SEBAGAI MODEL DISFUNGSI EREKSI PADA MANUSIA
NUR RASYID
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul “Penurunan Kemampuan Relaksasi Otot Polos Korpus Kavernosum Kelinci Akibat Hipoksemia Kronis oleh SO2 Sebagai Model Disfungsi Ereksi pada Manusia” ini adalah karya
saya sendiri dengan arahan komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.
Bogor, 3 Agustus 2009
Nur Rasyid
Muscle due to Chronic Hypoxemia by SO2 as Human Erectile Dysfunction
Model. Under direction of BAMBANG PONTJO PRIOSOERYANTO, DEWI APRI ASTUTI, WASMEN MANALU dan AKMAL TAHER.
Chronic Obstructive Pulmonary Disease (COPD) was the chronic diseases that decrease quality of life progressively and also decrease sexual activity especially 75% of patients become erectile dysfunction. The purpose of this study is to evaluate the effect of chronic hypoxemia to total testosterone and free testosterore level; changing of smooth muscle and fibrous tissue in corpus cavernous; and deterioration of contractility and relaxation using organ bath
This experimental study consisted 3 study and used 24 local rabbit (Lepus spp.). First study was the exposure SO2 gas chronically to become COPD by evaluate
clinical symptoms, changing PaO2 level and pulmonary histopathology. Second study was to evaluate the changes in total testosterone and free testosterone level by radioimmunoassay technique and testicular histopathology. Third study is to evaluate contractility and relaxation of corpus cavernosus smooth muscle and improving of relaxation by (acetylcholine, sildenafil citrate and zaprinast) and corpus cavernosus histopathology with Mason-Trichrom staining technique.
The result of first study showed exposure of SO2 can caused severe hypoxemia with decreased PaO2 level < 60 mmHg, but there were no significant differences in histopathology. In second study, chronic hypoxemia caused congestive, edema, peritubular fibrosis and degeneration of testicular tubule cells. There was decreasing total testosterone and free testosterone level but no significant difference. In third study, chronic hypoxemia showed decreasing contractility and relaxation corpus cavernosus smooth muscle due to decreasing number of smooth muscle and increasing fibrous tissue
In this study concluded that exposure of SO2 can caused COPD. Chronic hypoxemia can caused decreasing number of smooth mucle and increasing fibrous tissue in corpus cavernosus which lead to decreasing relaxation ability that cause erectile dysfunction.
Key word : hypoxemia, SO2, total testosterone, free testosterone, corpus cavernosus,
sildenafil sitrat, zaprinast, erectile dysfunction
NUR RASYID. Penurunan Kemampuan Relaksasi Otot Polos Korpus Kavernosus Kelinci Akibat Hipoksemia Kronis oleh SO2 Sebagai Model Disfungsi Ereksi pada
Manusia. Dibimbing oleh BAMBANG PONTJO PRIOSOERYANTO, DEWI APRI ASTUTI, WASMEN MANALU dan AKMAL TAHER.
Penyakit paru obstruksi kronis (PPOK) adalah suatu penyakit kronis yang cenderung menurunkan kualitas hidup penderitanya secara progresif. Semakin meningkatnya polusi udara dan kebiasaan merokok meningkatkan jumlah penderitanya. PPOK menempati urutan kedua sebagai penyebab kematian perokok setelah penyakit pembuluh darah jantung. Penderita PPOK mengalami gangguan seksual yang nyata, didapatkan 75% mengalami disfungsi ereksi. Bertolak dari hal tersebut maka penelitian ini dilakukan untuk mengetahui patofisiologi terjadinya disfungsi ereksi pada penderita PPOK.
Pada penelitian ini dilakukan pada 24 kelinci jantan lokal (Lepus spp.) yang dibagi dua kelompok, yaitu perlakukan dan kontrol. Pemaparan dengan gas SO2
dilakukan didalam biochamber pada suhu 21ºC, selama 2 jam dalam 1 hari, 5 hari dalam 1 minggu, selama 4-5 minggu dengan kadar gas SO2 dinaikkan secara bertahap
50-300 ppm hingga terjadi PPOK yang ditandai penurunan kadar PaO2 disertai
adanya gejala klinis berupa rhinorhea (mengeluarkan cairan dari hidung), batuk, bersin, banyak keluar lendir dari tenggorokan (dahak) disertai penurunan bobot badan sebesar 300 gr. Pada akhir penelitian kelompok pelakuan mengalami PPOK berat (<60mmHg) dengan kadar rerata PaO2 49,01 ± 5,23mmHg, sedangkan kadar
rerata PaO2 kelompok kontrol 83,41 ± 10,89mmHg, terdapat perbedaan yang nyata (p
< 0,001). Penurunan bobot badan pada kelompok perlakuan sebesar 245,83 ± 113,73 g sedangkan pada kelompok kontrol terjadi peningkatan berat badan 166,67 ± 121,23 g, perubahan bobot badan antara kedua kelompok terdapat perbedaan yang nyata (p < 0,001). Pada skoring histopatologi paru antara kedua kelompok tidak berdeda secara statistik, hasil ini berbeda dengan hasil penelitian pendahuluan yang didapatkan adanya perbedaan yang nyata.
Penurunan kadar testosteron dapat menyebabkan disfungsi seksual, pada penderita PPOK berat (PaO2<60mmHg) terdapat korelasi positif antara penurunan
kadar PaO2 dengan terjadinya disfungsi seksual. Pada penelitian ini kadar testosterone
total diperiksa dengan teknik radioimmunoassay, kelompok perlakuan mengalami penurunan dari awal penelitian 0,817 ± 0,976 ng/dl menjadi 0,313 ± 0,464 ng/dl, sedangkan pada kelompok kontrol terjadi peningkatan pada awal penelitian 0,772 ± 0,779 ng/dl, menjadi 1,77 ± 1,899 ng/dl. Perubahan kadar testosteron tersebut tidak berbeda secara bermakna (P = 0,143).
Pada skoring histopatologi jaringan testis didapatkan perbedaan yang bermakna antara kelompok kontrol dengan perlakuan yang mengalami lesio lebih berat pada semua jenis lesio yang terjadi berupa degenerasi, kongesti, edema dan fibrosis peritubuler.
Proses ereksi terjadi melalui proses neurologis dan hemodinamik yang dikontrol oleh faktor psikologis. Ereksi normal memerlukan relaksasi otot polos korpus kavernosus yang baik. Pada penelitian ini preparasi otot polos korpus kavernosus dilakukan dengan teknik operasi mikroskopis. Dengan menggunakan organ bath otot polos korpus kavernosus diperiksa kemampuan kontraksi dengan penambahan phenylephrine dengan dosis 10-8 M sampai 10-4 M, didapatkan bahwa pada kelompok kontrol kemampuan kontraksinya lebih baik dan berbeda bermakna pada semua konsentrasi. Pada kelompok perlakuan terjadi penurunan kemampuan kontraksinya disebabkan berkurangnya jumlah otot polos dan meningkatnya jaringan ikat kolagen pada korpus kavernosum yang terlihat jelas dengan pewarnaan Masson-Trichrom.
Untuk menilai kemampuan relaksasi, otot polos korpus kavernosus yang telah dikontraksikan dengan diberikan Phenylepherine 10-4 M digunakan beberapa zat, salah satunya asetilkolin yang merupakan neurotransmiter yang berkerja melalui jalur cAMP dan cGMP secara tidak langsung, didapatkan kemampuan relaksasi kelompok kelinci perlakuan lebih buruk dan berbeda secara bermakna pada semua dosis asetilkolin 10-8 M sampai 10-4 M.
Inhibitor spesifik PDE-5 dan telah digunakan sebagai obat pilihan pertama pada disfungsi ereksi yang berkerja melalui jalur cGMP untuk meningkatkan kemampuan relaksasi otot polos korpus kavernosus, pada penelitian ini kelompok perlakuan kemampuan relaksasinya lebih buruk dan berbeda secara bermakna pada semua dosis sildenafil sitrat dari 10-8 sampai 10-4, karena berkurangnya jumlah otot polos dan meningkatnya jaringan ikat.
Penambahan zaprinast yang merupakan inhibitor PDE-5 yang mempunyai efektivitas lebih rendah dibandingkan sildenafil sitrat pada dosis rendah kemampuan relaksasi kelompok perlakuan lebih buruk dan berbeda secara bermakna pada dosis 10-8 M sampai 10-6 M, tetapi pada dosis yang lebih tinggi dosis 10-5 M sampai 10-4 M tidak berbeda secara bermakna. Hal ini berarti zaprinast dapat mengembalikan kemampuan relaksasi dari otot korpus kavernosum hewan hipoksemia karena PPOK, tetapi dosis yang dibutuhkan terlalu tinggi untuk dilanjutkan pada penelitian klinis.
Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa pemaparan SO2 menyebabkan
i
AKIBAT HIPOKSEMIA KRONIS OLEH SO
2SEBAGAI MODEL DISFUNGSI EREKSI PADA MANUSIA
NUR RASYID
Disertasi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada
Program Studi Sains Veteriner
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
ii
Nama : Nur Rasyid
NRP : B161020051
Program Studi : Sains Veteriner
Disetujui
Komisi Pembimbing
drh. Bambang Pontjo Priosoeryanto, MS, PhD. Prof. Ir. Wasmen Manalu Ph.D
Ketua Anggota
Dr. Ir. Dewi Apri Astuti, MS Prof. DR. dr. Akmal Taher, SpU-K Anggota Anggota
Diketahui
Ketua Dekan Sekolah Pascasarjana
Program Studi Sains Veteriner Institut Pertania Bogor
(drh.Bambang P. Priosoeryanto,MS, PhD.) (Prof.Dr.Ir. Khairil Anwar Notodiputro,MS)
iii
Puji syukur ke hadirat Illahi atas segala karuniaNya yang telah memberikan
kelapangan berpikir dan kesehatan kepada penulis, sehingga dapat menyelesaikan disertasi
dengan judul “Penurunan Kemampuan Relaksasi Otot Polos Korpus Kavernosum Kelinci
Akibat Hipoksemia Kronis oleh SO2 Sebagai Model Disfungsi Ereksi pada Manusia”.
