• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perubahan Struktur Daun untuk Mekanisme Penghindaran

Mekanisme penghindaran merupakan respon tanaman terhadap cekaman intensitas cahaya rendah dengan meningkatkan penangkapan cahaya sehingga jaringan tanaman terhindar dari defisit cahaya. Mekanisme penghindaran bisa dicapai tanaman melalui perubahan anatomi dan morfologi daun serta aparatus fotosintesis yang berfungsi menangkap cahaya (Levitt, 1980).

Respon terhadap Cekaman Naungan Sejak Tanam sampai Panen

Respon tanaman terhadap naungan 25%, 50%, dan 75% diperlihatkan pada Lampiran 13 – 15. Berhubung menunjukkan pengaruh yang nyata interaksi antara naungan dan genotipe ditunjukkan lebih lanjut pada Lampiran 18 dan 20. Khusus untuk respon terhadap naungan 50% melalui perubahan ketebalan daun, luas helai daun, bobot spesifik daun, kerapatan bulu, kerapatan stomata, dan kandungan klorofil dibahas lebih lanjut dan dipaparkan pada Tabel 3 - 5.

Genotipe yang paling banyak mengalami perubahan nyata sebagai respon terhadap naungan 50% adalah Tampomas (toleran), yaitu tiga perubahan nyata. B613 (toleran) dan Godek (peka) mengalami satu perubahan nyata.

Tebal dan Luas Helai daun

Tabel 3 memperlihatkan pengaruh naungan 50% terhadap tebal dan luas helai daun trifoliat. Persentase pengurangan ketebalan daun pada genotipe toleran umumnya secara nyata lebih besar daripada kelompok peka. Semua genotipe mengalami penurunan

ketebalan daun. Namun penurunan yang nyata hanya terjadi pada Ceneng (toleran), B613 (toleran), Wilis (moderat), Tampomas (toleran), dan Godek (peka). Dari tabel bisa dilihat bahwa pada naungan 50% semua genotipe mempunyai ketebalan daun antara 0.06 – 0.08 mm, sementara itu pada kondisi normal antara 0.10 – 0.15 mm. Umumnya, genotipe yang mengalami persentase penurunan ketebalan daun terbesar memiliki tebal daun yang besar pada situasi normal. Penurunan ketebalan pada Ceneng juga lebih besar dibanding Godek. Penurunan itu disebabkan oleh penipisan lapisan palisade daun sebagaimana terlihat pada Gambar 12.

Tabel 3. Pengaruh naungan 50% terhadap ketebalan dan luas helai daun kedelai Tebal daun (mm) Luas daun (cm2) Genotipe Kontrol Naungan 50% Kontrol Naungan 50%

1. Ceneng (T) 0.163 0.070 * 116 147 (57) a (-26) ab 2. B 613 (T) 0.143 0.063 * 131 132 (56) a (0) a 3. Pangrango (T) 0.107 0.063 90 138 * (41) ab (-54) c 4. Tampomas (T) 0.117 0.063 * 91 138 * (46) ab (-52) c 5. Wilis (M) 0.147 0.067 * 115 134 (55) a (-17) ab 6. Mlg 2999 (P) 0.097 0.067 75 100 (25) b (-33) bc 7. Klungkung 0.123 0.077 143 151 Hijau (P) (38) ab (-6) ab 8. Godek (P) 0.093 0.070 * 99 111 (25) b (-13) ab

Ket: Tanda *) berarti berbeda nyata dengan kontrol pada uji t 5%. Angka dalam kurung menunjukkan persentase penurunan terhadap kontrol. Huruf yang sama dalam kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada uji DMRT 5%. Sebelum diolah secara statistik angka persentase ditranformasi ke dalam arcsin y untuk kedua variabel

Data pada Tabel 3 memperlihatkan bahwa perlakuan naungan 50% menyebabkan peningkatan luas daun kedelai kecuali pada B613 (toleran). Peningkatan luas helai daun

antara dua genotipe yang memiliki selang perbedaan besar yaitu Ceneng (T) dan Godek (P) tidak berbeda nyata. Hasil ini berbeda dengan hasil penelitian Sopandie et al (2005) yang menunjukkan bahwa persentase peningkatan luas daun pada genotipe Pangrango (toleran) dan Ceneng (toleran) lebih besar dibanding dengan Godek (peka). Karena itu disimpulkan perluasan helai daun tidak konsisten sebagai kriteria yang menentukan bagi mekanisme adaptasi melalui penghindaran.

