• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perubahan Fisologi sebagai Mekanisme Toleransi

Pada kontrol aktivitas rubisco Ceneng lebih rendah daripada Godek walaupun tidak nyata. Naungan 50% menyebabkan aktivitas rubisco Ceneng dan Godek turun. walaupun tidak nyata. Genotipe peka kekurangan cahaya (Godek) mengalami persentase penurunan lebih besar yaitu sebesar 76%, dibandingkan yang toleran (Ceneng) yaitu 32%. Persentase penurunan itu tidak nyata pada DMRT 5%. Namun pada DMRT 10% persentase penurunan pada Godek nyata. Perbedaan persentase penurunan antara Ceneng dan Godek tidak nyata. Fenomena ini bisa dibandingkan dengan naungan pada padi. Pada padi naungan menyebabkan aktivitas rubisco turun, namun penurunan lebih besar pada padi yang peka naungan (Sopandie et al, 2003a).

Pada kondisi tanpa naungan kandungan sukrosa daun Ceneng dan Godek masing- masing 150 ppm dan 185 ppm. Penurunan sebesar 1% pada Ceneng dan 30% pada Godek secara statistik tidak nyata. Penelitian pada padi menunjukkan bahwa perlakuan naungan menyebabkan kandungan sukrosa turun pada genotipe peka, tetapi meningkat pada genotipe yang toleran naungan (Lautt, 2000). Dalam penelitian ini persentase penurunan kandungan sukrosa antara Ceneng dan Godek tidak berbeda nyata.

Penurunan intensitas cahaya menyebabkan penurunan akumulasi pati (Weston et al, 2000). Pada penelitian ini penurunan kandungan pati akibat naungan 50% tidak nyata baik pada Ceneng (T), maupun pada Godek (P). Besarnya persentase penurunan hampir sama antara Ceneng dan Godek. Persentase penurunan kandungan pati pada Ceneng 28% dan pada Godek 32%, yang secara statistik tidak berbeda nyata. Perbedaan respon antara sukrosa dan pati menyebabkan rasio sukrosa dan pati berubah. Karena saat dinaungi persentase relatif kandungan sukrosa daun pada Ceneng lebih tinggi daripada Godek, sedangkan persentase relatif kandungan pati hampir sama maka peningkatan perimbangan sukrosa terhadap pati menjadi lebih tinggi pada Ceneng (T) daripada Godek (P) saat dinaungi.

Sukrosa dan pati merupakan produk akhir fotosintesis. Keduanya saling berkompetisi karena bahan baku keduanya sama, yaitu triosfosfat (Gambar 6). Pati terbentuk bila triosfosfat hasil fotosintesis tertahan di kloroplas baik karena kecepatan penangkapan CO2

yang sangat tinggi maupun hambatan transpor triosfosfat ke sitosol (Gardner et al, 1990). Penumpukan pati pada kloroplas dapat mengurangi laju fotosintesis (Shibels et al, 1987; White dan Izquierdo, 1993).

Pada tanaman yang ternaungi rasio kandungan sukrosa/pati merupakan variabel penting yang dapat menentukan ketenggangan terhadap naungan. Rasio sukrosa/pati yang tinggi dapat memperlancar hasil fotosintesis pada tanaman yang ternaungi. Genotipe toleran naungan memiliki rasio sukrosa/pati lebih tinggi pada perlakuan naungan dibanding yang peka (Murty dan Sahu, 1987). Penelitian Lautt (2003) pada padi menunjukkan tanaman yang toleran naungan bahkan memiliki kandungan sukrosa dua kali lipat lebih tinggi pada kondisi ternaungi daripada kontrol, sedangkan yang peka menjadi berkurang bila diberi perlakuan

Tabel 14. Pengaruh naungan terhadap aktivitas rubisco, sukrosa, pati, dan aktivitas SPS N a u n g a n

Kultivar

K o n t r o l N a u n g a n 5 0 % ……….Aktivitas rubisco (nmol CO2/g BB/mnt) ……….