Penelitian ini dilaksanakan mulai tahun 2005 sampai dengan 2008 di Laboraturium
Departemen Urologi Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) – Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia (FKUI); Bagian Patologi, Departemen Klinik Reproduksi dan
Patologi, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor (IPB); Departemen
Patologi Anatomi FKUI dan Makmal Terpadu FKUI.
Dengan selesainya disertasi ini, penulis ingin menyampaikan terima kasih yang tak
terhingga kepada Ketua Komisi Pembimbing drh. Bambang Pontjo Priosoeryanto,MS,
PhD. yang dengan penuh kesabaran telah membimbing dan mengarahkan penelitian ini
hingga selesai. Beliau pada saat ini juga menjabat sebagai Ketua Program Studi Sains
Veteriner Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Ucapan terima kasih penulis
kepada Dr. Ir. Dewi Apri Astuti, MS dan Prof. Ir. Wasmen Manalu, PhD. sebagai anggota
Komisi Pembimbing yang telah memberikan pengarahan, pencerahan, dan penyempurnaan
disertasi ini. Terima kasih juga penulis sampaikan kepada Prof. DR. dr. Akmal Taher,
SpU-K yang telah memberikan ide serta membuka wawasan penulis dalam pembuatan
disertasi ini sekaligus sebagai anggota Komisi Pembimbing.
Terimakasih saya sampaikan kepada para penguji luar ujian tertutup drh. M. Agus
Setiadi PhD, dan Prof. dr. Djoko Rahardjo SpB. SpU-K, serta penguji luar ujian terbuka
Prof. Dr. drh. Tuty L. Yusuf MS. Dan Prof. dr. Hadiarto Mangunnegoro SpP atas masukan
sehingga melengkapi disertasi ini
Terima kasih yang tulus kepada semua rekan di PS SVT – IPB dan para staf serta
karyawan Departemen Urologi FKUI-RSCM, yang telah membantu baik secara langsung
maupun atas kerja sama dan pengertiannya selama penulis menjalankan pendidikannya.
Dalam penyelesaian disertasi ini, penulis tak akan berhasil tanpa doa dan dorongan
orang tua kami Bapak Ir. Suyadi Cakrawijaya dan pengorbanan serta kesabaran dari istri
tercinta dr. Agustina Suhanura, MARS, serta ananda tercinta Kindi Aulia Rasyid dan Anisa
iv
Penulis dilahirkan di Bangkalan, Madura pada tanggal 21 November 1964 sebagai
anak ke 4 dari 4 bersaudara, pasangan almarhum H. Moh Amin dan almarhum Hj. St.
Hamidah. Pendidikan sarjana ditempuh di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia,
Jakarta, mulai tahun 1983 hingga 1987. Pendidikan dokter diselesaikan pada tahun 1989.
Pada tahun 1994-1999 mengikuti Program Pendidikan Spesialis I Urologi di Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta dan memperoleh gelar Spesialis I Urologi.
Penulis bekerja sebagai Staf Medis di Departemen Urologi Rumah Sakit Cipto
Mangunkusumo – Subbagian Urologi Departemen Bedah Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia mulai tahun 1999 sampai saat ini. Diangkat menjadi Kepala Departemen Urologi
yang selama ini bertugas, sejak Februari 2009.
Penulis menikah dengan dr. Agustina Suhanura, MARS pada tahun 1990 dan
dikarunia 2 orang anak Kindy Aulia Rasyid dan Anisa Sher Shah Rasyid.
Publikasi yang telah di terbitkan :
1. N Rasyid, A Taher, BP Priosoeryanto, W Manalu, DA Astuti. 2007. Testosterone
and free testosterone level in COPD rabbit. Aging Male 10(2) 109.
2. N Rasyid, A Taher, BP Priosoeryanto, W Manalu, DA Astuti. 2007. Relaxation
effect of PDE inhibitor on COPD penile smooth muscle in vitro. Aging Male 10
v Halaman
DAFTAR TABEL ……….………..……… vii
DAFTAR GAMBAR………..……..……… viii
DAFTAR LAMPIRAN ………..……….…… xii
DAFTAR SINGKATAN ……… xiii
I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ………. 1
1.2 Tujuan ………. 5
1.3 Manfaat ……….. 5
1.4 Hipotesis ……….. 5
1.5 Kerangka Pemikiran ……….… 6
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kelinci sebagai Hewan Model ……… 7
2.2 Penyakit Paru Obstruksi Kronis (PPOK) ……… 8
2.3 Gas Sulfur Dioksida (SO2) ……….. 9
2.4 Testosteron ……….. 10
2.5 Mekanisme Ereksi ……….. 13
2.5.1 Sistem Persarafan Ereksi ……….… 13
2.5.2 Anatomi dan Fisiologi Ereksi pada Penis ………... 15
2.5.3 Mekanisme Ereksi pada Tingkat Sel ……….. 17
2.6 Disfungsi Ereksi pada PPOK ……… 23
III. BAHAN DAN METODE 3.1 Tempat dan Waktu ………... 26
3.2 Hewan Percobaan ……… 26
3.3 Bahan dan Alat ……… 26
3.4 Metode Penelitian ……… 26
3.4.1 Tahapan Persiapan ……….. 29
3.4.2 Prosedur Pemaparan Gas SO2 dan Monitor Hipoksemia 29
3.4.3 Pemeriksaan Kadar Testosteron ………. 30
vi
3.4.7 Evaluasi Histopatologi ………. 33
3.5 Analisis Statistik ……….….. 36
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hipoksemia Kronis ……….…. 37
4.2 Kadar Testosteron dan Free Testosterone ……….. 43
4.3 Perubahan Histopatologi pada Testis ………... 47
4.4 Kemampuan Kontraksi Otot Polos Korpus Kavernosum ……… 53
4.5 Kemampuan Relaksasi Otot Polos Korpus Kavernosum ……… 55
4.6 Perubahan Histopatologi pada Otot Polos Korpus Kavernosum 66
V. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan ……….. 70
5.2 Saran ……… 70
VI. DAFTAR PUSTAKA ………. 71
vii
Tabel. Halaman
1. Skor perubahan histologi organ paru-paru. ………. 35
2. Skor perubahan histologi jaringan testis kelinci. ………... 35
3. Skor perubahan histologi jaringan korvus kavernosum. ………. 35
4. Perubahan bobot badan kelompok kelinci setelah dipapar dengan
gas SO2 dengan dosis maksimal yang berbeda, selama 5 minggu. …… 38
5. Jumlah sel Leydig pada kelinci jantan yang mendapat paparan SO2
viii
Gambar. Halaman
1. Alur pemikiran penelitian. ……….. 4
2. Persarafan ereksi pada medula spinalis: terdiri atas sistem persarafan
parasimpatis dan sistem persarafan simpatis. ………. 14
3. Sistem mekanisme oklusi vena korpus kavernosum, dalam keadaan
flasid aliran darah melalui arteri ke dalam korpus kavernosum sama
dengan aliran yang keluar melalui vena. ……… 16
4. Mekanisme molekuler relaksasi otot polos korpus kavernosum,
messenger kedua intra seluler cGMP dan cAMP. ………. 19
5. Alur kegiatan penelitian. ……… 28
6. Pemaparan kelinci dengan gas SO2 di dalam biochamber. ………... 30
7. Preparasi otot korpus kavernosum dengan operasi mikroskopis(A),
korpus kavernosum setelah dilakukan insisi tunika albugenia (B),
otot polos korpus kavernosum yang sudah dipreparasi (C). ……… 31
8. Organ bath untuk mengukur kekuatan kontraktilitas & relaksasi otot
(A), Tabung 2 unit organ bath (B), Strip otot dalam tabung (C). ……… 33
9. Paru-paru kelinci karena pemaparan SO2, mengalami penebalan dinding
alveol (panah) akibat akumulasi sel radang dan terjadinya kongesti dan
perdarahan. (Pewarnaan HE, 200X). ... 39
10. Dinding alveol paru-paru kelinci karena pemaparan SO2, mengalami
perdarahan dan akumulasi sel-sel radang (panah), karena kerusakan
alveolus beberapa alveolus menyatu sehingga terjadi emfisema
(Pewarnaan HE, 400X). ... 39
11. Skor histopatologi paru-paru pada kelinci yang dilakukan pemaparan
gas SO2 dengan berbagai konsentrasi dibandingkan dengan kontrol. …... 40
12. Perubahan kadar PaO2 masing-masing kelinci perlakuan sejak awal
penelitian, selama pemaparan dengan gas SO2 setiap akhir minggu
sampai minggu ke-5 akhir penelitian. ………. 41
13. Jumlah kelinci berdasarkan skor histopatologi paru-paru pada
ix dan perlakuan. ……… 43
15. Perubahan kadar testosteron (A) dan free testosterone (B) pada
kelompok kelinci kontrol dan perlakuan. ……….. 46
16. Skor histopatologi testis jenis lesio degenerasi dan kongesti pada
kelinci yang dilakukan pemaparan gas SO2 dengan berbagai
konsentrasi dibandingkan dengan kontrol. ……… 48
17. Skor histopatologi testis jenis lesio fibrosis peritubuler dan edema