Bobot Spesifik, Kerapatan Bulu dan Stomata Daun

Pengaruh naungan 50% terhadap bobot spesifik daun (BSD), kerapatan bulu, dan kerapatan stomata disajikan pada Tabel 4. Umumnya kedelai mengalami penurunan BSD bila dinaungi. Dalam penelitian ini penyimpangan terjadi pada B613 (toleran) dan Tampomas (toleran), yaitu tidak mengalami penurunan BSD, tetapi malah meningkat. Hasil penelitian umumnya menunjukkan penurunan BSD pada tanaman yang dinaungi sebagaimana disimpulkan oleh Givnish et al (1988). Hasil penelitian pada manggis (Wiebel et al, 1994), Amborella trichopoda (Field et al, 2001) dan Barringtonia (Feng et al, 2004) menunjukkan bahwa naungan menyebabkan penurunan BSD.

Hasil penelitian ini hampir sama dengan hasil penelitian Sunarlim (1988) yang menunjukkan naungan tidak berpengaruh nyata terhadap BSD. Hampir semua (kecuali MLG299 dari genotipe yang diuji pada penelitian ini juga menunjukkan BSD tidak berbeda nyata antara yang dinaungi 50% dan kontrol. Diduga saat diamati kandungan karbohidrat bisa menambah bobot (dibahas lebih lanjut pada sub bab Pembahasan Umum). Penelitian ini menunjukkan bahwa persentase penurunan BSD pada Ceneng lebih tinggi daripada Godek.

Penurunan ini berarti untuk masa daun yang sama (tetap) luas daunnya bertambah. Luas daun bertambah menunjukkan upaya tanaman memperluas permukaan areal penerimaan cahaya sehingga tanaman bisa memanfaatkan cahaya yang langka. Berhubung data menunjukkan bahwa genotipe peka cenderung mengalami persentase penurunan BSD lebih besar daripada peka (kecuali antara Ceneng dan Godek), maka variabel BSD bukanlah faktor yang menentukan dalam mekanisme penghindaran. Namun, ada kemungkinan juga kandungan karbohidrat dalam daun ikut berperan menambah bobot daun, sehingga terjadi penyimpangan. Pengambilan sampel mungkin lebih baik pada pagi hari sebelum daun kedelai memiliki laju fotosintesis tinggi.

Tabel 4. Pengaruh naungan 50% terhadap bobot spesifik daun, kerapatan bulu, dan kerapatan stomata

Bobot spesifik daun Kerapatan bulu Kerapatan stomata Genotipe

Kontrol Naungan Kontrol Naungan Kontrol Naungan --- g/dm2 --- ---- per 10 mm2 --- - --- per mm2 ---- - 1. Ceneng (T) 0.337 0.230 13 7 * 277 244 (32) a (49) a (12) c 2. B 613 (T) 0.227 0.250 19 17 313 263 (-9) b (10) a (16) bc 3. Pangrango (T) 0.187 0.177 13 15 270 238 (5) b (-10) b (12) c 4. Tampomas (T) 0.197 0.263 26 13 * 288 228 (-34) c (51) a (21) abc 5. Wilis (M) 0.283 0.187 17 11 * 310 214 (34) a (37) a (31) ab 6. Mlg 2999 (P) 0.213 0.130 * 12 7 * 306 250 (39) a (41) a (18) abc 7. Klungkung (P) 0.283 0.187 12 12 339 219 * (34) a (3) ab (35) a 8. Godek (P) 0.200 0.203 17 15 284 263 * (0) b (10) a (8) c

Ket: Tanda *) berarti berbeda nyata dengan kontrol pada uji t 5%. Angka dalam kurung menunjukkan persentase penurunan terhadap kontrol. Huruf yang sama dalam kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada uji DMRT 5%. Sebelum diolah secara statistik angka persentase ditranformasi ke dalam arcsin y, log y, dan Arcsin y untuk variabel BSD, kerapatan bulu, dan kerapatan stomata

Pada penelitian ini sampel daun diambil pada jam 10.00. Pada jam 09.30 intensitas cahaya di bawah paranet 50% adalah 0.393 kal cm-2 mnt-1 (Tabel 20), sedangkan intensitas cahaya yang memberi fotosintesis optimum berkisar antara 0.3 – 0.8 kal cm-2 mnt-1 (White dan Izquierdo, 1993).