Ceneng (T) 0.126 0.086 (32) Godek (P) 0.172 0.042 (76) ……….Sukrosa (ppm) ………. Ceneng (T) 150 149 (1) Godek (P) 185 129 (30) ……….Pati (mg/g) ………. Ceneng (T) 3.63 2.62 (28) Godek (P) 2.60 1.78 (32)

……….Aktivitas SPS (µmol sukrosa) ……….

Ceneng (T) 260 284 (-9)

Godek (P) 366 290 (21)

Ket: Angka dalam kurung menunjukkan persentase penurunan terhadap kontrol. Sebelum diolah secara statistik angka persentase ditranformasi ke dalam log. T= toleran, P = peka naungan

Pada penelitian ini aktivitas SPS tanaman kontrol tidak berbeda nyata antara Ceneng dan Godek. Pada tanaman yang dinaungi paranet 50% aktivitas SPS-nya tidak mengalami perubahan nyata, walaupun cenderung naik pada Ceneng dan turun pada Godek. Besarnya persentase perubahan aktivitas SPS tidak berbeda nyata antara Ceneng dan Godek.

Aktivitas SPS dipicu oleh oleh cahaya (Vivekanandan, 1997). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa faktor genetik dan lingkungan berperan dalam menentukan aktivitas enzim SPS. Tanaman memiliki mekanisme yang menyebabkan hasil fotosintesis dengan rasio sukrosa/pati meningkat pada saat dinaungi. Karena sukrosa disintesis di sitosol (Gambar 6). maka ada mekanisme yang bisa mempertahankan/ meningkatkan transpor trios-P dari kloroplas ke sitosol.

Sintesis sukrosa saling bersaing dengan sintesa pati. Pada kondisi rasio Pi/PGA tinggi maka hasil akhir fotosintesis condong ke sukrosa (Taiz dan Zeiger, 1991). Konsentrasi Pi di sitosol bisa tinggi kalau rangkaian reaksi yang menghasilkan sukrosa tetap tinggi. Salah

satunya adalah reaksi yang dikatalisis oleh enzim SPS. Enzim SPS mengkatalisis reaksi UDP-glukosa + Fruktosa-6-fosfat menjadi UDP + sukrosa-6 Fosfat. Sukrosa-6 Fosfat selanjutnya menjadi sukrosa dan Pi (Taiz dan Zeiger, 1991).

Aktivitas enzim SPS yang meningkat pada perlakuan naungan menyebabkan pada kondisi ternaungi rasio sukrosa terhadap pati meningkat. Lautt (2000) juga melaporkan hasil yang sama pada padi. Perimbangan sukrosa/pati menjadi penciri toleransi terhadap naungan. Genotipe yang toleran naungan mempertahankan perimbangan sukrosa/pati tinggi untuk memperlancar transpor hasil fotosintat keluar dari kloroplas ke jaringan penyimpan.

Kenaikan rasio sukrosa/pati pada daun kedelai Ceneng tidak setinggi kenaikan sukrosa dan rasio sukrosa/pati pada padi toleran naungan. Kelompok padi yang toleran mengalami peningkatan aktivitas SPS sekitar dua kali lipat, sementara yang peka mengalami penurunan sekitar 50% (Lautt, 2000). Perimbangan sukrosa/pati menentukan laju fotosintesis karena kandungan pati yang tinggi bisa menghambat laju fotosintesis (Shibels et al, 1987; White dan Izquierdo, 1993)

Tabel 15. menunjukkan pengaruh naungan terhadap kandungan N. Kandungan N total daun pada Ceneng yang tidak dinaungi secara statistik tidak berbeda nyata dengan pada Godek. Naungan menyebabkan kandungan N total daun pada Ceneng dan Godek menurun walaupun tidak nyata. Besarnya persentase penurunan pada kedua genotip tersebut secara statistik tidak berbeda nyata. Hasil ini sesuai dengan Sunarlim (1985) dan Sakamoto dan Shaw (1967) yang menunjukkan bahwa naungan tidak menyebabkan perubahan kandungan N daun.

Murty dan Sahu (1987) menunjukkan bahwa pada padi yang dinaungi kandungan N terlarut meningkat. Namun pada penelitian ini N terlarut pada tanaman yang dinaungi menurun walaupun tidak nyata. Dibandingkan dengan Ceneng (T) persentase penurunan N terlarut pada Godek (P) lebih tinggi walaupun secara statistik tidak nyata.

