritis sehingga data tersajikan secara seimbang, yakni secara objektif-deskriptif sekaligus menyajikan pandangan kritis subjektif penulis.

c. Teknik Pengumpulan Data 1) Dokumentasi

Dalam penelitian ini, penulis menggunakan metode dokumentasi untuk mendapatkan bahan-bahan dokumenter. Hal ini di dasarkan bahwa pendidikan Islam menyimpan bahan-bahan dokumenter berupa: hasil-hasil penelitian yang ada hubungannya dengan penelitian ini.

Selanjtnya penelusuran referensi yang dimaksudkan di sini adalah penulis melakukan pencarian dan penelaahan buku-buku dan karya tulis ilmiah lainnya yang ada keterkaitannya dengan masalah yang di teliti. Juga melalui metode ini, penulis berusaha mencari kajian-kajian teori yang berkaitan dengan masalah yang diteliti untuk digunakan dalam penulisan tesis ini.

(43)

pengarangnya berdasarkan abjad. Hal ini dilakukan untuk memudahkan mengklasifikasi dan mentabulasi data.

d. Teknik Pengolahan dan Analisa Data

Dalam uraian terdahulu disebutkan bahwa data penelitian ini ada yang tertulis, yaitu data pustaka atau dokumentasi. Oleh karena itu, berdasarkan pemetaan tersebut, maka data tertulis yang diperoleh akan diperlakukan dengan cara ditelaah, dibandingkan, dikategorisasikan, kemudian dilakukan analisis deskriptif. Penelitian ini menggunakan lebih dari satu jenis data, (Bryman, 1988: 131) dan menggunakan metode ganda (triangulasi) (Brannen, 1997: 20) Terkait triangulasi, Meleong menjelaskan bahwa metode ini digunakan sebagai tekhnik pemeriksaan keabsahan data dengan memanfaatkan sesuatu yang lain di luar data itu untuk keperluan pengecekan atau sebagai pembanding terhadap data itu. Dalam hal ini, teknik triangulasi yang paling banyak digunakan ialah pemeriksaan melalui sumber lainnya (Moleong, 1995: 85).

e. Pendektan Penelitian

Pendekatan yang akan digunakan dalam tulisan ini, karena menyangkut paradigma berpikir umat di suatu zaman dan beberapa intrik politik yang terjadi sebagai pemicunya, maka pendekatan yang akan digunakan adalah pendekatan sosisologis dan historis.

Dapat dikatakan bahwa jenis penelitian dalam tesis ini, penelitian kualitatif. Hal ini logis karena penelitian ini merupakan paradigma pengembangan terhadap ilmu dalam sejarah pendidikan Islam yang terjadi pada zaman Kholifah al-Ma‟mun (813-833 M) dan sesudahnya. Selanjutnya penelitian yang bersifat kualitatif ini tidak dapat dipisahkan dari pendekatan

grouded research atau grouded theory yang intinya adalah semua analisa harus

berdasarkan data yang ada dan bukan beradasrkan ide yang ditetapkan sebelumnya.

Selanjutnya dari sisi pendekatan studi, penelitian ini menggunakan pendekatan sosiologi-historis. Kedua pendekatan ini digunakan karena obyek yang diteliti membutuhkan jasa ilmu-ilmu tersebut. Pendekatan sosiologis digunakan untuk memahami arti subyektif dari perilaku sosial, bukan semata-mata menyelidiki arti obyektifnya (Abdurrahman, 2003: 11).

(44)
(45)

BAB II

PARADIGMA PENGEMBANGAN ILMU

DALAM PENDIDIKAN ISLAM

A. Paradigma Keilmuan 1. Pengertian Paradigma

Paradigma dapat berarti model, pola atau contoh (Echols dan Shadily, 1996: 143). Paradigma menjadi istilah kunci dalam pembicaraan tentang filsafat ilmu. Sejak tahun 1960-an istilah ini popular di tangan Thomas S. Kuhn. Menurutnya, paradigma berarti mode of thought atau mode of inquiry.

