• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perubahan Fisiologis Lepas Panen Jamur Merang

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.3. Perubahan Fisiologis Lepas Panen Jamur Merang

Jamur merang setelah panen akan mengalami perubahan-perubahan yang dapat menurunkan mutunya, terutama bila penanganannya kurang tepat atau kurang hati-hati. Jamur merang, memiliki kandungan air yang sangat tinggi sehingga bersifat mudah rusak atau perishable.

Perubahan-perubahan yang dapat terjadi adalah pengerutan, pemekaran, pencoklatan (browning), berair, kehilangan air, perubahan tekstur, aroma dan flavor. Perubahan-perubahan tersebut dapat terjadi karena proses metabolisme,

7

reaksi-reaksi kimia, atau pertumbuhan mikroorganisme kontaminan yang terus berlangsung dalam jaringan selama penyimpanan/pasca panen.

Perubahan-perubahan tersebut didahului oleh peningkatan laju respirasi, dan penghentian suplai nutrien yang akan mempercepat sejumlah reaksi yang

irreversibel sehingga akan menyebabkan kerusakan pada jamur (Cho et al., 1982).

Proses Respirasi

Respirasi merupakan metabolisme penting yang harus diperhatikan pada jamur merang segar, karena akan terus berlangsung setelah proses pemanenan. Pada proses respirasi, terjadi perubahan-perubahan pada kandungan nutrisi jamur merang yang akan mengakibatkan perubahan fisiknya pula. Respirasi merupakan pemecahan senyawa kompleks, terutama pati menjadi molekul sederhana seperti karbondioksida, air, dan energi, serta terjadinya kehilangan substrat. Besar kecilnya respirasi dapat diukur dengan menentukan jumlah substrat yang hilang, O2 yang digunakan, CO2 yang dikeluarkan, panas yang dihasilkan, dan energi yang timbul (Pantastico,1986). Metabolisme ditujukan untuk memenuhi keperluan-keperluan yang dibutuhkan oleh bahan pangan tersebut agar dapat melangsungkan kehidupan pasca panennya, terutama dalam bentuk energi. Laju respirasi produk segar merupakan indikator yang baik terhadap aktivitas metabolisme jaringan dan merupakan pedoman potensi masa simpan produk segar (Pantastico, 1986). Makin cepat laju respirasinya berarti makin cepat pula terjadi pemecahan senyawa kompleks yang menandakan semakin cepatnya terjadi penurunan mutu jamur merang. Laju respirasi jamur merang pada beberapa tingkat suhu disajikan pada Tabel 3. Nilai RQ jamur merang lebih dari 1, menunjukkan bahwa respirasi yang terjadi menggunakan substrat yang mengandung O2, yaitu asam-asam organik.

Tabel 3 Laju respirasi dan nilai RQ jamur merang

Suhu (⁰C) Laju respirasi (ml/kg-jam) RQ Produksi CO2 Konsumsi O2

10 40.111 26.065 1.54

28 480.808 345.500 1.39

8 Perubahan Kadar Air

Jamur merang memiliki kandungan air yang tinggi yaitu sekitar 87,7%. Laju respirasi yang cepat akan menyebabkan kehilangan air yang cepat pula. Laju kehilangan air tergantung pada 1) struktur dan kondisi jamur, 2) suhu dan RH lingkungan, dan 3) gerakan udara dan tekanan udara. Evaporasi terjadi lebih lambat pada fase kancing, kemudian meningkat pada fase berikutnya dan paling cepat pada saat pemekaran tudung (Cho et al., 1982). Pengaruh utama kehilangan air adalah susut bobot yang memperlihatkan ciri fisik terjadinya pelayuan dan pengerutan, dengan tekstur yang liat.