Tabel 15. Pengaruh naungan terhadap kandungan N daun

N a u n g a n Genotipe

K o n t r o l N a u n g a n 5 0 % . . . N total (mg/g daun segar) . . .

Ceneng (T) 48.42 35.76* (26 )

Godek (P) 40.02 38.70 (3)

. . . N terlarut (mg/g daun segar) . . .

Ceneng (T) 18.28 7.75* (58 )

Godek (P) 9.33 7.74 (17)

.. . . N protein terlarut (mg/g daun segar) . . . . .. . .

Ceneng (T) 1.39 1.38 (0)

Godek (P) 2.85 2.09 (27)

. . . N tak larut (mg/g daun segar) . . .

Ceneng (T) 30.14 28.01 (7)

Godek (P) 30.68 30.97 (-1)

. . . N terlarut yang bukan protein (mg/g daun segar) . . .

Ceneng (T) 16.89 a 6.37* (62)

Godek (P) 6.48 b 5.64 (13)

Ket: Angka dalam kurung menunjukkan persentase penurunan terhadap kontrol. *) artinya berbeda nyata pada uji t 5%. Sebelum diolah secara statistik angka persentase ditranformasi ke dalam arcsin.. T= toleran. P = peka naungan

N protein terlarut pada cahaya normal secara statistik tidak berbeda nyata antara Ceneng dan Godek. Meskipun secara statistik tidak nyata kandungan N protein terlarut juga mengalami penurunan dalam perlakuan naungan. Naungan menyebabkan proses pembentukan protein terganggu karena kekurangan energi dalam proses pembentukan protein dan ketersedian unsur C yang merupakan hasil fotosintesis (Gardner et al, 1990). Menurut Taiz dan Zeiger (1991) tanaman yang ditumbuhkan pada lingkungan berintensitas cahaya rendah memiliki N protein daun lebih rendah daripada yang ditumbuhkan pada lingkungan cahaya normal. Dalam penelitian ini besarnya persentase penurunan pada Ceneng dan Godek secara statistik tidak berbeda nyata.

Dalam penelitian ini tanaman yang dinaungi memiliki persentase N terlarut bukan protein lebih rendah dibanding kontrolnya. Hal ini disebabkan oleh kandungan N total pada tanaman ternaungi lebih kecil dibanding kontrolnya, terutama pada Ceneng (T). Karena itu ciri ketahanan naungan lebih baik dilihat pada N protein terlarut. Kadar N protein terlarut yang tinggi menunjukkan kemampuan membentuk protein tetap tinggi. Dari tabel 15 terlihat bahwa kandungan N protein terlarut pada Ceneng yang ternaungi secara kuantitatif sama

(99% dibanding kontrolnya), sedangkan pada Godek (P) berbeda (73%), walaupun secara statistik tidak berbeda nyata. Dengan demikian Ceneng (T) pada kondisi ternaungi lebih efektif memanfaatkan N yang terkandung dalam daun menjadi protein melalui pengurangan kandungan N daun. Pada kontrol N yang tinggi pada daun Ceneng tidak termanfaatkan menjadi protein terlarut, tetapi mungkin tetap dalam bentuk anorganik. Ini menyebabkan Ceneng berproduksi rendah pada kontrol.

Metabolisme N pada padi dan kedelai berbeda. Kandungan protein yang tinggi pada biji kedelai menyebabkan metabolisme N sangat menentukan produksi biji pada kedelai. Hambatan untuk membentuk protein bisa terjadi karena hambatan reduktasi nitrat menjadi nitrit. Reduksi nitrat memerlukan enzim nitrat reduktase (NR) aktif. Cahaya berpengaruh terhadap pengaktifan enzim NR melalui dua cara yaitu pembentukan gen NR dan perubahan keadaan NR tidak aktif menjadi aktif (Gambar 7 pada Bab Tinjauan Pustaka).

