• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perubahan Fisiologi yang terkait dengan Adaptasi melalu

Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan perubahan fisiologi antara genotipe toleran dan peka. Percobaan I menggambarkan adaptasi setelah cekaman terus-menerus sejak tanam. Percobaan II mengambarkan adaptasi dan penyembuhan seperti diungkapkan pada sub bab penelitian 2, yang pada penelitian ini fokusnya pada perubahan fisiologi. Waktu dan Tempat

Penelitian ini terdiri atas dua percobaan. Percobaan 1 dilaksanakan pada Nopember 2002 sampai Pebruari 2003. Percobaan II dilaksanakan pada Maret sampai Mei 2004 bersamaan dengan percobaan II pada penelitian 2. Kedua percobaan ini dilaksanakan di kebun percobaan Cikabayan. Untuk analisis komposisi N dilaksanakan di laboratorium PSPT- IPB, untuk analisis pati dan aktivitas enzim SPS di laboratorium Biokimia IPB, untuk analisis sukrosa di laboratorium Balai Pasca Panen Bogor, dan untuk aktivitas enzim rubisco di Badan Tenaga Atom (Batan) Jakarta.

Bahan dan Alat

Bahan tanaman yang digunakan pada percobaan I pada penelitian ketiga ini adalah dua dari delapan genotipe yang telah disebutkan, yaitu Ceneng (toleran) dan Godek (peka) yang menurut Sopandie et al (2002) merupakan genotipe yang konsisten masing-masing sebagai toleran dan peka. Bahan tanaman yang digunakan pada percobaan II pada penelitian 3 ini sama dengan pada percobaan II penelitian 2 yang telah disebutkan di atas, yaitu Ceneng (toleran), B613 (toleran), Pangrango (toleran), dan Godek (peka).

Bahan dan alat untuk percobaan lapang sama dengan yang telah disebut di atas. Untuk memperoleh hasil yang baik dan mempertahankan sampel tetap segar digunakan alat pendingin dan es serta nitrogen cair. Peralatan dan bahan kimia untuk analisis laboratorium diuraikan pada Lampiran 5. Sampel daun yang digunakan untuk analisis adalah daun trifoliat nomor 3-4 dari apex yang telah membuka sempurna. Sampel batang yang digunakan adalah ujung (apex) batang sepanjang 15 cm.

Metode

Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji adaptasi kedelai melalui mekanisme toleransi, yaitu berupa perubahan fisiologi. Perubahan fisiologi yang bisa menggambarkan mekanisme toleransi antara lain kandungan protein terlarut, kandungan glukosa dan pati daun, kandungan gula daun, kandungan karbohidrat batang, serta aktivitas enzim SPS dan enzim rubisco.

Penelitian 3 in imerupakan percobaan lapang, yang terdiri atas dua percobaan. Metode penelitian pada percobaan I pada penelitian 3 ini sama dengan pada percoban I penelitian 2, sedangkan metode percobaan II pada penelitian 3 ini sama dengan percoban II pada penelitian 2 yang telah dikemukan di depan.

Pada percobaan I penelitian 3 ini tanaman diberi cekaman intensitas cahaya rendah berupa naungan paranet 25%, 50%, dan 75% sejak tanam sampai panen. Pada percobaan II penelitian ini kedelai ditumbuhkan pada kondisi normal sampai umur 23 HST, kemudian diberi cekaman cahaya ekstrim dalam variasi pergiliran dengan cahaya normal masing- masing selama 3 hari.

Rancangan Percobaan

Percobaan I menggunakan rancangan petak terbagi. Sebagai petak utama adalah naungan yang terdiri atas kontrol dan naungan 50%. Anak petaknya terdiri atas dua genotipe yaitu dua genotipe Ceneng (toleran) dan Godek (peka). Rancangan percobaan pada percobaan II adalah rancangan acak lengkap (RAL) dengan dua faktor yaitu genotipe dan variasi pergiliran gelap terang seperti pada percobaan II penelitian 2.

Pelaksanaan

Secara umum pelaksanaan di lapang sama dengan penjelasan sebelumnya. Pada percobaan I sampel daun diambil pada umur 4 minggu. Sampel daunnya adalah daun trifoliat nomor 3 – 4 yang telah membuka sempurna. Sampel daun diambil pada jam 10.00 WIB pada saat cerah.