Pemekaran Tudung

Aktivitas metabolisme yang terus terjadi pada jamur merang setelah panen akan mengakibatkan mekarnya tudung, yang akan menyebabkan peningkatan kadar protein dan lemak serta penurunan nilai energi. Pemekaran tudung pada jamur merang adalah hal yang harus dihindari, karena dapat menurunkan mutu yang sekaligus menurunkan harga jualnya.

Perubahan Warna

Perubahan warna pada jamur merang adalah salah satu parameter yang paling menentukan mutu. Perubahan warna dapat disebabkan akibat reaksi pencoklatan enzimatis atau pertumbuhan bakteri pembusuk seperti Pseudomonas tolasii (Julianti, 1997). Proses pengupasan, pencucian, adanya kerusakan mekanis, dan senesensi juga mempengaruhi perubahan warna pada jamur merang. Jamur merang yang disimpan pada suhu kamar akan cepat mengalami perubahan warna menjadi coklat (Julianti, 1997).

Pada jamur terdapat enzim polifenol oksidase, sehingga kehadiran 02 dan substrat akan mengkatalisa oksidasi komponen fenolik menjadi quinon yang berwarna coklat, kemudian bergabung dengan asam amino derivatif membentuk kompleks melanoidin yang berwarna coklat dan disebut dengan pencoklatan enzimatis. Reaksi ini dapat dikontrol dengan penginaktifan enzim oleh panas, S02 atau perubahan pH akibat penambahan asam (Cho et al., 1982). Reaksi pencoklatan pada jamur dapat dikontrol dengan penyimpanan pada suhu rendah (Julianti, 1997).

9 Penyimpangan Bau

Oksidasi lemak yang terjadi karena kehadiran asam-asam lemak tak jenuh pada jamur merang dapat menyebabkan penyimpangan bau. Hal yang sama juga dapat diakibatkan oleh oksidasi protein dan berkembangnya mikroorganisme pembusuk (Cho et al., 1982).

2.4. Pembekuan

Pembekuan merupakan proses menghilangkan panas pada produk pangan dan mempertahankan suhu penyimpanannya di bawah titik beku. Pembekuan memiliki pengaruh yang menguntungkan pada produk pangan, yaitu dengan penurunan suhu akan memperlambat reaksi biokimia serta menghambat pertumbuhan mikroorganisme patogen yang menyebabkan penurunan mutu, seperti reaksi oksidasi lemak, denaturasi protein, atau aktivitas enzim hidrolitik (Tucker, 2008). Perubahan nutrisi dan kualitas organoleptik pada produk pangan akan sangat kecil dengan melakukan pembekuan. Pembekuan juga dapat mengurangi penggunaan bahan pengawet untuk memperpanjang umur simpan, karena mampu mencegah perkembangan mikroorganisme (Evans, 2008).

Prinsip pembekuan adalah memindahkan air dari matriks produk pangan dengan membentuk kristal es. Kristal es yang terdapat dalam jaringan produk pangan akan menyebabkan air sisa yang tidak membeku akan meningkat konsentrasinya dengan padatan terlarut, sehingga dapat menurunkan Aw. Sebagian besar mikroorganisme tidak dapat hidup pada Aw di bawah 7,0 (Evans, 2008). Pada proses pembekuan kandungan air produk pangan mengalami perubahan bentuk menjadi kristal-kristal es, yang mengakibatkan peningkatan konsentrasi sehingga dapat menurunkan aktivitas air (Aw) pada produk pangan (Fellows, 2000). Pengawetan pada bahan pangan dapat dicapai dengan menggabungkan suhu rendah dan menurunkan Aw.