pada kelinci yang dilakukan pemaparan gas SO2 dengan berbagai
konsentrasi dibandingkan dengan kontrol. ……… 49
18. Lesio edema pada jaringan testis kelinci hipoksemia karena pemaparan
SO2, tanda panah menunjukkan pemisahan tubuli akibat edema
(Pewarnaan HE, Perbesaran 100X). ………. 50
19. Lesio degenerasi pada sel-sel tubuli testis kelinci hipoksemia karena
pemaparan SO2, tampak inti-inti piknotik (panah merah) dan vakuolisasi
(panah biru) dengan pewarnaan HE dengan perbesaran 200X. ... 50
20. Lesio kongesti pada sel-sel tubuli testis kelinci hipoksemia karena
pemaparan SO2, tanda panah menunjukkan sel-sel darah memenuhi
lumen buluh darah (Pewarnaan HE, Perbesaran 100X). ... 50
21. Lesio fibrosis pada sel-sel tubuli testis kelinci hipoksemia karena
pemaparan SO2, tanda panah menunjukkan bertambahnya jaringan ikat
peritubuler (Pewarnaan HE, Perbesaran 100X). ... 51
22. Grafik peningkatan kontraksi otot polos korpus kavernosum in vitro
menggunakan organ bath dengan penambahan phenilephrine dengan
dosis 10-8 sampai 10-4 pada kelompok kontrol. ……… 54
23. Grafik peningkatan kontraksi otot polos korpus kavernosum in vitro
menggunakan organ bath dengan penambahan phenilephrine dengan
dosis 10-8 sampai 10-4 pada pelompok perlakuan. ……… 54
24. Persentasi perubahan kontraksi otot polos korpus kavernosum in vitro
x dosis 10-8 sampai 10-4 pada kelompok kontrol. ……… 56
26. Grafik perubahan relaksasi otot polos korpus kavernosum in vitro
menggunakan organ bath dengan penambahan asetilkolin dengan
dosis 10-8 sampai 10-4 pada kelompok perlakuan. ……… 57
27. Persentasi perubahan relaksasi otot polos korpus kavernosum in vitro
dengan penambahan asetilkolin pada masing masing dosis. ……… 57
28. Grafik perubahan relaksasi otot polos korpus kavernosum in vitro
menggunakan organ bath dengan penambahan sildenafil sitrat dengan
dosis 10-8 sampai 10-4, pada kelompok kontrol. ………. 58
29. Grafik perubahan relaksasi otot polos korpus kavernosum dengan
penambahan sildenafil sitrat dengan dosis 10-8 sampai 10-4, pada
kelompok perlakuan. ……… 59
30. Persentasi perubahan relaksasi otot polos korpus kavernosum in vitro
dengan penambahan sildenafil sitrat pada masing-masing dosis. ………. 59
31. Grafik perubahan relaksasi otot polos korpus kavernosum in vitro
menggunakan organ bath dengan penambahan zaprinast dengan
dosis 10-8 sampai 10-4, pada kelompok kontrol. ……… 60
32. Grafik perubahan relaksasi otot polos korpus kavernosum in vitro
menggunakan organ bath dengan penambahan zaprinast dengan
dosis 10-8 sampai 10-4, pada kelompok perlakuan. ……… 61
33. Persentasi perubahan relaksasi otot polos korpus kavernosum in vitro
dengan penambahan zaprinast dosis yang berbeda. ………. 61
34. Persentasi perubahan relaksasi otot polos korpus kavernosum in vitro
dengan penambahan asetilkolin sildenafil dan zaprinast pada masing
masing dosis pada hewan kontrol. ……… 62
35. Persentasi perubahan relaksasi dengan penambahan asetilkolin,
sildenafil sitrat, dan zaprinast pada masing-masing dosis pada
hewan perlakuan. ……….. 63
36. Jumlah kelinci berdasarkan skor histopatologi korpus kavernosum pada
xii Lampiran. Halaman
1. Rerata dan simpang baku kadar PaO2 (mmHg) pada awal, selama
pemaparan dengan gas SO2, dan hingga akhir penelitian dan nilai P. …. 80
2. Rerata ± simpang baku persentasi perubahan kontraksi otot polos
korpus kavernosum kontrol dengan penambahan phenilephrine
dan nilai P. ………. 80
3. Rerata ± simpang baku % perubahan relaksasi otot polos
korpus kavernosum kontrol dengan penambahan asetilkolin
dan nilai P. ………... 80
4. Rerata ± simpang baku kontraksi otot polos korpora kavernosum
kontrol dengan penambahan sildenafil sitrat dan nilai P. ……… 81
5. Rerata ± simpang baku kontraksi otot polos korpora kavernosum
kontrol dengan penambahan zaprinast dan nilai P. ……… 81
6. Persetujuan etik dari Badan penelitian dan pengembangan kesehatan,
xiii
DAFTAR SINGKATAN
μM : mikro molar
125
I : 125 iodine
Ach : Achetylcholine
ATP : Adenosine triphosphate
BS : Bulbospongiosus
CaCl2, : Calcium Chloride
cAMP : Cyclic adenosine monophosphate
cGMP : Cyclic guanosine monophosphate
CN : Cavernous Nerve
CO2 : Carbon dioxide
DALY : Disability-adjusted life year
DE : Disfungsi Ereksi
DGC : Dorsal Gray Commissure
dkk : Dan kawan kawan
DL : Dorsolateral
DM : Dorsomedial
eNOS : Endothelial nitric oxide synthetase
et al : and others/ et alii
FKUI : Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
FSH : Folicle Stimulating Hormone
HE : Hematoksisilin eosin
HN : Hypogastric Nerve
IC : Ischiocavernosus
IIEF : International Index for Erectile Dysfunction
IML : Intermediolateral Column
iNOS : Inducible nitric oxide synthetase
xiv LH : Luteinizing Hormone
M : Molar
mg : Miligram
MgSO4.7H2O : Magnesium Sulfat
ml : Mililiter
mm Hg : Millimeter of mercury
MPOA : Medial Preoptic Area
Na2EDTA : Natrium ethylenediaminetetraacetic acid
NaCl : Natrium Cloride
NADPH : Nicotinamide adenine dinucleotide phosphate-oxidase
NaHCO3 : Natrium hidrogen carbon
ng : Nanogram
ng/dL : Nanograms per deciliter
NIH : National Institute of Health
nM : Nanomolar
nNOS : Neuronal Nitric Oxide Synthetase
NO : Nitric Oxide
NO2 : Nitrogen Dioksida
NOS : Nitric oxide synthetase
Pa O2 : Partial arterial pressure of oxygen
PDE : Phosphodiesterase
PdN : Pudendal Nerve
PE : Phenilepherine
PG : Pelvic Ganglion
pg : Pikogram
PMN : Polimorfonukleus
PN : Pelvic Nerve
ppm : Part per million
PPOK : Penyakit paru obstruksi kronis
xv RSCM : Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo
S : Sacral
SHBG : Sex Hormone Binding Globoulin
Sil : Sildenafil sitrat
SO2 : Sulfur dioksida
SPN : Sacral Parasympathetic Nuclei
SPSS : Statistical Package for the Social Sciences
TL : Thoracolumbar Level
UI : Universitas Indonesia
USEPA : United States Environmental Protection Agency
WHO : World Health Organization
Zap : Zaprinast
1.1 Latar Belakang
Penyakit paru obstruksi kronis (PPOK) merupakan suatu kondisi yang
ditandai dengan gejala utama sesak napas (dyspnea) yang terjadi secara kronis
atau adanya obstruksi berulang aliran udara ke paru sehingga terjadi hiperkapnia,
hipoksemia, dan sianosis ringan. Penyakit paru obstruksi kronis adalah suatu
penyakit kronis yang cenderung mengganggu kualitas hidup pasien secara
progresif. Berdasarkan proyeksi yang dibuat oleh WHO pada UpdateProjections
of Global Mortality and Burden Disease November 2006, pada tahun 2002,
PPOK yang merupakan penyebab kematian ke-5 sebesar 3 juta (4,2%) akan
menjadi 3,9 juta pada tahun 2015 dan diperkirakan pada tahun 2030 akan
menempati urutan ke-4 dengan jumlah pasien sebesar 5,7 juta (7,8%) (Mathers
dan Loncar 2006).
Kebiasaan merokok merupakan faktor tunggal terpenting penyebab PPOK.
Secara umum terdapat hubungan antara jumlah dan lamanya mengkonsumsi rokok
dengan penurunan fungsi paru, 80% penderita PPOK mempunyai riwayat
merokok (MacNee 1999). Perokok berat mempunyai risiko 4–10 kali lipat terjadi
bronkitis kronis dibandingkan bukan perokok pada populasi yang sama. Perokok
yang meninggal karena PPOK menempati urutan ke-2 setelah penyakit pembuluh
darah jantung, sebesar 1,76 juta pasien (27%). Tinggal pada daerah yang berpolusi
tinggi dan terpapar dengan gas polutan secara kronis seperti gas SO2 dan NO2 juga
menjadi penyebab terjadinya bronkitis kronis (Kobzik 1999).