Analisis sukrosa daun menggunakan metode Harn et al. ( 1993) dan dilaksanakan di Balai Penelitian Pasca Panen Bogor. Kandungan sukrosa diukur dengan menggunakan HPLC, yang dibaca menggunakan refractive index detector. Analisis pati menggunakan metode Huber dan Israel (1982) di Laboratorium Biokimia IPB. Kandungan pati dinyatakan

sebagai glukosa dengan metode Fulin Wu. Analisis aktivitas enzim sukrosa fosfat sintetase (SPS) menggunakan metode yang digunakan Suwignyo et al. (1995) di Laboratorium Biokimia IPB. Aktivitas enzim SPS diukur dengan spektrofotometer pada λ = 520 nm. Prosedur analisis di atas diuraikan dalam Lampiran 5.

Prosedur analisis aktivitas rubisco menggunakan metode Holbrook et al, (1994) di Badan Tenaga N\klir (BATAN), Jakarta. Analisis kandungan N daun dilakukan di laboratorium PSPT Departemen Agronomi dan Hortikultura IPB. Analisis N menggunakan metode Nessler. Kandungan N terlarut, N protein terlarut, dan N tak larut ditentukan dengan metode Mae e t al., (1993). Semua prosedur analisis di atas diuraikan dalam Lampiran 5.

Pada percobaan II semua sampel diambil pada 32 HST sekitar jam 10.00 pagi saat cerah. Sampel daunnya adalah daun trifoliat keempat yang telah mekar sempurna. Sampel batang adalah ujung batang sepanjang 15 cm. Kandungan gula total dan pati daun serta kandungan karbohidrat total batang dianalis di laboratorium PSPT Departemen Agronomi dan Hortikultura IPB dengan menggunakan metode Anthrone (Apriyantono et al, 1990). Pengukuran kandungan gula menggunakan perbandingan pembacaan absorbansnya pada 630 nm yang dibandingkan dengan larutan standar.

Aktifitas rubisco dianalisis di BATAN Jakarta dengan menggunakan metode Holbrook et al. (1994). Aktivitas rubisco didasarkan pada 14C pada H2CO3 yang beraksi

membentuk 3-PGA, sedangkan 14C yang tidak bereaksi diuapkan ke udara sesuai Wilson (1987).

Analisis Data

Analisis data menggunakan program SAS. Analisis ragam dilakukan untuk menguji pengaruh faktor-faktor dan interaksinya. Data persentase dianalisis setelah ditransformasi (Steel dan Torrie, 1993). Perbandingan dilakukan untuk (1) lima perlakuan variasi pergiliran terang-gelap setiap genotipe, serta (2) persentase penurunan perubahan (penurunan) akibat perlakuan antar genotipe dengan DMRT bila ada beda nyata.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kondisi Umum

Percobaan lapang dilaksanakan di Cikabayan, Darmaga - Bogor yang terletak sekitar 250 m di atas permukaan laut. Intensitas radiasi harian pada dua masa percobaan hampir sama. Pada masa percobaan I-A atau MT-1 (Mei – Agustus 2002) intensitas radiasi matahari rata-rata harian di wilayah Bogor sekitar 225 – 310 kal cm-2 dengan rata-rata harian seluruhnya 257 kal cm-2, sedangkan pada masa percobaan I-B atau MT-2 (Nopember 2002 – Pebruari 2003) sekitar 217 - 290 kal cm-2, dengan rata-rata keseluruhan 262 kal cm-2 (Lampiran 10).

Kelembaban harian pada udara terbuka dan di bawah paranet hampir sama, yaitu 78, 77, 76, dan 77%, masing-masing untuk udara terbuka, naungan paranet 25, 50, dan 75% (Lampiran 6). Kelembaban dan suhu pada ruangan gelap berbeda cukup besar dengan udara terbuka. Pada jam 12.00 kelembaban pada udara terbuka, naungan 50% dan ruang gelap adalah 63, 66, dan 85%. Pada saat itu (jam 12.00) suhu udara terbuka, naungan 50%, dan ruang gelap masing-masing adalah 35, 34, dan 29o C (Lampiran 7).

Pengamatan di lapangan menunjukkan bahwa rata-rata naungan paranet 25%, 50%, dan 75% menyebabkan intensitas cahaya yang diterima di bawah paranet menjadi 64%, 46%, dan 21% (Lampiran 12) Ini berarti paranet 25%, 50%, dan 75% yang dimaksud dalam percobaan ini menyebabkan naungan aktual sebesar 36%, 54%, dan 79%. Dengan demikian intensitas tanpa naungan, di bawah naungan paranet 25%, 50%, dan 75% adalah masing-masing 0.854, 0.547, 0.393, dan 0.179 kal cm-2 mnt-1.

