• Tidak ada hasil yang ditemukan

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.3 Perubahan Histopatologi pada Testis

Pada penelitian pendahuluan pemaparan SO2 dengan dosis bervariasi 100,

200, dan 300 mmHg dengan mengamati perubahan histopatologi berupa kongesti, degenerasi, fibrosis peritubuler dan edema didapatkan skor yang lebih tinggi pada kelompok kelinci yang mendapatkan pemaparan gas SO2 pada semua dosis

dibandingkan kontrol.

Pada lesio degenerasi dan kongesti, skoring meningkat seiring dengan pertambahan dosis paparan (Gambar 16). Salah satu lesio yang terlihat adalah degenerasi dimana sel kehilangan struktur normalnya dan bila berlanjut akan terjadi kematian sel. Degenerasi testis terlihat mikroskopik sebagai gangguan mitosis, pengempisan tubuli yang kosong, indurasi membran basalis yang kisut dan fibrosis peritubuler (Farias et al. 2005). Kedua skoring lesio degenerasi dan kongesti pada kelinci perlakuan pada semua dosis pemaparan berbeda bermakna dibandingkan dengan kontrol.

Gambar 16. Skor histopatologi testis jenis lesio degenerasi dan kongesti pada kelinci yang dilakukan pemaparan gas SO2 dengan berbagai

konsentrasi dibandingkan dengan kontrol. Perbedaan bermakna pada jenis lesio yang sama dinyatakan dengan huruf yang berbeda p<0,05. Grafik edema dan fibrosis saling terkait karena kerusakan berada pada daerah yang sama, yakni pada jaringan interstisial di antara tubuli seminiferi. Pada kelompok pemaparan 100 mmHg pada jaringan interstitial testis yang lebih menonjol adalah edema yang merupakan proses awal dan merupakan kerusakan yang lebih ringan sedangkan skoring fibrosis tidak terlalu tinggi. Pada kelompok pemaparan 200 mmHg pada jaringan interstitial testis fibrosis paling berat dan edema yang menjadi lebih rendah disebabkan berkurangnya elastisitas jaringan. Pada kelompok pemaparan 300 mmHg pada jaringan interstitial testis fibrosis dan edema yang terjadi secara kumulatif mengalami perubahan paling berat (Gambar 17). Kedua skoring lesio edema dan fibrosis peritubuler pada kelinci perlakuan pada semua dosis pemaparan berbeda bermakna dibandingkan dengan kontrol. a a a b x x x y 0 0,5 1 1,5 2 2,5 3 3,5 100 200 300 KONTROL Skor   Histopatologi

Kelompok  Kelinci Berdasarkan  Kadar SO2(ppm)

Gambar 17. Skor histopatologi testis jenis lesio fibrosis peritubuler dan edema pada kelinci yang dilakukan pemaparan gas SO2 dengan berbagai

konsentrasi dibandingkan dengan kontrol. Perbedaan bermakna pada jenis lesio yang sama dinyatakan dengan huruf yang berbeda p<0,05 Degenerasi ini kemungkinan disebabkan iskhemia sehingga mengurangi pembebasan oksigen ke jaringan. Sel dapat sembuh dari kekurangan oksigen sementara, meskipun menderita gangguan metabolisme (Spector 1993). Dalam hal ini terjadi penurunan proses fosforilasi oksidatif dalam mitokondria yang menyebabkan penurunan ATP. Gangguan proses penyediaan energi yang dibutuhkan oleh sel dan kerusakan sel terjadi secara tidak langsung. Kerusakan membran akan mempengaruhi pompa sodium-potasium (Na-K) yang dibutuhkan dalam pengaturan konsentrasi ion Natrium dan Kalium di dalam dan di luar sel.

Lesio yang jelas terlihat dalam pengamatan histopatologi organ testis adalah edema (Gambar 18). Edema tersebut ditandai dengan peningkatan cairan intratubuli seminiferi (Himawan 1973). Menurut Porter (2006) testikular edema kemungkinan menghambat spermatogenesis melalui berbagai mekanisme meliputi hipoksia, produksi radikal bebas, dan penghambatan sitokinesis. Menurut Jubb et al. (1992), testikular edema secara histologi memperlihatkan pemisahan tubuli- tubuli, pelebaran tubuli, vakuolisasi germinal epitel, pelebaran limfatik, dan degenerasi awal (Gambar 19).

a a a b x x x y 0 0,5 1 1,5 2 2,5 3 100 200 300 KONTROL Skor   Histopatologi

Kelompok  Kelinci Berdasarkan  Kadar SO2(ppm) Fibrosis peritubuler Edema

Gambar 18. Lesio edema pada jaringan testis kelinci hipoksemia karena pemaparan SO2, tanda panah menunjukkan pemisahan tubuli akibat

edema. (Pewarnaan HE, Perbesaran 100X).