Pada dekade terakhir, insiden terjadinya PPOK meningkat secara dramatis
sebagai penyebab gangguan aktivitas dan mengharuskan penderitanya banyak
berbaring di tempat tidur. Penurunan kualitas hidup akibat PPOK yang
mengganggu aktivitas keseharian berdasarkan laporan WHO menggunakan
disability-adjusted life year (DALY) meningkat dari 30 juta pasien pada tahun
2002 (urutan ke-11) akan menjadi 36,7 juta pada 2015 dan menjadi 48,4 juta pada
yang bermakna dibandingkan dengan populasi normal pada kelompok umur yang
sama (Kobzik 1999; Schonhofer et al. 2001). Dengan menggunakan kuesioner
International Index for Erectile Dysfunction (IIEF) didapatkan 40 dari 53 pasien
PPOK (75,5%) mengalami disfungsi ereksi (Koseoglu et al. 2005). Di Indonesia,
studi yang dilakukan oleh Leleulya et al (2006) dengan menggunakan kuesioner
yang sama mendapatkan 39 dari 40 pasien PPOK (97,5%) mengalami disfungsi
ereksi, sedangkan dengan menggunakan Rigiscan untuk menilai terjadinya
peningkatan rigiditas dan frekuensi timbulnya rigiditas pada penis sewaktu pasien
tidur, didapatkan 30 dari 40 (75%) pasien dipastikan mengalami disfungsi ereksi
tipe organik. Sampai saat ini, diketahui bahwa penyebab disfungsi seksual pada
pasien PPOK adalah timbulnya sesak nafas sewaktu aktivitas, adanya penyakit
penyerta dan konsumsi obat, serta kadar testosteron yang lebih rendah dari
populasi normal (Ibanez et al. 2001; Kamischke et al. 1998).
Hubungan seksual normal diawali dengan adanya libido dilanjutkan
dengan terjadinya ereksi dan diakhiri dengan terjadinya ejakulasi bersamaan
dengan orgasme. Testosteron diketahui mempunyai peranan yang penting pada
libido. Pada beberapa penelitian terdahulu diduga bahwa penurunan kadar
testosteron pada pasien PPOK disebabkan karena efek hipoksemia yang menekan
aksis hipotalamus-hipofisis-testis (Semple et al. 1981; 1984). Pada tikus yang
dikastrasi kadar testosteron menjadi sangat rendah akan terjadi penurunan jumlah
n-NOS (neuronal Nitric Oxide Synthetase) dan penurunan tekanan
intrakavernosum penis. Apabila dilakukan suplementasi testosteron, kadar n-NOS
dan tekanan intrakavernosum akan meningkat kembali sehingga disimpulkan
testosteron berperan dalam proses fisiologi ereksi (Baba et al. 2000). Pada tikus
yang dilakukan kastrasi sehingga terjadi penurunan kadar testosteron mengalami
penurunan jumlah otot polos, peningkatan jumlah jaringan ikat korpus
kavernosum sehingga akan menurunkan kemampuan relaksasi dan tekanan
intrakorpus kavernosum yang menjadi penyebab gangguan ereksi.
Disfungsi ereksi didefinisikan sebagai ketidakmampuan untuk terjadinya
dan atau mempertahankan ereksi yang cukup untuk hubungan seksual yang
memuaskan (NIH Consensus, 1993). Sampai tahun 1970-an, 90% disfungsi ereksi
namun, sejak tahun 1980-an sampai 1990-an, dengan semakin jelasnya proses
fisiologi ereksi dan patofisiologi disfungsi ereksi, diketahui bahwa pada sekitar
70% kasus ditemukan adanya gangguan faktor organik. Pada dasarnya, ereksi
akan terjadi melalui proses neurologis dan hemodinamik yang dikontrol oleh
faktor psikologis. Penyebab disfungsi ereksi dibagi menjadi faktor psikologis dan
faktor organik yang dapat disebabkan oleh kelainan pada pembuluh darah
(vaskulogenik), persarafan (neurogenik), dan hormon (endokrinologik) (Carbone
danSeftel 2004).
Pada tingkat sel, ereksi diawali oleh pelepasan asetilkolin dari saraf
parasimpatis dan nitrit oksida (NO) dari saraf nonadrenergis nonkolinergis yang
akan mengaktifkan jalur cyclic 3,5, guanosine monophosphate (cGMP) sehingga
terjadi relaksasi otot polos korpus kavernosum sehingga terjadi ereksi. Nitrit
oksida inilah yang lebih berperanan penting pada proses fisiologi ereksi (Trussell
et al. 2004). Oksigenasi pada penis juga memiliki peran penting untuk regulasi
mekanisme lokal ereksi. Kondisi hipoksia kronis dapat mengganggu pembentukan
NO dan mengganggu aktivitas saraf simpatis lokal, yang dapat menimbulkan
disfungsi ereksi (Verratti et al. 2007).
Bronkitis kronis merupakan salah satu penyebab PPOK. Pada kelinci,
kondisi bronkitis kronis dapat diinduksi dengan baik sehingga menyerupai kondisi
yang terjadi pada manusia dengan melakukan pemaparan gas SO2 dan dibuktikan
adanya penurunan kadar PaO2 yang disertai perubahan gambaran histopatologi
paru (Iwase et al. 1997). Kelinci adalah hewan yang cukup ideal digunakan
sebagai model untuk menilai kontraktilitas dan relaksasi otot polos korpus
kavernosum cukup ideal (Taher dan Birowo 2004). Sejauh ini belum pernah
dilakukan penelitian efek hipoksia kronis terhadap kemampuan relaksasi otot
polos korpus kavernosum. Dalam penelitian ini akan dicari efek hipoksemia
kronis (PPOK) yang disebabkan SO2 terhadap gangguan relaksasi otot polos
korpus kavernosum sebagai penyebab terjadinya disfungsi ereksi dengan
mengunakan kelinci sebagai modelnya, sebagaimana digambarkan dalam alur
Gambar 1. Alur pemikiran penelitian Libido
PPOK
HipoksemiaSusunan Saraf Pusat
Supresi: Hipotalamus
Hipofisis PA : atrofi sel Leydig
Testosteron
Free Testosterone Gejala klinis (+)
PaO2
Patologi Paru (+)
LH
Disfungsi seksual
Relaksasi otot polos Korpora kavernosum
Disfungsi Ereksi
Jumlah otot polos KK penis Jumlah jaringan ikat
KK penis
Zat meningkatkan kemampuan
Relaksasi otot polos Korpora kavernosum
Terapi Disfungsi Ereksi
1.2 Tujuan
a. Tujuan umum penelitian ini untuk mengetahui efek hipoksia kronis karena
PPOK terhadap kemampuan relaksasi otot polos korpus kavernosum yang
merupakan penyebab terjadinya disfungsi ereksi, menggunakan pemaparan
SO2 kronis pada kelinci.
b. Tujuan khusus penelitian ini adalah menilai faktor-faktor yang kemungkinan
menjadi penyebab gangguan seksual dan disfungsi ereksi pada penderita
PPOK, antara lain:
1. Mengetahui dan mengkaji perubahan kadar hormon testosteron total dan
free testosterone pada kelinci yang telah mengalami hipoksemia kronis
karena PPOK.
2. Mengetahui dan mengkaji gangguan kontraksi dan relaksasi otot polos
korpus kavernosum pada kelinci PPOK.
3. Menilai adanya penurunan jumlah otot polos serta peningkatan jaringan
ikat pada korpus kavernosum kelinci PPOK.
4. Mengetahui dan mengkaji beberapa zat yang dapat memperbaiki relaksasi
otot polos korpus kavernosum pada kelinci PPOK.
1.3 Manfaat
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menemukan kelainan yang terjadi pada
hipoksemia kronis dan menerangkan patofisiologi terjadinya disfungsi ereksi
pada pasien PPOK sehingga dapat menentukan pengobatan yang tepat pada pasien
PPOK yang mengalami disfungsi ereksi.
1.4 Hipotesis
Hipoksemia kronis karena PPOK akan menyebabkan :
1. Penurunan kadar testosteron total dan free testosterone.
2. Penurunan jumlah otot polos.
3. Peningkatan jaringan ikat pada korpus kavernosum.
4. Penurunan kemampuan kontraksi dan relaksasi otot polos korpus
1.5 Kerangka Pemikiran
Kelinci jantan yang telah dipaparkan dengan SO2 secara kronis untuk
mendapatkan kondisi hipoksemia kronis sebagai hewan model mempunyai
kemiripan dengan pasien PPOK. Penyakit PPOK menyebabkan penderitanya
mengalami penurunan kualitas hidup mulai dari kondisi ringan sampai berat yang
mengharuskan berbaring di tempat tidur. Prevalensi disfungsi ereksi yang terjadi
pada pasien PPOK sangat tinggi. Hal ini dianggap karena penurunan kualitas
hidup secara umum.
Beberapa penelitian melaporkan bahwa pasien PPOK mengalami
penurunan kadar testosteron total dan free testosterone yang menjadi penyebab
gangguan seksual berupa penurunan libido. Hal ini terjadi karena hipoksemia
kronis akan menurunkan kemampuan hipofisis dalam memproduksi LH sehingga
akan menurunkan instruksi produksi testosteron oleh testis. Hipoksemia yang
bersifat sistemik akan menyebabkan testis kekurangan oksigen sehingga akan
menurunkan produksi testosteron. Pada tikus yang dikastrasi akan mengalami
penurunan kadar testosteron sehingga mengalami penurunan jumlah otot polos
dan peningkatan jumlah jaringan ikat korpus kavernosum sehingga akan
menurunkan kemampuan relaksasi dan tekanan intrakorpus kavernosum yang
menjadi penyebab gangguan ereksi. Hipoksia jaringan penis karena menurunnya
suplai oksigen yang disebabkan penurunan suplai darah dengan pengikatan arteri
iliaka mengakibatkan hal yang sama, yaitu penurunan jumlah otot polos dan
peningkatan jumlah jaringan ikat korpus kavernosum. Hipoksemia kronis, baik
secara langsung ataupun tidak langsung, melalui jalur hormonal akan
menyebabkan penurunan jumlah otot polos dan peningkatan jumlah jaringan ikat
II.