Rangkuman hasil analisis ragam ditunjukkan pada Lampiran 8 dan 10. Umumnya naungan berpengaruh nyata terhadap variabel yang diteliti, sedangkan genotipe berpengaruh pada beberapa variabel. Pengaruh interaksi antara genotipe dan intensitas cahaya tidak nyata kecuali pada variabel BSD dan kerapatan bulu daun pada percobaan II penelitian 2. Faktor yang berpengaruh nyata dianalisis lebih lanjut, yang hasilnya dipaparkan pada Lampiran 13 – 17.

Morfologi delapan genotipe yang diuji pada empat tingkat naungan diperlihatkan pada Lampiran 20 - 23. Tanaman yang dinaungi mengalami etiolasi (batang bertambah panjang, kurus dan lemah) terutama pada perlakuan naungan 75%. Pada naungan 75% terjadi

penurunan yang drastis pada bobot akar (menjadi 4-8% terhadap kontrol) dan bintil akar (menjadi 1-2% terhadap kontrol). Dari tabel pada Lampiran 20 - 24 bisa dilihat bahwa pada umumnya perlakuan naungan 25% tidak berpengaruh nyata terhadap karakter morfologi tanaman. Setelah tingkat naungan ditambah menjadi 50%, maka terjadi perubahan yang nyata. Hasil ini menunjukkan bahwa naungan 50% telah menimbulkan cekaman sehingga tanaman mengalami perubahan morfologi yang nyata dibanding kontrol. Naungan 75% menimbulkan perubahan morfologi, tetapi tidak menimbulkan keragaman antar genotipe. Jadi, naungan 50% sesuai untuk penyaringan ketenggangan dan penelitian adapatasi. Hal ini sesuai dengan Sopandie et al (2002).

Hama tanaman yang ditemui selama percobaan berlangsung adalah belalang (Locusta spp). Hama belalang menyerang terutama pada tanaman kontrol pada MT-1 (percobaan I- A) saat tanaman berumur sekitar 45 – 60 HST. Serangan pada tanaman yang diberi perlakuan naungan paranet lebih ringan dibanding tanaman kontrol karena adanya selubung paranet sehingga hama lebih sulit masuk. Hama bisa dikendalikan setelah penyemprotan dengan insektisida ditingkatkan menjadi 2 - 3 kali seminggu serta gulma di sekitar areal percobaan disiangi dengan cara dipotong dan dibuang. Pada percobaan I-B (MT-2) serangan hama tidak berarti karena areal percobaan bersih dari gulma dan penyemprotan insektisida Decis menjadi 2 - 3 kali seminggu.

Keadaan yang dikemukakan di atas menunjukkan bahwa faktor intensitas cahaya yang menjadi perlakuan berbaur/bercampur (confounded) dengan faktor biotik (hama) dan mikroklomat. Sebagai contoh, suhu udara di dalam naungan paranet lebih rendah di banding suhu pada areal kontrol walaupun tidak berbeda jauh.

Penelitian 1.

Respon Delapan Genotipe Kedelai terhadap Cekaman Intensitas Cahaya Rendah

Pengaruh faktor naungan dan genotipe terhadap produktivitas biji kedelai diperlihatkan pada Lampiran 13 dan 14. Produktivitas delapan genotipe kedelai dipaparkan pada Gambar 10 dan 11. Produktivitas kedelai pada penelitian ini bisa ditinjau dari dua aspek, yaitu aspek praktis dan aspek pengembangan ilmu. Dalam aspek praktis pembahasan difokuskan pada produksi aktual di lapang yang bisa diterapkan oleh petani dalam rangka

memperoleh keuntungan ekonomi. Dalam aspek pengembangan ilmu pembahasan difokuskan pada persentase penurunan produksi akibat naungan karena berhubungan dengan mekanisme adaptasi.

Dari grafik pada Gambar 10 dan 11 bisa dilihat bahwa Klungkung Hijau yang menurut Sopandie et al (2002) tergolong peka menghasilkan biji per tanaman tertinggi pada situasi normal tanpa naungan (kontrol), baik pada musim tanam 1 (MT-1) maupun musim tanam 2 (MT-2). Produktivitas tertinggi juga terdapat pada Klungkung Hijau pada perlakuan naungan 25% maupun 50% pada MT-1 maupun MT-2. Hasil ini menunjukkan bahwa Klungkung Hijau lebih unggul dalam menghasilkan biji dibanding genotipe yang lain dalam situasi cahaya yang manapun. Klungkung Hijau bahkan mengungguli varietas yang telah dilepas sebagai varietas unggul nasional, yaitu Pangrango (T=toleran) dan Wilis (T=toleran). Karena itu Klungkung Hijau bisa dipilih sebagai varietas yang dikembangkan di lahan yang berintensitas cahaya rendah.

