• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB VI PEMBAHASAN

C. Perubahan Kenyamanan setelah (post) Menggunakan Kursi Ergonomis

Menurut Kolcaba (1991), salah satu definisi kenyamanan adalah keadaan dimana ada kemudahan, ketenangan, dan kepuasan. Hal inilah yang ingin dicapai oleh ibu ketika melakukan aktivitas menyusui. Seperti telah diketahui sebelumnya bahwa menyusui merupakan proses alamiah seorang ibu setelah melahirkan yang dilakukan dengan intensitas lebih sering (umumnya selama 10 – 15 menit per payudara berkali-kali setiap harinya) dan cenderung berulang sampai masa menyusui berakhir. Selama menyusui, ibu harus memposisikan diri dan bayinya secara tepat agar tercipta kenyamanan. Dengan frekuensi dan durasi menyusui tersebut, akan membuat posisi menyusui cenderung menjadi statis dan monoton. Pada hasil wawancara dan observasi terlihat kebanyakan ibu cenderung tidak dalam posisi yang sesuai saat menyusui (lihat Gambar 5.1 dan Gambar 5.2). Punggung ibu cenderung membungkuk untuk memposisikan dengan tepat antara mulut bayi dan payudaranya, lehernya cenderung menunduk karena rasa kasih sayang untuk ingin selalu melihat bayinya selama menyusui. Menurutnya, kenyamanan bayi harus diutamakan karena bayi tak bisa mengekspresikan keluhan yang dirasakan.

Dalam kaitannya dengan posisi menyusui, Bahiyatun (2009) menyarankan salah satu posisi ibu dan bayi yang benar saat menyusui, yaitu dengan posisi duduk. Dia menambahkan, hal yang penting untuk diperhatikan dalam posisi duduk yaitu dengan memberikan topangan atau sandaran pada punggung ibu, dalam posisinya tegak lurus (90o) terhadap pangkuannya. Hal ini dimungkinkan dapat dilakukan dengan duduk di kursi. Dengan posisi duduk yang benar, diharapkan akan menimbulkan kenyamanan baik bagi ibu maupun bayi.

Dalam hasil penelitian ini, rata-rata skor ketidaknyamanan saat pengukuran post diperoleh skor sebesar 10,82 pada Kelompok Eksperimen dan 24,18 pada Kelompok Kontrol yang mengindikasikan keduanya masih terjadi ketidaknyamanan.

Adapun perubahan rata-rata skor pre-post pada Kelompok Eksperimen yaitu 42,47 menjadi 10,82 dengan nilai probabilitas 0,015. Artinya, terdapat perbedaan rata-rata signifikan skor ketidaknyamanan pada Kelompok Eksperimen. Kelompok eksperimen dalam penelitian ini mendapat perlakuan berupa penggunaan kursi ergonomis saat menyusui yang dilakukan setelah pengukuran pre. Lama pakai kursi tersebut selama seminggu dengan pengukuran yang dilakukan dua kali, yakni pada hari ke-3 dan ke-6.

Sedangkan Kelompok Kontrol yaitu responden yang melakukan aktivitas menyusui seperti biasanya tanpa penggunaan kursi ergonomis. Hasil penelitian perubahan rata-rata skor pre-post ketidaknyamanan pada Kelompok Kontrol yaitu dari 23,18 menjadi 24,18 atau meningkat 1 skor ketidaknyamanan. Adapun nilai probabilitas (p-value) pada α = 5% yaitu 0,977 yang berarti tidak terdapat beda rata-rata secara signifikan skor ketidaknyamanan sebelum dan setelah pada Kelompok Kontrol. Hal ini berbeda pada Kelompok Eksperimen dengan perubahan skor ketidaknyamanan yang cenderung menurun setelah menggunakan kursi ergonomis.

Peningkatan 1 skor ketidaknyamanan pada Kelompok Kontrol dapat dikarenakan beban kerja ibu saat menyusui yaitu berat badan bayi yang cenderung bertambah seiring dengan bertambahnya usia, sedangkan selisih pengukuran pre-post adalah sekitar 1-2 bulan. Hal ini juga menimbulkan beban kerja ibu bertambah sementara posisi ketika menyusui cenderung statis dan monoton dengan frekuensi sering setiap

harinya. Perasaan tidak nyaman akan meningkat seiring dengan meningkatnya tugas dan kelelahan (Zhang, 1996 dalam Tan et. al, 2008). Pheasant (2003) menambahkan bahwa keadaan kerja yang ketat dan membatasi kita khususnya postur dan mencegah perubahan postural, akan membawa dampak timbulnya ketidaknyamanan.

Sementara itu, hasil uji Mann-Whitney memaparkan bahwa pada nilai probabilitas 0,046 menunjukkan bahwa terjadi perbedaan rata-rata skor ketidaknyamanan antara Kelompok Eksperimen dan Kelompok Kontrol. Skor ketidaknyamanan pada Kelompok Eksperimen (-15,32) lebih rendah dibandingkan dengan Kelompok Kontrol (1,50). Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian penelitian Kalsum (2007) yang menyatakan terjadi penurunan rata-rata skor ketidaknyamanan dari sebelum penggunaan kursi dan meja ergonomis (34,00) hingga setelah penggunaan kursi dan meja ergonomis (13,60); hasil penelitian Jasman (2003), yaitu bahwa penggunaan kursi dan meja kerja yang ergonomis dapat mengurangi ketidaknyamanan sebesar 65,35 % dan meningkatkan produktivitas tenaga kerja sebesar 77,13 % dibanding posisi kerja tradisional.