Kandungan gula total daun pada berbagai perlakuan variasi pergiliran gelap-terang dipaparkan pada Tabel 16. Pada kondisi kecukupan cahaya terus menerus (kontrol) kandungan gula total daun Ceneng (T), B613 (T), Pangrango (T), dan Godek (P) secara statistik tidak berbeda. Kandungan gula total setelah perlakuan gelap (GTG dan TTG) turun secara nyata pada semua genotipe yang diuji (Lampiran 16). Ketika tanaman diberi perlakuan gelap selama tiga hari maka fotosintesis tidak terjadi karena energi pengerak untuk proses fotosintesis tidak ada. Selama perlakuan gelap tiga hari tanaman bisa mengalami kerusakan pada enzim dan sistem fotosintesis (Levitt, 1980).

Kandungan gula total pada tanaman yang diberi perlakuan gelap diikuti dengan perlakuan naungan atau terang (TGN atau TGT) lebih tinggi daripada GTG dan TTG, tetapi masih rendah dibanding kontrol (TTT). Hal itu bisa dijelaskan sebagai berikut. Gula bisa dihasilkan oleh proses fotosintesis saat itu maupun simpanan yang telah ada. Pada kondisi terang hasil fotosintesis menentukan perbedaan kandungan gula. Jadi, pada kondisi cukup cahaya, tanaman yang pernah diberi perlakuan gelap tidak bisa mencapai tingkat fotosintesis yang sama pada kondisi normal. Dengan kata lain, pada kondisi yang optimum dimana cahaya bukan menjadi faktor pembatas tanaman yang pernah mendapat perlakuan gelap tiga hari tidak mampu berfotosintesis maksimum. Diduga telah terjadi kerusakan pada sistem fotosintesis karena perlakuan gelap yang menyebabkan efisiensi penangkapan dan pemanfaatan cahaya berkurang. Kandungan klorofil daun pada perlakuan gelap turun dan

belum pulih kembali seperti pada kontrol (cahaya normal terus-menerus) setelah dikembalikan pada kondisi normal tiga hari atau naungan 50% tiga hari, seperti dikemukakan pada pembahasan klorofil dalam perlakuan gelap pada sub bab struktur daun.

Tabel 16. Kandungan gula total daun kedelai pada lima perlakuan variasi pergiliran tiga hari gelap-terang saat 32 HST (mg/g daun kering)

Genotipe TTT (Kontrol) TTG TGT GTG TGN 1. Ceneng (T) 19.8 8.3 15.1 9.7 16.4 (58) (24) (51) (17) 2. B613 (T) 19.9 9.0 18.7 9.6 14.7 (55) (6) (52) (26) 3. Pangrango (T) 18.6 9.6 16.1 12.3 17.3 (48) (13) (34) (7) 4. Godek (P) 17.1 7.4 16.7 7.4 13.8 (57) (2) (57) (19)

Ket: Angka dalam kurung menunjukkan persentase penurunan terhadap kontrol. Sebelum diolah secara statistik angka persentase ditranformasi ke dalam log. T=toleran, P=Peka. TTG=Terang-Terang- Gelap, TGT=Terang-Gelap-Terang, GTG=Gelap-Terang-Gelap, TGN=Terang-Gelap-Naungan 50%. Sampling pada saat perlakuan urutan terakhir pada masing-masing variasi pergiliran

Tanaman yang diberi perlakuan TGT dan TGN artinya setelah perlakuan gelap tiga hari, selanjutnya selama tiga hari ditumbuhkan pada lingkungan cahaya cukup (TGT) atau naungan 50% (TGN). Maka, tanaman bisa mengalami perbaikan atau penyembuhan kepada kondisi semula. Kemampuan penyembuhan yang baik terdapat pada Godek (peka) dan B613 (toleran). Pada kondisi normal setelah gelap (perlakuan TGT) Godek mengalami persentase penurunan relatif kandungan gula paling rendah, yaitu 2%, walaupun tidak berbeda nyata dengan lainnya. Sementara itu, pada TGN (naungan 3 hari setelah gelap tiga hari) kandungan gula daun lebih tingi pada Ceneng (toleran) dan Pangrango (toleran) dibandingkan kelompok Godek (peka). Jadi, pada kondisi naungan 50% kelompok toleran tetap menunjukkan hasil fotosintesis tinggi meskipun sebelumnya mendapat perlakuan gelap 3 hari. Perkecualian terdapat pada B613.