Kuhn menegaskan bahwa pada dasarnya relitas sosial itu dikonstruksi oleh

mode of though atau mode inquiry yang akan menghasilkan mode knowing.

Sementara Immanuel Kant menyebutnya sebagai skema konseptual, sedangkan Marx menyebutnya dengan ideology (Kuntowijoyo, 2004: 11). Jadi, dapat dikatakan bahwasanya paradigma itu bisa dimaknai sebagai sekumpulan asumsi-asumsi, konsep-konsep yang secara logis dianut bersama dan dapat mengarahkan cara berpikir, mengkaji dan meneliti. Oleh sebab itu, paradima adalah a set of scientific and metaphysical beliefs that make up a theoretical frame work whithin which scientific theories can be tested, evaluated, and if necessary, revised (sekumpulan kepercayaan ilmiah dan metafisik yang

membuat suatu kerangka teoritis dalam mana teori-teori ilmiah dapat diuji, dievaluasi dan kalau perlu direvisi) (Bidin, dkk., 2003: 34).

Paradigma sebagaimana di atas adalah sebuah kerangka berpikir terhadap suatu hal, dalam memecahkan persoalan. Misalnnya, ketika melihat musuh, maka yang terpikirkan adalah perasaan yang tidak mengenakkan dalam hati, lalu terpikirkan bagaimana caranya untuk menjatuhkan musuh tersebut atau mengalahkannya?. Atau sebaliknya, ketika melihat teman suasana hati terasa senang, lalu yang terpikirkan adalah bagaimana caranya agar mendapatkan sisi baik dari pertemanan tersebut?. Jadi dapat dikatakan bahwa paradigma itu merupakan contoh, model atau sudut pandang manusia terhadap obyek yang dilihat atau di hadapinya.

Paradigma dapat dipahami sebagai sekumpulan keyakinan dasar yang mengarahkan penelitian tindakan penelitian ilmiah. Sebagai kumpulan sistem keyakinan dasar atau asumsi-asumsi dasar, paradigma memuat permasalahan asumsi dasar yang berkaitan dengan asumsi ontologis, epistemologis dan aksiologis (Adian, 2002: 141). Asumsi atau sistem keyakinan dasar suatu paradigma menentukan bagaimana kita melihat semesta atau sifat dasar dari

(46)

keyakinan yang diketahui, bagaimana antara subyek dengan obyek yang diketahui serta metode apa yang digunakan untuk mengetahuinya.

2. Paradigma Integrasi Ilmu

Integrasi berasal dari bahasa Inggris “integration” yang berarti

kesempurnaan atau keseluruhan. Integrasi ilmu dimaknai sebagai sebuah proses penyempurnaan atau menyatukan selama ini di anggap dikotomis sehingga menghasilkan satu pola pemahaman integrative tentang konsep ilmu pengetahuan (Rifa‟i, dkk., 2004: 14). Integrasi adalah menjadikan al-Qur‟an

dan Sunnah sebagai grand theory pengetahuan, sehingga ayat-ayat qauliyah

dan kauniyah dapat dipakai (Bagir, 2005: 49-50).

Paradigma integrasi ilmu adalah cara pandang ilmu yang menyatukan semua pengetahuan ke dalam kotak tertentu dengan mengasumsikan sumber pengetahuan dalam satu sumber tunggal (Tuhan). Semesta sumber lain, seperti indra, pikir, dan intuisi dipandang sebagai sumber penunjang sumber inti. Dengan demikian sumber wahyu menjadi inspirasi estis, estetis, sekaligus logis dari ilmu. Bagaimana proses peleburan itu dilakukan, paradigma ini menempatkan wahyu sebagai hirarki tertinggi dari sumber-sumber ilmu lainnya, dan gerakan seperti Islamisasi ilmu sebenarnya dapat dikategorisasikan sebagai upaya mengintegrasikan ilmu ke dalam satu pohon ilmu, yaitu ilmu pengetahuan yang integrative.