Pengelompokan tanaman berdasarkan keunggulan produktivitas biji aktual adalah sebagai berikut. Pada MT-1, kelompok kedua yang unggul dalam produktivitas setelah Klungkung Hijau (P) adalah Godek (P), Ceneng (T), dan Pangrango (T) yaitu unggul pada kontrol, naungan 25% dan 50%. Pada MT-2, kelompok kedua yang unggul dalam produktivitas setelah Klungkung Hijau adalah Pangrango (T), yaitu unggul pada situasi normal, naungan 25%, dan 50%. Kelompok ketiga adalah Wilis (M), Tampomas (T), MLG2999 (P), dan Godek (P). Sedangkan kelompok keempat adalah Ceneng (T) dan B613 (T).

Secara umum naungan menyebabkan penurunan produktivitas semua genotipe kedelai yang diuji. Hal ini sesuai dengan kesimpulan umum Baharsyah et al (1985), Sunarlim (1985) pada varietas Williams dan Pella, serta Sopandie et al (2002) pada banyak varietas berbeda yang menunjukkan bahwa penurunan intensitas cahaya dapat menurunkan hasil biji kedelai. Semakin besar naungan penurunan semakin besar juga, sehingga pada naungan 75% penurunannya melebihi 90% dan antara semua genotipe kedelai berproduksi tidak berbeda nyata. Semua genotipe berada dalam satu kelompok produksi (Gambar 10 dan 11).

0 6 12 18 24 Kontrol 25% 50% 75% Produkltivitas biji (g/tnm)

Ceneng Klungkung Hijau B613

Wilis Tampomas Godek

Pangrango MLG299

Gambar 10. Produktivitas biji delapan genotipe kedelai pada empat tingkat naungan paranet pada musim tanam 1

Gambar 11. Produktivitas biji delapan genotipe kedelai pada empat tingkat naungan paranet pada musim tanam II

Hasil penelitian Sopandie et al (2002 juga menunjukkan bahwa Klungkung Hijau berproduksi tertinggi dibanding yang lain pada situasi normal. Dalam penelitian tersebut juga

0 4 8 12 16 Kontrol 25% 50% 75% Produktivitas biji (g/tnm)

Ceneng Klungkung Hijau B613

Wilis Tampomas Godek

ditunjukkan bahwa produktivitas Klungkung Hijau yang menurut Sopandie et al (2002) peka menurun drastis pada naungan 50%, namun secara aktual masih lebih tinggi dibanding Pangrango (toleran) dan B613 (toleran). Kesimpulan tersebut tidak bertentangan dengan penggolongan ketenggangan karena penentuan ketenggangan berdasarkan persentase hasil terhadap kontrol (Sopandie et al, 2002).

Pada MT-1 Wilis (T), Pangrango (T), MLG2999 (P) dan Tampomas (T) mengalami peningkatan produktivitas pada naungan 50%. Penyimpangan yang terjadi pada Wilis diduga karena benih pada MT-1 tidak seragam yang disebabkan oleh penurunan viabilitas. Selain itu, serangan hama belalang pada MT-1 membuat kerusakan pada tanaman kontrol, serta kerusakan pada tanaman lain secara tidak seragam. Karena itu data produktivitas pada MT- 1 tidak digunakan pada pembahasan lebih lanjut. Untuk pembahasan lebih lanjut data yang digunakan adalah data pada MT-2.

Data pada MT-2 menunjukkan bahwa pada naungan 25% dan 50% produktivitas tinggi ada pada Klungkung Hijau (peka) dan Pangrango (toleran). Naungan 50% menyebabkan penurunan produktivitas secara nyata (Tabel 2) pada genotipe B613 (toleran) dan Godek (peka), tetapi tidak nyata pada MLG 2999 (peka), Klungkung Hijau (peka), Wilis (moderat), Pangrango (toleran), Tampomas (toleran), dan Ceneng (toleran). Hasil penelitian menunjukkan hasil yang sama dengan Sopandie et al (2002) dalam penggolongan Ceneng, Pangrango, dan Tampomas sebagai toleran dan Godek sebagai peka. Hasil ini berbeda dengan Sopandie et al (2002) dalam penggolongan Klungkung Hijau dan MLG 2999 yang tergolong peka ternyata toleran dalam penelitian ini serta B613 yang tergolong toleran ternyata peka dalam penelitian ini. Karena itu penggolongan Klungkung Hijau, MLG 2999, dan B613 belum stabil dan memerlukan pengujian lebih lanjut.