Pada kondisi kontrol kandungan pati daun Ceneng, B613, Pangrango, dan Godek tidak berbeda nyata. Perlakuan GTG dan TTG (sampel diambil saat gelap) menyebabkan

kandungan pati menurun secara nyata (Lampiran 17). Pada kondisi gelap, fotosintesis tidak dapat dapat berlangsung karena itu daun tidak menghasilkan pati. Pati yang terdapat di daun adalah adalah pati hasil fotosintesis sebelumnya yang tidak ditranslokasikan ke jaringan penyimpan.

Perlakuan terang ataupun naungan 50% setelah gelap pada B613 tidak menyebabkan kandungan pati daun pulih seperti kontrol. Pada hal kandungan klorofil tidak rusak pada perlakuan gelap. Karena itu diduga kerusakan terjadi pada proses fsotosintesis yang menghasilkan pati. Proses penyembuhan tercepat terdapat pada Ceneng (toleran) dan Pangrango (toleran) seperti terlihat pada persentase penurunan pada perlakuan TGT dan TGN (Tabel 17).

Persentase penurunan pati pada semua perlakuan dan genotipe sama. Namun pada perlakuan TGN persentase penurunan pati cenderung lebih rendah pada Ceneng (T) dan Pangrango (T) daripada Godek (P) dan B613 (P). Jadi kelompok genotipe toleran tetap bisa menghasilkan pati lebih tinggi daripada kelompok peka seperti pada variabel gula total pada kondisi ternaungi. Hal ini juga sama pada perlakuan naungan sejak tanam sampai panen.

Pada kondisi gelap kandungan gula dan pati rendah karena keduanya adalah hasil fotosintesis yang tidak berlangsung pada lingkungan gelap. Perlakuan TGN menyebabkan kandungan gula pada Godek (peka) dan Ceneng (toleran) menurun dengan persentase penurunan tidak berbeda nyata.

Pada perlakuan gelap tiga hari di giliran terakhir (GTG atau TTG) persentase penurunan pada kelompok toleran sama dengan kelompok peka. Namun, persentase penurunan pada Pangrango (toleran) lebih kecil dibanding Godek (peka).

Tabel 17. Kandungan pati daun kedelai pada lima perlakuan variasi pergiliran tiga hari gelap- terang saat 32 HST (mg/g daun kering)

Genotipe TTT

(Kontrol) TTG TGT GTG TGN

1. Ceneng (T) 139 63 144 73 136

(55) ab (-4 (47) ab (2)

(46) b (25) (53) ab (38)

3. Pangrango (T) 148 80 136 87 131

(46) b (8) (41) b (11)

4. Godek (P) 159 57 135 66 138

(64) a (15) (58) a (13)

Ket: Angka dalam kurung menunjukkan persentase penurunan terhadap kontrol. Huruf yang sama dalam kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada uji DMRT 5%. Sebelum diolah secara statistik angka persentase ditranformasi ke dalam arcsin. T=toleran, P=Peka. TTG=Terang-Terang- Gelap, TGT =Terang-Gelap-Terang, GTG=Gelap-Terang-Gelap, TGN=Terang-Gelap-Naungan 50%. Sampling pada saat perlakuan urutan terakhir pada masing-masing variasi pergiliran

Kandungan karbohidrat batang pada kondisi kontrol tidak berbeda nyata antar genotipe (Tabel 18). Kandungan karbohidrat pada perlakuan GTG dan TTG turun secara nyata (Lampiran 16) Pada GTG persentase penurunan terkecil terjadi pada Ceneng (toleran), yang berbeda nyata dengan B613 (toleran) dan Godek (peka). Perlakuan terang dan naungan setelah gelap memulihkan lagi kandungan karbohidrat seperti kontrol untuk keempat genotipe.