Penelitian Sunarlim (1985) menunjukkan bahwa naungan tidak menyebabkan perubahan pada BSD. Jadi. respon tanaman terhadap naungan dalam bentuk perubahan BSD bervariasi. Antara Ceneng (toleran) dan Godek (peka) terjadi perbedaan persentase

penurunan bobot spesifik yang nyata. Namun keduanya tidak mengalami perubahan BSD yang nyata pada naungan 50%.

Cahaya normal Naungan 50%

Cahaya normal Naungan 50%

Gambar 12. Penampang melintang daun kedelai genotipe Ceneng (toleran) dan Godek (peka) pada kontrol dan naungan paranet 50% (400 X)

bar =0.05 mm

Ceneng Ceneng

Kerapatan bulu daun cenderung menurun pada perlakuan naungan 50% (Tabel 4). Penyimpangan terjadi pada Pangrango. Pada Pangrango kerapatan bulu daun malah meningkat sebesar 10%. Dari kelompok toleran, yang mengalami penurunan kerapatan bulu daun secara nyata adalah Ceneng dan Tampomas, sedangkan dari kelompok peka adalah MLG2999. Persentase penurunan kerapatan bulu pada Ceneng (toleran) lebih besar dibanding dengan Godek (peka), tetapi tidak berbeda nyata secara statistik.

Hasil ini berbeda dengan Sopandie et al (2005) yang menunjukkan bahwa persentase penurunan kerapatan bulu saat 6 – 8 MST lebih tinggi pada Godek dibanding Ceneng dan Pangrango. Yang menarik pada hasil penelitian Sopandie et al (2005) adalah pada pengamatan saat 4 - 6 MST kerapatan bulu pada kedelai yang dinaungi meningkat. Jadi kemungkinan terjadi variasi pada kerapatan bulu cukup besar, sebagaimana diketahui bahwa pada penelitian ini sampel daun diambil saat kedelai berumur 30 HST atau sekitar 4 MST.

Tanaman yang ternaungi memiliki kerapatan bulu daun lebih sedikit. Bulu pada daun bisa memantulkan cahaya kembali ke atmosfer. Karena itu penurunan kerapatan bulu daun bisa mengurangi cahaya yang dipantulkan atau penyerapan cahaya oleh daun meningkat (Hale dan Orcutt, 1987; Bolhar-Nordenlampf dan Draxler, 1993). Jadi, penurunan bulu daun merupakan adaptasi tanaman melalui penghindaran kekurangan cahaya (Levitt, 1981).

Dalam penelitian ini tidak terdapat perbedaan yang nyata antara kelompok genotipe toleran dan kelompok peka. Hal ini berarti bahwa kerapatan bulu kurang penting dalam menentukan mekanisme penghindaran. Diduga cahaya yang dipantulkan kembali oleh bulu daun bisa ditangkap oleh helai daun lain pada tanaman yang sama.

Semua genotipe mengalami penurunan kerapatan stomata bila dinaungi paranet 50% sejak tanam. Namun, penurunan yang nyata hanya terjadi pada Klungkung Hijau (peka). Penurunan terbesar terjadi pada Klungkung Hijau (peka) yang berbeda nyata dengan Ceneng (toleran), Pangrango (toleran), dan Godek (peka). Hasil ini hampir sama dengan Sopandie et al, (2002) yang menunjukkan bahwa genotipe peka mengalami penurunan stomata lebih besar dibanding genotipe toleran. Perbedaannya adalah bahwa pada penelitian disertasi ini penurunan stomata tidak berbeda nyata antara Ceneng (toleran) dan Godek (peka).

