• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pertumbuhan Penduduk Sudah Lampu Merah

Dalam dokumen Pertanyaan Tingkat Tinggi dan Lembar Kerja (Halaman 164-167)

FASLI JALAL, Kepala BKKBN

Laju pertumbuhan penduduk Indonesia yang dihitung berdasarkan jumlah kelahiran dari wanita usia subur dalam kurun 10 tahun terakhir ternyata tidak menurun. Mengacu data Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SKDI) 2012, laju pertumbuhan penduduk mencapai 1,5%, jauh dari angka ideal yang semestinya di bawah 1%. Memang 10 tahun lalu, lewat program Keluarga Berencana (KB) sudah ada upaya menekan rata-rata jumlah anak yang lahir dengan mengurangi rata-rata kelahiran pada usia wanita subur 15–29 tahun atau total fertility rate (TFR). Pertumbuhan berkurang dari 2,6 menjadi 2,1. Sayang, cita-cita tersebut pupus, karena pada tahun 2013 angka TFR masih pada kisaran 2,6. Angka ini tidak bergerak sejak 10 tahun lalu. Nah, tahun 2014 tinggal tersisa beberapa bulan lagi, artinya hampir mustahil target 2,1 tersebut bisa tercapai. Sekadar memberi gambaran, jika saja target TFR 2,1 tercapai maka bisa disebut rata-rata satu keluarga mempunyai dua anak. Angka dua anak adalah target ideal program KB. Namun, kalau TFR mandek pada kisaran 2,6, saya anggap keluarga-keluarga Indonesia masih punya tiga anak.

Padahal, tingginya TFR berkorelasi dengan angka kematian ibu (AKI) hamil atau melahirkan. Data SDKI kembali menyebutkan, AKI di Indonesia mencapai 359 orang per 100.000 kelahiran. Angka ini tertinggi dibandingkan dengan negara ASEAN lainnya. Di Vietnam, angka AKI hanya mencapai 50 orang per 100.000 kelahiran. Atas kondisi ini, saya menyebut dinamika kependudukan di Indonesia sudah “lampu merah”. Tidak hanya masalah kesehatan, di masa mendatang pastinya ledakan penduduk yang tidak wajar akan menciptakan berbagai persoalan pelik seperti, krisis pangan, keterbatasan lahan tempat tinggal, kerusakan lingkungan, tingginya angka kriminalitas. Kekhawatiran ini wajar, karena saat ini saja kita masih diterpa persoalan kenaikan harga cabai, bawang, daging sapi, daging ayam, dan sembako lainnya. Tingginya tingkat konsumsi semakin sulit teratasi ketika jumlah penduduk melambung, sedangkan ketersediaan pangan sangat terbatas.

Lalu, apa yang menjadi persoalan kampanye KB selama ini? Pertama, luas wilayah Indonesia yang secara geografis terbentang dari satu pulau ke pulau yang lain. Kedua, penerapan kebijakan otonomi daerah, karena masing-masing kepala daerah punya arah yang berbeda dengan program KB. Sarana-prasarana penunjang pemakaian KB, seperti klinik kesehatan, menjadi tidak optimal. Timpangnya pendapatan satu daerah dengan daerah yang lain jelas membuat pembangunan sarana kesehatan juga terhadang. Belum lagi ketersediaan tenaga dokter atau bidan. Di daerah makmur bisa jadi akan memiliki

255 Literasi Lintas Kurikulum: IPS

UNIT 8d

Modul Pelatihan Praktik yang Baik di SMP dan MTs

banyak klinik, dokter, dan bidan. Kondisi sebaliknya terjadi di daerah minus. Padahal, klinik-klinik inilah yang menjadi ujung tombak sosialisasi agar masyarakat disiplin memakai alat-alat KB. Selain itu, ada kendala banyak peraturan daerah (perda) yang masih mencantumkan setiap pelayanan alat kontrasepsi dipungut biaya. Ini tidak bisa diubah kecuali perdanya diubah. Padahal, kita semua berharap semua pelayanan alat kontrasepsi ini gratis, toh ini untuk membantu program nasional.