Pada saat gelap fotosintesis tidak terjadi, tetapi respirasi tetap berlangsung. Respirasi menggunakan karbohidrat yang tersedia, sehingga karbohidrat berkurang. Persentase pengurangan karbohidrat bisa menunjukkan besarnya respirasi. Karena itu bisa disimpulkan bahwa Godek (P) menggunakan porsi karbohidrat yang besar untuk respirasi. Kemampuan untuk mempertahankan respirasi menjadi rendah pada kondisi gelap merupakan toleransi terhadap naungan (Levitt, 1980). Jadi, respirasi gelap pada Godek diduga lebih tinggi dibanding Pangrango dan Ceneng.

Tabel 18. Kandungan karbohidrat batang kedelai pada lima perlakuan variasi pergiliran tiga hari gelap-terang saat 32 HST (mg/g BK)

Genotipe TTT (Kontrol) TTG TGT GTG TGN 1. Ceneng (T) 7.4 5.8 7.7 7.4 9.2 (22) (-4) (0) b (-25) b 2. B613 (T) 9.0 8.9 7.1 4.8 7.3 (1) (22) (47) a (19) a 3. Pangrango (T) 9.7 8.1 6.7 6.9 7.0 (16) (31) (29) ab (27) a

4. Godek (P) 8.3 5.1 8.2 4.6 7.7

(39) (1) (45) a (7) ab

Ket: Angka dalam kurung menunjukkan persentase penurunan terhadap kontrol. Huruf yang sama dalam kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada uji DMRT 5%. Sebelum diolah secara statistik angka persentase ditranformasi ke dalam arcsin. T=toleran, P=Peka. TTG=Terang-Terang- Gelap, TGT =Terang-Gelap-Terang, GTG=Gelap-Terang-Gelap, TGN=Terang-Gelap-Naungan 50%. Sampling pada saat perlakuan urutan terakhir pada masing-masing variasi pergiliran

Tanaman menggunakan respirasi untuk pertumbuhan dan pemeliharan. Tanaman toleran naungan bisa bertahan pada lingkungan cahaya rendah karena mempunyai tingkat respirasi gelap yang rendah. Respirasi gelap yang rendah tersebut terutama disebabkan oleh respirasi pemeliharaan yang rendah (White dan Izquierdo, 1993) Laju respirasi gelap yang rendah umumnya terdapat pada tanaman naungan dan C3 (Salisbury dan Ross, 1993). Karena itu Godek lebih menunjukkan karakteristik tanaman C4 dibanding Pangrango atau Ceneng. Sementara B613 tidak menunjukkan karakter yang jelas.

Perlakuan gelap selama 3 hari (GTG atau TTG) menyebabkan aktivitas rubisco berkurang (Tabel 19 dan Lampiran 16). Pada perlakuan TTG (gelap 3 hari setelah cahaya normal terus-menerus) persentase penurunan aktivitas rubisco terbesar terjadi pada Godek, yaitu 78%, yang berbeda nyata dengan B613 (P) dan Ceneng (T).

Perlakuan GTG (gelap 3 hari yang didahului dengan gelap dan dan cahaya normal masing-masing 3 hari) menyebabkan penurunan aktivitas rubisco yang hampir sama dengan perlakuan TTG. Jadi, aktivitas rubisco ditentukan oleh kondisi cahaya terakhir dari saat pengambilan sampel dan tidak dipengaruhi oleh perlakuan sebelumnya. Portis (1992) menyatakan bahwa aktivitas rubisco distimulasi oleh cahaya yang menyebabkan transpor elektron pada fotosistem I. Karena itu pada kondisi gelap aktivitas rubisco rendah. Secara rata-rata persentase penurunan aktivitas rubisco tidak berbeda nyata antar kelompok ketenggangan. Namun, aktivitas rubisco Godek (P) cenderung lebih rendah pada TGN (3 hari naungan 50% setelah gelap 3 hari).