Stomata merupakan lubang pintu pada daun untuk pertukaran gas antara atmosfer dan bagian dalam daun (Gardner et al, 1990). Kerapatan stomata pada hasil penelitian ini mendekati sama dengan kesimpulan Lersten dan Carlson (1987) yang menyatakan bahwa kerapatan stomata kedelai daun bagian bawah rata-rata 316 per mm2. Selanjutnya, hasil yang menunjukkan bahwa kerapatan stomata berkurang bila kedelai ditempatkan pada tempat lebih gelap sesuai dengan Lersten dan Carlson (1987)

Stomata berhubungan dengan pertukaran gas CO2 yang menjadi bahan baku

fotosintesis daun. Semakin banyak dan lebar pembukaan stomata semakin tinggi daya hantar sehingga pertukaran CO2 semakin tinggi (Taiz dan Zeiger, 1991). Dalam lingkungan defisit cahaya laju pertukaran gas bukanlah faktor pembatas. Kerapatan stomata tidak berhubungan langsung dengan penangkapan cahaya. Karena itu penurunan kerapatan stomata bukanlah termasuk mekanisme penghindaran walaupun bisa menentukan tingkat laju fotosintesis..

Kandungan Klorofil Daun

Kandungan klorofil daun dipaparkan pada Tabel 5. Semua genotipe mengalami peningkatan kandungan klorofil a dan klorofil b. Namun peningkatannya tidak nyata.

Persentase peningkatan klorofil a antar genotipe sama. Untuk kandungan klorofil b, ternyata B613 (T) yang peningkatannya terhadap kontrol tidak nyata, persen peningkatan kandungan klorofil b lebih besar daripada Godek (P). Karena itu diduga peningkatan kloriofil b ini yang menentukan adaptasi B613 sehingga toleran terhadap naungan.

Persentase peningkatan klorofil b yang lebih tinggi dibanding persentase kenaikan klorofil a menyebabkan rasio klorofil a terhadap klorofil b (klorofil a/b) daun semakin kecil pada tanaman yang diberi naungan. Semua genotipe mengalami penurunan rasio klorofil a/b. Hanya MLG2999 (peka) yang tidak mengalami penurunan. Pesentase penurunan terbesar terdapat pada Klungkung (peka). Rata-rata persentase penurunan rasio klorofil a/b tidak berbeda nyata antara kelompok toleran dan peka.

Secara umum hasil penelitian ini tidak bertentangan dengan kesimpulan Givnish et al 1988) dan hasil penelitian pada manggis (Wiebal et al, 1994), kapas (Zhao dan Oosterhuis, 1998), padi (Lautt, 2000) dan kedelai (Sopandie et al, 2002) yang menunjukkankan bahwa naungan meningkatkan kandungan klorofil a dan klorofil b.

Tabel 5. Pengaruh naungan terhadap kandungan klorofil daun delapan genotipe kedelai

Klorofil a (mg/g) Klorofil b (mg/g) Rasio klorofil a/b Genotipe

Kontrol Naungan Kontrol Naungan Kontrol Naungan

1. Ceneng (T) 1.43 2.05 0.56 0.86 2.43 2.28 (43) (53) ab (-6) ab 2. B 613 (T) 1.25 1.96 0.49 0.82 2.47 2.31 (57) (67) a (-6) ab 3. Pangrango (T) 1.24 1.69 0.46 0.69 2.43 2.33 (45) (51) ab (-4) ab 4. Tampomas (T) 1.27 1.73 0.51 0.72 2.36 2.30 (36) (42) ab (-3) ab 5. Wilis (M) 1.28 1.49 0.51 0.62 2.45 2.34 (17) (22) b (-4) ab 6 Mlg 2999 (T 1.24 1.94 0.53 0.76 2.35 2.42 (56) (44) ab (3) b 7 Klungkung 1.11 1.83 0.43 0.79 2.63 2.25 Hijau (P) (64) (83) a (-15) a 8 Godek (P) 1.22 1.66 0.51 0.69 2.32 2.38 (36) (35) b (2) ab

Ket: Tanda *) berarti berbeda nyata dengan kontrol pada uji t 5%. Angka dalam kurung menunjukkan persentase peningkatan terhadap kontrol. Huruf yang sama dalam kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada uji DMRT 5%. Sebelum diolah secara statistik angka persentase ditranformasi ke dalam log y, log y, dan arcsin y untuk variabel klorofil a, klorofil b, dan rasio klorofil a/b

Penurunan rasio klorofil a/b terjadi juga pada tanaman lain seperti tanaman tahunan berbentuk pohon talas (Johnston dan Onwueme, 1998), kapas (Zhao dan Oosterhuis, 1998) dan Arabidopsis (Weston et al, 2000). Penurunan rasio klorofil a/b dimaksudkan untuk meningkatkan efisiensi penangkapan cahaya bagi tanaman secara keseluruhan. Klorofil b lebih efisien dalam menangkap cahaya dibanding dengan klorofil a sehingga respon tanaman lebih diarahkan untuk meningkatkan klorofil b (Hidema et al, 1992 dan Taiz dan Zeiger, 1991).

