• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penurunan Kemampuan Relaksasi Otot Polos Korpus Kavernosum Kelinci Akibat Hipoksemia Kronis oleh SO2 sebagai Model Disfungsi Ereksi pada Manusia

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Penurunan Kemampuan Relaksasi Otot Polos Korpus Kavernosum Kelinci Akibat Hipoksemia Kronis oleh SO2 sebagai Model Disfungsi Ereksi pada Manusia"

Copied!
101
0
0

Teks penuh

(1)

SEBAGAI MODEL DISFUNGSI EREKSI PADA MANUSIA

NUR RASYID

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul “Penurunan Kemampuan Relaksasi Otot Polos Korpus Kavernosum Kelinci Akibat Hipoksemia Kronis oleh SO2 Sebagai Model Disfungsi Ereksi pada Manusia” ini adalah karya

saya sendiri dengan arahan komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Bogor, 3 Agustus 2009

Nur Rasyid

(3)

Muscle due to Chronic Hypoxemia by SO2 as Human Erectile Dysfunction

Model. Under direction of BAMBANG PONTJO PRIOSOERYANTO, DEWI APRI ASTUTI, WASMEN MANALU dan AKMAL TAHER.

Chronic Obstructive Pulmonary Disease (COPD) was the chronic diseases that decrease quality of life progressively and also decrease sexual activity especially 75% of patients become erectile dysfunction. The purpose of this study is to evaluate the effect of chronic hypoxemia to total testosterone and free testosterore level; changing of smooth muscle and fibrous tissue in corpus cavernous; and deterioration of contractility and relaxation using organ bath

This experimental study consisted 3 study and used 24 local rabbit (Lepus spp.). First study was the exposure SO2 gas chronically to become COPD by evaluate

clinical symptoms, changing PaO2 level and pulmonary histopathology. Second study was to evaluate the changes in total testosterone and free testosterone level by radioimmunoassay technique and testicular histopathology. Third study is to evaluate contractility and relaxation of corpus cavernosus smooth muscle and improving of relaxation by (acetylcholine, sildenafil citrate and zaprinast) and corpus cavernosus histopathology with Mason-Trichrom staining technique.

The result of first study showed exposure of SO2 can caused severe hypoxemia with decreased PaO2 level < 60 mmHg, but there were no significant differences in histopathology. In second study, chronic hypoxemia caused congestive, edema, peritubular fibrosis and degeneration of testicular tubule cells. There was decreasing total testosterone and free testosterone level but no significant difference. In third study, chronic hypoxemia showed decreasing contractility and relaxation corpus cavernosus smooth muscle due to decreasing number of smooth muscle and increasing fibrous tissue

In this study concluded that exposure of SO2 can caused COPD. Chronic hypoxemia can caused decreasing number of smooth mucle and increasing fibrous tissue in corpus cavernosus which lead to decreasing relaxation ability that cause erectile dysfunction.

Key word : hypoxemia, SO2, total testosterone, free testosterone, corpus cavernosus,

sildenafil sitrat, zaprinast, erectile dysfunction

(4)

NUR RASYID. Penurunan Kemampuan Relaksasi Otot Polos Korpus Kavernosus Kelinci Akibat Hipoksemia Kronis oleh SO2 Sebagai Model Disfungsi Ereksi pada

Manusia. Dibimbing oleh BAMBANG PONTJO PRIOSOERYANTO, DEWI APRI ASTUTI, WASMEN MANALU dan AKMAL TAHER.

Penyakit paru obstruksi kronis (PPOK) adalah suatu penyakit kronis yang cenderung menurunkan kualitas hidup penderitanya secara progresif. Semakin meningkatnya polusi udara dan kebiasaan merokok meningkatkan jumlah penderitanya. PPOK menempati urutan kedua sebagai penyebab kematian perokok setelah penyakit pembuluh darah jantung. Penderita PPOK mengalami gangguan seksual yang nyata, didapatkan 75% mengalami disfungsi ereksi. Bertolak dari hal tersebut maka penelitian ini dilakukan untuk mengetahui patofisiologi terjadinya disfungsi ereksi pada penderita PPOK.

Pada penelitian ini dilakukan pada 24 kelinci jantan lokal (Lepus spp.) yang dibagi dua kelompok, yaitu perlakukan dan kontrol. Pemaparan dengan gas SO2

dilakukan didalam biochamber pada suhu 21ºC, selama 2 jam dalam 1 hari, 5 hari dalam 1 minggu, selama 4-5 minggu dengan kadar gas SO2 dinaikkan secara bertahap

50-300 ppm hingga terjadi PPOK yang ditandai penurunan kadar PaO2 disertai

adanya gejala klinis berupa rhinorhea (mengeluarkan cairan dari hidung), batuk, bersin, banyak keluar lendir dari tenggorokan (dahak) disertai penurunan bobot badan sebesar 300 gr. Pada akhir penelitian kelompok pelakuan mengalami PPOK berat (<60mmHg) dengan kadar rerata PaO2 49,01 ± 5,23mmHg, sedangkan kadar

rerata PaO2 kelompok kontrol 83,41 ± 10,89mmHg, terdapat perbedaan yang nyata (p

< 0,001). Penurunan bobot badan pada kelompok perlakuan sebesar 245,83 ± 113,73 g sedangkan pada kelompok kontrol terjadi peningkatan berat badan 166,67 ± 121,23 g, perubahan bobot badan antara kedua kelompok terdapat perbedaan yang nyata (p < 0,001). Pada skoring histopatologi paru antara kedua kelompok tidak berdeda secara statistik, hasil ini berbeda dengan hasil penelitian pendahuluan yang didapatkan adanya perbedaan yang nyata.

Penurunan kadar testosteron dapat menyebabkan disfungsi seksual, pada penderita PPOK berat (PaO2<60mmHg) terdapat korelasi positif antara penurunan

kadar PaO2 dengan terjadinya disfungsi seksual. Pada penelitian ini kadar testosterone

total diperiksa dengan teknik radioimmunoassay, kelompok perlakuan mengalami penurunan dari awal penelitian 0,817 ± 0,976 ng/dl menjadi 0,313 ± 0,464 ng/dl, sedangkan pada kelompok kontrol terjadi peningkatan pada awal penelitian 0,772 ± 0,779 ng/dl, menjadi 1,77 ± 1,899 ng/dl. Perubahan kadar testosteron tersebut tidak berbeda secara bermakna (P = 0,143).

(5)

Pada skoring histopatologi jaringan testis didapatkan perbedaan yang bermakna antara kelompok kontrol dengan perlakuan yang mengalami lesio lebih berat pada semua jenis lesio yang terjadi berupa degenerasi, kongesti, edema dan fibrosis peritubuler.

Proses ereksi terjadi melalui proses neurologis dan hemodinamik yang dikontrol oleh faktor psikologis. Ereksi normal memerlukan relaksasi otot polos korpus kavernosus yang baik. Pada penelitian ini preparasi otot polos korpus kavernosus dilakukan dengan teknik operasi mikroskopis. Dengan menggunakan organ bath otot polos korpus kavernosus diperiksa kemampuan kontraksi dengan penambahan phenylephrine dengan dosis 10-8 M sampai 10-4 M, didapatkan bahwa pada kelompok kontrol kemampuan kontraksinya lebih baik dan berbeda bermakna pada semua konsentrasi. Pada kelompok perlakuan terjadi penurunan kemampuan kontraksinya disebabkan berkurangnya jumlah otot polos dan meningkatnya jaringan ikat kolagen pada korpus kavernosum yang terlihat jelas dengan pewarnaan Masson-Trichrom.

Untuk menilai kemampuan relaksasi, otot polos korpus kavernosus yang telah dikontraksikan dengan diberikan Phenylepherine 10-4 M digunakan beberapa zat, salah satunya asetilkolin yang merupakan neurotransmiter yang berkerja melalui jalur cAMP dan cGMP secara tidak langsung, didapatkan kemampuan relaksasi kelompok kelinci perlakuan lebih buruk dan berbeda secara bermakna pada semua dosis asetilkolin 10-8 M sampai 10-4 M.

Inhibitor spesifik PDE-5 dan telah digunakan sebagai obat pilihan pertama pada disfungsi ereksi yang berkerja melalui jalur cGMP untuk meningkatkan kemampuan relaksasi otot polos korpus kavernosus, pada penelitian ini kelompok perlakuan kemampuan relaksasinya lebih buruk dan berbeda secara bermakna pada semua dosis sildenafil sitrat dari 10-8 sampai 10-4, karena berkurangnya jumlah otot polos dan meningkatnya jaringan ikat.

Penambahan zaprinast yang merupakan inhibitor PDE-5 yang mempunyai efektivitas lebih rendah dibandingkan sildenafil sitrat pada dosis rendah kemampuan relaksasi kelompok perlakuan lebih buruk dan berbeda secara bermakna pada dosis 10-8 M sampai 10-6 M, tetapi pada dosis yang lebih tinggi dosis 10-5 M sampai 10-4 M tidak berbeda secara bermakna. Hal ini berarti zaprinast dapat mengembalikan kemampuan relaksasi dari otot korpus kavernosum hewan hipoksemia karena PPOK, tetapi dosis yang dibutuhkan terlalu tinggi untuk dilanjutkan pada penelitian klinis.

Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa pemaparan SO2 menyebabkan

(6)

 

AKIBAT HIPOKSEMIA KRONIS OLEH SO

2

SEBAGAI MODEL DISFUNGSI EREKSI PADA MANUSIA

NUR RASYID

Disertasi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada

Program Studi Sains Veteriner

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(7)

ii 

 

Nama : Nur Rasyid

NRP : B161020051

Program Studi : Sains Veteriner

Disetujui

Komisi Pembimbing

drh. Bambang Pontjo Priosoeryanto, MS, PhD. Prof. Ir. Wasmen Manalu Ph.D

Ketua Anggota

Dr. Ir. Dewi Apri Astuti, MS Prof. DR. dr. Akmal Taher, SpU-K Anggota Anggota

Diketahui

Ketua Dekan Sekolah Pascasarjana

Program Studi Sains Veteriner Institut Pertania Bogor

(drh.Bambang P. Priosoeryanto,MS, PhD.) (Prof.Dr.Ir. Khairil Anwar Notodiputro,MS)

(8)

iii 

 

Puji syukur ke hadirat Illahi atas segala karuniaNya yang telah memberikan

kelapangan berpikir dan kesehatan kepada penulis, sehingga dapat menyelesaikan disertasi

dengan judul “Penurunan Kemampuan Relaksasi Otot Polos Korpus Kavernosum Kelinci

Akibat Hipoksemia Kronis oleh SO2 Sebagai Model Disfungsi Ereksi pada Manusia”.

Penelitian ini dilaksanakan mulai tahun 2005 sampai dengan 2008 di Laboraturium

Departemen Urologi Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) – Fakultas Kedokteran

Universitas Indonesia (FKUI); Bagian Patologi, Departemen Klinik Reproduksi dan

Patologi, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor (IPB); Departemen

Patologi Anatomi FKUI dan Makmal Terpadu FKUI.

Dengan selesainya disertasi ini, penulis ingin menyampaikan terima kasih yang tak

terhingga kepada Ketua Komisi Pembimbing drh. Bambang Pontjo Priosoeryanto,MS,

PhD. yang dengan penuh kesabaran telah membimbing dan mengarahkan penelitian ini

hingga selesai. Beliau pada saat ini juga menjabat sebagai Ketua Program Studi Sains

Veteriner Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Ucapan terima kasih penulis

kepada Dr. Ir. Dewi Apri Astuti, MS dan Prof. Ir. Wasmen Manalu, PhD. sebagai anggota

Komisi Pembimbing yang telah memberikan pengarahan, pencerahan, dan penyempurnaan

disertasi ini. Terima kasih juga penulis sampaikan kepada Prof. DR. dr. Akmal Taher,

SpU-K yang telah memberikan ide serta membuka wawasan penulis dalam pembuatan

disertasi ini sekaligus sebagai anggota Komisi Pembimbing.

Terimakasih saya sampaikan kepada para penguji luar ujian tertutup drh. M. Agus

Setiadi PhD, dan Prof. dr. Djoko Rahardjo SpB. SpU-K, serta penguji luar ujian terbuka

Prof. Dr. drh. Tuty L. Yusuf MS. Dan Prof. dr. Hadiarto Mangunnegoro SpP atas masukan

sehingga melengkapi disertasi ini

Terima kasih yang tulus kepada semua rekan di PS SVT – IPB dan para staf serta

karyawan Departemen Urologi FKUI-RSCM, yang telah membantu baik secara langsung

maupun atas kerja sama dan pengertiannya selama penulis menjalankan pendidikannya.

Dalam penyelesaian disertasi ini, penulis tak akan berhasil tanpa doa dan dorongan

orang tua kami Bapak Ir. Suyadi Cakrawijaya dan pengorbanan serta kesabaran dari istri

tercinta dr. Agustina Suhanura, MARS, serta ananda tercinta Kindi Aulia Rasyid dan Anisa

(9)

iv 

 

Penulis dilahirkan di Bangkalan, Madura pada tanggal 21 November 1964 sebagai

anak ke 4 dari 4 bersaudara, pasangan almarhum H. Moh Amin dan almarhum Hj. St.

Hamidah. Pendidikan sarjana ditempuh di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia,

Jakarta, mulai tahun 1983 hingga 1987. Pendidikan dokter diselesaikan pada tahun 1989.

Pada tahun 1994-1999 mengikuti Program Pendidikan Spesialis I Urologi di Fakultas

Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta dan memperoleh gelar Spesialis I Urologi.

Penulis bekerja sebagai Staf Medis di Departemen Urologi Rumah Sakit Cipto

Mangunkusumo – Subbagian Urologi Departemen Bedah Fakultas Kedokteran Universitas

Indonesia mulai tahun 1999 sampai saat ini. Diangkat menjadi Kepala Departemen Urologi

yang selama ini bertugas, sejak Februari 2009.

Penulis menikah dengan dr. Agustina Suhanura, MARS pada tahun 1990 dan

dikarunia 2 orang anak Kindy Aulia Rasyid dan Anisa Sher Shah Rasyid.

Publikasi yang telah di terbitkan :

1. N Rasyid, A Taher, BP Priosoeryanto, W Manalu, DA Astuti. 2007. Testosterone

and free testosterone level in COPD rabbit. Aging Male 10(2) 109.

2. N Rasyid, A Taher, BP Priosoeryanto, W Manalu, DA Astuti. 2007. Relaxation

effect of PDE inhibitor on COPD penile smooth muscle in vitro. Aging Male 10

(10)

v Halaman

DAFTAR TABEL ……….………..……… vii

DAFTAR GAMBAR………..……..……… viii

DAFTAR LAMPIRAN ………..……….…… xii

DAFTAR SINGKATAN ……… xiii

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ………. 1

1.2 Tujuan ………. 5

1.3 Manfaat ……….. 5

1.4 Hipotesis ……….. 5

1.5 Kerangka Pemikiran ……….… 6

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kelinci sebagai Hewan Model ……… 7

2.2 Penyakit Paru Obstruksi Kronis (PPOK) ……… 8

2.3 Gas Sulfur Dioksida (SO2) ……….. 9

2.4 Testosteron ……….. 10

2.5 Mekanisme Ereksi ……….. 13

2.5.1 Sistem Persarafan Ereksi ……….… 13

2.5.2 Anatomi dan Fisiologi Ereksi pada Penis ………... 15

2.5.3 Mekanisme Ereksi pada Tingkat Sel ……….. 17

2.6 Disfungsi Ereksi pada PPOK ……… 23

III. BAHAN DAN METODE 3.1 Tempat dan Waktu ………... 26

3.2 Hewan Percobaan ……… 26

3.3 Bahan dan Alat ……… 26

3.4 Metode Penelitian ……… 26

3.4.1 Tahapan Persiapan ……….. 29

3.4.2 Prosedur Pemaparan Gas SO2 dan Monitor Hipoksemia 29

3.4.3 Pemeriksaan Kadar Testosteron ………. 30

(11)

vi

3.4.7 Evaluasi Histopatologi ………. 33

3.5 Analisis Statistik ……….….. 36

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hipoksemia Kronis ……….…. 37

4.2 Kadar Testosteron dan Free Testosterone ……….. 43

4.3 Perubahan Histopatologi pada Testis ………... 47

4.4 Kemampuan Kontraksi Otot Polos Korpus Kavernosum ……… 53

4.5 Kemampuan Relaksasi Otot Polos Korpus Kavernosum ……… 55

4.6 Perubahan Histopatologi pada Otot Polos Korpus Kavernosum 66

V. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan ……….. 70

5.2 Saran ……… 70

VI. DAFTAR PUSTAKA ………. 71

(12)

vii

Tabel. Halaman

1. Skor perubahan histologi organ paru-paru. ………. 35

2. Skor perubahan histologi jaringan testis kelinci. ………... 35

3. Skor perubahan histologi jaringan korvus kavernosum. ………. 35

4. Perubahan bobot badan kelompok kelinci setelah dipapar dengan

gas SO2 dengan dosis maksimal yang berbeda, selama 5 minggu. …… 38

5. Jumlah sel Leydig pada kelinci jantan yang mendapat paparan SO2

(13)

viii

Gambar. Halaman

1. Alur pemikiran penelitian. ……….. 4

2. Persarafan ereksi pada medula spinalis: terdiri atas sistem persarafan

parasimpatis dan sistem persarafan simpatis. ………. 14

3. Sistem mekanisme oklusi vena korpus kavernosum, dalam keadaan

flasid aliran darah melalui arteri ke dalam korpus kavernosum sama

dengan aliran yang keluar melalui vena. ……… 16

4. Mekanisme molekuler relaksasi otot polos korpus kavernosum,

messenger kedua intra seluler cGMP dan cAMP. ………. 19

5. Alur kegiatan penelitian. ……… 28

6. Pemaparan kelinci dengan gas SO2 di dalam biochamber. ………... 30

7. Preparasi otot korpus kavernosum dengan operasi mikroskopis(A),

korpus kavernosum setelah dilakukan insisi tunika albugenia (B),

otot polos korpus kavernosum yang sudah dipreparasi (C). ……… 31

8. Organ bath untuk mengukur kekuatan kontraktilitas & relaksasi otot

(A), Tabung 2 unit organ bath (B), Strip otot dalam tabung (C). ……… 33

9. Paru-paru kelinci karena pemaparan SO2, mengalami penebalan dinding

alveol (panah) akibat akumulasi sel radang dan terjadinya kongesti dan

perdarahan. (Pewarnaan HE, 200X). ... 39

10. Dinding alveol paru-paru kelinci karena pemaparan SO2, mengalami

perdarahan dan akumulasi sel-sel radang (panah), karena kerusakan

alveolus beberapa alveolus menyatu sehingga terjadi emfisema

(Pewarnaan HE, 400X). ... 39

11. Skor histopatologi paru-paru pada kelinci yang dilakukan pemaparan

gas SO2 dengan berbagai konsentrasi dibandingkan dengan kontrol. …... 40

12. Perubahan kadar PaO2 masing-masing kelinci perlakuan sejak awal

penelitian, selama pemaparan dengan gas SO2 setiap akhir minggu

sampai minggu ke-5 akhir penelitian. ………. 41

13. Jumlah kelinci berdasarkan skor histopatologi paru-paru pada

(14)