Proses pembekuan membutuhkan energi untuk digunakan dalam perubahan fase dari air menjadi es, yang sering disebut dengan panas laten kristalisasi. Yang paling penting dalam pembekuan adalah laju pembekuan yang digunakan untuk menghilangkan panas pada produk pangan dalam waktu yang sesingkat mungkin. Pada bahan pangan segar, panas dari respirasi juga harus diperhitungkan. Pada bahan pangan yang banyak mengandung air, memiliki panas spesifik sebesar

10

4200J kg-1 K-1 dan panas laten sebesar 335 kJ kg-1 (Fellows, 2000). Pindah panas pada bahan pangan umumnya secara konveksi, yaitu pindah panas antara udara pembeku dengan permukaan bahan pangan

Proses pembekuan dimulai dari permukaan bahan pangan yang langsung berhubungan dengan media pembeku padat (misalnya heat exchanger plates pada suhu -30⁰C hingga -40⁰C, dry ice pada suhu -78,5⁰C, cairan kriogenik nitrogen pada suhu -196⁰C). Permukaan bahan pangan akan membeku lebih cepat dibandingkan bagian dalamnya, karena panas pada bagian dalam harus melalui permukaan dengan konduksi (Evans, 2008). Proses pembekuan sangat dipengaruhi oleh laju pembekuan bahan pangan, dimana durasi proses pembekuan tergantung pada laju pembekuan (⁰C/menit), sesuai dengan definisi yang dinyatakan oleh International Institute of Refrigeration dalam Thorne (1989), yaitu perbedaan antara suhu awal dan suhu akhir dibagi dengan waktu pembekuan. Waktu pembekuan adalah waktu yang dibutuhkan dari awal pembekuan hingga suhu akhir pembekuan tercapai.

Laju pembekuan mempengaruhi kualitas bahan pangan, dimana pada laju pembekuan lambat terjadi pertumbuhan kristal es yang lebih cepat dibandingkan dengan pembentukan kristal esnya, sehingga menghasilkan kristal es yang besar dan dapat merusak jaringan bahan pangan. Sedangkan pada laju pembekuan cepat, terjadi pembentukan kristal es yang lebih cepat daripada pertumbuhan kristal esnya, sehingga terbentuk kristal es berukuran kecil, seperti diilustrasikan pada Gambar 2.

Pada pembekuan dengan laju yang rendah, kristal es akan terbentuk di daerah interselular, kemudian merusak dan memecah dinding sel yang berdekatan. Air yang berada dalam sel akan keluar menuju kristal es yang membesar, karena es memiliki tekanan uap air yang lebih kecil daripada bahan pangan. Akibat air yang keluar dari dalam sel, menyebabkan sel terdehidrasi dan rusak dengan meningkatnya konsentrasi larutan dan rusaknya dinding sel. Bila bahan pangan beku tersebut di-thawing, sel tidak akan kembali menjadi bentuk dan besarnya semula. Bahan pangan akan menjadi lebih lunak dan bagian dalam sel akan keluar melalui dinding sel yang rusak, yang disebut dengan istilah drip loss.

11

Gambar 2 Pengaruh laju pembekuan terhadap jaringan tanaman (a) pembekuan lambat (b) pembekuan cepat (Sumber : Fellow, 2000)

Pada pembekuan cepat, kristal es yang terbentuk berukuran kecil, baik di dalam atau di daerah interselular. Kerusakan fisik sel yang terjadi sangat kecil dan perbedaan tekanan uap air tidak terjadi, sehingga dehidrasi sel yang terjadi juga sangat kecil. Hal tersebut menyebabkan tekstur bahan pangan tetap terjaga dalam kondisi yang baik. Namun pembekuan yang terlalu cepat dapat menyebabkan jaringan terbelah atau pecah.

Kisaran suhu yang dapat menyebabkan kerusakan permanen berada pada 1⁰C hingga -5⁰C. Bahan pangan yang melalui proses pembekuan harus melampaui kisaran suhu tersebut dalam waktu yang relatif cepat. Untuk mendapatkan pembentukan kristal es yang kecil, suhu 0⁰C dan -3,9⁰C harus dilampaui dalam waktu kurang dari 30 menit (Evans, 2008).