Secara rata-rata persentase peningkatan klorofil a dan b tidak berbeda nyata antara kelompok genotipe toleran dan kelompok peka. Namun begitu, Godek (P) terbukti

mengalami persentase peningkatan lebih rendah dibanding yang lain. Karena itu peningkatan kandungan klorofil merupakan ciri bagi mekanisme penghindaran yang akan tampak berbeda bila dibandingkan antara genotipe yang ketenggangannya ekstrim.

Pengaruh cahaya terhadap pembentukan klorofil meliputi dua proses (Gambar 4 pada Bab Tinjauan Pustaka) yaitu pada pengekspresian gen cab dan pada perubahan protoklorofilida (Pchl) menjadi klorofil (Mohr dan Schopfer, 1995). Selanjutnya, klorofil b bisa terbentuk dari bahan klorofil a (Gambar 5). Hambatan pembentukan gen cab bisa disebabkan oleh tingkat kandungan karbohidrat yang tinggi (Madore, 1997).

Hal ini bisa menjelaskan fenomena rendahnya kandungan klorofil pada intensitas cahaya tinggi. Pada intensitas cahaya tinggi laju fotosintesis bisa mencapai maksimum dan menghasilkan banyak karbohidrat. Karbohidrat tinggi ini selanjutnya diduga menghambat pembentukan gen cab sehingga pembentukan klorofil berkurang. Sebaliknya, pada intensitas cahaya rendah pembentukan gen cab sedikit dihambat oleh karbohidrat sehingga pembentukan klorofil juga berlangsung lebih tinggi daripada pada intensitas cahaya tinggi.

Secara statistik rasio kandungan klorofil a/b delapan genotipe pada kondisi kontrol tidak berbeda nyata. Perlakuan naungan 50% tidak mengubah rasio kandungan klorofil a terhadap b. Kecuali Godek (P) dan MLG2999 (P) semua genotipe cenderung mengalami penurunan rasio klorofil a/b setelah dinaungi 50%. Secara rata-rata persentase perubahan (penurunan) rasio kandungan klorofil a/b antara kelompok toleran dan peka tidak berbeda nyata. Persentase penurunan terbesar terdapat pada Klungkung Hijau (P), sementara terendah pada MLG2999 (P) dan Godek (P). Di sini terlihat bahwa genotipe toleran efektif menangkap cahaya pada kondisi langka cahaya dengan mempertinggi proporsi perubahan pada klorofil b. Data ini juga menunjukkan bahwa Klungkung Hijau berperilaku seperti pada genotipe toleran. Hasil ini berbeda dengan penelitian Sopandie et al (2002) dan Sopandie et al (2005) yang menunjukkan bahwa rasio klorofil a/b mengalami penurunan lebih besar pada genotipe peka dibanding toleran. Jadi, tampaknya yang menentukan mekanisme penghindaran adalah kandungan klorofil a dan b aktual. Dalam hal ini, baik hasil penelitian ini maupun penelitian Sopandie et al (2002) menunjukkan bahwa secara umum genotipe toleran mengalami persentase peningkatan kandungan klorofil a dan b lebih tinggi dibanding genotipe peka, terutama bila perbandingannya antara Ceneng (konsisten toleran) dan Godek (konsisten peka).

Meskipun tidak selalu nyata, semua genotipe baik dari kelompok toleran maupun peka mengalami perubahan karakter daun menuju yang lebih sesuai untuk intensitas cahaya rendah. Secara rata-rata kelompok genotipe toleran menunjukkan perubahan yang lebih besar secara nyata pada variabel tebal daun. Sementara itu pada variabel BSD, luas daun, kerapatan bulu daun, klorofil a dan klorofil b, terjadi variasi pada genotipe toleran maupun peka. Untuk variabel yang tidak berkaitan langsung dengan mekanisme penghindaran, seperti stomata persentase penurunannya tidak berbeda nyata.

