• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa tidak terdapat pengaruh interaksi antara waktu aplikasi pupuk N dengan kombinasi urea dan azolla terhadap tinggi tanaman padi umur 2, 4, 6 Minggu Setelah Tanam (MST) dan jumlah anakan produktif per rumpun. Waktu aplikasi pupuk N tidak berpengaruh nyata terhadap semua komponen pengamatan pertumbuhan tanaman yaitu pada tinggi tanaman dan jumlah anakan produktif. Kombinasi urea dan azolla berbeda nyata terhadap tinggi tanaman 2 MST, dan berbeda sangat nyata terhadap tinggi tanaman 6 MST dan jumlah anakan produktif, tetapi kombinasi urea dan azolla tidak berbeda nyata terhadap tinggi tanaman 4 MST (Lampiran 8, 9, 10 dan 11). Rata- rata tinggi tanaman padi umur 2, 4, 6 MST dan jumlah anakan produktif per rumpun dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Rata- rata Tinggi Tanaman Padi Umur 2, 4, 6 MST dan Jumlah Anakan Produktif Pada Perlakuan Waktu Aplikasi Pupuk N Serta Kombinasi Urea dan Azolla

Perlakuan

Tinggi Tanaman Jumlah

Anakan Produktif

2 MST 4 MST 6 MST

Waktu Aplikasi Pupuk N (HSPT) ---cm--- -anakan-

0 dan 21 40.45 58.19 71.28 11.87

5 dan 23 39.41 55.40 68.19 11.96

10 dan 25 40.93 58.08 70.20 13.06

Kombinasi Urea dan Azolla

Urea (200 kg ha-1), (tanpa azolla) 40.71ab 57.95 69.74b 13.48b

Urea (150 kg ha-1) + 2 ton ha-1 azolla segar 40.01b 57.39 71.11bc 12.73b

Urea (100 kg ha-1) + 4 ton ha-1 azolla segar 41.10b 57.90 72.48c 12.40b

Urea (50 kg ha-1) + 6 ton ha-1 azolla segar 39.45ab 56.94 70.13bc 12.68b

8 ton ha-1 Azolla segar (tanpa urea) 39.05a 55.95 66.00a 10.19a

Keterangan : Angka diikuti notasi huruf pada kolom dan faktor perlakuan yang sama tidak berbeda nyata pada taraf 5% menurut uji DMRT.

Tinggi Tanaman Padi Umur 2, 4 dan 6 MST (cm)

Rata- rata tinggi tanaman padi (Tabel 3) pada waktu aplikasi pupuk N 0 dan 21 hari setelah tanam pindah (HSPT) mampu meningkatkan tinggi tanaman lebih tinggi pada padi berumur 4 Minggu Setelah Tanam (MST) dan 6 MST dibandingkan dengan perlakuan waktu aplikasi pupuk N 5 dan 23 serta 10 dan 25 HSPT, tetapi pada padi berumur 2 MST, waktu aplikasi pupuk N 10 dan 25 HSPT mampu meningkatkan tinggi tanaman lebih tinggi dibandingkan dengan 0 dan 21 serta 5 dan 23 HSPT. Namun hasil analisis sidik ragam (Lampiran 8, 9 dan 10) menunjukkan bahwa ketiga waktu aplikasi pupuk N tidak berbeda nyata terhadap komponen pertumbuhan tinggi tanaman (2, 4 dan 6 MST). Hal ini menunjukkan bahwa waktu aplikasi pupuk N dapat dilakukan dalam rentang waktu tersebut. Sebagaimana bahan organik atau pupuk hijau lainnya N- azolla baru dapat digunakan tanaman apabila sudah termineralisasi atau terdekomposisi, karenanya kecepatan mineralisasi sangat penting.

Pada waktu aplikasi pupuk N 0 dan 21 HSPT, 5 dan 23 HSPT serta waktu aplikasi pupuk N pada 10 dan 25 HSPT, diduga azolla telah termineralisasi dengan baik sehingga nitrogen yang diikat oleh azolla dapat digunakan untuk pertumbuhan tinggi tanaman. Hasil penelitian Brotonegaro dan Abdulkadir (1977) menunjukkan bahwa penguraian azolla yang dibenamkan dalam tanah secara giat terjadi pada masa 9 hari pertama. Pada waktu itu CO2yang dilepas dan

senyawa amonium yang terbentuk dari penguraian azolla yang dibenamkan dalam tanah berkadar air pada kapasitas lapang telah mencapai kadar yang tinggi. Setelah itu kadar amonium dari azolla yang terus mengurai naik sampai akhirnya

pada hari ke 17 mencapai kadar yang tertinggi dan kadar amonium tetap tinggi sampai hari ke 31.