Tabel 2 menunjukkan bahwa persentase penurunan produktivitas berkisar antara 25 – 35%. Persentase penurunan terbesar terdapat pada Godek (peka), yaitu sebesar 36%, sedangkan terkecil terdapat pada Ceneng (toleran) dan Klungkung Hijau, yaitu 25%.

Hasil penelitian ini sama dengan Sopandie et al (2002) dan Handayani (2003) yang menyatakan bahwa Ceneng (T) mengalami penurunan terkecil (paling toleran), sedangkan Godek (P) mengalami penurunan terbesar atau paling peka. Namun hasil ini berbeda dalam besarnya persentaase penurunan pada genotipe toleran (Ceneng, B613, Pangrango, dan Tampomas). Dalam penelitian ini Ceneng (P) mengalami penurunan 25%, sedangkan

penelitian Sopandi et al (2002) kurang dari 5%. Perbedaan juga terdapat pada genotipe Klungkung Hijau (P) dan B613 (T). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa persentase penurunan produktivitas Klungkung Hijau (P) rendah dan tidak nyata atau bisa dinyatakan sebagai toleran, sedangkan B613 (T) mengalami persentase penurunan yang besar dan nyata sehingga bisa digolongkan sebagai genotipe peka.

Perilaku genotipe Ceneng yang mengalami persentase penurunan terendah dan Godek yang mengalami penurunan tertinggi setelah diberi perlakuan naungan juga sama dengan hasil Khumaida (2002). Perilaku MLG 2999 yang mengalami penurunan kecil juga sama dengan Khumaida (2002). Hasil ini berbeda dengan Khumaida (2002) dalam hal perilaku genotipe Wilis dan B613. Hasil penelitian Khumaida genotipe Wilis mengalami penurunan terbesar sehingga bisa dikatakan peka, sedangkan B613 penurunan sedang atau bisa digolongkan toleran. Karena itu disimpulkan bahwa Ceneng konsisten toleran dan Godek konsisten peka. Selanjutnya Ceneng dan Godek bisa mewakili kelompok toleran dan peka. Genotipe lain yang konsisten toleran adalah Pangrango dan Tampomas. Genotipe yang tidak stabil dan memerlukan pengujian lebih lanjut adalah Klungkung Hijau, MLG299, dan B613.

Tabel 2. Produktivitas biji delapan genotipe kedelai pada kontrol dan naungan 50% (g/tanaman)

Genotipe Kontrol Naungan 50% Persen penurunan terhadap kontrol 1. Ceneng (T) 10.57 7.92 25 2. B 613 (T) 10.36 7.37 * 29 3. Pangrango (T) 14.05 9.93 29 4. Tampomas (T) 12.03 8.73 27 5. Wilis (M) 11.26 8.08 28 6. Mlg 2999 (P) 11.31 8.13 28 7. Klungkung Hijau (P) 15.70 11.81 25 8. Godek (P) 11.90 7.67 * 36

Ket:. Tanda *) berarti berbeda nyata dengan kontrol pada uji t. Sebelum diolah secara statistik angka persentase ditranformasi ke dalam log

Secara singkat hasil penelitian 1 menunjukkan bahwa Ceneng (T) konsisten sebagai genotipe paling toleran, sedangkan Godek (P) paling peka. Selanjutnya, kedua genotipe tersebut bisa menjadi model untuk mewakili masing-masing sebagai kelompok genotipe toleran dan peka. Genotipe lain yang konsisten toleran adalh Pangrango dan Tampomas.

Meskipun Klungkung Hijau dan Ceneng sama-sama toleran intensitas cahaya rendah, namun secara aktual produktivitas. Klungkung Hijau lebih baik. Produktivitas Klungkung Hijau yang tinggi tetap terjadi pada situasi normal maupun ternaungi 25% dan 50%. Pada situasi normal Klungkung menghasilkan biji 15.7 g per tanaman, sedangkan produktivitas biji Ceneng 10.6 g per tanaman.

Dokumen terkait