ix dan perlakuan. ……… 43

15. Perubahan kadar testosteron (A) dan free testosterone (B) pada

kelompok kelinci kontrol dan perlakuan. ……….. 46

16. Skor histopatologi testis jenis lesio degenerasi dan kongesti pada

kelinci yang dilakukan pemaparan gas SO2 dengan berbagai

konsentrasi dibandingkan dengan kontrol. ……… 48

17. Skor histopatologi testis jenis lesio fibrosis peritubuler dan edema

pada kelinci yang dilakukan pemaparan gas SO2 dengan berbagai

konsentrasi dibandingkan dengan kontrol. ……… 49

18. Lesio edema pada jaringan testis kelinci hipoksemia karena pemaparan

SO2, tanda panah menunjukkan pemisahan tubuli akibat edema

(Pewarnaan HE, Perbesaran 100X). ………. 50

19. Lesio degenerasi pada sel-sel tubuli testis kelinci hipoksemia karena

pemaparan SO2, tampak inti-inti piknotik (panah merah) dan vakuolisasi

(panah biru) dengan pewarnaan HE dengan perbesaran 200X. ... 50

20. Lesio kongesti pada sel-sel tubuli testis kelinci hipoksemia karena

pemaparan SO2, tanda panah menunjukkan sel-sel darah memenuhi

lumen buluh darah (Pewarnaan HE, Perbesaran 100X). ... 50

21. Lesio fibrosis pada sel-sel tubuli testis kelinci hipoksemia karena

pemaparan SO2, tanda panah menunjukkan bertambahnya jaringan ikat

peritubuler (Pewarnaan HE, Perbesaran 100X). ... 51

22. Grafik peningkatan kontraksi otot polos korpus kavernosum in vitro

menggunakan organ bath dengan penambahan phenilephrine dengan

dosis 10-8 sampai 10-4 pada kelompok kontrol. ……… 54

23. Grafik peningkatan kontraksi otot polos korpus kavernosum in vitro

menggunakan organ bath dengan penambahan phenilephrine dengan

dosis 10-8 sampai 10-4 pada pelompok perlakuan. ……… 54

24. Persentasi perubahan kontraksi otot polos korpus kavernosum in vitro

(15)

x dosis 10-8 sampai 10-4 pada kelompok kontrol. ……… 56

26. Grafik perubahan relaksasi otot polos korpus kavernosum in vitro

menggunakan organ bath dengan penambahan asetilkolin dengan

dosis 10-8 sampai 10-4 pada kelompok perlakuan. ……… 57

27. Persentasi perubahan relaksasi otot polos korpus kavernosum in vitro

dengan penambahan asetilkolin pada masing masing dosis. ……… 57

28. Grafik perubahan relaksasi otot polos korpus kavernosum in vitro

menggunakan organ bath dengan penambahan sildenafil sitrat dengan

dosis 10-8 sampai 10-4, pada kelompok kontrol. ………. 58

29. Grafik perubahan relaksasi otot polos korpus kavernosum dengan

penambahan sildenafil sitrat dengan dosis 10-8 sampai 10-4, pada

kelompok perlakuan. ……… 59

30. Persentasi perubahan relaksasi otot polos korpus kavernosum in vitro

dengan penambahan sildenafil sitrat pada masing-masing dosis. ………. 59

31. Grafik perubahan relaksasi otot polos korpus kavernosum in vitro

menggunakan organ bath dengan penambahan zaprinast dengan

dosis 10-8 sampai 10-4, pada kelompok kontrol. ……… 60

32. Grafik perubahan relaksasi otot polos korpus kavernosum in vitro

menggunakan organ bath dengan penambahan zaprinast dengan

dosis 10-8 sampai 10-4, pada kelompok perlakuan. ……… 61

33. Persentasi perubahan relaksasi otot polos korpus kavernosum in vitro

dengan penambahan zaprinast dosis yang berbeda. ………. 61

34. Persentasi perubahan relaksasi otot polos korpus kavernosum in vitro

dengan penambahan asetilkolin sildenafil dan zaprinast pada masing

masing dosis pada hewan kontrol. ……… 62

35. Persentasi perubahan relaksasi dengan penambahan asetilkolin,

sildenafil sitrat, dan zaprinast pada masing-masing dosis pada

hewan perlakuan. ……….. 63

36. Jumlah kelinci berdasarkan skor histopatologi korpus kavernosum pada

(16)
(17)

xii Lampiran. Halaman

1. Rerata dan simpang baku kadar PaO2 (mmHg) pada awal, selama

pemaparan dengan gas SO2, dan hingga akhir penelitian dan nilai P. …. 80

2. Rerata ± simpang baku persentasi perubahan kontraksi otot polos

korpus kavernosum kontrol dengan penambahan phenilephrine

dan nilai P. ………. 80

3. Rerata ± simpang baku % perubahan relaksasi otot polos

korpus kavernosum kontrol dengan penambahan asetilkolin

dan nilai P. ………... 80

4. Rerata ± simpang baku kontraksi otot polos korpora kavernosum

kontrol dengan penambahan sildenafil sitrat dan nilai P. ……… 81

5. Rerata ± simpang baku kontraksi otot polos korpora kavernosum

kontrol dengan penambahan zaprinast dan nilai P. ……… 81

6. Persetujuan etik dari Badan penelitian dan pengembangan kesehatan,

(18)

xiii

DAFTAR SINGKATAN

μM : mikro molar

125

I : 125 iodine

Ach : Achetylcholine

ATP : Adenosine triphosphate

BS : Bulbospongiosus

CaCl2, : Calcium Chloride

cAMP : Cyclic adenosine monophosphate

cGMP : Cyclic guanosine monophosphate

CN : Cavernous Nerve

CO2 : Carbon dioxide

DALY : Disability-adjusted life year

DE : Disfungsi Ereksi

DGC : Dorsal Gray Commissure

dkk : Dan kawan kawan

DL : Dorsolateral

DM : Dorsomedial

eNOS : Endothelial nitric oxide synthetase

et al : and others/ et alii

FKUI : Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia

FSH : Folicle Stimulating Hormone

HE : Hematoksisilin eosin

HN : Hypogastric Nerve

IC : Ischiocavernosus

IIEF : International Index for Erectile Dysfunction

IML : Intermediolateral Column

iNOS : Inducible nitric oxide synthetase

(19)

xiv LH : Luteinizing Hormone

M : Molar

mg : Miligram

MgSO4.7H2O : Magnesium Sulfat

ml : Mililiter

mm Hg : Millimeter of mercury

MPOA : Medial Preoptic Area

Na2EDTA : Natrium ethylenediaminetetraacetic acid

NaCl : Natrium Cloride

NADPH : Nicotinamide adenine dinucleotide phosphate-oxidase

NaHCO3 : Natrium hidrogen carbon

ng : Nanogram

ng/dL : Nanograms per deciliter

NIH : National Institute of Health

nM : Nanomolar

nNOS : Neuronal Nitric Oxide Synthetase

NO : Nitric Oxide

NO2 : Nitrogen Dioksida

NOS : Nitric oxide synthetase

Pa O2 : Partial arterial pressure of oxygen

PDE : Phosphodiesterase

PdN : Pudendal Nerve

PE : Phenilepherine

PG : Pelvic Ganglion

pg : Pikogram

PMN : Polimorfonukleus

PN : Pelvic Nerve

ppm : Part per million

PPOK : Penyakit paru obstruksi kronis

(20)

xv RSCM : Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo

S : Sacral

SHBG : Sex Hormone Binding Globoulin

Sil : Sildenafil sitrat

SO2 : Sulfur dioksida

SPN : Sacral Parasympathetic Nuclei

SPSS : Statistical Package for the Social Sciences

TL : Thoracolumbar Level

UI : Universitas Indonesia

USEPA : United States Environmental Protection Agency

WHO : World Health Organization

Zap : Zaprinast

(21)

1.1 Latar Belakang

Penyakit paru obstruksi kronis (PPOK) merupakan suatu kondisi yang

ditandai dengan gejala utama sesak napas (dyspnea) yang terjadi secara kronis

atau adanya obstruksi berulang aliran udara ke paru sehingga terjadi hiperkapnia,

hipoksemia, dan sianosis ringan. Penyakit paru obstruksi kronis adalah suatu

penyakit kronis yang cenderung mengganggu kualitas hidup pasien secara

progresif. Berdasarkan proyeksi yang dibuat oleh WHO pada UpdateProjections

of Global Mortality and Burden Disease November 2006, pada tahun 2002,

PPOK yang merupakan penyebab kematian ke-5 sebesar 3 juta (4,2%) akan

menjadi 3,9 juta pada tahun 2015 dan diperkirakan pada tahun 2030 akan

menempati urutan ke-4 dengan jumlah pasien sebesar 5,7 juta (7,8%) (Mathers

dan Loncar 2006).

Kebiasaan merokok merupakan faktor tunggal terpenting penyebab PPOK.

Secara umum terdapat hubungan antara jumlah dan lamanya mengkonsumsi rokok

dengan penurunan fungsi paru, 80% penderita PPOK mempunyai riwayat

merokok (MacNee 1999). Perokok berat mempunyai risiko 4–10 kali lipat terjadi

bronkitis kronis dibandingkan bukan perokok pada populasi yang sama. Perokok

yang meninggal karena PPOK menempati urutan ke-2 setelah penyakit pembuluh

darah jantung, sebesar 1,76 juta pasien (27%). Tinggal pada daerah yang berpolusi

tinggi dan terpapar dengan gas polutan secara kronis seperti gas SO2 dan NO2 juga

menjadi penyebab terjadinya bronkitis kronis (Kobzik 1999).