Masalah seputar otonomi daerah tersebut, ditambah dengan tingginya angka drop

out (DO) atau putus pemakaian kontrasepsi. Sebagai gambaran angka DO untuk produk

kontrasepsi berjenis injeksi saja hingga mencapai 40%, padahal kami berharap hanya 20%. Tingginya angka DO tersebut juga berkorelasi dengan kondisi infrastruktur kesehatan di daerah. Kalau jarak antara klinik dengan rumah warga terlalu jauh, jelas tingkat kedisiplinan penggunaan alat kontrasepsi akan menurun. Biaya ber-KB menjadi tidak ekonomis.

Harus jangka panjang

Kalaupun pemerintah pusat membantu kampanye dengan menyediakan alat kontrasepsi per bulan gratis di suatu daerah terpencil secara bergerak (mobile), sedangkan warga memakai pil dan suntik yang sifatnya temporer hanya beberapa bulan, maka bulan depan warga DO, karena ketiadaan layanan. BKKBN mempunyai solusi yakni dengan lebih fokus melakukan kampanye penggunaan Metode Kontrasepsi Jangka Panjang (MKJP).

MKJP adalah penggunaan alat-alat kontrasepsi yang bisa bermanfaat untuk jangka panjang. Kontrasepsi pada MKJP rata-rata efektif 3–7 tahun. Berbeda dengan kontrasepsi jangka pendek yang sifatnya hanya bertahan beberapa hari atau bulan. Sekadar informasi, alat kontrasepsi berdasarkan waktunya ada dua jenis, yakni kontrasepsi jangka panjang, dan kontrasepsi jangka pendek. Kontrasepsi jangka pendek contohnya pil, dan suntikan. Sedangkan yang jangka panjang yakni, implan dan

intra-uterine device (IUD). Berbeda dengan pil dan suntik, implan dan IUD tingkat

kegagalannya tidak lebih dari 1% tiap 100 wanita yang memakai. Untuk implan, tingkat kegagalan hanya sebesar 0,05% per 100 wanita. Bandingkan dengan tingkat kegagalan pil dan suntik yang bisa mencapai 9–10%. Strategi penggunaan MKJP ini jelas akan mengatasi hambatan geografis dan beragamnya kebijakan otonomi daerah. Contoh, walaupun hanya mengandalkan satu klinik di satu kawasan, mungkin jauh dari tempat tinggal warga lain, namun warga hanya sekali datang dan mungkin baru kembali lagi tujuh tahun kemudian. Memang, kadang-kadang ada perasaan malu para perempuan dalam memasang IUD. Proses pemasangan itu dianggap suatu yang privasi. Jadi meski dilakukan oleh bidan, kalau tidak sangat perlu, biasanya para perempuan enggan melakukannya.

256 Modul Pelatihan Praktik yang Baik di SMP dan MTs II Literasi Lintas Kurikulum: IPS

UNIT 8d

Karena itu, tampaknya memang implan saat ini menjadi pilihan yang terbaik. Dengan menggunakan MKJP maka akan mengurangi tingkat DO serta mengurangi faktor kegagalan kontrasepsi, menekan TFR dan mengurangi jumlah penduduk, dan menghindari risiko masalah-masalah ekonomi dan sosial masyarakat. Dan yang pasti, program KB dua anak cukup akan tercapai.

Masalah kependudukan adalah tanggung jawab bersama. Harus ada integrasi satu kebijakan dengan yang lainnya. Dalam Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) pelayanan KB masuk dalam layanan dasar. Kita berharap kebijakan ini akan membantu mengubah “lampu merah” kependudukan menjadi “lampu hijau”.

257 Literasi Lintas Kurikulum: IPS

UNIT 8d

Modul Pelatihan Praktik yang Baik di SMP dan MTs

Dalam dokumen Pertanyaan Tingkat Tinggi dan Lembar Kerja (Halaman 164-167)