• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perubahan Kepribadian

Dalam dokumen Kepala Sekolah 27 Pengembangan Kepribadian (Halaman 30-43)

BAB II PSIKOLOGI KEPRIBADIAN TINJAUAN TEORI DAN PRAKTEK

D. Perubahan Kepribadian

Meskipun kepribadian seseorang itu relatif konstan, namun dalam kenyataan sering ditemukan bahwa perubahan kepribadian itu dapat dan mungkin terjadi. Perubahan itu terjadi dipengaruhi oleh faktor gangguan fisik dan lingkungan.

Faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya perubahan kepribadian di antaranya adalah sebagai berikut:

1. Faktor Fisik, seperti: gangguan otak, kurang gizi (malnutrisi) mengkonsumsi obat-obat terlarang (NAPZA atau NARKOBA), minuman keras, dan gangguan organik (sakit atau kecelakaan). 2. Faktor Lingkungan Sosial Budaya, seperti: krisis politik, ekonomi,

moral, dan keamanan dapat menyebabkan terjadinya masalah pribadi (stress, depresi) dan masalah sosial (pengangguran, premanisme, dan kriminalitas).

3. Faktor Diri Sendiri, seperti: tekanan emosional (frustasi yang berkepanjangan), dan identifikasi atau imitasi tehadap orang lain yang berkepribadian menyimpang.

Secara garis besar, faktor yang mempengaruhi perkembangan kepribadian, yaitu: hereditas (genetika) dan lingkungan (environment).

1. Faktor Genetika (Pembawaan)

Perpaduan bawaan ayah dan ibu baik fisik maupun psikis akan menentukan potensi-potensi hereditas anak. Beberapa riset tentang perkembangan pranatal (sebelum kelahiran atau masa dalam kandungan) menunjukkan bahwa kemampuan menyesuaikan diri terhadap kehidupan setelah kelahiran (post natal) bersumber pada saat konsepsi.

Pada saat dalam kandungan dipandang sebagai masa (periode) kritis perkembangan kepribadian, sebab bukan saja sebagai masa pembentukan pola-pola kepribadian, tetapi juga sebagai masa pembentukan kemampuan-kemampuan yang menentukan jenis penyesuaian individu terhadap kehidupan setelah kelahiran.

Pengaruh pewarisan orang tua terhadap kepribadian, sebenarnya tidak secara langsung, karena yang dipengaruhi genetikan secara langsung adalah (a) kualitas sistem syarat, (b) keseimbangan biokimia tubuh, dan (c) struktur tubuh.

Lebih lanjut ditemukenali bahwa fungsi hereditas kaitannya dengan perkembangan kepribadian adalah: (a) sebagai sumber bahan mentah (raw materials) kepribadian seperti: fisik, inteligensi, dan temperamen dan (b) membatasi kondisi lingkungannya sangat kondusif, perkembangan kepribadian (sekalipun perkembangan kepribadian itu tidak dapat melebihi kapasitas atau potensi hereditas) dan mempengaruhi keunikan kepribadian.

Sebagaimana dikemukakan oleh Cattel, dkk. bahwa kemampuan belajar dan penyesuaian diri individu dibatasi oleh sifat-sifat yang inheren dalam organisme individu itu sendiri. Misalnya fisik (perawakan, energi, kekuatan, dan kemenarikan) dan kapasitas intelektual (cerdas, normal, atau terbelakang). Walaupun begitu, batas-batas perkembangan kepribadian, bagaimanapun lebih besar dipengaruhi oleh faktor lingkungan.

Misalnya, seorang anak laki-laki yang tubuhnya kurus, ia akan mengembangkan konsep diri yang kurang nyaman (negatif), bila ia berkembang dalam lingkungan sosial yang sangat menghargai nilai-nilai keberhasilan atletik dan merendahkan kesuksesan dalam bidang lain yang diperolehnya. Demikian seorang anak perempuan yang wajahnya kurang menarik, ia akan merasa rendah diri bila berada di lingkungan keluarga

atau lingkungan sosial yang sangat menghargai perempuan dari segi kecantikannya.