Masing-masing genotipe berbeda-beda dalam merespon intensitas cahaya rendah. Genotipe dari kelompok genotipe toleran tidak selalu mengalami perubahan yang nyata pada variabel karakteristik daunnya bila dinaungi 50%. Sebaliknya, kelompok genotipe pada kelompok peka ternyata bisa mengalami perubahan yang nyata, sementara genotipe pada kelompok toleran tidak nyata.

Genotipe toleran naungan tidak selalu mengalami perubahan karakter daun yang lebih besar dalam rangka mekanisme penghindaran yang lebih baik. Hanya variabel ketebalan daun yang menunjukkan persentase perubahan yang lebih besar dan nyata pada kelompok toleran. Karena itu, hanya ketebalan daun yang menunjukkan perubahan struktur daun yang penting bagi mekanisme penghindaran terhadap intensitas cahaya rendah.

Respon terhadap Perlakuan Variasi Pergiliran Gelap-Terang

Pengukuran ketebalan daun, luas helai daun, bobot spesifik, kerapatan bulu, dan kerapatan stomata dan kandungan klorofil pada kondisi kontrol berbeda antara percobaan I dan percobaan II. Ketebalan daun, luas helai daun, bobot spesifik, kerapatan bulu, kandungan klorofil daun tanaman pada percobaan II lebih tinggi daripada percobaan I. Hal ini karena tanaman pada percobaan II lebih subur daripada pada percobaan I.

Pengaruh perlakuan variasi pergiliran gelap terang terhadap ketebalan daun, luas daun, bobot spesifik, bulu daun, dan stomata ditunjukkan pada Tabel 6 – 10. Pada Tabel 6 dan Lampiran 16 terlihat bahwa perlakuan variasi pergiliran gelap – terang tidak selalu berpengaruh nyata terhadap ketebalan daun. Perbedaan persentase pengurangan ketebalan daun antar kelompok tidak nyata. Meskipun tidak selalu nyata, terdapat kecenderungan bahwa perlakuan gelap 3 hari dalam variasi pergiliran manapun dapat menyebabkan penurunan ketebalan daun.

Pada Perlakuan TGN persentase penurunan ketebalan tidak berbeda nyata antar genotipe. Pada perlakuan GTG persentase penurunan ketebalan pada Godek lebih tinggi daripada pada B613. Pada perlakuan TGT terjadi perbedaan persentase pengurangan ketebalan antara B613 dan Pangrango.

Tabel 6. Ketebalan daun kedelai pada lima perlakuan variasi pergiliran tiga hari gelap-terang saat 32 HST (mm) Genotipe TTT (Kontrol) TTG TGT GTG TGN 1. Ceneng (T) 0.20 0.16 0.20 0.15 0.13 (20) (0) ab (26) ab (38) 2. B613 (T) 0.18 0.14 0.15 0.17 0.16 (23) (17) a (4) b (19) 3. Pangrango (T) 0.17 0.18 0.19 0.13 0.15 (-4) (-12) b (28) ab (15) 4. Godek (P) 0.19 0.14 0.17 0.11 0.13 (23) (11) ab (41) a (29) Ket: Angka dalam kurung menunjukkan persentase penurunan terhadap kontrol. Huruf sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada uji DMRT 5%..Sebelum diolah secara statistik angka persentase ditranformasi ke dalam arcsin. T=toleran, P=Peka. TTG=Terang-Terang- Gelap, TGT=Terang- Gelap-Terang, GTG=Gelap-Terang-Gelap, TGN=Terang-Gelap-Naungan 50%. Sampling pada saat perlakuan urutan terakhir pada masing-masing variasi pergiliran

Ketebalan daun yang lebih kecil diduga karena pengembangan sel yang kurang. Sebagaimana diungkapkan oleh Taiz dan Zeiger (1991) pembesaran sel disebabkan oleh tekanan hidrostatis yang mengarah keluar setelah sejumlah air berdifusi ke dalam sel. Diduga air yang berdifusi pada perlakuan gelap lebih kecil karena karbohidrat yang kecil juga menarik air lebih sedikit.

