• Tidak ada hasil yang ditemukan

URAIAN TEORITIS

IV. Kebiasaan-kebiasaan Dalam Pengolahan Tanah

II.5. Agen Perubahan (Agent Of Change)

II.5.1. Pengertian Agen Perubahan (Agent Of Change)

Orang-orang yang melaksanakan tugasnya mewujudkan usaha perubahan sosial tersebut dinamakn agen perubahan. Menurut Rogers dan Shoemaker, agen

perubahan adalah adalah petugas profesional yang memperngaruhi putusan inovasi para anggota masyarakat menurut arah diinginkan oleh lembaga perubahan. Jadi semua orang yang bekerja untuk mempelopori, merencanakan dan melaksanakan perubahan sosial adalah termasuk agen-agen perubahan. Dalam rumusan Havelock, agen perubahan adalah orang yang membantu terlaksananya perubahan sosial atau suatu inovasi yang berencana. Dalam kenyataan sehari-hari, agen perubahan meliputi sejak mereka yang bekerja sebagai perencanaan pembangunan hingga para penyuluh lapangan pertanian, pamong, guru,dan sebagainya (Nasution, 1990 : 37).

Usaha-usaha pembangunan suatu masyarakat selalu ditandai oleh adanya sejumlah orang yang mempelopori, menggerakkan, dan menyebarluaskan proses perubahan tersebut, orang-orang itu dalam kepustakaan ilmu-ilmu sosial dikenal dengan sebutan Agent Of Change (Agen Perubahan).

Siapakah sebenarnya mereka itu? Apakah motivasi yang menyebabkan mereka bersedia dan tertarik untuk mengemban tugas tersebut? Kopetensi apasaja yang dimiliki orang-orang tersebut sehingga mereka berhasil menjalankan tugasnya? Pertanyaan ini akan dijawab melalui beberapa kajian yang menjelaskan masalah agen perubahan dan tugas-tugasnya.

II.5.2. Kualifikasi Agen Perubahan (Agent Of Change)

Kualifikasi dasar agen perubahan menurut Duncan dan Zaltman merupakan tiga yang utama di antara sekian banyak kompetisi yang mereka miliki, yaitu :

4. Kualifikasi teknis, yakni kopetensi teknis dalam tugas spesifik dari proyek perubahan yang bersangkutan.

5. Kemampuan admisistratif, yaitu persyaratan administrative yang paling dasar dan elementer, yakni kemauan untuk mengolakasikan waktu untuk persoalan-persoalan yang relatif menjelimet (detailed).

6. Hubungan antarpribadi, suatu sifatyang paling penting adalah empathi, yaitu kemampuan seseorang untuk mengidentifikasikan diri dengan oranglain, berbagi akan perspektif dan perasaan mereka dengan seakan-akan mengalaminya sendiri (Nasution, 2004 : 128).

Peran yang manifes dari agen peubahan dapat dilihat dalam tiga perspektif, yaitu sebagai penggerak, perantara, dan penyelesai (accomplisher). Sebagai penggerak, peranan agen perubahan meliputi fungsi-fungsi fasilitator, penganalisa, dan pengembang kepemimpinan.

Hampir semua peranan yang manifes dari agen perubahan yang disebutkan di atas tadi mempunyai pasangan yang bersifat laten. Itu berarti selain fungsi-fungsi yang kelihatan secara nyata, agen perubahan juga memilki fungsi-fungsi yang laten, yaitu :

Sebagai penngembang kepemimpinan, seorang agen perubahan secara laten dapat berperan selaku orang yang memobolisir atau orang yang membangkitkan kesadaran. Pemobilisasi melakukan kegaitannya dalam rangka stastus quo. Pemobilisasi berguna dalam menghadapi masyarakat yang stastus quodan dalam menghadapi suatu system yang menjadikan masyarakat hanyalah objek dalam mekanisme jurang kesadaran antara pemimpin dan masyarakat, membantu pengembangan masyarakat belajar mengajardan membangun nilai-nilai melalui hubungan-hubungan yang dipunyainya (Nasution, 2004 : 131).