Perbedaan skor ketidaknyamanan antara Kelompok Eksperimen dan Kelompok Kontrol pada hasil penelitian ini tidak signifikan. Hal ini dapat dikarenakan frekuensi penggunaan kursi ergonomis saat menyusui yang belum optimal (lihat Tabel 5.6). Pada Tabel 5.6, diketahui frekuensi terendah penggunaan kursi ergonomis sebanyak sekali setiap harinya. Selain itu, dapat dilihat pula dengan memperhatikan Gambar 5.1 yang menunjukkan bahwa meskipun punggung telah bersandar saat menggunakan kursi ergonomis, tetapi masih terdapat posisi janggal pada leher yang tetap cenderung menunduk atau bahkan terdapat responden dengan

punggung tetap tidak bersandar baik saat sebelum perlakuan maupun setelah perlakuan. Sehingga, ketika dilakukan analisis RULA menunjukkan bahwa posisi demikian tergolong dalam level risiko ergonomi yang sedang hingga tinggi. Jadi, masih terdapat faktor perilaku atau kebiasaan ibu saat menyusui dengan mengabaikan posisi duduk yang benar meskipun saat menggunakan kursi ergonomis. Dalam artikelnya, Chamdany (2009) dalam Meilia (2011) menuliskan bahwa banyak orang sering mengabaikan apa yang dinamakan cara duduk yang benar di sebuah tempat duduk. Padahal, hal ini sangatlah penting sebagai dasar pola posisi ergonomis dimana banyak aktivitas kerja dilakukan dalam keadaan duduk. Misalnya posisi duduk ketika aktivitas menyusui yang cenderung statis dan monoton, sehingga terkadang para ibu perlu melakukan perubahan sikap dan posisi tubuhnya saat menyusui yang mengindikasikan telah terjadi ketidaknyamanan.

Dari hasil observasi, pada umumnya ibu akan cenderung membungkuk ketika menyusui dalam posisi duduk untuk menyesuaikan posisi payudara ibu dan mulut bayi dengan tepat. Belum lagi posisi kaki yang cenderung berpotensi menimbulkan kesemutan hingga kram, sama halnya pada posisi tangan yang harus menopang bayi dengan berat sampai mencapai 8 kg. Intensitas aktivitas menyusui yang berulang dan sering hingga berhentinya masa menyusui inilah yang berpotensi terhadap timbulnya risiko ergonomi. Menurut Effendi (2002), permasalahan yang berkaitan dengan faktor ergonomi umumnya disebabkan oleh adanya ketidaksesuaian antara pekerja dan lingkungan kerja secara menyeluruh termasuk peralatan kerja.

Adanya kursi ergonomis pada penelitian ini diharapkan dapat mengurangi sensasi ketidaknyamanan ibu saat menyusui. Hal ini dikarenakan kursi ergonomis

telah didisain untuk meminimalisasi posisi dan postur janggal saat menyusui. Sehingga, dapat mengurangi kesemutan, perasaan nyeri, mati rasa, atau kram yang biasa timbul ketika menyusui. Ketidaknyamanan berhubungan dengan faktor biomekanik yang menghasilkan perasaan nyeri, sakit, mati rasa, kram, dan sebagainya. Perasaan tidak nyaman akan meningkat seiring dengan meningkatnya tugas dan kelelahan. Mengeliminasi gangguan fisik dapat mengurangi ketidaknyamanan, tetapi tidak langsung menghasilkan rasa nyaman (Zhang, 1996 dalam Tan et. al, 2008). Artinya, timbulnya kenyamanan juga tak terjadi secara signifikan, mengingat juga masa penggunaan kursi ergonomis oleh responden hanya seminggu.

Meskipun demikian, perlakuan berupa menggunakan kursi ergonomis ketika menyusui pada Kelompok Eksperimen dapat memberikan pengaruh penurunan sensasi ketidaknyamanan ibu ketika melakukan aktivitas menyusui dan mengindikasikan bahwa dengan menggunakan kursi ergonomis dapat memberikan efek positif terhadap kenyamanan ibu menyusui. Dengan kata lain, salah satu penyelesaian masalah ketidaknyamanan dalam menyusui yaitu dengan adanya peralatan ergonomis berupa kursi menyusui.

Banyak teori pendukung pernyataan tersebut yang tercantum dalam penelitian Kalsum (2007). Pertama, Mark, et al (1985) menyatakan tempat kerja dan peralatan yang ergonomis memperkecil banyaknya pergerakan tubuh dan membantu penyesuaian postural untuk mempertahankan postur tubuh dengan tetap. Selanjutnya, Oborne (1982) dan Pulat (1992) menyatakan tujuan ergonomi untuk memaksimalkan kenyamanan dan Johson (1993) menyatakan desain yang ergonomis

dapat membantu mengurangi tekanan biomekanis pada tangan pekerja, bahu, dan lengan yang dapat menyebabkan gangguan. Suma’mur (2009) menambahkan,

ditinjau dari sudut pandang ergonomi, tempat duduk dapat memfasilitasi postur kerja sehingga posisi tubuh tidak menjadi sumber hambatan bagi gerakan dalam melakukan pekerjaan dan juga tidak menyebabkan keluhan dan ketidaknyamanan.

Namun demikian, kepemilikan akan kursi ergonomis sangat berkaitan dengan kondisi ekonomi keluarga. Sementara itu, keberadaan kursi ergonomis untuk ibu menyusui yang kebanyakan telah ada cenderung diperuntukkan untuk golongan ekonomi menengah ke atas. Sehingga, untuk ke depannya agar lebih diperhatikan keberadaan kursi menyusui yang terjangkau oleh masyarakat menengah ke bawah.

D. Faktor yang Diduga Confounder

Dokumen terkait