Perlakuan gelap 3 hari dalam urutan pergiliran manapun tidak berpengaruh nyata terhadap luas daun, meskipun ada kecenderungan menurunkan luas daun (Tabel 7 dan Lampiran 9). Pada perlakuan GTG penurunan pada Godek lebih tinggi. Penjelasan pada ketebalan daun juga berlaku di sini, yaitu kandungan air yang sedikit menyebabkan tekanan hidrostatis yang lebih kecil sehingga sel tidak membesar pada perlakuan gelap.

Beberapa penyimpangan bisa dijelaskan sebagai berikut. Penelitian pada Arabidobsis (Weston et al, 2000) mengungkapkan bahwa pengaruh intensitas cahaya terhadap anatomi daun bisa terlihat bila perlakuan defisit cahaya terjadi selama 6 hari. Dalam penelitian ini, perlakuan gelap-terang bergiliran selama 3 hari. Jadi, dalam waktu 9 hari perlakuan terjadi respon yang berubah-rubah sehingga memungkinkan terjadi penyimpangan.

Tabel 7. Luas helai daun trifoliat pada lima perlakuan variasi pergiliran tiga hari gelap-terang saat 32 HST (cm2) Genotipe TTT (Kontrol) TTG TGT GTG TGN 1. Ceneng (T) 139 152 118 142 130 (-9) (15) (-2) b (7) 2. B613 (T) 139 119 128 137 121 (14) (8) (1) ab (13) 3. Pangrango (T) 102 123 116 91 106 (-21) (-14) (11) ab (-4) 4. Godek (P) 133 123 109 87 113 (8) (19) (35) a (16)

Ket: Angka dalam kurung menunjukkan persentase penurunan terhadap kontrol. Huruf sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada uji DMRT 5%..Sebelum diolah secara statistik angka persentase ditranformasi ke dalam arcsin. T=toleran, P=Peka. TTG=Terang-Terang- Gelap, TGT=Terang-Gelap- Terang, GTG=Gelap-Terang-Gelap, TGN=Terang-Gelap-Naungan 50%. Sampling pada saat perlakuan urutan terakhir pada masing-masing variasi pergiliran

Perlakuan gelap berpengaruh nyata terhadap bobot spesifik daun (Tabel 8 dan Lampiran 16). Respon kelompok genotipe toleran dan peka tidak berbeda nyata. Perlakuan gelap dalam variasi pergiliran manapun asal tidak diberi terang tiga hari di akhir menyebabkan penurunan bobot spesifik daun (bobot/luas). Penurunan yang nyata ini tidak hanya disebabkan oleh penipisan daun tetapi juga karena kehilangan massa dalam internal daun dan kandungan karbohidrat berkurang. Perlakuan cahaya tiga hari di urutan terakhir menyebabkan bobot spesifik daun seperti kontrol. Urutan gelap atau terang di urutan akhir menunjukkan bahwa faktor massa hasil fotosintesis (karbohidrat) diduga ikut menentukan bobot spesifik daun. Pembahasan lebih lanjut dikemukakan pada sub Bab Pembahasan Umum

Hasil ini menunjukkan bahwa sinyal lingkungan gelap mungkin telah ditangkap oleh tanaman. Namun saat itu perumbuhan jaringan tinggal ditentukan oleh pembesaran sel karena pembelahan sel telah selesai. Karena itu panjang sel palisade ditentukan oleh dinding sel yang sedang mengembang karena tekanan hidrostatis.

Tabel 8. Bobot spesifik daun kedelai pada lima perlakuan variasi pergiliran tiga hari gelap- terang saat 32 HST (g/dm2) Genotipe TTT (Kontrol) TTG TGT GTG TGN 1. Ceneng (T) 0.80 0.48 0.80 0.59 0.61 (40) a (0) (26) (24) 2. B613 (T) 0.90 0.70 0.74 0.74 0.72 (22) b (17) (18) (20) 3. Pangrango (T) 0.73 0.50 0.74 0.59 0.56 (32) ab (-2) (18) (22) 4. Godek (P) 0.68 0.50 0.72 0.50 0.61 (26) ab (-6) (26) (10)