Tabel 19. Aktivitas rubisco pada lima perlakuan variasi pergiliran tiga hari gelap-terang saat 32 HST (nmol CO2/menit/g)

Genotipe TTT

1. Ceneng (T) 0.127 0.061 0.140 0.041 0.136 (52) bc (-11) (67) (-7) 2. B613 (T) 0.155 0.089 0.113 0.083 0.145 (42) c (27) (47) (6) 3. Pangrango (T) 0.124 0.049 0.120 0.056 0.077 (60) ab (3) (55) (38) 4. Godek (P) 0.185 0.040 0.197 0.072 0.099 (78) a (-7) (61) (47)

Ket: Angka dalam kurung menunjukkan persentase penurunan terhadap kontrol.Huruf yang sama dalam kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada uji DMRT 5%. Sebelum diolah secara statistik angka persentase ditranformasi ke dalam log. T=toleran, P=Peka. TTG=Terang-Terang- Gelap,

TGT=Terang-Gelap-Terang, GTG=Gelap-Terang-Gelap, TGN=Terang-Gelap-Naungan 50%. Sampling pada saat perlakuan urutan terakhir pada masing-masing variasi pergiliran

Perlakuan TGT yang menghasilkan aktivitas rubisco yang sama dengan kontrol (TTT) menunjukkan bahwa urutan pergiliran terakhir yang menentukan aktivitas rubisco. Ini juga menunjukkan bahwa rubisco tidak mengalami kerusakan akibat gelap 3 hari.

Pada kondisi cahaya cukup aktivitas rubisco menentukan laju fotosintesis karena dalam kondisi cahaya cukup rubisco adalah faktor pembatas. Karena pada kondisi kontrol aktivitas rubisco Godek (P) lebih tinggi daripada Ceneng (T) maka, pada kondisi normal fotosintesis Godek diduga lebih tinggi daripada Ceneng. Keadaan sebaliknya terjadi pada kondisi naungan, yaitu aktivitas rubisco lebih tinggi pada Ceneng yang membuat Ceneng lebih adaptif terhadap intensitas cahaya rendah. Penelitian Khumaida (2002) menunjukkan bahwa laju fotosintesis Godek (P) hampir sama dengan Ceneng (T) pada cahaya normal, tetapi lebih rendah dibanding Ceneng bila keduanya dinaungi 50%.

Ceneng juga mengurangi hambatan fotosintesis yang disebabkan oleh pati daun. Akumulasi pati yang rendah dibantu oleh aktivitas enzim SPS yang cenderung lebih tinggi sehingga rasio sukrosa/pati lebih tinggi pada Ceneng dibanding Godek pada saat ternaungi walaupun perbedaannya tidak nyata.

Sementara itu, perlakuan TGN tidak menyebabkan perbedaan dengan kontrol dan TGT. Dilain pihak, perlakuan naungan paranet 50% terus menerus menyebabkan aktivitas rubisco turun pada Ceneng. Jadi, aktivitas rubisco cepat pulih setelah kembali ke cahaya normal atau naungan 50% setelah gelap 3 hari..

Kandungan N daun pada Ceneng (toleran) berkurang lebih banyak dibandingkan Godek (peka). Selanjutnya Ceneng bisa mempertahankan N protein terlarut tetap konstan, sementara N terlarut yang bukan protein tetap rendah. Pada Godek (P), kandungan N daun tetap dan N protein terlarut cenderung turun saat ternaungi. Jadi, Ceneng (T) diduga mampu mempertahankan sintesis protein di daun tetap tinggi dibandingkan Godek (P). Aktivitas enzim NR diduga tetap tinggi pada Ceneng (T).

Kandungan gula total setelah gelap tiga hari turun secara nyata pada semua genotipe. Persentase penurunannya sama yang berarti persentase pemanfaatan untuk respirasi sama antar genotipe. Selama gelap tiga hari mungkin terjadi kerusakan pada sistem proses pembentukan gula dan pati, yang belum pulih bila tanaman dipindah ke kondisi kontrol maupun naungan sebagaimana klorofil juga belum pulih. Hanya B613 yang klorofilnya tidak berubah pada perlakuan gelap.

Perlakuan gelap tiga hari menyebabkan kandungan karbohidat batang menurun. Persentase penurunan tertinggi terjadi pada Godek (peka). Penurunan karbohidrat yang besar saat gelap diduga menunjukkan tingkat respirasi gelap yang tinggi. Sesuai dengan Levitt (1980) yang menyatakan bahwa penurunan respirasi gelap merupakan mekenisme penghindaran, maka bisa disimpulkan bahwa kelompok toleran naungan (Pangrango dan Ceneng) diduga memiliki mekanisme toleransi yang lebih baik karena memiliki respirasi gelap rendah pada saat mendapat cekaman intensitas cahaya rendah.