II.5.3. Tugas dari Agen Perubahan (Agent Of Change)

Menurut Rogers dan Shoemaker setidak-tidaknya ada tujuh tugas utama agen perubahan dalam melaksanakan difusi inovasi yaitu :

9. Membina suatu hubungan dalam rangka perubahan (change relationship). 10.Mendiagnosa permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat.

11.Menciptakan keinginan perubahan di kalangan klien.

12.Menerjamahkan keinginan perubahan tersebut menjadi tindakan yang nyata. 13.Menjaga kstabilan perubahan dan mencegah terjadinya dropout.

14.Mencapai suatu terminal hubungan (Nasution, 2004 : 133).

II.6. Tingkat Penerimaan Informasi

II.6.1. Penjelasan Mengenai Tingkat Penerimaan Informasi

Penerimaan terhadap suatu informasi dengan adanya inovasi baru oleh suatu masyarakat tidak terjadi secara serempak. Ada anggota masyarakat yang memang sejak lama telah meanti datangnya inovasi (karena sadar akan kebutuhannya). Ada anggota masyarakat yang melihat dulu kiri kanannya dan setelah yakin benar akan keuntungan-keuntungan tertentu yang bakal diperoleh, baru mau menerima inivasi dimaksud. Namun ada pula anggota masyarakat yang sampai akhir tetap tidak mau menerima suatu inovasi atau ide-ide baru (Nasution, 1990 : 17).

Rogers dan Shoemaker (1971) mengelompokkan masyarakat penerima menjadi 5 lapisan :

6. Inovator. Yaitu mereka yang sudah pada dasarnya gandrung akan hal-hal baru, dan rajin melakukan percobaan-percobaan.

7. Penerima dini (early adopter). Lapisan ini merupakan orang-orang yang berpengaruh, tempat teman-temannya bertanya dan mendapatkan keterangan, serta merupakan orang-orang yang lebih maju disbanding orang sekelilingnya. 8. Mayoritas dini (early mayority). Yaitu orang-orang yang menerima suatu

9. Mayoritas belakangan (late mayority). Yakni orang-orang yang baru bersedia menerima suatu inovasi apabila menurut penilaiannya semua orang sekelilingnya salah menerima.

10.Laggards. Yaitu lapisan yang paling akhir dalam menerima suatu inovasi. Dalam penerimaan informasi terhadap suatu inovasi, biasanya seseorang melalui sejumlah tahapan yang disebut tahap putusan inovasi, yaitu :

6. Tahap pengetahuan, tahap ini di mana seseorang sadar, tahu, bahwa ada sesuatu inovasi.

7. Tahap bujukan, tahap ketika seseorang sedang mempertimbangkan, atau sedang membentuk sikap terhadap inovasi yang telah diketahuinya tadi,apakah ia menyukainya atau tidak.

8. Tahap putusan, tahap di mana seseorang membuat putusan apakah menerima atau menolak inovasi yang dimaksud.

9. Tahap implementasi, tahap seseorang melaksanakan keputusan yang telah dibuatnya menganai suatu inovasi.

10.Tahap pemastian, tahap seeorang memastikan atau mengkomfirmasikan putusan yang telah diambilnya (Nasution, 2004 : 127).

II.7. Komunikasi Persuasi

II.7.1. Pengertian Komunikasi Persuasi

Persuasi merupakan bagian dari kehidupan kita setiap hari, maka usaha memahami dan menguasai persuasi baik teoritis maupun praktis agaknya merupakan kebutuhan yang tidak bisa ditunda. Defenisi persuasi menurut :

Persuasi adalah proses komunikasi yang kompleks ketika individu atau kelompok mengungkapkan pesan (sengaja atau tidak sengaja) melalui cara verbal dan nonverbal untuk memeperoleh respons tertentu dari individu atau kelompok lain. 2. Winston Bremberk dan William Howell

Mendefenisiskan persussi sebagai usaha sadar untuk mengubah pikiran dan tindakan dengan memanipulasikan motif-motif orang ke arah tujuan yang sudah ditetapkan.