Ket: Angka dalam kurung menunjukkan persentase penurunan terhadap kontrol.Huruf yang sama dalam kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada uji DMRT 5%. Sebelum diolah secara statistik angka persentase ditranformasi ke dalam arcsin. T=toleran, P=Peka. TTG=Terang-Terang- Gelap, TGT=Terang-Gelap-Terang, GTG=Gelap-Terang-Gelap, TGN=Terang-Gelap-Naungan 50%. Sampling pada saat perlakuan urutan terakhir pada masing-masing variasi pergiliran

Kerapatan bulu daun tidak dipengaruhi oleh perlakuan gelap 3 hari. (Tabel 9 dan Lampiran 9). Hal itu dibuktikan lagi bahwa persentase penurunan tidak berbeda nyata antar genotipe. Bulu daun termasuk sel epidermis daun (Taiz dan Zeiger, 1991). Jadi perbedaan kerapatan bulu daun adalah merupakan variasi antar jaringan epidermis daun.

Pengaruh perlakuan variasi pergiliran gelap-terang terhadap kerapatan stomata diperlihatkan pada (Tabel 10 dan Lampiran 9). Persentase penurunan karena perlakuan gelap juga tidak berbeda nyata antar genotipe, sehingga antar kelompok juga sama. Jadi, perbedaan kerapatan stomata hanya disebabkan oleh variasi dalam tanaman atau dalam genotipe yang sama.

Tabel 9. Kerapatan bulu daun kedelai pada lima perlakuan variasi pergiliran tiga hari gelap- terang saat 32 HST (bulu/ 10 mm2)

Genotipe TTT (Kontrol) TTG TGT GTG TGN 1. Ceneng (T) 22 16 9 16 8 (25) (58) (29) (63) 2. B613 (T) 26 31 26 26 30 (-19) (2) (-2) (-15) 3. Pangrango (T) 22 20 19 22 18 (12) (13) (0) (18) 4. Godek (P) 18 20 21 18 19 (-12) (-16) (-1) (-5)

Ket: Angka dalam kurung menunjukkan persentase penurunan terhadap kontrol.Sebelum diolah secara statistik angka persentase ditranformasi ke dalam log. T=toleran, P=Peka. TTG=Terang-Terang- Gelap, TGT=Terang-Gelap-Terang, GTG=Gelap-Terang-Gelap, TGN=Terang-Gelap-Naungan 50%. Sampling pada saat perlakuan urutan terakhir pada masing-masing variasi pergiliran

Perlakuan variasi pergiliran gelap terang berpengaruh terhadap kandungan klorofil a daun kedelai (Tabel 11 dan Lampiran 13). Respon kelompok toleran dan kelompok peka tidak berbeda nyata. Secara umum perlakuan gelap yang digilir dengan terang dalam variasi apapun menyebabkan penurunan kandungan klorofil a daun. Kerusakan terkecil terdapat pada B613 (toleran). Gelap dapat menyebabkan kerusakan pigmen sistem fotosintesis (Levitt, 1980), termasuk klorofil a. Penelitian Lautt (2003) juga menunjukkan bahwa klorofil mengalami penurunan pada perlakuan penggelapan.

Pada perlakuan gelap tiga hari sebanyak dua kali persentase penurunannya juga lebih besar dibanding gelap tiga hari yang hanya sekali. Penelitian Khumaida (2002) mengungkapkan bahwa pada kondisi gelap gen pembentuk LHC yang berisi klorofil tidak terbentuk. Klorofil bisa mengalami kerusakan yang menyebabkan kandungan klorofil berkurang, tetapi juga mengalami perbaikan yang menyebabkan peningkatan kandungan klorofil.

Perlakuan gelap juga menyebabkan kandungan klorofil b turun. Penurunan nyata terjadi pada Ceneng (T), Pangrango (T), dan Godek (P). Seperti klorofil a, klorofil b juga mengalami kerusakan pada lingkungan gelap. Persentase penurunan terkecil pada perlakuan gelap tiga hari dijumpai pada B613 yang berbeda nyata dengan Ceneng dan Pangrango. Persentase penurunan klorofil a dan klorofil b sama sehingga rasio klorofil a tetap. Seperti

pada klorofil a, perlakuan gelap dua kali menyebabkan kerusakan klorofil b lebih besar

Dokumen terkait