Proses pembekuan secara umum dapat diklasifikasikan berdasarkan laju pembekuannya. Menurut Alvarest, et al. (1997) laju pembekuan di bawah 0,5˚C/menit termasuk dalam pembekuan lambat, dan 2˚C/menit termasuk dalam laju pembekuan cepat. Sedangkan menurut Delgado et al. (2005), laju pembekuan dibagi menjadi 3, yaitu seperti ditampilkan pada Tabel 4.

12 Tabel 4 Klasifikasi laju pembekuan

No Jenis Pembekuan Laju pembekuan 1. Pembekuan lambat 0,02-0,2˚C/menit

2. Pembekuan komersial 0,2-0,83˚C/menit

3. Pembekuan cepat >0,83˚C/menit Sumber : Delgado et al. (2005)

Menurut Alvarez, et al. (1997), pembekuan cepat memiliki hasil yang baik pada tekstur kentang, wortel, cranberries, dan blackberries. Pada wortel yang dibekukan secara cepat mampu mempertahankan ketegaran (firmness) dengan lebih baik. Proses pembekuan dilakukan hingga panas di bagian terdalam dari bahan pangan telah hilang atau telah beku. Tahapan proses pembekuan dijelaskan pada Gambar 3. Pada tahap AS, bahan pangan dibekukan hingga di bawah titik beku.

Gambar 3 Grafik waktu dan suhu selama proses pembekuan (Sumber : Fellows, 2000)

Pada titik S, air masih berupa larutan, walaupun berada di bawah titik beku (disebut fenomena supercooling) hingga 10⁰C. Pada tahap SB, suhu akan meningkat secara cepat mencapai titik beku dimana kristal es mulai terbentuk dan panas laten kristalisasi dilepaskan. Tahap BC merupakan pelepasan panas dari bahan pangan dengan laju yang sama, panas laten dihilangkan seiring dengan pembentukan es dan suhu mulai stabil. Tahap CD, larutan mulai jenuh dan mengkristal. Pada tahap DE, kristalisasi air dan larutan masih terjadi. Waktu yang dibutuhkan (tf) ditentukan oleh laju penghilangan panas. Pada tahap EF, suhu es akan turun hingga mencapai suhu freezing. Pada suhu pembekuan

13

komersil, terdapat sejumlah air yang tidak membeku, yang jumlahnya tergantung pada jenis dan komposisi bahan pangan, serta suhu penyimpanan (Fellows, 2000).

Bahan pangan segar memiliki kandungan air dan titik beku yang berbeda-beda tiap komoditas, seperti dapat dilihat pada Tabel 5. Kadar air yang tinggi pada sayuran dan buah menyebabkannya rentan terhadap kristal es yang terbentuk dan thawing, dibandingkan dengan bahan pangan yang lain. Sayuran lebih tahan terhadap pembekuan dibandingkan dengan buah berdasarkan karakteristik yang dimiliki.

Tabel 5 Kandungan air dan titik beku pada beberapa bahan pangan

Bahan Pangan Kandungan Air (%) Titik Beku (⁰C) Sayuran 78 – 92 -0,8 s/d -2,8 Buah 87 – 95 -0,9 s/d -2,7 Daging 55 – 70 -1,7 s/d -2,2 Ikan 65 – 81 -0,6 s/d -2,0 Susu 87 -0,5 Telur 74 -0,5 Sumber : Fellows, 2000

Jaringan buah dan sayuran memiliki struktur sel yang rentan terhadap peningkatan volume kristal es sehingga menyebabkan kerusakan pembekuan yang

irreversible. Kerusakan yang terjadi pada jaringan bahan pangan akibat pembekuan dapat menyebabkan hilangnya fungsi membran sel, gangguan pada sistem metabolisme, denaturasi protein, perpindahan kandungan air dari intrasel menuju ekstrasel secara tetap, reaksi enzim, dan kerusakan jaringan yang cukup parah. Terdapat 4 jenis kerusakan yang disebabkan oleh pembekuan menurut Sun

et al. (2002), yaitu :

1. Kerusakan dingin (chilling damage), disebabkan karena jaringan kontak dengan suhu dingin.

2. Kerusakan akibat konsentrasi larutan (solute-concentration damage), disebabkan peningkatan konsentrasi larutan pada kandungan air produk segar dan pembentukan kristal es.