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Kelinci Sebagai Hewan Model
Pada mulanya kelinci merupakan hewan liar yang kemudian, sejak
2000 tahun silam, mulai dijinakkan dengan tujuan keindahan, bahan
pangan, serta hewan percobaan (Anonim2005). Kelinci merupakan salah satu
hewan yang daya adaptasi tubuhnya yang relatif tinggi sehingga mampu hidup
hampir di seluruh dunia. Akibat adanya penyebaran kelinci maka sebutan
hewan tersebut berbeda-beda seperti, di Eropa disebut rabbit, di Indonesia
disebut kelinci, di Jawa disebut terwelu dan sebagainya (Bappenas 2002).
Kelinci merupakan hewan model yang paling sering digunakan
setelah mencit dan tikus. The Institute of Laboratorium Animal Resource and
The Animal and Plant Health Inspection Service dalam Deptan (2005)
melaporkan bahwa lebih dari 400.000 Lagomorpha telah digunakan tiap
tahunnya dalam penelitian biomedis. Menurut Harknes dan Wagner (1983)
sistem binomial kelinci diklasifikasikan sebagai berikut :
Kingdom : Animal
Filum : Vertebrata
Kelas : Mammalia
Ordo : Lagomorpha
Famili : Leporidae
Subfamili : Leporine
Genus : Lepus
Spesies : Lepus spp.
Kelinci banyak digunakan sebagai hewan model dalam
penelitian biomedis karena memiliki banyak keuntungan, yaitu mudah
dikendalikan dan reproduksinya cepat. Penelitian yang sering
menggunakan hewan kelinci sebagai hewan coba adalah bidang fisiologi,
farmakologi, biokimia, patologi, zoology komparatif, dan ekologi dalam arti
digunakan untuk kepentingan diagnostik (Malole & Pramono 1989). Selain
keuntungan di atas, penggunaan kelinci sebagai hewan model karena
adanya standar metodologi untuk mempersiapkan kelinci sebagai hewan
percobaan serta saluran pernapasan pada kelinci (trakhea) memiliki karakteristik
yang khas seperti adanya epitel-epitel yang mempermudah transport ion, serta
glandula submukosa saluran pernapasan mensekresi ion Cl yang mempunyai
respons sinergis terhadap asetilkholin, phelylephine, dan ATP yang
ditambahkan atau disebut juga ekstraseluler ATP (Iwase et al. 1997).
Pada penelitian disfungsi ereksi, kelinci dapat digunakan karena enzim
PDE5 pada otot polos korpus kavernosumnya menyerupai enzim PDE5 pada otot
polos korpus kavernosum manusia (Wang et al. 2001). Demikian pula kondisi bronkitis kronis dapat diinduksi dengan baik pada kelinci sehingga menyerupai
kondisi yang terjadi pada manusia dengan melakukan pemaparan gas SO2 (Iwase
et al. 1997). Dengan demikian, kelinci ideal untuk digunakan sebagai hewan coba
untuk menilai gangguan relaksasi otot polos korpus kavernosum akibat PPOK
karena bronkitis kronis, sebagai model disfungsi ereksi pada manusia. Selain
beberapa kelebihannya, penggunaan kelinci juga mendatangkan banyak
kerugian karena kelinci mudah stress, rentan terhadap penyakit serta respons
yang bervariasi terhadap anesthetikum.
2.2 Penyakit Paru Obstruksi Kronis (PPOK)
PPOK merupakan suatu kondisi yang ditandai dengan gejala utama sesak
napas (dyspnea) yang terjadi secara kronis atau adanya obstruksi berulang aliran
udara ke paru sehingga terjadi hiperkapnia, hipoksemia, dan sianosis ringan.
Penyebab PPOK adalah merokok, polusi lingkungan, dan pemaparan terhadap gas
beracun. Insidensnya meningkat secara dramatis pada dekade terakhir dan
menjadi penyebab utama pada gangguan aktivitas penderitanya sehingga harus
berbaring di tempat tidur. Kelainan PPOK dapat berupa bronkitis khronis,
bronkiektasis, asma, dan emfisema, yang masing-masing mempunyai gambaran
patologi dan gejala yang berbeda. Penderita PPOK sering mempunyai kelainan
lebih dari satu jenis, seperti pada perokok kronis dapat terjadi bronkitis kronis
yang tinggal pada kota yang berpolusi. Secara klinis, bronkitis kronis
digambarkan adanya batuk yang produktif selama 3 bulan dalam 2 tahun
berturut-turut (Reilly et al. 2005; Speizer 2005; Kobzik 1999).
Dua faktor penyebab utama bronkitis kronis adalah inhalasi gas secara
kronis atau karena infeksi. Perokok berat mempunyai risiko 4–10 kali
dibandingkan bukan perokok pada populasi yang sama. Gambaran awal yang
sangat menonjol pada bronkitis kronis adalah hipersekresi lendir pada saluran
napas utama (besar) disertai gambaran hipertrofi dari kelenjar mukosa di trakea
dan bronkus. Setelah terjadi bronkitis kronis akan didapat peningkatan sel goblet
pada saluran napas yang lebih kecil, seperti cabang-cabang bronkus dan
bronkiolus yang berdiameter < 2–3 mm. Selain peningkatan produksi lendir,
hipertrofi kelenjar submukosa dan peningkatan jumlah sel goblet menyebabkan
terjadinya obstruksi aliran udara yang disebabkan oleh asap rokok atau gas
polutan seperti SO2 dan NO2.
Gambaran histopatologi pada saluran pernafasan yang lebih kecil adalah :
1. Metaplasi sel goblet, sumbatan lendir pada lumen.
2. Pengelompokan makrofag dan hiperpigmentasi pada alveolus.
3. Infiltrasi zat inflamasi.
4. Fibrosis dinding bronkiolus pada pasien umur lanjut (Hogg 2004 ; Kobzik
1999).
2.3 Gas Sulfur Dioksida (SO2)
Sulfur dioksida (SO2) merupakan bagian partikel yang mencemari udara.
Sifat SO2 mudah larut dalam air, tidak berwarna, berbau tajam atau pedas pada
konsentrasi sekitar 0,5 sampai 0,8 ppm, dan merupakan iritan yang kuat (Munthe
et al. 2003). Sulfur dioksida dapat berasal dari pembakaran batu bara dan minyak
mentah yang mengandung sulfur, pembangkit tenaga listrik bertenaga batu bara,
pabrik yang menghasilkan bubur kertas, peleburan seng, timah, dan tembaga serta
pemanas ruangan. Secara alamiah, sumber SO2 berasal dari dekomposisi zat-zat
organik, vulkanik, dan garam laut. Nilai standar SO2 berdasarkan National
Primary Air Quality Standards in United States adalah 0,03 ppm rata-rata per
United States Environmental Protection Agency (USEPA) adalah dengan teknik
pulsed fluoresecent (continuous).
Gas SO2 memiliki sifat polutan yang menimbulkan banyak kerugian dan
sifat korosifnya mengakibatkan harus berhati-hati dalam menggunakannya. Pada
kadar 1-5 ppm dapat menyebabkan iritasi mata, konsentrasi antara 5-10 ppm
menyebabkan iritasi mata dan mukosa hidung, sedangkan pemaparan dengan
konsentrasi antara 10-50 ppm selama 5-15 menit dapat menyebabkan iritasi mata,
hidung, tenggorok, juga timbul rasa tercekik di leher, nyeri dada, dan
bronkokontriksi. Konsentrasi SO2 lebih dari 50 ppm dapat menimbulkan
kerusakan parenkim paru dan vaskularisasi paru yang berat, dengan demikian,
terjadi perubahan fungsi dan anatomi paru (Munthe et al. 2003).
Iwase et al (1997) melakukan penelitian menggunakan kelinci New
Zealand White dewasa. Pemaparan dengan SO2 dilakukan untuk menimbulkan
bronkitis kronis. Gas SO2 bersifat sebagai gas iritan kronis yang diberikan dengan
dosis tinggi. Dosis dinaikkan secara bertahap sampai 50–300 ppm. Selama 5–7
minggu, pada minggu ke-4 sudah didapat tanda-tanda klinis bronkitis kronis
berupa keluarnya lendir dari hidung, batuk, bersin, dan kadang sianosis. Pada
pemeriksaaan laboratorium didapat penurunan kadar Pa O2 dari 91,3+4,9 mmHg
menjadi 57,1+42 mmHg. Pada pemeriksaan histopatologi, ditemukan penebalan
epitel mukosa, hiperplasi sel goblet, infiltrasi sel PMN pada lapisan submukosa,
dan mukosa, dan terjadi cedera dan hilangnya sebagian dari silia.
2.4 Testosteron
Testosteron merupakan hormon androgen utama pada pria, yang lebih dari
95% -nya dihasilkan oleh testis. Setiap hari, tubuh menghasilkan testosterone 6-7
mg (Coffey 1998). Proses metabolik perubahan dari kolesterol menjadi androgen
terjadi pada 500 juta sel Leydig yang hanya merupakan sebagian kecil dari
volume testis. Sebagian kecil hormon androgen dihasilkan oleh korteks adrenal.