II.7.2. Teori-teori Persuasi

1. Teori Belajar Persuasi

Persuasi bila dipandang sebuah cara belajar. Seperti tikus dalam sebuah laboratorium yang bisa belajar mendekati sebagian stimulus dan menampikan stimulus lainnya, maka manusia bisa belajar bahwa kaum Nasionalis Cina adalah “baik”. Sementara kaum Komunis Cina “busuk”. Dan seperti tikus bisa mengubah perilakunya sebagai akibat “pesan-pesan” para pembuat eksperimen, manusia pun bisa mengubah respon yang berkaitan dengan sikapnya terhadap dua orang cina berdasarkan komunikasi persuasif.

Teori-teori belajar persuasi sejajar dengan model S-R (Stimulus-Response)yang memandang manusia sebagai suatu entitas pasif dari model S-O-R (Stimulus-Organisme-Response) yang memandang belajar persuasif sebagai suatu gabungan produk pesan yang diterima individu yang bertindak berdasarkan pesan-pesan tersebut agar menghasilkan akibat-akibat persuasif (Irianta, 1994 : 14-15).

2. Teori Persepsi Persuasi

Bila teori S-R memusatkan pada input dan output eksternal, maka teori persepsi secara khusus mengkaji dunia pengamalan batin, cara suatu dunia memandang individu yang sedang menerima dunia tersebut. Sikap bukan sekadar respon perilaku seperti “gambaran di kepala kita” (picture in our heads), menilai kerangka pengalaman kita dengan predisposisi kita ke arah respon perilaku. Persuasi di pandang sebagai sebuah proses untuk menyususn kembali kategori-kategori perseptual berdasarkan isyarat-isyarat yang sudah terhimpun dari lingkungan dan nilai serta kebutuhan internalnya.

Jauh dari gambaran sugesti kewibawaan sebagai proses pelaziman yang berlangsung dengan sendirinya para ahli teori persepsi seperti Solomon Asch (1952), meyakini bahwa keterhubungan antara sumber kewibawaan dengan kedudukan mereka sebelumnya tidaklah bersifat persuasif, selain itu, mereka yang telah menyampaikan pesan memiliki pengaruh yang justru bersifat persuasif karena mereka menarik pendengar untuk merestrukturkan atau menysusn kembali persepsi mereka pada objek sikapnya (Irianta, 1994 : 17).

3. Teori Fungsional Persuasi

Ada sejumlah teori fungsional (Kelman, 1961; Smith, Bruner dan White, 1956). Tetapi kita akan memusatkan pada suatu teori yang sudah dikembangkan oleh Daniel Katz (1960). Katz menempatkan posisi untuk mendamaikan kontroversi “rasionalitas-irasional” yang terjadi antara para ahli teori belajar dan teoritis persepsi. Seperti seorang pendeta Yahudi yang dihadapkan kepada suami yang marah dan dalam waktu yang bersamaan memebenci isteri, ia berpendapat bahwa keduanya boleh jadi benar, tetapi masing-masing harus memiliki syarat-syarat tertentu. Menurut Katz, strategi persuasi yang baik tidak dapat dikembangkan sampai sesorang

mengetahui, apakah sikap tertentu yang dilakukan oleh seorang penerima pesan, membantu penyesuaian, pertahanan-ego, pengekspresian nilai, atau sebuah fungsi pengetahuan, misalnya, tidak akan dipersuasi oleh argumen yang menghubungkan adopsi dengan proposal yang sudah ada dengan imbauan bagi kepentingan dirinya (Irianta, 1994: 21-22).

4. Teori Keseimbangan Persuasi

Asumsi yang kita cari secara psikologis, konsisten dengan pandangan tentang dunia kita-pertama dinyatakan oleh para teoritis persepsi-berfungsi sebagai premis mayor untuk sejumlah teori “keseimbangan”, sebagian merujuk pada nama tersebut, yang lainnya mengacu dengan berbagai cara pada teori “kosistensi” atau teori “disonasi” (Irianta, 1994: 23).

II.7.3. Proses Persuasi

1. Hubungan Timbal Balik Antara Tujuan, Nilai, Dan Kebutuhan 1. Opini

2. Stuktur sikap kepercayaan

2. Menghubungkan Pesan Dengan Motivasi 1. Membuat hubungan

2. Hubungan atau kontingensi 3. Kategorisasi

4. Persamaan

5. Hubungan saling mendukung 6. Hubungan koisidental

BAB III

Dokumen terkait