Pada dekade terakhir, insiden terjadinya PPOK meningkat secara dramatis

sebagai penyebab gangguan aktivitas dan mengharuskan penderitanya banyak

berbaring di tempat tidur. Penurunan kualitas hidup akibat PPOK yang

mengganggu aktivitas keseharian berdasarkan laporan WHO menggunakan

disability-adjusted life year (DALY) meningkat dari 30 juta pasien pada tahun

2002 (urutan ke-11) akan menjadi 36,7 juta pada 2015 dan menjadi 48,4 juta pada

(22)

yang bermakna dibandingkan dengan populasi normal pada kelompok umur yang

sama (Kobzik 1999; Schonhofer et al. 2001). Dengan menggunakan kuesioner

International Index for Erectile Dysfunction (IIEF) didapatkan 40 dari 53 pasien

PPOK (75,5%) mengalami disfungsi ereksi (Koseoglu et al. 2005). Di Indonesia,

studi yang dilakukan oleh Leleulya et al (2006) dengan menggunakan kuesioner

yang sama mendapatkan 39 dari 40 pasien PPOK (97,5%) mengalami disfungsi

ereksi, sedangkan dengan menggunakan Rigiscan untuk menilai terjadinya

peningkatan rigiditas dan frekuensi timbulnya rigiditas pada penis sewaktu pasien

tidur, didapatkan 30 dari 40 (75%) pasien dipastikan mengalami disfungsi ereksi

tipe organik. Sampai saat ini, diketahui bahwa penyebab disfungsi seksual pada

pasien PPOK adalah timbulnya sesak nafas sewaktu aktivitas, adanya penyakit

penyerta dan konsumsi obat, serta kadar testosteron yang lebih rendah dari

populasi normal (Ibanez et al. 2001; Kamischke et al. 1998).

Hubungan seksual normal diawali dengan adanya libido dilanjutkan

dengan terjadinya ereksi dan diakhiri dengan terjadinya ejakulasi bersamaan

dengan orgasme. Testosteron diketahui mempunyai peranan yang penting pada

libido. Pada beberapa penelitian terdahulu diduga bahwa penurunan kadar

testosteron pada pasien PPOK disebabkan karena efek hipoksemia yang menekan

aksis hipotalamus-hipofisis-testis (Semple et al. 1981; 1984). Pada tikus yang

dikastrasi kadar testosteron menjadi sangat rendah akan terjadi penurunan jumlah

n-NOS (neuronal Nitric Oxide Synthetase) dan penurunan tekanan

intrakavernosum penis. Apabila dilakukan suplementasi testosteron, kadar n-NOS

dan tekanan intrakavernosum akan meningkat kembali sehingga disimpulkan

testosteron berperan dalam proses fisiologi ereksi (Baba et al. 2000). Pada tikus

yang dilakukan kastrasi sehingga terjadi penurunan kadar testosteron mengalami

penurunan jumlah otot polos, peningkatan jumlah jaringan ikat korpus

kavernosum sehingga akan menurunkan kemampuan relaksasi dan tekanan

intrakorpus kavernosum yang menjadi penyebab gangguan ereksi.

Disfungsi ereksi didefinisikan sebagai ketidakmampuan untuk terjadinya

dan atau mempertahankan ereksi yang cukup untuk hubungan seksual yang

memuaskan (NIH Consensus, 1993). Sampai tahun 1970-an, 90% disfungsi ereksi

(23)

namun, sejak tahun 1980-an sampai 1990-an, dengan semakin jelasnya proses

fisiologi ereksi dan patofisiologi disfungsi ereksi, diketahui bahwa pada sekitar

70% kasus ditemukan adanya gangguan faktor organik. Pada dasarnya, ereksi

akan terjadi melalui proses neurologis dan hemodinamik yang dikontrol oleh

faktor psikologis. Penyebab disfungsi ereksi dibagi menjadi faktor psikologis dan

faktor organik yang dapat disebabkan oleh kelainan pada pembuluh darah

(vaskulogenik), persarafan (neurogenik), dan hormon (endokrinologik) (Carbone

danSeftel 2004).

Pada tingkat sel, ereksi diawali oleh pelepasan asetilkolin dari saraf

parasimpatis dan nitrit oksida (NO) dari saraf nonadrenergis nonkolinergis yang

akan mengaktifkan jalur cyclic 3,5, guanosine monophosphate (cGMP) sehingga

terjadi relaksasi otot polos korpus kavernosum sehingga terjadi ereksi. Nitrit

oksida inilah yang lebih berperanan penting pada proses fisiologi ereksi (Trussell

et al. 2004). Oksigenasi pada penis juga memiliki peran penting untuk regulasi

mekanisme lokal ereksi. Kondisi hipoksia kronis dapat mengganggu pembentukan

NO dan mengganggu aktivitas saraf simpatis lokal, yang dapat menimbulkan

disfungsi ereksi (Verratti et al. 2007).

Bronkitis kronis merupakan salah satu penyebab PPOK. Pada kelinci,

kondisi bronkitis kronis dapat diinduksi dengan baik sehingga menyerupai kondisi

yang terjadi pada manusia dengan melakukan pemaparan gas SO2 dan dibuktikan

adanya penurunan kadar PaO2 yang disertai perubahan gambaran histopatologi

paru (Iwase et al. 1997). Kelinci adalah hewan yang cukup ideal digunakan

sebagai model untuk menilai kontraktilitas dan relaksasi otot polos korpus

kavernosum cukup ideal (Taher dan Birowo 2004). Sejauh ini belum pernah

dilakukan penelitian efek hipoksia kronis terhadap kemampuan relaksasi otot

polos korpus kavernosum. Dalam penelitian ini akan dicari efek hipoksemia

kronis (PPOK) yang disebabkan SO2 terhadap gangguan relaksasi otot polos

korpus kavernosum sebagai penyebab terjadinya disfungsi ereksi dengan

mengunakan kelinci sebagai modelnya, sebagaimana digambarkan dalam alur

(24)

Gambar 1. Alur pemikiran penelitian Libido

PPOK

Hipoksemia

Susunan Saraf Pusat

Supresi: Hipotalamus

Hipofisis PA : atrofi sel Leydig

Testosteron

Free Testosterone Gejala klinis (+)

PaO2

Patologi Paru (+)

LH

Disfungsi seksual

Relaksasi otot polos Korpora kavernosum

Disfungsi Ereksi

Jumlah otot polos KK penis Jumlah jaringan ikat

KK penis

Zat meningkatkan kemampuan

Relaksasi otot polos Korpora kavernosum

Terapi Disfungsi Ereksi

(25)

1.2 Tujuan

a. Tujuan umum penelitian ini untuk mengetahui efek hipoksia kronis karena

PPOK terhadap kemampuan relaksasi otot polos korpus kavernosum yang

merupakan penyebab terjadinya disfungsi ereksi, menggunakan pemaparan

SO2 kronis pada kelinci.

b. Tujuan khusus penelitian ini adalah menilai faktor-faktor yang kemungkinan

menjadi penyebab gangguan seksual dan disfungsi ereksi pada penderita

PPOK, antara lain:

1. Mengetahui dan mengkaji perubahan kadar hormon testosteron total dan

free testosterone pada kelinci yang telah mengalami hipoksemia kronis

karena PPOK.

2. Mengetahui dan mengkaji gangguan kontraksi dan relaksasi otot polos

korpus kavernosum pada kelinci PPOK.

3. Menilai adanya penurunan jumlah otot polos serta peningkatan jaringan

ikat pada korpus kavernosum kelinci PPOK.

4. Mengetahui dan mengkaji beberapa zat yang dapat memperbaiki relaksasi

otot polos korpus kavernosum pada kelinci PPOK.

1.3 Manfaat

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menemukan kelainan yang terjadi pada

hipoksemia kronis dan menerangkan patofisiologi terjadinya disfungsi ereksi

pada pasien PPOK sehingga dapat menentukan pengobatan yang tepat pada pasien

PPOK yang mengalami disfungsi ereksi.

1.4 Hipotesis

Hipoksemia kronis karena PPOK akan menyebabkan :

1. Penurunan kadar testosteron total dan free testosterone.

2. Penurunan jumlah otot polos.

3. Peningkatan jaringan ikat pada korpus kavernosum.

4. Penurunan kemampuan kontraksi dan relaksasi otot polos korpus

(26)

1.5 Kerangka Pemikiran

Kelinci jantan yang telah dipaparkan dengan SO2 secara kronis untuk

mendapatkan kondisi hipoksemia kronis sebagai hewan model mempunyai

kemiripan dengan pasien PPOK. Penyakit PPOK menyebabkan penderitanya

mengalami penurunan kualitas hidup mulai dari kondisi ringan sampai berat yang

mengharuskan berbaring di tempat tidur. Prevalensi disfungsi ereksi yang terjadi

pada pasien PPOK sangat tinggi. Hal ini dianggap karena penurunan kualitas

hidup secara umum.

Beberapa penelitian melaporkan bahwa pasien PPOK mengalami

penurunan kadar testosteron total dan free testosterone yang menjadi penyebab

gangguan seksual berupa penurunan libido. Hal ini terjadi karena hipoksemia

kronis akan menurunkan kemampuan hipofisis dalam memproduksi LH sehingga

akan menurunkan instruksi produksi testosteron oleh testis. Hipoksemia yang

bersifat sistemik akan menyebabkan testis kekurangan oksigen sehingga akan

menurunkan produksi testosteron. Pada tikus yang dikastrasi akan mengalami

penurunan kadar testosteron sehingga mengalami penurunan jumlah otot polos

dan peningkatan jumlah jaringan ikat korpus kavernosum sehingga akan

menurunkan kemampuan relaksasi dan tekanan intrakorpus kavernosum yang

menjadi penyebab gangguan ereksi. Hipoksia jaringan penis karena menurunnya

suplai oksigen yang disebabkan penurunan suplai darah dengan pengikatan arteri

iliaka mengakibatkan hal yang sama, yaitu penurunan jumlah otot polos dan

peningkatan jumlah jaringan ikat korpus kavernosum. Hipoksemia kronis, baik

secara langsung ataupun tidak langsung, melalui jalur hormonal akan

menyebabkan penurunan jumlah otot polos dan peningkatan jumlah jaringan ikat

(27)

II.