3. Kerusakan dehidrasi (dehydration damage), disebabkan peningkatan konsentrasi larutan pada kandungan air produk segar dan perpindahan air secara osmosis dari intrasel.

14

4. Kerusakan mekanik (mechanical damage), disebabkan karena pembentukan kristal es yang berukuran besar dan keras.

Sebelum proses pembekuan dilakukan, perlakuan pendahuluan terhadap bahan pangan diperlukan untuk mengurangi kandungan mikroorganisme, menghilangkan bagian yang tidak diperlukan, serta meminimalkan keragaman produk. Perlakuan pendahuluan yang umumnya dilakukan adalah pencucian atau pembersihan, sortasi, grading, atau pengupasan dan pengirisan bila diperlukan.

Jenis bahan pembeku yang sering digunakan untuk pembekuan dan titik didihnya disajikan pada Tabel 6.

Tabel 6 Jenis bahan pembeku dan titik didihnya.

No. Bahan Pembeku Titik Didih (˚C)

1. Amonia -33

2. Sulfur dioksida -10

3. Freon/Dichlorofluorometan 8,9 4. Karbondioksida cair/padat (dryice) -78,5

5. Nitrogen cair -196

Sumber : Singh et al., 2005

Amonia, sulfur dioksida, dan freon umum digunakan sebagai bahan pendingin di refrigerator, walaupun penggunaan freon sudah dilarang karena berbahaya. Karbondioksida dan nitrogen cair umumnya digunakan sebagai

cryogen pada pembekuan kriogenik atau pembekuan sangat cepat. Karbondioksida padat lebih sering digunakan untuk mendinginkan produk beku ataupun produk segar pada suatu kemasan. Menurut Swain et al. (1999), pengunaan karbondioksida padat atau dry ice memiliki keuntungan sebagai alternatif pendingin mekanik saat distribusi produk dingin ataupun produk beku.

2.5. Thawing

Thawing adalah kebalikan dari proses pembekuan, yaitu penggunaan energi oleh bahan pangan untuk melelehkan kristal es (Evans, 2008). Thawing

merupakan suatu proses yang kritis, karena selama proses tersebut, suhu bahan pangan akan meningkat sehingga memiliki resiko untuk perkembangan mikroorganisme, namun saat ini thawing banyak dilakukan di akhir rantai pasokan, yaitu dilakukan oleh konsumen di rumah untuk langsung dimasak, sehingga mengurangi resiko bahayanya.

15

Bahan pangan yang di-thawing setelah penyimpanan beku, seharusnya memiliki karakteristik yang tidak berbeda dengan bahan pangan segar. Namun pada bahan pangan yang sangat peka, hal tersebut akan sangat sulit dicapai. Pada komoditas seperti roti, daging, ikan, dan sayuran, kualitas bahan pangan yang sudah di-thawing harus benar-benar dapat dibandingkan dengan bahan pangan segarnya (Evans, 2008)

Thawing dapat dilakukan di udara terbuka atau di dalam air, dimana es akan meleleh menjadi lapisan air, dan memerlukan waktu yang lebih lama dibandingkan dengan proses pembekuan (Fellows, 2000). Perubahan suhu pada proses thawing dapat dilihat pada Gambar 4. Pada tahap AB, lapisan air pada permukaan bahan pangan mulai hilang, dan pada BC, terjadi pelelehan kristal es di dalam bahan pangan, yang akan memperlihatkan kerusakan akibat pembekuan lambat, yaitu keluarnya cairan sel atau drip loss.

Gambar 4 Perubahan suhu selama thawing

(

Sumber : Fellows, 2000

)

2.6. Perubahan Akibat Pembekuan