Pembentukan steroid tidak hanya pada sel endokrin tetapi diproduksi pula oleh sel
otak (Baulieu 1997). Walaupun produksi sel otak sedikit, tetapi produksi steroid
oleh sel otak penting pada proses fisiologi lokal. Produksi testosteron diatur
menyebabkan hipogonadisme. Luteinizing hormone (LH) dan folikel stimulating
hormone (FSH) diperlukan untuk perkembangan dan mempertahankan fungsi
testis. LH merupakan hormon paling penting dalam mengatur fungsi sel Leydig.
Selain mengatur produksi hormon testosterone, dengan mengontrol aktivitas
metabolisme pada sel Leydig, kadar LH juga mempengaruhi proliferasi dan
diferensiasi sel Leydig (Rommerts 1998).
Telah lama diketahui bahwa testosteron memegang peranan utama pada
perilaku seksual pria. Pada masa prepubertas, anak laki-laki tidak berminat
terhadap hal seksual. Baru setelah puber, pada saat testis aktif memproduksi
androgen, dorongan dan motivasi seksual akan muncul. Pada umumnya
pertambahan umur berhubungan dengan peningkatan dan penurunan kadar
androgen yang mempengaruhi aktivitas seksual. Kadar testosteron dan terutama
yang tidak terikat dengan sex hormone binding globulin (SHBG), yang saat ini
dikenal dengan free testosteron, akan menurun dengan meningkatnya umur. Pada
keadaan ini, tampak adanya penurunan minat dan kemampuan seksual (Davidson
et al. 1983)
Kadar fisiologi testosteron total adalah antara 3–12 ng/ml. Kadar
testosteron di bawah 3 ng/ml akan berpengaruh buruk pada fungsi seksual.
Hormon androgen mempunyai peranan penting dalam pengaturan fungsi ereksi
dan defisiensi androgen sudah diketahui pengaruhnya tetapi bukan penyebab
tunggal terjadinya disfungsi ereksi (Carbone dan Seftel 2004). Mulligan dan
Schmitt (1993) menyimpulkan bahwa testosteron meningkatkan minat seksual,
frekuensi aktivitas seksual, dan frekuensi ereksi nokturna (frekkuensi ereksi yang
terjadi pada saat tidur, diperiksa dengan menggunakan alat rigiscan). Penemuan
ini penting karena ada teori yang mengatakan ereksi nokturna merupakan hal
yang esensial untuk mempertahankan oksigenisasi dan fungsi korpus kavernosum.
Granata et al (1997) melaporkan bahwa kadar testosteron yang diperlukan untuk
ereksi nokturna yang normal sekitar 2 ng/ml. Pria dengan kadar testosteron rendah
akan mengalami gangguan parameter ereksi nokturna, tetapi hal ini tidak terjadi
pada pria dengan kadar testosteron normal, karenanya kadar testosteron yang
normal penting untuk mempertahankan fungsi ereksi penis normal. Testosteron
pria umur lanjut. Penurunan secara gradual bioaktif hormon (free testosterone)
didefinisikan sebagai andropause. Vermeullen (1991) melaporkan penurunan
secara gradual testosteron dan free testosterone akan menyebabkan penurunan
jumlah dan fungsi sel Leydig. Pada penelitian cross-sectional Morley et al (1997)
didapatkan pada pria normal rata-rata kadar testosteron menurun sekitar 30%
antara umur 25 dan 75 tahun, sedangkan kadar free testosterone menurun sekitar
50%. Dalam laporannya, Ferrini dan Conor (1998) menulis bahwa perbedaan
penurunan kadar testosteron dan free testosterone disebabkan oleh terjadinya
peningkatan kadar testosterone binding globulin dengan bertambahnya umur.
Tetapi bukti rendahnya kadar testosteron pada penderita disfungsi ereksi tidak
ditemukan. Mekanisme pasti androgen pada proses terjadinya ereksi belum cukup
diketahui. Beyer dan Gonzales-Mariscal (1994) melaporkan bahwa kadar
testosteron dan dehidrotestosteron bertanggung jawab pada dorongan bagian
pelvis pria normal selama hubungan seksual. Mills et al (1994) dan Penson et al
(1996) melaporkan bahwa adanya perubahan hemodinamik pada tikus yang
dikastrasi berupa penurunan aliran arteri, meningkatnya aliran balik vena, dan
menurunnya respons terhadap stimulasi nervus kavernosum. Perubahan ini dapat
menjadi penyebab disfungsi ereksi dan diduga kuat aktivitas sintesis NO pada
penis hewan tersebut menurun sehingga kuat dugaan adanya hubungan yang lebih
jelas antara disfungsi endokrin dan mekanisme ereksi. Traish et al (1999)
menemukan adanya penurunan jumlah otot polos trabekular korpus kavernosum
pada kelinci yang dilakukan kastrasi. Hal ini memperlihatkan bahwa menurunnya
kadar testosteron dapat menyebabkan gangguan venooklusi. Fujimoto et al (1994)
mendapatkan bahwa androgen merangsang proliferasi kultur sel otot polos yang
diisolasi dari aorta tikus. Pada sel tersebut ditemukan adanya reseptor androgen
dan adanya aktivitas 5 α reduktase. Cunningham dan Hirskowitz (1997) menduga
bahwa testosteron dan metabolik dehidrotestosteron mempunyai efek yang
2.5 Mekanisme Ereksi
2.5.1 Sistem Persarafan Ereksi
Pada dasarnya, mekanisme ereksi terjadi melalui proses neurologis dan
hemodinamik yang dikontrol oleh faktor psikologis, dengan demikian, penyebab
disfungsi ereksi dibagi menjadi faktor psikologis dan faktor organik yang dapat
disebabkan oleh kelainan pada pembuluh darah (vaskulogenik), persarafan
(neurogenik), dan hormon (endokrinologik) (Carbone dan Seftel 2004).
Rangsangan seksual akan diolah pada susunan saraf pusat di beberapa tempat
terutama di jaras supra spinal, yaitu area preoptik medial (MPOA) dan nukleus
paraventrikularis (PVN) di hipotalamus dan hipokampus yang merupakan pusat
integrasi fungsi seksual dan ereksi. Penelitian pada hewan dengan melakukan
elektrostimulasi pada area tersebut akan menimbulkan terjadinya ereksi.
Sebaliknya, lesi pada daerah itu seperti stroke, ensefalitis, epilepsi lobus temporal,
dan penyakit Parkinson akan menurunkan frekuensi kopulasi dan disfungsi ereksi
(Sachs dan Meisel 1988; Marson et al. 1993). Berbagai macam neurotransmiter,
seperti dopamin dan norepinefrin ditemukan pada hipotalamus. Diduga, aktivasi
reseptor kedua neurotransmiter ini akan menyebabkan terjadinya ereksi,
sedangkan aktivasi reseptor serotonin ( 5-hydroxytryptamine) akan menghambat
terjadinya ereksi (Foreman dan Wernicke 1990). Penyuntikan apomorfin dengan
dosis 5 ng pada PVN tikus jantan akan menyebabkan ereksi tanpa adanya tikus
betina (Melis et al. 1987). Efek pemberian apomorfin akan meningkatkan
produksi oksida nitrat (NO) sebagai neurotransmiter penting terjadinya ereksi
terutama pada PVN (Melis et al. 1996). Sebaliknya, lesi pada PVN sangat
menurunkan kemampuan ereksi pada pemberian apomorfin (Argiolas et al.
1987). Dari penelitian tersebut diduga kuat bahwa aktivasi reseptor dopaminergik
di PVN berperanan pada terjadinya ereksi yang diinduksi dengan apomorfin
(Allard dan Giuliano 2004).
Rangsangan dari susunan saraf pusat akan dilanjutkan pada tingkat medula
spinalis yang mempunyai dua pusat persarafan ereksi, yaitu sistem persarafan
parasimpatis dan sistem persarafan simpatis. Sistem persarafan parasimpatis yang
merupakan pusat rangsangan terjadinya ereksi (erektogenik) terletak pada segmen
preganglion parasimpatis pada kolumna intermedio lateral medula spinalis sakrum
S3. Akson parasimpatis akan melalui nervus pelvikus menuju pleksus pelvis dan
bersinaps dengan persarafan post ganglion yang aksonnya menuju ke nervus
kavernosum (Nadelhaft et al. 1983; Allard dan Giuliano 2004). Sistem persarafan
simpatis yang terutama menghambat ereksi (erektolitik) pusatnya terletak pada
kolumna intermedio lateral dan komisura dorsal abu abu pada segmen
torakolumbal (T11 – L2) medula spinalis (Nadelhaft dan McKenna 1987; Allard
dan Giuliano 2004). (Gambar 2)
Penis dipersarafi oleh sistem persarafan otonom (simpatis dan
parasimpatis) pada daerah pelvis. Kedua saraf itu bersatu membentuk nervus
kavernosum yang masuk ke dalam korpus kavernosum, korpus spongiosum, dan
glans penis untuk pengaturan aliran darah selama ereksi dan detumesen. Sistem
persarafan somatis, yaitu nervus pudendus berperan sebagai sensorik penis,
kontraksi dan relaksasi otot lurik bulbokavernosum, dan iskiokavernosum (Lue
2000).