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kelinci Sebagai Hewan Model

Pada mulanya kelinci merupakan hewan liar yang kemudian, sejak

2000 tahun silam, mulai dijinakkan dengan tujuan keindahan, bahan

pangan, serta hewan percobaan (Anonim2005). Kelinci merupakan salah satu

hewan yang daya adaptasi tubuhnya yang relatif tinggi sehingga mampu hidup

hampir di seluruh dunia. Akibat adanya penyebaran kelinci maka sebutan

hewan tersebut berbeda-beda seperti, di Eropa disebut rabbit, di Indonesia

disebut kelinci, di Jawa disebut terwelu dan sebagainya (Bappenas 2002).

Kelinci merupakan hewan model yang paling sering digunakan

setelah mencit dan tikus. The Institute of Laboratorium Animal Resource and

The Animal and Plant Health Inspection Service dalam Deptan (2005)

melaporkan bahwa lebih dari 400.000 Lagomorpha telah digunakan tiap

tahunnya dalam penelitian biomedis. Menurut Harknes dan Wagner (1983)

sistem binomial kelinci diklasifikasikan sebagai berikut :

Kingdom : Animal

Filum : Vertebrata

Kelas : Mammalia

Ordo : Lagomorpha

Famili : Leporidae

Subfamili : Leporine

Genus : Lepus

Spesies : Lepus spp.

Kelinci banyak digunakan sebagai hewan model dalam

penelitian biomedis karena memiliki banyak keuntungan, yaitu mudah

dikendalikan dan reproduksinya cepat. Penelitian yang sering

menggunakan hewan kelinci sebagai hewan coba adalah bidang fisiologi,

farmakologi, biokimia, patologi, zoology komparatif, dan ekologi dalam arti

(28)

digunakan untuk kepentingan diagnostik (Malole & Pramono 1989). Selain

keuntungan di atas, penggunaan kelinci sebagai hewan model karena

adanya standar metodologi untuk mempersiapkan kelinci sebagai hewan

percobaan serta saluran pernapasan pada kelinci (trakhea) memiliki karakteristik

yang khas seperti adanya epitel-epitel yang mempermudah transport ion, serta

glandula submukosa saluran pernapasan mensekresi ion Cl yang mempunyai

respons sinergis terhadap asetilkholin, phelylephine, dan ATP yang

ditambahkan atau disebut juga ekstraseluler ATP (Iwase et al. 1997).

Pada penelitian disfungsi ereksi, kelinci dapat digunakan karena enzim

PDE5 pada otot polos korpus kavernosumnya menyerupai enzim PDE5 pada otot

polos korpus kavernosum manusia (Wang et al. 2001). Demikian pula kondisi bronkitis kronis dapat diinduksi dengan baik pada kelinci sehingga menyerupai

kondisi yang terjadi pada manusia dengan melakukan pemaparan gas SO2 (Iwase

et al. 1997). Dengan demikian, kelinci ideal untuk digunakan sebagai hewan coba

untuk menilai gangguan relaksasi otot polos korpus kavernosum akibat PPOK

karena bronkitis kronis, sebagai model disfungsi ereksi pada manusia. Selain

beberapa kelebihannya, penggunaan kelinci juga mendatangkan banyak

kerugian karena kelinci mudah stress, rentan terhadap penyakit serta respons

yang bervariasi terhadap anesthetikum.

2.2 Penyakit Paru Obstruksi Kronis (PPOK)

PPOK merupakan suatu kondisi yang ditandai dengan gejala utama sesak

napas (dyspnea) yang terjadi secara kronis atau adanya obstruksi berulang aliran

udara ke paru sehingga terjadi hiperkapnia, hipoksemia, dan sianosis ringan.

Penyebab PPOK adalah merokok, polusi lingkungan, dan pemaparan terhadap gas

beracun. Insidensnya meningkat secara dramatis pada dekade terakhir dan

menjadi penyebab utama pada gangguan aktivitas penderitanya sehingga harus

berbaring di tempat tidur. Kelainan PPOK dapat berupa bronkitis khronis,

bronkiektasis, asma, dan emfisema, yang masing-masing mempunyai gambaran

patologi dan gejala yang berbeda. Penderita PPOK sering mempunyai kelainan

lebih dari satu jenis, seperti pada perokok kronis dapat terjadi bronkitis kronis

(29)

yang tinggal pada kota yang berpolusi. Secara klinis, bronkitis kronis

digambarkan adanya batuk yang produktif selama 3 bulan dalam 2 tahun

berturut-turut (Reilly et al. 2005; Speizer 2005; Kobzik 1999).

Dua faktor penyebab utama bronkitis kronis adalah inhalasi gas secara

kronis atau karena infeksi. Perokok berat mempunyai risiko 4–10 kali

dibandingkan bukan perokok pada populasi yang sama. Gambaran awal yang

sangat menonjol pada bronkitis kronis adalah hipersekresi lendir pada saluran

napas utama (besar) disertai gambaran hipertrofi dari kelenjar mukosa di trakea

dan bronkus. Setelah terjadi bronkitis kronis akan didapat peningkatan sel goblet

pada saluran napas yang lebih kecil, seperti cabang-cabang bronkus dan

bronkiolus yang berdiameter < 2–3 mm. Selain peningkatan produksi lendir,

hipertrofi kelenjar submukosa dan peningkatan jumlah sel goblet menyebabkan

terjadinya obstruksi aliran udara yang disebabkan oleh asap rokok atau gas

polutan seperti SO2 dan NO2.

Gambaran histopatologi pada saluran pernafasan yang lebih kecil adalah :

1. Metaplasi sel goblet, sumbatan lendir pada lumen.

2. Pengelompokan makrofag dan hiperpigmentasi pada alveolus.

3. Infiltrasi zat inflamasi.

4. Fibrosis dinding bronkiolus pada pasien umur lanjut (Hogg 2004 ; Kobzik

1999).

2.3 Gas Sulfur Dioksida (SO2)

Sulfur dioksida (SO2) merupakan bagian partikel yang mencemari udara.

Sifat SO2 mudah larut dalam air, tidak berwarna, berbau tajam atau pedas pada

konsentrasi sekitar 0,5 sampai 0,8 ppm, dan merupakan iritan yang kuat (Munthe

et al. 2003). Sulfur dioksida dapat berasal dari pembakaran batu bara dan minyak

mentah yang mengandung sulfur, pembangkit tenaga listrik bertenaga batu bara,

pabrik yang menghasilkan bubur kertas, peleburan seng, timah, dan tembaga serta

pemanas ruangan. Secara alamiah, sumber SO2 berasal dari dekomposisi zat-zat

organik, vulkanik, dan garam laut. Nilai standar SO2 berdasarkan National

Primary Air Quality Standards in United States adalah 0,03 ppm rata-rata per

(30)

United States Environmental Protection Agency (USEPA) adalah dengan teknik

pulsed fluoresecent (continuous).

Gas SO2 memiliki sifat polutan yang menimbulkan banyak kerugian dan

sifat korosifnya mengakibatkan harus berhati-hati dalam menggunakannya. Pada

kadar 1-5 ppm dapat menyebabkan iritasi mata, konsentrasi antara 5-10 ppm

menyebabkan iritasi mata dan mukosa hidung, sedangkan pemaparan dengan

konsentrasi antara 10-50 ppm selama 5-15 menit dapat menyebabkan iritasi mata,

hidung, tenggorok, juga timbul rasa tercekik di leher, nyeri dada, dan

bronkokontriksi. Konsentrasi SO2 lebih dari 50 ppm dapat menimbulkan

kerusakan parenkim paru dan vaskularisasi paru yang berat, dengan demikian,

terjadi perubahan fungsi dan anatomi paru (Munthe et al. 2003).

Iwase et al (1997) melakukan penelitian menggunakan kelinci New

Zealand White dewasa. Pemaparan dengan SO2 dilakukan untuk menimbulkan

bronkitis kronis. Gas SO2 bersifat sebagai gas iritan kronis yang diberikan dengan

dosis tinggi. Dosis dinaikkan secara bertahap sampai 50–300 ppm. Selama 5–7

minggu, pada minggu ke-4 sudah didapat tanda-tanda klinis bronkitis kronis

berupa keluarnya lendir dari hidung, batuk, bersin, dan kadang sianosis. Pada

pemeriksaaan laboratorium didapat penurunan kadar Pa O2 dari 91,3+4,9 mmHg

menjadi 57,1+42 mmHg. Pada pemeriksaan histopatologi, ditemukan penebalan

epitel mukosa, hiperplasi sel goblet, infiltrasi sel PMN pada lapisan submukosa,

dan mukosa, dan terjadi cedera dan hilangnya sebagian dari silia.

2.4 Testosteron

Testosteron merupakan hormon androgen utama pada pria, yang lebih dari

95% -nya dihasilkan oleh testis. Setiap hari, tubuh menghasilkan testosterone 6-7

mg (Coffey 1998). Proses metabolik perubahan dari kolesterol menjadi androgen

terjadi pada 500 juta sel Leydig yang hanya merupakan sebagian kecil dari

volume testis. Sebagian kecil hormon androgen dihasilkan oleh korteks adrenal.

Pembentukan steroid tidak hanya pada sel endokrin tetapi diproduksi pula oleh sel

otak (Baulieu 1997). Walaupun produksi sel otak sedikit, tetapi produksi steroid

oleh sel otak penting pada proses fisiologi lokal. Produksi testosteron diatur

(31)

menyebabkan hipogonadisme. Luteinizing hormone (LH) dan folikel stimulating

hormone (FSH) diperlukan untuk perkembangan dan mempertahankan fungsi

testis. LH merupakan hormon paling penting dalam mengatur fungsi sel Leydig.

Selain mengatur produksi hormon testosterone, dengan mengontrol aktivitas

metabolisme pada sel Leydig, kadar LH juga mempengaruhi proliferasi dan

diferensiasi sel Leydig (Rommerts 1998).