Gambar 19. Lesio degenerasi pada sel-sel tubuli testis kelinci hipoksemia karena pemaparan SO2, tampak inti-inti piknotik (panah merah) dan

vakuolisasi (panah hitam) dengan pewarnaan HE dengan perbesaran 200X.

Pada preparat histopatologi terlihat adanya kongesti atau pembendungan (Gambar 20). Keadaan ini ditandai dengan peningkatan volume darah dan sel darah merah terlihat memenuhi buluh darah sehingga buluh darah terlihat

berdilatasi. Keadaan ini dapat terjadi akibat iskhemia pembuluh darah. Bila kongesti terjadi lebih lama umumnya akan diikuti oleh edema, atropi, dan degenerasi sel parenkim akibat anoksia sampai terjadi nekrosis (Himawan 1973). Edema dan kongesti ini kemungkinan akan mendorong terjadinya fibrosis jaringan akibat aliran statis darah (Gambar 21).

Gambar 20. Lesio kongesti pada sel-sel tubuli testis kelinci hipoksemia karena pemaparan SO2, tanda panah menunjukkan sel-sel darah memenuhi

lumen buluh darah. (Pewarnaan HE, Perbesaran 100X).

Gambar 21. Lesio fibrosis pada sel-sel tubuli testis kelinci hipoksemia karena pemaparan SO2, tanda panah menunjukkan bertambahnya jaringan

ikat peritubuler. (Pewarnaan HE, Perbesaran 100X).

Testosteron disintesis di sel Leydig, dikontrol oleh sekresi LH yang dihasilkan dari hipofisis, FSH berperan pada stimulasi sekresi testosteron melalui pematangan sel Leydig (Karadag 2007a). Testosteron sendiri merupakan hormon

androgen utama yang ditemukan pada kelinci meskipun beberapa androgen lain seperti dehidrotestosteron, dehidroepiandrosteron. Pada penelitian pendahuluan dengan menggunakan dosis pemaparan yang berbeda, kelompok perlakuan mendapatkan pemaparan SO2 terdiri dari : A1 pemaparan SO2 dengan dosis <100

ppm, kelompok A2 pemaparan SO2 dengan dosis 100-200 ppm, A3 pemaparan

SO2 dengan dosis 200-300 ppm dan kelompok kontrol yang tidak dipapar.

Didapatkan semua kelompok yang mendapat pemaparan SO2 perinhalasi secara

nyata menurunkan jumlah sel Leydig dibandingkan kelompok kontrol, dan perbedaan kelompok kontrol dengan perlakuan berbeda bermakna secara statistik (Tabel 5).

Tabel 5. Jumlah sel Leydig pada kelinci jantan yang mendapat paparan SO2

dalam berbagai dosis

Perlakuan Jumlah sel intersisial kelamin jantan Sel Leydig

A1 101.00±21.21a

A2 103.50±14.06a

A3 79.67±4.16a

K 184±25.13b

Ket : Huruf pada kolom yang sama menyatakan tidak berbeda nyata (P>0.05). A1 = Pemaparan SO2 dengan dosis <100 ppm

A2 = Pemaparan SO2 dengan dosis 100-200 ppm

A3 = Pemaparan SO2 dengan dosis 200-300 ppm

K = Kelompok kontrol

Pada penderita PPOK akibat SO2 diperkirakan terjadi penurunan sekresi

LH oleh hipofise akibat hipoksia yang terjadi pada hipotalamus. Gangguan hormonal ini akan mempengaruhi sel Leydig sebagai reseptor LH untuk mensintesis testosteron. Sedikitnya jumlah sel Leydig sebagai penghasil testosteron menandakan rendahnya sirkulasi hormon androgen ini (Castro et al.

2002). Selain penurunan jumlah sel Leydig, inhibisi hipofise/pituitari dapat menyebabkan atrofi sel Leydig sebagai konsekuensi hipoksia (Gosney 1981).

Kelanjutan dari efek hipoksia ini secara lebih spesifik terhadap organ testis adalah pengaruhnya secara langsung dan tidak langsung (gangguan vaskularisasi). Secara tidak langsung, penurunan kadar LH menyebabkan penurunan sintesis testosteron oleh sel Leydig dan penurunan ini akan mempengaruhi sintesis protein

di dalam sel target di dalam testis. Hal ini akan menyebabkan hambatan fungsi dan pertumbuhan testikular yang bisa menyebabkan pengecilan ukuran tubuli, diikuti degenerasi elemen intrasel dan fibrosis peritubuler (Kupperman 1971). Sementara hipoksia dan iskhemia menyebabkan vaskularisasi terganggu sehingga mengakibatkan gangguan suplai oksigen ke sel–sel testis. Soukhova-O’Hare (2008) menemukan Chronic Intermitent hypoxia (CIH)tidak menyebabkan penurunan kadar testosteron dan kerusakan histopatologi testis baik jumlah ataupun bentuk sel Leydig dan sel sertoli. Hal ini mungkin disebabkan oleh kelainan yang dialami bersifat sementara, dan tubuh masih dapat kembali ke proses normal

Dokumen terkait