Dalam “Integrasi Ilmu dalam Persepektif Filsafat Islam”, Mulyadi

(47)

ilmu ke dalam al-Ulum al Naqliyah dan al-Ulum al-Aqliyah. Meskipun

al-Ghazali mengelompokkan ilmu-ilmu agama ke dalam kelompok Fardhu‟ „Ain

dan Fardhu Kifayah, menurutnya, ia mengakui validitas ilmiah masing-masing.

Bahkan sebaliknya, mempelajari ilmu logika dan matematika perlu dipelajari (Kartanegara, 2005: 25-26).

Kekayaan khazanah Islam klasik yang merupakan kontitusi peradaban Islam itu dapat dilihat pada tradisi keilmuan yang diwariskan kepada umat Islam. Terdapat tujuh tradisi keilmuan yang patut di apresiasi dan di kembangkan dalam konteks kekinian, yaitu: (1) Ilmu-ilmu al-Qur‟an; (2) Ilmu -ilmu hadits; (3) Ilmu--ilmu Fiqih dan Ushul Fiqih; (4) Ilmu Kalam (Teologi); (5) Filsafat (Hikmah); (6) Sains (astronomi, kimia, fisika, kedokteran, geometri); (7) Tasawuf (Heriyanto, 2011: 45).

Ketujuh tradisi keilmuan Islam itu harus dibaca dalam helaan nafas dalam atmosfer wahyu yang menginspirasi para sarjana muslim membangunn tonggak-tonggak ilmiah peradaban Islam. Kesaling terkaitan ilmu-ilmu itu ibarat sebuah pohon. Wahyu al-Qur‟an dan Hadits seperti akar dan batang dari pohon tradisi keilmuan Islam. Sedangkan ilmu-ilmu budaya, sains, dan institusi-institusi sosial seperti cabang-cabang pohon, di antaranya ada yang lebih dekat kepada batang dan yang lainnya lebih jauh. Namun semuanya merupakan bagian dari sebuah oragnisme yang tumbuh dari akar.

[image:47.595.72.460.257.572.2]

Terintegrasinya ilmu-ilmu dalam Islam merupakan manifestasi dari pandangan Tauhid yang melihat seluruh objek telaah berbagai ilmu itu sebagai ayat-ayat Tuhan. Tidak mungkin berbagai tradisi keilmuan itu, jika dilacak sampai ke akar-akar kebenarannya, saling bertolak belakang atau kontradiktif lantaran sesama ayat Tuhan, sudah pasti saling mendukung.

Tabel 2.1: Pandangan Integral-holistik

Menurut al-Faruqi, intisari peradaban Islam, Tauhid mempunyai dua dimensi: metodologis dan konseptual. Dalam dimensi konseptual yang menentukan isi peradaban Islam, Tauhid adalah metafisika, etika, estetika dan masyarakat. Sedangkan dimensi metodologis yang menentukan peradaban Metodologis: Kesatuan, rasionalisme, toleransi Konseptual:

Metafisika, etika, estetika, masyarakat

(48)

Islam meliputi: kesatuan, rasionalisme dan toleransi. Prinsip kesatuan menegaskan bahwa tidak ada peradaban tanpa kesatuan. Seorang sarjana muslim dapat merengkuk dan menguasai berbagai cabang ilmu. Ibnu Sina misalnya, merupakan ahli kedokteran dan fisika, namun sekaligus seorang filsuf, hafidz al-Qur‟an dan sufi.

Berdasarkan Tabel diatas adalah kata kunci konsepsi integrasi keilmuan berangkat dari premis bahwa semua pengetahuan yang benar berasal dari Allah.

3. Par

Gambar

Tabel.     2.1 : Pandangan Integral Holistik ……………………………… 25
Tabel 2.1: Pandangan Integral-holistik
Tabel 3.1: Silsilah Kholifah Abbasiyah zaman Integrasi Ilmu
Gambar: 4.1 Konsep dasar pendidikan Multikultural pada Institusi Baitul
+6

Referensi

Dokumen terkait