Ilustrasi di atas menunjukkan bahwa hereditas mempengaruhi konsep diri individu sebagai dasar individualitasnya (keunikannya) sehingga tidak ada dua orang yang mempunyai pola-pola kepribadian yang sama, sekalipun kembar identik. Menurut C.S. Hall, dimensi-dimensi temperamen: emosionalitas, aktivitas, agresivitas, dan reaktivitas bersumber dari gen demikian halnya dengan inteligensi.

Berikut ini studi tetang pengaruh hereditas terhadap kepribadian yang dilakukan oleh Pervin (dalam Yusuf, 2002). Keragaman konstitusi (postur) tubuh, bahwa karakteristik fisik berhubungan dengan kepribadian. Hippocrates meyakini bahwa temperamen manusia dapt dijelaskan berdasarkan cairan-cairan tubuhnya. Kretschemer mengklasifikasikan postur tubuh individu pada tiga tipe utama,dan satu tipe campuran.

Tipe Piknis (stenis): pendek, gemuk, perut besar, dada dan bahunya bulat. Tipe Asthenis (leptosom): tinggi dan ramping, perut kecil, dan bahu sempit. Tipe Atletik: postur tubuhnya harmonis (tegap, bahu lebar, perut kuat, otot kuat). Tipe Displastis: tipe penyimpangan dari ketiga bentuk di atas

Tipe-tipe tersebut berkaitan dengan: (a) gangguan mental, seperti tipe piknis berhubungan dengan manik depresif dan asthenis dengan schizophrenia, dan (b) karakteristik individu yang normal seperti tipe piknis mempunyai sifat-sifat: bersahabat dan tenang sedangkan asthenis bersifat serius, tenang, dan senang menyendiri.

Sebagaimana Sheldon telah mengklasifikasikan postur tubuh manusia adalah: endomorphy, mesomorphy, dan ectomorphy. Klasifikasi ini didasarkan pada hasil pengukuran terhadap aspek-aspek struktural individu yang diambil dari 4000 foto pria telanjang dari posisi depan, belakang, dan samping. Dalam mengembangkan skema untuk mengukur

temperamen Sheldon menyusun 650 sifat-sifat menjadi 50 sifat dipilih sebagai dasar penilaian terhadap 33 orang pria yang diwawancarai secara intensif. Hasilnya ia mengkategorikan 3 temperamen, yaitu: viscerotonia, somatotonia, dan cerebrotonia.

Tabel 2.1 Tipologi Temperamen Oleh Sheldon

SOMATOTIPE TEMPERAMEN SIFAT-SIFAT

1. Endomorp= piknis (pendek, gemuk)

viscerotonia Tenang, pandai bergaul, senang bercinta, gemar makan, tidur nyenyak

2. Mesomorp= atletik (tubuh harmonis)

somatotonia Aktif, asertif, kompetetif, teguh, dan agresif

3. Ectomorp= astenis (tinggi, kurus)

cerebrotonia Introvert (senang menyendiri), menahan diri, peragu, kurang berani bergaul dengan orang banyak, (sociophobia), kurang berani berbicara di depan orang banyak

Tabel 2.2 Tipologi Temperamen Oleh Galenius

TEMPERAMEN SIFAT-SIFAT

1. Sanguinis a. Sifat dasar: periang, optimis, percaya diri

b. Sifat perasannya: mudah menyesuaikan diri, tidak stabil, baik hati, tidak serius, kurang dapat dipercaya karena kurang begitu konsekuen

2. Melankolis a. Sifat dasar: pemurung, sedih, pesimistis, kurang percaya diri

b. Sifat lainnya: merasa tertekan dengan masa lalunya, sulit menyesuaikan diri, berhati-hati, konsekuen, dan suka menepati janji

3. Koleris a. Sifat dasar: selalu merasa kurang puas, bereaksi negatif, dan agresif

b. Sifat lainnya: mudah tersinggung (emosional), suka membuat provokasi, tidak mau mengalah,

tidak sabaran, tidak toleran, kurang memiliki rasa homor, cenderung beroposisi, dan banyak inisiatif (usaha)