Menurut Tian et al (1992), Handayanto (1993) kecepatan mineralisasi sangat ditentukan oleh kualitas bahan organik tersebut, yakni kandungan nitrogen, lignin, polifenol dan faktor-faktor lingkungan lainnya. Kualitas bahan organik dikatakan tinggi apabila kandungan N tinggi, kandungan lignin dan polifenol yang rendah sehingga proses pelepasan unsur haranya cepat dan bertepatan pada saat tanaman membutuhkan (Young, 1989). Sebaliknya kualitas bahan organik dikatakan rendah bila kandungan N rendah serta kandungan lignin dan polifenolnya tinggi. Hal ini akan mengkibatkan proses pelepasan unsur hara berjalan lambat dan membutuhkan waktu yang lama (Young, 1989).

Azolla termasuk tumbuhan berkualitas tinggi, sebagai pupuk hijau memiliki kandungan N tinggi, kandungan lignin dan polifenol rendah (Handayanto, 1999). Menurut Kesmayanti (1999) Azolla mempunyai laju mineralisasi yang cukup baik yaitu dengan rasio C/N 10. Sutedjo (1996) menyatakan bahwa tanaman yang memiliki rasio C/N mendekati rasio C/N tanah (10) akan lebih cepat terdekomposisi dari pada tanaman yang mempunyai rasio C/N tinggi. Selain hal tersebut diatas, azolla yang dibenamkan sebagai bahan organik adalah dalam bentuk azolla segar sehingga diduga bahwa dalam proses mineralisasi, azolla segar lebih cepat melepas N- ammonium. Hal ini sesuai

dengan Kesmayanti (1999) yang menyatakan bahwa azolla segar melepas N-

ammonium 2.5 kali lebih cepat dari azolla yang dikeringkan. Menurut Dobermann and Fairhurst (2000) unsur N pada tanaman merupakan unsur penyusun asam amino, asam nukleat, dan klorofil yang bagi tanaman padi sawah mempercepat

pertumbuhan (pertumbuhan tinggi dan jumlah daun) dan meningkatkan ukuran daun, jumlah gabah per malai, persentase gabah isi dan kandungan protein gabah. Kombinasi urea (100 kg ha-1) + 4 ton ha-1 azolla segar, menunjukkan Tinggi tanaman umur 2 dan 6 MST yang tertinggi yaitu masing- masing 41.10 cm dan 72.48 cm dan berbeda nyata terhadap perlakuan 8 ton ha-1

Hal ini diduga pada tinggi tanaman 4 MST, tanaman memasuki fase generatif, fotosintat yang dihasilkan tanaman pada kelima perlakuan kombinasi urea dan azolla ditranslokasikan untuk pembentukan malai dan gabah. Hal ini sesuai dengan pendapat Novizan (2002) yang menyatakan nitrogen dibutuhkan pada setiap pertumbuhan tanaman, khususnya pada tahap pertumbuhan vegetatif, seperti pembentukan tunas atau perkembangan batang dan daun. Menurut Darwis (1979) bahwa setelah fase vegetatif lambat, dilanjutkan dengan fase generatif yang dimulai dari inisisasi malai sampai masak penuh. Fase ini dibagi dua, yaitu ; 1) fase perkembangan malai ditandai dengan ruas-ruas yang makin memanjang yang akan membentuk malai, pada fase ini akan terjadi kecepatan pertumbuhan dan diakhiri pada fase masa pengisian malai. 2) Fase masak, dimulai dari stadia atau masa pengisian malai, stadia masak kuning, stadia masak penuh sampai stadia mati.

azolla segar (tanpa urea) yang menunjukkan tinggi tanaman terendah yaitu masing-masing 39.05 cm dan 66.00 cm (Tabel 3). Hasil análisis sidik ragam yang disajikan pada lampiran 7 dan 9, dapat ditunjukkan bahwa kombinasi urea dan azolla berbeda nyata dalam meningkatkan tinggi tanaman 2 MST dan berbeda sangat nyata pada 6 MST. Tetapi tidak berbeda nyata dalam meningkatkan tinggi tanaman 4 MST (Lampiran 8).