Aktivitas rubisco ditentukan oleh kondisi cahaya terakhir. Aktivitas rubisco pada GTG dan TTG (gelap pada urutan terakhir) lebih rendah dibanding TTT dan TGT (terang di urutan akhir). Pada perlakuan naungan di urutan pergiliran terakhir (TGN) aktivitas rubisco pada Godek lebih kecil (walau tidak nyata) dibanding Ceneng sebagaimana terjadi pada perlakuan naungan terus menerus sejak tanam.

Pembahasan yang dikemukakan sebelumnya menunjukkan bahwa kandungan karbohidrat (gula dan pati) bersifat dinamis. Hal ini karena karbohidrat dihasilkan oleh fotosintesis dan bisa ditranslokasikan ke bagian tanaman yang lain atau digunakan untuk respirasi.

Levitt (1980) menyatakan bahwa cekaman (cekaman) adalah faktor lingkungan yang menyebabkan gangguan pada pertumbuhan dan perkembangan makhluk hidup. Salah satu faktor lingkungan yang bisa menyebabkan cekaman adalah intensitas cahaya rendah.

Intensitas cahaya rendah menjadi salah satu faktor penghambat untuk pengembangan kedelai di bawah tegakan pohon perkebunan. Sebanyak 17 genotipe kedelai telah diuji coba untuk ditanam di bawah tegakan pohon karet berumur 1, 3, dan 4 tahun. Produktivitas kedelai di bawah pohon karet 1, 3, dan 4 tahun tersebut berkisar masing-masing 24-78%, 1-15%, dan 1-13% (Lampiran 1).

Di samping faktor intensitas cahaya, faktor perbedaan kesuburan dan kekeringan antar lahan juga mempengaruhi hasil penelitian tersebut di atas. Untuk memperoleh hasil penelitian tentang naungan yang lebih baik perlu dibuat keadaan yang memungkinkan keseragaman faktor-faktor lain kecuali faktor naungan. Karena itu perlu dibuat naungan buatan agar penelitian bisa difokuskan pada satu penyebab cekaman, yaitu intensitas cahaya. Pepohonan karet berumur 1, 3 dan 4 tahun menyebabkan naungan 25, 67. dan 72% terhadap lapangan terbuka (Sukaesih, 2002). Naungan paranet 25, 50, dan 75% dalam penelitian ini memberi naungan 36, 54, dan 79% (Lampiran 11 dan 13). Dengan demikian naungan paranet 50% setara dengan naungan pada pepohonan karet berumur 1 - 3 tahun, sedangkan paranet 75% mendekati naungan pada pohon karet berumur 4 tahun.

Intensitas cahaya di luar dan di dalam paranet secara rata-rata ditampilkan pada Tabel 20. Perhitungan naungan aktual dipaparkan pada Lampiran 11 dan 13. Pada jam 07.30 intensitas cahaya sekitar pada juni 2002 adalah sekitar 0.854 kal cm-2 mnt-1. Dengan demikian intensitas di bawah naungan paranet 25%, 50%, dan 75% adalah masing-masing 0.547, 0.393, dan 0.179 kal cm-2.

Tabel 20. Intensitas cahaya di luar dan di dalam paranet (kal cm-2 mnt-1)

Juni 2002 (percobaan I) Januari 2003 (Percobaan II) Naungan Paranet (%) Meneruskan cahaya (%) Pagi 07.30 Siang 13.30 Sore 16.30 Pagi 07.30 Siang 13.30 Sore 16.30 kontrol 100 0.854 1.087 0.340 0.681 1.157 0.499 25 64 0.547 0.696 0.218 0.436 0.740 0.319 50 46 0.393 0.500 0.156 0.313 0.532 0.230

75 21 0.179 0.228 0.071 0.143 0.243 0.105

Kedelai termasuk tanaman C3. Dibanding tanaman C4, tanaman C3 bersifat responsif terhadap konsentrasi CO2, tetapi kurang responsif terhadap cahaya (Taiz dan Zeiger,

Dokumen terkait