Telah lama diketahui bahwa testosteron memegang peranan utama pada

perilaku seksual pria. Pada masa prepubertas, anak laki-laki tidak berminat

terhadap hal seksual. Baru setelah puber, pada saat testis aktif memproduksi

androgen, dorongan dan motivasi seksual akan muncul. Pada umumnya

pertambahan umur berhubungan dengan peningkatan dan penurunan kadar

androgen yang mempengaruhi aktivitas seksual. Kadar testosteron dan terutama

yang tidak terikat dengan sex hormone binding globulin (SHBG), yang saat ini

dikenal dengan free testosteron, akan menurun dengan meningkatnya umur. Pada

keadaan ini, tampak adanya penurunan minat dan kemampuan seksual (Davidson

et al. 1983)

Kadar fisiologi testosteron total adalah antara 3–12 ng/ml. Kadar

testosteron di bawah 3 ng/ml akan berpengaruh buruk pada fungsi seksual.

Hormon androgen mempunyai peranan penting dalam pengaturan fungsi ereksi

dan defisiensi androgen sudah diketahui pengaruhnya tetapi bukan penyebab

tunggal terjadinya disfungsi ereksi (Carbone dan Seftel 2004). Mulligan dan

Schmitt (1993) menyimpulkan bahwa testosteron meningkatkan minat seksual,

frekuensi aktivitas seksual, dan frekuensi ereksi nokturna (frekkuensi ereksi yang

terjadi pada saat tidur, diperiksa dengan menggunakan alat rigiscan). Penemuan

ini penting karena ada teori yang mengatakan ereksi nokturna merupakan hal

yang esensial untuk mempertahankan oksigenisasi dan fungsi korpus kavernosum.

Granata et al (1997) melaporkan bahwa kadar testosteron yang diperlukan untuk

ereksi nokturna yang normal sekitar 2 ng/ml. Pria dengan kadar testosteron rendah

akan mengalami gangguan parameter ereksi nokturna, tetapi hal ini tidak terjadi

pada pria dengan kadar testosteron normal, karenanya kadar testosteron yang

normal penting untuk mempertahankan fungsi ereksi penis normal. Testosteron

(32)

pria umur lanjut. Penurunan secara gradual bioaktif hormon (free testosterone)

didefinisikan sebagai andropause. Vermeullen (1991) melaporkan penurunan

secara gradual testosteron dan free testosterone akan menyebabkan penurunan

jumlah dan fungsi sel Leydig. Pada penelitian cross-sectional Morley et al (1997)

didapatkan pada pria normal rata-rata kadar testosteron menurun sekitar 30%

antara umur 25 dan 75 tahun, sedangkan kadar free testosterone menurun sekitar

50%. Dalam laporannya, Ferrini dan Conor (1998) menulis bahwa perbedaan

penurunan kadar testosteron dan free testosterone disebabkan oleh terjadinya

peningkatan kadar testosterone binding globulin dengan bertambahnya umur.

Tetapi bukti rendahnya kadar testosteron pada penderita disfungsi ereksi tidak

ditemukan. Mekanisme pasti androgen pada proses terjadinya ereksi belum cukup

diketahui. Beyer dan Gonzales-Mariscal (1994) melaporkan bahwa kadar

testosteron dan dehidrotestosteron bertanggung jawab pada dorongan bagian

pelvis pria normal selama hubungan seksual. Mills et al (1994) dan Penson et al

(1996) melaporkan bahwa adanya perubahan hemodinamik pada tikus yang

dikastrasi berupa penurunan aliran arteri, meningkatnya aliran balik vena, dan

menurunnya respons terhadap stimulasi nervus kavernosum. Perubahan ini dapat

menjadi penyebab disfungsi ereksi dan diduga kuat aktivitas sintesis NO pada

penis hewan tersebut menurun sehingga kuat dugaan adanya hubungan yang lebih

jelas antara disfungsi endokrin dan mekanisme ereksi. Traish et al (1999)

menemukan adanya penurunan jumlah otot polos trabekular korpus kavernosum

pada kelinci yang dilakukan kastrasi. Hal ini memperlihatkan bahwa menurunnya

kadar testosteron dapat menyebabkan gangguan venooklusi. Fujimoto et al (1994)

mendapatkan bahwa androgen merangsang proliferasi kultur sel otot polos yang

diisolasi dari aorta tikus. Pada sel tersebut ditemukan adanya reseptor androgen

dan adanya aktivitas 5 α reduktase. Cunningham dan Hirskowitz (1997) menduga

bahwa testosteron dan metabolik dehidrotestosteron mempunyai efek yang

(33)

2.5 Mekanisme Ereksi

2.5.1 Sistem Persarafan Ereksi

Pada dasarnya, mekanisme ereksi terjadi melalui proses neurologis dan

hemodinamik yang dikontrol oleh faktor psikologis, dengan demikian, penyebab

disfungsi ereksi dibagi menjadi faktor psikologis dan faktor organik yang dapat

disebabkan oleh kelainan pada pembuluh darah (vaskulogenik), persarafan

(neurogenik), dan hormon (endokrinologik) (Carbone dan Seftel 2004).

Rangsangan seksual akan diolah pada susunan saraf pusat di beberapa tempat

terutama di jaras supra spinal, yaitu area preoptik medial (MPOA) dan nukleus

paraventrikularis (PVN) di hipotalamus dan hipokampus yang merupakan pusat

integrasi fungsi seksual dan ereksi. Penelitian pada hewan dengan melakukan

elektrostimulasi pada area tersebut akan menimbulkan terjadinya ereksi.

Sebaliknya, lesi pada daerah itu seperti stroke, ensefalitis, epilepsi lobus temporal,

dan penyakit Parkinson akan menurunkan frekuensi kopulasi dan disfungsi ereksi

(Sachs dan Meisel 1988; Marson et al. 1993). Berbagai macam neurotransmiter,

seperti dopamin dan norepinefrin ditemukan pada hipotalamus. Diduga, aktivasi

reseptor kedua neurotransmiter ini akan menyebabkan terjadinya ereksi,

sedangkan aktivasi reseptor serotonin ( 5-hydroxytryptamine) akan menghambat

terjadinya ereksi (Foreman dan Wernicke 1990). Penyuntikan apomorfin dengan

dosis 5 ng pada PVN tikus jantan akan menyebabkan ereksi tanpa adanya tikus

betina (Melis et al. 1987). Efek pemberian apomorfin akan meningkatkan

produksi oksida nitrat (NO) sebagai neurotransmiter penting terjadinya ereksi

terutama pada PVN (Melis et al. 1996). Sebaliknya, lesi pada PVN sangat

menurunkan kemampuan ereksi pada pemberian apomorfin (Argiolas et al.

1987). Dari penelitian tersebut diduga kuat bahwa aktivasi reseptor dopaminergik

di PVN berperanan pada terjadinya ereksi yang diinduksi dengan apomorfin

(Allard dan Giuliano 2004).

Rangsangan dari susunan saraf pusat akan dilanjutkan pada tingkat medula

spinalis yang mempunyai dua pusat persarafan ereksi, yaitu sistem persarafan

parasimpatis dan sistem persarafan simpatis. Sistem persarafan parasimpatis yang

merupakan pusat rangsangan terjadinya ereksi (erektogenik) terletak pada segmen

(34)

preganglion parasimpatis pada kolumna intermedio lateral medula spinalis sakrum

S3. Akson parasimpatis akan melalui nervus pelvikus menuju pleksus pelvis dan

bersinaps dengan persarafan post ganglion yang aksonnya menuju ke nervus

kavernosum (Nadelhaft et al. 1983; Allard dan Giuliano 2004). Sistem persarafan

simpatis yang terutama menghambat ereksi (erektolitik) pusatnya terletak pada

kolumna intermedio lateral dan komisura dorsal abu abu pada segmen

torakolumbal (T11 – L2) medula spinalis (Nadelhaft dan McKenna 1987; Allard

dan Giuliano 2004). (Gambar 2)

Penis dipersarafi oleh sistem persarafan otonom (simpatis dan

parasimpatis) pada daerah pelvis. Kedua saraf itu bersatu membentuk nervus

kavernosum yang masuk ke dalam korpus kavernosum, korpus spongiosum, dan

glans penis untuk pengaturan aliran darah selama ereksi dan detumesen. Sistem

persarafan somatis, yaitu nervus pudendus berperan sebagai sensorik penis,

kontraksi dan relaksasi otot lurik bulbokavernosum, dan iskiokavernosum (Lue

2000).

(35)

Sistem persarafan tersebut bertanggung jawab terhadap terjadinya tiga

macam tipe ereksi, yaitu psikogenik, refleksogenik, dan nokturna. Ereksi

psikogenik yang terjadi karena rangsangan pendengaran, penciuman, dan fantasi

yang diolah pada susunan saraf pusat akan dilanjutkan pada pusat ereksi di

medula spinalis (T11-L2 dan S2-S4) sehingga terjadi ereksi. Ereksi refleksogenik

yang terjadi karena rangsangan perabaan pada organ genital dan sekitarnya, akan

menuju pusat ereksi di medula spinalis yang akan menimbulkan persepsi sensoris

yang akan mengaktifkan sistem saraf otonom untuk menyampaikan rangsangan

pada nervus kavernosum sehingga terjadi ereksi. Tipe ereksi ini akan tetap terjadi

pada pasien dengan cedera medula spinalis di atas segmen S2. Ereksi nokturna

umumnya terjadi selama tidur rapid eye movement (REM). Selama tidur REM,

sistem saraf kolinergik yang terletak pada tegmentum pontin lateral akan

diaktifkan sehingga terjadi peningkatan ketegangan penis (Lue 2007).