Dari tabel rata-rata tinggi tanaman (Tabel 3) yang disajikan, menunjukkan penggunaan 8 ton ha-1

Jumlah Anakan Produktif

azolla segar (tanpa urea) jelas sekali kurang berarti terhadap pertumbuhan tinggi tanaman, sehingga secara visual sumber pupuk yang berasal sepenuhnya dari azolla kurang berpengaruh terhadap tinggi tanaman padi varietas Ciherang.

Rata- rata jumlah anakan produktif padi yang dihasilkan (Tabel 3) pada waktu aplikasi pupuk N 10 dan 25 HSPT menghasilkan jumlah anakan terbanyak yaitu 13.06 anakan per rumpun dibandingkan dengan waktu aplikasi pupuk N 0 dan 21 serta 5 dan 23 HSPT yaitu masing- masing 11.87 anakan per rumpun dan 11.96 anakan per rumpun. Namun hasil analisis sidik ragam (Lampiran 10) menunjukkan bahwa ketiga waktu aplikasi pupuk N tidak berbeda nyata dalam menghasilkan anakan produktif. Waktu aplikasi pupuk N pada 0 dan 21 HSPT, 5 dan 23 HSPT serta 10 dan 25 HSPT, diduga mampu mendorong terjadinya fotosintesis yang lebih baik, sehingga menghasilkan fotosintat yang tinggi yang digunakan pada pembentukan malai dan pada akhirnya mampu membentuk anakan produktif yang tidak berbeda nyata.

Anakan padi yang terbentuk selama pertumbuhan vegetatif tidak semuanya mampu menghasilkan malai. Anakan yang mendapatkan fotosintat yang cukup pada fase primordia mampu menghasilkan malai yang lebih baik (Sutoto, 2008). Hal ini juga sejalan dengan pendapat Tyasmoro (2006) yang menyatakan bahwa pemberian azolla mengakibatkan peningkatan pertumbuhan tanaman padi.

Jumlah anakan produktif pada perlakuan urea (200 kg ha-1) (tanpa azolla) tidak berbeda secara nyata terhadap perlakuan urea (150 kg ha-1) + 2 ton ha-1 azolla segar, urea (100 kg ha-1) + 4 ton ha-1 azolla segar dan urea (50 kg ha-1) + 6 ton ha-1 azolla segar, tetapi berbeda secara nyata pada perlakuan 8 ton ha-1

Hal ini diduga pada perlakuan tersebut tanaman mampu meningkatkan serapan hara N dengan baik sehingga tidak terdapat perbedaan dalam menghasilkan jumlah anakan produktif. Hal tersebut juga sesuai dengan uji korelasi yang dilakukan dan menunjukkan adanya korelasi yang signifikan (lampiran 20) antara jumlah anakan produktif dengan serapan hara N dengan nilai korelasi (r = 0.635).

azolla segar (tanpa urea).

Menurut De Datta (1981) jumlah anakan semakin banyak dengan meningkatnya serapan N selama fase vegetatif. Dobermann and Fairhurst (2000) menyatakan kandungan N yang tinggi meningkatkan tinggi tanaman dan jumlah anakan. Namun hal ini berbeda dengan perlakuan 8 ton ha-1

Berdasarkan hasil tersebut maka dapat dijelaskan bahwa azolla masih dapat digunakan sebagai sumber pupuk N tetapi berapa jumlah yang harus dikombinasikan dengan urea merupakan faktor penting yang harus diperhatikan hal ini dikarenakan dari hasil penelitian menunjukkan bahwa penggunaan sepenuhnya azolla tanpa kombinasi urea yang tepat tidak mampu memenuhi kebutuhan tanaman akan unsur N sehingga masih dibutuhkan pupuk anorganik.

azolla segar tanpa urea yang menghasilkan jumlah anakan produktif paling sedikit (Tabel 3) dan berbeda sangat nyata terhadap keempat perlakuan kombinasi azolla dan urea lainnya.

Dari kelima kombinasi urea dan azolla, perlakuan urea (200 kg ha-1), (tanpa azolla) menghasilkan jumlah anakan produktif terbanyak yaitu sebanyak

13.48 anakan per rumpun dan berbeda nyata dengan perlakuan 8 ton ha-1

Dokumen terkait