Sistem persarafan tersebut bertanggung jawab terhadap terjadinya tiga
macam tipe ereksi, yaitu psikogenik, refleksogenik, dan nokturna. Ereksi
psikogenik yang terjadi karena rangsangan pendengaran, penciuman, dan fantasi
yang diolah pada susunan saraf pusat akan dilanjutkan pada pusat ereksi di
medula spinalis (T11-L2 dan S2-S4) sehingga terjadi ereksi. Ereksi refleksogenik
yang terjadi karena rangsangan perabaan pada organ genital dan sekitarnya, akan
menuju pusat ereksi di medula spinalis yang akan menimbulkan persepsi sensoris
yang akan mengaktifkan sistem saraf otonom untuk menyampaikan rangsangan
pada nervus kavernosum sehingga terjadi ereksi. Tipe ereksi ini akan tetap terjadi
pada pasien dengan cedera medula spinalis di atas segmen S2. Ereksi nokturna
umumnya terjadi selama tidur rapid eye movement (REM). Selama tidur REM,
sistem saraf kolinergik yang terletak pada tegmentum pontin lateral akan
diaktifkan sehingga terjadi peningkatan ketegangan penis (Lue 2007).
2.5.2 Anatomi dan Fisiologi Ereksi pada Penis
Fisiologi dan anatomi ereksi telah disimpulkan dari berbagai penelitan
dengan baik oleh Krane (Taher 1993). Penis mempunyai sepasang korpora
kavernosa dan sebuah korpus spongiosum. Korpus spongiosum merupakan
jaringan yang mengelilingi urethra dan pada bagian distal membentuk bagian
kepala (glans) penis. Korpora kavernosa berbentuk sepasang tabung yang
mengecil di bagian ujung proksimalnya. Tunika albugenia, pembungkus tabung
ini melekat pada jaringan kavernosum yang berongga-rongga (sponge like)
sehingga terbentuklah ruang-ruang (lakuna) yang saling berhubungan dan dibatasi
oleh sel-sel endotel pembuluh darah. Dinding trabekulum ini terdiri atas seberkas
otot polos yang tebal dalam bingkai serat fibroelastik yang mengandung sel-sel
fibroblas, jaringan kolagen, dan elastin (Taher 1993).
Sumber pendarahan adalah arteri dorsalis penis dan arteri kavernosum
kanan dan kiri, yang lebih berperanan pada proses ereksi, dan merupakan cabang
akhir dari jalinan arteri hipogastrik kavernosum. Arteri kavernosum bercabang
membentuk arteri helisin, cabang dari setiap arteri helisin langsung berakhir di
melalui venula subtunika yang terletak di antara bagian perifer jaringan penegang
(erectile) dengan tunika albugenia. Aliran vena dari ujung penis mengalir
terutama melalui vena dorsalis profunda, sedangkan aliran bagian pangkal krura
biasanya melalui vena kavernosum dan vena kruralis (Lue 2004).
Ereksi diawali oleh relaksasi otot polos korpus kavernosa penis (Taher
1993). Dilatasi dinding kavernosa dan arteri helisine menyebabkan darah mengalir
memasuki ruangan-ruangan lakuna. Selanjutnya, relaksasi otot polos trabekulum
akan memperluas ruangan lakuna sehingga penis menjadi membesar.
Tekanan darah sistemik yang disalurkan melewati arteri helisine akan
lebih mendorong dinding trabekulum ke arah tunika albugenia. Sebaliknya
tekanan pada pleksus venula subtunika menyebabkan terhambatnya pengembalian
darah dari ruangan lakuna dan meningkatkan tekanan dalam lakuna sehingga
penis menjadi tegang (Taher 1993). Adanya tekanan dalam lakuna selama periode
ereksi dihasilkan oleh keseimbangan antara tekanan perfusi arteri kavernosum
dengan tahanan terhadap pengeluaran aliran darah oleh kompresi venula
subtunika. Pengurangan aliran darah balik subtunika oleh penekanan mekanik ini,
dikenal sebagai mekanisme oklusi vena (Gambar 3).
2.5.3 Mekanisme Ereksi pada Tingkat Sel
Pada tingkat seluler, proses terjadinya ereksi pada penis dimulai dengan
dikeluarkannya neurotransmiter nonadrenergik-nonkolinergik, yaitu NO (nitric
oxide) dari ujung saraf di korpus kavernosum dan sel endotel. NO disintesis dari
L-arginin endogen oleh eNOS (enzim nitric oxide synthase) (Trigo-Rocha et al.
1993a,1993b).
Terdapat 3 jenis NOS, yaitu neuronal (nNOS), makropage / immun /
inducible (iNOS), dan endothelial (eNOS). Adanya nNOS pada serabut saraf
pada korpus kavernosum mendukung bahwa NO berfungsi sebagai mediator
ereksi (Burnet 1992). NO masuk ke dalam sel otot polos korpus kavernosum
untuk meningkatkan kerja enzim guanilat siklase untuk membentuk cGMP (Lue
2007). Pada penelitian terakhir diketahui terdapat beberapa mediator penting pada
proses ereksi, tetapi sampai saat ini NO adalah satu mediator yang terpenting
(Rosenberg 2007).
Mekanisme cGMP memulai terjadinya relaksasi otot tampaknya melalui
aktivasi cGMP protein kinase spesifik sehingga terjadi fosforilasi dan inaktivasi
miosin kinase rantai pendek yang akan menyebabkan disosiasi aktin dan miosin
sehingga terjadi relaksasi otot(Draznin et al. 1986).
Diameter sel otot polos berkisar antara 250-440μm. Di dalam membran
nukleus yang berbentuk elips, terdapat nukleolus yang berwarna kehitaman dan
materi genetika sel. Di samping itu, di dalam sarkoplasma, tersebar serabut aktin
dan miosin, yaitu protein yang dapat melakukan kontraksi ataupun relaksasi
bergantung pada kadar ion kalsium (Ca2+) lokal. Setiap keadaan yang dapat
meningkatkan kadar ion Ca2+ akan menimbulkan kontraksi, sebaliknya penurunan
kadar Ca2+ akan diikuti oleh relaksasi protein tersebut (Weiss 1986; Adelstein dan
Sellers 1987).
Pada otot polos korpus kavernosum, regulasi terjadinya kontraksi dan
relaksasi diatur oleh kadar kalsium bebas dari sitosol (sarkoplasmik). Kontraksi
otot dipicu oleh peningkatan kadar kalsium bebas sitosol dari 120–270 menjadi
500–700nM. Pada kadar tinggi, kalsium akan berikatan dengan kalmodulin dan
akan berinteraksi dengan miosin kinase rantai pendek sehingga terjadi fosforilasi
dan menghasilkan tegangan, fosforilasi mengaktifkan pula miosin ATPase, di
mana hidrolisis ATP akan menghasilkan energi untuk kontraksi (Lue 2007).
Relaksasi otot polos yang akan menyebabkan terjadinya ereksi dimulai
dengan penurunan kadar kalsium bebas di sarkoplasma. Kalmodulin dilepaskan
dari miosin kinase rantai pendek dan menginaktivasi enzim ini. Miosin akan
didefosforilasi oleh miosin fosforilase rantai pendek sehingga melepaskan miosin
dari filamen aktin sehingga terjadilah relaksasi (Walsh 1991).
Cyclic AMP dan cGMP merupakan mesengger kedua pada proses
relaksasi otot polos. Keduanya mengaktivasi cAMP- dan cGMP- protein kinase
dependent sehingga terjadi fosforilasi protein dan mengubah ion channel sehingga
terjadi : (1) Pembukaan kanal kalium dan hiperpolarisasi. (2) Pengambilan
(sekuestrasi) kalsium intraseluler oleh retikulum endoplasma. (3) Penghambatan
tegangan kanal kalsium dependen, yang akhirnya mencegah masuknya kalsium.
Dengan demikian, terjadi penurunan kadar kalsium bebas sitosol yang
mengakibatkan relaksasi (Lue TF 2007) (Gambar 4).
Cyclic GMP yang merupakan zat aktif yang dihidrolisis oleh PDE-5
menjadi GMP yang tidak aktif. PDE-5 didapatkan dalam jumlah yang cukup
banyak di korpus kavernosum. PDE-2,-3 dan –4 juga ditemukan di korpus
kavernosum tetapi mempunyai peran yang kecil pada proses fisiologi ereksi bila
dibandingkan PDE-5 (Ballard et al. 1998).
Penelitian terdahulu di bidang terapi disfungsi ereksi telah membuktikan
bahwa kadar cGMP dalam sel otot polos korpus kavernosum berperan penting
dalam proses relaksasi otot polos korpus kavernosum yang pada akhirnya dapat
menimbulkan ereksi (Carter et al., 1998). Pemberian inhibitor fosfodiesterase tipe
5 yang spesifik cGMP untuk mencegah metabolisme cGMP menjadi GMP dapat
meningkatkan relaksasi otot polos korpus kavernosum (Carter et al., 1998 ;
Gambar 4. Mekanisme molekuler relaksasi otot polos korpus kavernosum, messenger kedua intraseluler cGMP dan cAMP. (Lue 2007).
Beberapa zat yang digunakan pada penelitian untuk menilai proses
fisiologi dan patofisologi pada proses relaksasi sesuai dengan beberapa teori
terjadinya proses relaksasi otot polos korpus kavernosum pada penelitian kami
menjadi dasar untuk penelitian klinis untuk kemungkinan penggunaan zat tersebut
sebagai terapi disfungsi ereksi pada pasien PPOK.
Asetilkolin
Struktur asetilkolin adalah ester dari asam asetat dan kolin dengan rumus
kimia : CH3COOCH2CH2N+(CH3)3. Stuktur kimia ini dinamakan
2-acetoxy-N,N,N-trimethylethanaminium (Katzung 2003).