2.5.2 Anatomi dan Fisiologi Ereksi pada Penis

Fisiologi dan anatomi ereksi telah disimpulkan dari berbagai penelitan

dengan baik oleh Krane (Taher 1993). Penis mempunyai sepasang korpora

kavernosa dan sebuah korpus spongiosum. Korpus spongiosum merupakan

jaringan yang mengelilingi urethra dan pada bagian distal membentuk bagian

kepala (glans) penis. Korpora kavernosa berbentuk sepasang tabung yang

mengecil di bagian ujung proksimalnya. Tunika albugenia, pembungkus tabung

ini melekat pada jaringan kavernosum yang berongga-rongga (sponge like)

sehingga terbentuklah ruang-ruang (lakuna) yang saling berhubungan dan dibatasi

oleh sel-sel endotel pembuluh darah. Dinding trabekulum ini terdiri atas seberkas

otot polos yang tebal dalam bingkai serat fibroelastik yang mengandung sel-sel

fibroblas, jaringan kolagen, dan elastin (Taher 1993).

Sumber pendarahan adalah arteri dorsalis penis dan arteri kavernosum

kanan dan kiri, yang lebih berperanan pada proses ereksi, dan merupakan cabang

akhir dari jalinan arteri hipogastrik kavernosum. Arteri kavernosum bercabang

membentuk arteri helisin, cabang dari setiap arteri helisin langsung berakhir di

(36)

melalui venula subtunika yang terletak di antara bagian perifer jaringan penegang

(erectile) dengan tunika albugenia. Aliran vena dari ujung penis mengalir

terutama melalui vena dorsalis profunda, sedangkan aliran bagian pangkal krura

biasanya melalui vena kavernosum dan vena kruralis (Lue 2004).

Ereksi diawali oleh relaksasi otot polos korpus kavernosa penis (Taher

1993). Dilatasi dinding kavernosa dan arteri helisine menyebabkan darah mengalir

memasuki ruangan-ruangan lakuna. Selanjutnya, relaksasi otot polos trabekulum

akan memperluas ruangan lakuna sehingga penis menjadi membesar.

Tekanan darah sistemik yang disalurkan melewati arteri helisine akan

lebih mendorong dinding trabekulum ke arah tunika albugenia. Sebaliknya

tekanan pada pleksus venula subtunika menyebabkan terhambatnya pengembalian

darah dari ruangan lakuna dan meningkatkan tekanan dalam lakuna sehingga

penis menjadi tegang (Taher 1993). Adanya tekanan dalam lakuna selama periode

ereksi dihasilkan oleh keseimbangan antara tekanan perfusi arteri kavernosum

dengan tahanan terhadap pengeluaran aliran darah oleh kompresi venula

subtunika. Pengurangan aliran darah balik subtunika oleh penekanan mekanik ini,

dikenal sebagai mekanisme oklusi vena (Gambar 3).

(37)

2.5.3 Mekanisme Ereksi pada Tingkat Sel

Pada tingkat seluler, proses terjadinya ereksi pada penis dimulai dengan

dikeluarkannya neurotransmiter nonadrenergik-nonkolinergik, yaitu NO (nitric

oxide) dari ujung saraf di korpus kavernosum dan sel endotel. NO disintesis dari

L-arginin endogen oleh eNOS (enzim nitric oxide synthase) (Trigo-Rocha et al.

1993a,1993b).

Terdapat 3 jenis NOS, yaitu neuronal (nNOS), makropage / immun /

inducible (iNOS), dan endothelial (eNOS). Adanya nNOS pada serabut saraf

pada korpus kavernosum mendukung bahwa NO berfungsi sebagai mediator

ereksi (Burnet 1992). NO masuk ke dalam sel otot polos korpus kavernosum

untuk meningkatkan kerja enzim guanilat siklase untuk membentuk cGMP (Lue

2007). Pada penelitian terakhir diketahui terdapat beberapa mediator penting pada

proses ereksi, tetapi sampai saat ini NO adalah satu mediator yang terpenting

(Rosenberg 2007).

Mekanisme cGMP memulai terjadinya relaksasi otot tampaknya melalui

aktivasi cGMP protein kinase spesifik sehingga terjadi fosforilasi dan inaktivasi

miosin kinase rantai pendek yang akan menyebabkan disosiasi aktin dan miosin

sehingga terjadi relaksasi otot(Draznin et al. 1986).

Diameter sel otot polos berkisar antara 250-440μm. Di dalam membran

nukleus yang berbentuk elips, terdapat nukleolus yang berwarna kehitaman dan

materi genetika sel. Di samping itu, di dalam sarkoplasma, tersebar serabut aktin

dan miosin, yaitu protein yang dapat melakukan kontraksi ataupun relaksasi

bergantung pada kadar ion kalsium (Ca2+) lokal. Setiap keadaan yang dapat

meningkatkan kadar ion Ca2+ akan menimbulkan kontraksi, sebaliknya penurunan

kadar Ca2+ akan diikuti oleh relaksasi protein tersebut (Weiss 1986; Adelstein dan

Sellers 1987).

Pada otot polos korpus kavernosum, regulasi terjadinya kontraksi dan

relaksasi diatur oleh kadar kalsium bebas dari sitosol (sarkoplasmik). Kontraksi

otot dipicu oleh peningkatan kadar kalsium bebas sitosol dari 120–270 menjadi

500–700nM. Pada kadar tinggi, kalsium akan berikatan dengan kalmodulin dan

akan berinteraksi dengan miosin kinase rantai pendek sehingga terjadi fosforilasi

(38)

dan menghasilkan tegangan, fosforilasi mengaktifkan pula miosin ATPase, di

mana hidrolisis ATP akan menghasilkan energi untuk kontraksi (Lue 2007).

Relaksasi otot polos yang akan menyebabkan terjadinya ereksi dimulai

dengan penurunan kadar kalsium bebas di sarkoplasma. Kalmodulin dilepaskan

dari miosin kinase rantai pendek dan menginaktivasi enzim ini. Miosin akan

didefosforilasi oleh miosin fosforilase rantai pendek sehingga melepaskan miosin

dari filamen aktin sehingga terjadilah relaksasi (Walsh 1991).

Cyclic AMP dan cGMP merupakan mesengger kedua pada proses

relaksasi otot polos. Keduanya mengaktivasi cAMP- dan cGMP- protein kinase

dependent sehingga terjadi fosforilasi protein dan mengubah ion channel sehingga

terjadi : (1) Pembukaan kanal kalium dan hiperpolarisasi. (2) Pengambilan

(sekuestrasi) kalsium intraseluler oleh retikulum endoplasma. (3) Penghambatan

tegangan kanal kalsium dependen, yang akhirnya mencegah masuknya kalsium.

Dengan demikian, terjadi penurunan kadar kalsium bebas sitosol yang

mengakibatkan relaksasi (Lue TF 2007) (Gambar 4).

Cyclic GMP yang merupakan zat aktif yang dihidrolisis oleh PDE-5

menjadi GMP yang tidak aktif. PDE-5 didapatkan dalam jumlah yang cukup

banyak di korpus kavernosum. PDE-2,-3 dan –4 juga ditemukan di korpus

kavernosum tetapi mempunyai peran yang kecil pada proses fisiologi ereksi bila

dibandingkan PDE-5 (Ballard et al. 1998).

Penelitian terdahulu di bidang terapi disfungsi ereksi telah membuktikan

bahwa kadar cGMP dalam sel otot polos korpus kavernosum berperan penting

dalam proses relaksasi otot polos korpus kavernosum yang pada akhirnya dapat

menimbulkan ereksi (Carter et al., 1998). Pemberian inhibitor fosfodiesterase tipe

5 yang spesifik cGMP untuk mencegah metabolisme cGMP menjadi GMP dapat

meningkatkan relaksasi otot polos korpus kavernosum (Carter et al., 1998 ;

(39)

Gambar 4. Mekanisme molekuler relaksasi otot polos korpus kavernosum, messenger kedua intraseluler cGMP dan cAMP. (Lue 2007).

Beberapa zat yang digunakan pada penelitian untuk menilai proses

fisiologi dan patofisologi pada proses relaksasi sesuai dengan beberapa teori

terjadinya proses relaksasi otot polos korpus kavernosum pada penelitian kami

(40)

menjadi dasar untuk penelitian klinis untuk kemungkinan penggunaan zat tersebut

sebagai terapi disfungsi ereksi pada pasien PPOK.

Asetilkolin

Struktur asetilkolin adalah ester dari asam asetat dan kolin dengan rumus

kimia : CH3COOCH2CH2N+(CH3)3. Stuktur kimia ini dinamakan

2-acetoxy-N,N,N-trimethylethanaminium (Katzung 2003).

Asetilkolin merupakan neurotransmitter yang pertama diidentifikasi, dan

bekerja pada sistem saraf pusat maupun perifer. Asetilkolin merupakan salah satu

neurotransmitter pada sistem saraf otonom dan satu-satunya neurotransmitter pada

sistem saraf somatik. Asetilkolin disintesis dari kolin dan asetil koA dengan

katalisasi enzim kolin acetyltransferase. Pembentukan asetilkolin tergantung pada

konsentrasi kolin, yang ditentukan oleh mekanisme uptake kolin pada ujung saraf.

Efek asetilkolin berbeda-beda bergantung pada tipe reseptor pada organ target.

Terdapat dua kelompok jenis reseptor untuk asetilkolin yaitu reseptor nikotinik

dan muskarinik. Reseptor nikotinik didapatkan pada ganglion perifer dan otot

lurik. Reseptor muskarinik bertanggung jawab pada transmisi saraf parasimpatik

postganglion (Andersson 2002).

Pada penis, terdapat banyak inervasi kolinergik yang didapatkan pada

pemeriksaan histokimia. Pada korpus kavernosum, didapatkan 4 tipe reseptor

muskarinik. Asetilkolin memiliki efek relaksasi pada otot polos korpus

kavernosum melalui mekanisme tidak langsung. Asetilkolin yang dikeluarkan dari

saraf efferent akan berikatan dengan reseptor muskarinik (tipe M3). Ikatan dengan

reseptor M3 pada endotel menstimulasi pembentukan oksida nitrat di endotelium.

Nitric oxide ini selanjutnya memicu pembentukan cGMP melalui aktivasi guanilat

siklase pada sel otot polos sekitarnya, menurunkan Ca2+ intraselular dan terjadi

vasodilatasi. Asetilkolin mempunyai efek relaksan nonspesifik, menyebabkan

relaksasi yang terjadi pada korpus kavernosum tidak sebaik pada penambahan

sildenafil sitrat (Morelli et al. 2004).

Asetilkolin juga berperan pada daerah presinaptik saraf yang menghambat

neuron adrenergik dan pelepasan norepinefrin. Norepinefrin ini memiliki sifat

(41)

Sildenafil Sitrat

Phosphodiesterase (PDE) adalah enzim yang menghidrolisis cyclic

adenosine 3,5-monophosphate (cAMP) dan cyclic guanosine 3,5-monophospahate

(cGMP), yang merupakan second messengers intraselular, menjadi AMP dan

GMP. Cyclic AMP dan cGMP sebagai second messengers mengontrol berbagai

proses fisiologi. Terdapat sebelas tipe fosfodiesterase yang ditemukan pada tubuh

manusia. PDE-5 predominan ditemukan pada korpus kavernosum.PDE-5

merupakan PDE yang spesifik terhadap cGMP. Struktur kimia sildenafil hampir

mirip dengan cGMP (McCullough 2002; Katzung 2003).

Pada penelitian tahun 1991–1992 ditemukan bahwa Sildenafil sebagai obat

antiangina tidak memberikan hasil yang baik, akan tetapi efek samping yang

ditemukan adalah efek erektogenik selama pengobatan. Sildenafil sitrat

merupakan inhibitor kompetitif potent selektif cGMP-specific PDE-5 dan

berikatan dengan bagian aktif dari PDE-5 (Lue 2007). Penemuan PDE-5

inhibitor dalam pengobatan disfungsi ereksi merupakan revolusi pengobatan pada

kelainan ini. PDE-5 inhibitor yang pertama kali digunakan pada pengobatan

disfungsi ereksi adalah sildenafil yang dikenal dengan merk dagang Viagra. Saat

ini sudah ada golongan PDE-5 inhibitor lain yang sudah digunakan pada

pengobatan disfungsi ereksi, yaitu vardenafil (Levitra) dan tadalafil (Cialis).

Saat terjadi stimulasi saraf nonadrenergik dan nonkolinergik pleksus

parasimpatis pelvis melalui stimulasi seksual, neurotransmiter NO dilepaskan.

NO selanjutnya meningkatkan kadar cGMP. Peningkatan cGMP akan

menimbulkan vasodilatasi dan dilatasi sinus korpus kavernosum sehingga terjadi

peningkatan aliran darah untuk terjadinya ereksi. PDE-5 akan memecah cGMP,

yang selanjutnya menimbulkan kontraksi arteri penis dan otot polos korpus

kavernosum dan menyebabkan detumesen. Sildenafil berikatan pada enzim

PDE-5, mencegah pemecahan cGMP oleh PDE-5 melalui mekanisme inhibibisi

kompetitif. Sildenafil hanya efektif dalam peningkatan kadar cGMP dengan

mencegah hidrolisisnya, tetapi tidak membantu dalam pembentukan NO.

Kelemahan sildenafil adalah efek sildenafil bergantung pada kadar NO endogen

(42)

siklase dalam pembentukan cGMP. Semakin rendah kadar NO semakin tidak

efektif sildenafil (McCullough 2002; Lue 2007).

Pengobatan disfungsi ereksi dengan PDE5 inhibitor merupakan

pengobatan yang aman dan merupakan terapi pilihan pertama pada

penatalaksanaan DE sesuai panduan AUA (American Urological Asociation),

EAU (Eropean Asociation of Urology) dan IAUI (Persatuan Ahli Urologi

Indonesia). Pemberian sildenafil sitrat pada individu yang sehat dapat

menyebabkan hipotensi ringan dan memperbaiki kekakuan pada arteri (Jackson et

al. 1999). Pada penelitian lain penghambat PDE-5 mempunyai manfaat pada

fungsi endotel pembuluh darah koroner (jantung) pada penderita jantung iskemik.

Penggunaan teratur setiap hari PDE-5 inhibitor memberikan efek manfaat yang

lebih baik dengan memperbaiki endotel pembuluh darah (Sommer dan Engelman,

2004). Efek samping yang paling sering dilaporkan adalah sakit kepala, hangat

pada muka, mual, rhinitis, gangguan pandangan sesaat (blue vision), pening dan

penurunan tekanan darah ringan (Corbin dan Fracis 2003; Rosenberg 2007).

Zaprinast

Struktur kimia zaprinast merupakan golongan xanthine dengan rumus

kimia C13H13N5O2. Stuktur kimia ini dinamakan

2-(2-Propoxyphenyl)-8-azahypoxanthine. Pada penelitian awal, zaprinast ditujukan untuk pengobatan

penyakit alergi melalui mekanisme stabilisasi sel mast. Zaprinast pertama kali

diberikan pada penderita asma yang dicetuskan oleh aktivitas dan memberikan

efek bronkodilator.

Zaprinast memiliki efek inhibitor selektif untuk cGMP – PDE-5 yang pada

awalnya didapatkan relaksasi otot polos pembuluh darah. Zaprinast juga memiliki

efek pada PDE tipe 1, 6 dan 9. Mekanisme yang ditimbulkan sama seperti

mekanisme sildenafil sitrat. Akan tetapi, beberapa literatur mengatakan efek

zaprinast lebih rendah dibandingkan sildenafil sitrat. Pada penelitian untuk

menilai karakteristik PDE 5 pada otot polos korpus kavernosum manusia, anjing

dan kelinci, didapatkan bahwa zaprinast menghambat PDE5 lebih tinggi pada

(43)

banyak digunakan untuk mengetahui peran cGMP sebagai second messenger yang

timbul dari NO pada otot polos (Wibberley 2002).

2.6 Disfungsi Ereksi pada PPOK

Proses hubungan seksual normal memerlukan adanya libido, ereksi,

ejakulasi, dan orgasme yang normal. Disfungsi seksual dapat berupa gangguan

pada libido, disfungsi ereksi, ejakulasi prematur atau ejakulasi retardasi, dan

gangguan orgasme (Lue 2007).

Disfungsi seksual yang terjadi pada pasien PPOK dapat berupa gangguan

pada libido dan disfungsi ereksi. Pada penelitian ini hanya akan diteliti disfungsi

ereksi yang terjadi pada kelinci PPOK.

Pada penelitian yang dilakukan oleh Schonhofer et al. (2001) terhadap

383 pasien gagal nafas kronis yang menggunakan ventilasi mekanis kronis, 173

di antaranya disebabkan oleh PPOK. Didapatkan adanya penurunan aktivitas

seksual yang bermakna, aktivitas seksual hanya dilakukan pada 34,1%,

sedangkan pada populasi dengan umur rata-rata yang sama masih didapatkan

aktivitas seksual pada 84%, perbedaan semakin jelas pada kelompok umur yang

lebih tua.

Kadar testosteron yang rendah pada pasien PPOK diduga karena

hipoksemia kronis yang menyebabkan supresi pada aksis

hipotalamus-hipofisis-testis. Hipoksemia kronis menyebabkan menurunnya produksi LH dari hipofisis

yang akan mengakibatkan produksi testosteron menurun pada pasien PPOK

bersamaan dengan proses penuaan (Semple et al. 1981; 1984). Bukti lain berupa

mengecilnya volume testis dan atropi sel Leydig yang bermakna pada pasien

PPOK (Gosney 1984; 1987)

Terdapat hubungan yang bermakna antara rendahnya tekanan kadar

PaO2 dan rendahnya kadar testosteron (Semple et al. 1981; 1984). Kadar

testosteron telah diketahui merupakan faktor utama yang berpengaruh pada

libido. Tetapi efek rendahnya kadar testosteron pada patofisiologi disfungsi ereksi

belum diketahui dengan jelas.

Pada populasi umur lanjut dengan bertambahnya umur tidak didapatkan

Gambar

Gambar 2. Persarafan ereksi pada medula spinalis : terdiri dari sistem
Gambar 4. Mekanisme molekuler relaksasi otot polos korpus kavernosum, messenger kedua intraseluler cGMP dan cAMP
Gambar 5. Alur kegiatan penelitian
Gambar 6. Pemaparan kelinci dengan gas SO2 di dalam Biochamber  A. Biochamber, tabung gas SOdan monitor kadar SO (panah)
+7

Referensi

Dokumen terkait

yang tidak ternotifikasi dan 31 memiliki nomor notifikasi yang telah dibatalkan (BPOM RI, 2014). Pemilihan responden siswi-siswi SMK Negeri 4 Yogyakarta dilakukan

Apakah mendapat penjelasan tentang rawat gabung. UNITGAWAT DARURAT KEBIDANAN / KAMAR

Puji dan syukur saya panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat, hidayah dan petunjuk-Nya sehingga hanya dengan bimbingan, pertolongan dan kasih

Pembuatan Decision Support System untuk prakualifikasi kontraktor yang dalam pembuatan model base-nya dilakukan dengan mengidentifikasi variabel-variabel pembeda terhadap

Penelitian ini bertujuan untuk menguji pengaruh pemberian ekstrak etanolik buah kacang panjang terhadap proliferasi sel epitelial payudara (in vitro) dan perkembangan

dilakukan dengan menambah atau mengurangi jumlah plat yang digunakan sebagai yang digunakan sebagai ganjal agar tinggi pahat sesuai dengan sumbu silidris benda kerja.. Apabila

UTAUT yang diuji dalam penelitian ini disusun atas 2 variabel terikat yaitu niat menggunakan dan perilaku penggunaan sistem serta 4 variabel bebas

Bilamana salah seorang pesero dinyatakan pailit atau ditaruh dibawah pengampuan atau karena apapun juga - tidak berhak lagi mengurus dan