Asetilkolin merupakan neurotransmitter yang pertama diidentifikasi, dan
bekerja pada sistem saraf pusat maupun perifer. Asetilkolin merupakan salah satu
neurotransmitter pada sistem saraf otonom dan satu-satunya neurotransmitter pada
sistem saraf somatik. Asetilkolin disintesis dari kolin dan asetil koA dengan
katalisasi enzim kolin acetyltransferase. Pembentukan asetilkolin tergantung pada
konsentrasi kolin, yang ditentukan oleh mekanisme uptake kolin pada ujung saraf.
Efek asetilkolin berbeda-beda bergantung pada tipe reseptor pada organ target.
Terdapat dua kelompok jenis reseptor untuk asetilkolin yaitu reseptor nikotinik
dan muskarinik. Reseptor nikotinik didapatkan pada ganglion perifer dan otot
lurik. Reseptor muskarinik bertanggung jawab pada transmisi saraf parasimpatik
postganglion (Andersson 2002).
Pada penis, terdapat banyak inervasi kolinergik yang didapatkan pada
pemeriksaan histokimia. Pada korpus kavernosum, didapatkan 4 tipe reseptor
muskarinik. Asetilkolin memiliki efek relaksasi pada otot polos korpus
kavernosum melalui mekanisme tidak langsung. Asetilkolin yang dikeluarkan dari
saraf efferent akan berikatan dengan reseptor muskarinik (tipe M3). Ikatan dengan
reseptor M3 pada endotel menstimulasi pembentukan oksida nitrat di endotelium.
Nitric oxide ini selanjutnya memicu pembentukan cGMP melalui aktivasi guanilat
siklase pada sel otot polos sekitarnya, menurunkan Ca2+ intraselular dan terjadi
vasodilatasi. Asetilkolin mempunyai efek relaksan nonspesifik, menyebabkan
relaksasi yang terjadi pada korpus kavernosum tidak sebaik pada penambahan
sildenafil sitrat (Morelli et al. 2004).
Asetilkolin juga berperan pada daerah presinaptik saraf yang menghambat
neuron adrenergik dan pelepasan norepinefrin. Norepinefrin ini memiliki sifat
Sildenafil Sitrat
Phosphodiesterase (PDE) adalah enzim yang menghidrolisis cyclic
adenosine 3,5-monophosphate (cAMP) dan cyclic guanosine 3,5-monophospahate
(cGMP), yang merupakan second messengers intraselular, menjadi AMP dan
GMP. Cyclic AMP dan cGMP sebagai second messengers mengontrol berbagai
proses fisiologi. Terdapat sebelas tipe fosfodiesterase yang ditemukan pada tubuh
manusia. PDE-5 predominan ditemukan pada korpus kavernosum.PDE-5
merupakan PDE yang spesifik terhadap cGMP. Struktur kimia sildenafil hampir
mirip dengan cGMP (McCullough 2002; Katzung 2003).
Pada penelitian tahun 1991–1992 ditemukan bahwa Sildenafil sebagai obat
antiangina tidak memberikan hasil yang baik, akan tetapi efek samping yang
ditemukan adalah efek erektogenik selama pengobatan. Sildenafil sitrat
merupakan inhibitor kompetitif potent selektif cGMP-specific PDE-5 dan
berikatan dengan bagian aktif dari PDE-5 (Lue 2007). Penemuan PDE-5
inhibitor dalam pengobatan disfungsi ereksi merupakan revolusi pengobatan pada
kelainan ini. PDE-5 inhibitor yang pertama kali digunakan pada pengobatan
disfungsi ereksi adalah sildenafil yang dikenal dengan merk dagang Viagra. Saat
ini sudah ada golongan PDE-5 inhibitor lain yang sudah digunakan pada
pengobatan disfungsi ereksi, yaitu vardenafil (Levitra) dan tadalafil (Cialis).
Saat terjadi stimulasi saraf nonadrenergik dan nonkolinergik pleksus
parasimpatis pelvis melalui stimulasi seksual, neurotransmiter NO dilepaskan.
NO selanjutnya meningkatkan kadar cGMP. Peningkatan cGMP akan
menimbulkan vasodilatasi dan dilatasi sinus korpus kavernosum sehingga terjadi
peningkatan aliran darah untuk terjadinya ereksi. PDE-5 akan memecah cGMP,
yang selanjutnya menimbulkan kontraksi arteri penis dan otot polos korpus
kavernosum dan menyebabkan detumesen. Sildenafil berikatan pada enzim
PDE-5, mencegah pemecahan cGMP oleh PDE-5 melalui mekanisme inhibibisi
kompetitif. Sildenafil hanya efektif dalam peningkatan kadar cGMP dengan
mencegah hidrolisisnya, tetapi tidak membantu dalam pembentukan NO.
Kelemahan sildenafil adalah efek sildenafil bergantung pada kadar NO endogen
siklase dalam pembentukan cGMP. Semakin rendah kadar NO semakin tidak
efektif sildenafil (McCullough 2002; Lue 2007).
Pengobatan disfungsi ereksi dengan PDE5 inhibitor merupakan
pengobatan yang aman dan merupakan terapi pilihan pertama pada
penatalaksanaan DE sesuai panduan AUA (American Urological Asociation),
EAU (Eropean Asociation of Urology) dan IAUI (Persatuan Ahli Urologi
Indonesia). Pemberian sildenafil sitrat pada individu yang sehat dapat
menyebabkan hipotensi ringan dan memperbaiki kekakuan pada arteri (Jackson et
al. 1999). Pada penelitian lain penghambat PDE-5 mempunyai manfaat pada
fungsi endotel pembuluh darah koroner (jantung) pada penderita jantung iskemik.
Penggunaan teratur setiap hari PDE-5 inhibitor memberikan efek manfaat yang
lebih baik dengan memperbaiki endotel pembuluh darah (Sommer dan Engelman,
2004). Efek samping yang paling sering dilaporkan adalah sakit kepala, hangat
pada muka, mual, rhinitis, gangguan pandangan sesaat (blue vision), pening dan
penurunan tekanan darah ringan (Corbin dan Fracis 2003; Rosenberg 2007).
Zaprinast
Struktur kimia zaprinast merupakan golongan xanthine dengan rumus
kimia C13H13N5O2. Stuktur kimia ini dinamakan
2-(2-Propoxyphenyl)-8-azahypoxanthine. Pada penelitian awal, zaprinast ditujukan untuk pengobatan
penyakit alergi melalui mekanisme stabilisasi sel mast. Zaprinast pertama kali
diberikan pada penderita asma yang dicetuskan oleh aktivitas dan memberikan
efek bronkodilator.
Zaprinast memiliki efek inhibitor selektif untuk cGMP – PDE-5 yang pada
awalnya didapatkan relaksasi otot polos pembuluh darah. Zaprinast juga memiliki
efek pada PDE tipe 1, 6 dan 9. Mekanisme yang ditimbulkan sama seperti
mekanisme sildenafil sitrat. Akan tetapi, beberapa literatur mengatakan efek
zaprinast lebih rendah dibandingkan sildenafil sitrat. Pada penelitian untuk
menilai karakteristik PDE 5 pada otot polos korpus kavernosum manusia, anjing
dan kelinci, didapatkan bahwa zaprinast menghambat PDE5 lebih tinggi pada
banyak digunakan untuk mengetahui peran cGMP sebagai second messenger yang
timbul dari NO pada otot polos (Wibberley 2002).
2.6 Disfungsi Ereksi pada PPOK
Proses hubungan seksual normal memerlukan adanya libido, ereksi,
ejakulasi, dan orgasme yang normal. Disfungsi seksual dapat berupa gangguan
pada libido, disfungsi ereksi, ejakulasi prematur atau ejakulasi retardasi, dan
gangguan orgasme (Lue 2007).
Disfungsi seksual yang terjadi pada pasien PPOK dapat berupa gangguan
pada libido dan disfungsi ereksi. Pada penelitian ini hanya akan diteliti disfungsi
ereksi yang terjadi pada kelinci PPOK.
Pada penelitian yang dilakukan oleh Schonhofer et al. (2001) terhadap
383 pasien gagal nafas kronis yang menggunakan ventilasi mekanis kronis, 173
di antaranya disebabkan oleh PPOK. Didapatkan adanya penurunan aktivitas
seksual yang bermakna, aktivitas seksual hanya dilakukan pada 34,1%,
sedangkan pada populasi dengan umur rata-rata yang sama masih didapatkan
aktivitas seksual pada 84%, perbedaan semakin jelas pada kelompok umur yang
lebih tua.
Kadar testosteron yang rendah pada pasien PPOK diduga karena
hipoksemia kronis yang menyebabkan supresi pada aksis
hipotalamus-hipofisis-testis. Hipoksemia kronis menyebabkan menurunnya produksi LH dari hipofisis
yang akan mengakibatkan produksi testosteron menurun pada pasien PPOK
bersamaan dengan proses penuaan (Semple et al. 1981; 1984). Bukti lain berupa
mengecilnya volume testis dan atropi sel Leydig yang bermakna pada pasien
PPOK (Gosney 1984; 1987)
Terdapat hubungan yang bermakna antara rendahnya tekanan kadar
PaO2 dan rendahnya kadar testosteron (Semple et al. 1981; 1984). Kadar
testosteron telah diketahui merupakan faktor utama yang berpengaruh pada
libido. Tetapi efek rendahnya kadar testosteron pada patofisiologi disfungsi ereksi
belum diketahui dengan jelas.
Pada populasi umur lanjut dengan bertambahnya umur tidak didapatkan