4. Plegmatis a. Sifat dasar: pendiam, tenang, netral (tidak ada aura perasaan), stabil

b. Sifat lainnya: merasa cukup puas, tidak peduli (acuh tak acuh), dingin hati (tidak mudah haru), pasif, tidak mempunyai banyak minat, bersifat lambat, sangat hemat, dan tertib/teratur

2. Faktor Lingkungan (environment)

Faktor lingkungan mempengaruhi kepribadian adalah: keluarga, kebudayaan, dan sekolah.

a. Keluarga

Keluarga dipandang sebagai faktor penentu utama terhadap kepribadian anak. Alasannya adalah (1) keluarga merupakan kelompok sosial pertama yang menjadi pusat identifikasi anak, (2) anak banyakmenghabiskan waktunya di lingkungan keluarga, dan (3) para anggota keluarga merupakan “significant others” bagi pembentukan kepribadian anak.

Keluarga dipandang sebagai suatu lembaga atau unit yang dapat memenuhi kebutuhan individu, terutama kebutuhan pengembangkan kepribadian dan pengembangan ras manusia. Melalui perlakuan dan pengasuhan yang baik oleh orangtua anak dapat memenuhi kebutuhannya, baik fisik-biologis, maupun sosio- psikologisnya. Jika anak dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasarnya, maka dia cenderung berkembang menjadi seorang pribadi yang sehat.

Perlakuan orangtua dengan penuh kasih sayang dan pendidikan tentang nilai-nilai kehidupan baik agama maupun sosial- budaya merupakan faktor kondusif untuk mempersiapkan anak menjadi pribadi dan warga masyarakat yang sehat dan produktif.

Iklim keluarga sangat penting bagi perkembangan kepribadian anak. Seorang anak yang dibesarkan dalam lingkungan keluarga yang harmonis dan agamis yaitu yang dapat memberikan curahan kasih sayang, perhatian, dan bimbingan dalam beragama, maka perkembangan kepribadian anak cenderung positif, sehat (welladjusted). Sebaliknya anak yang dibawa pengasuhan lingkungan keluarga broken home, kurang harmonis, orangtua bersikap keras, kurang memperhatikan nilai-nilai agama, maka perkembangan kepribadiannya cenderung mengalami distorsi atau mengalami kelainan dalam menyesuaikan diri (maladjusted).

Dorothy Law Nolte (Hurlock, 1978: Yusuf, 2002), menggambarkan pengaruh keluarga terhadap perkembangan kepribadian anak sebagai berikut:

“Jika anak dibesarkan dengan celaan, ia belajar memaki”

“Jika anak dibesarkan dengan permusuhan, ia belajar berkelahi” “Jika anak dibesarkan dengan cemoohan, ia belajar rendah diri” “Jika anak dibesarkan dengan penghinaan, ia belajar menyesali diri” “Jika anak dibesarkan dengan toleransi, ia belajar menahan diri” “Jika anak dibesarkan dengan dorongan, ia belajar percaya diri” “Jika anak dibesarkan dengan pujian, ia belajar menghargai”

“Jika anak dibesarkan dengan sebaik-baik perlakukan, ia belajar keadilan”

“Jika anak dibesarkan dengan dukungan, ia belajar menyenangi dirinya”

“Jika anak dibesarkan dengan kasih sayang, ia belajar menemukan cinta”

Demikian Baldwin, dkk (Yusuf, 2002) mengemukakan temuan penelitiannya bahwa anak yang dikembangkan dalam iklim pengasuhan demokratis, maka ia cenderung memiliki kepribadian lebih aktif, lebih bersikap sosial, lebih memiliki harga diri (percaya diri), lebih memiliki keinginan dalam bidang intelektual, lebih orisinil, dan lebih konstruktif dibandingkan dengan anak yang dibesarkan dalam iklim otoriter.

Schaefer (Yusuf, 2002) mengkombinasikan pola tingkah laku ibu terhadap anak antara love (cinta kasih sayang) atau hostility (permusuhan), dan control atau autonomy. Kombinasi pola perlakuan ibu digambarkan bagian berikut:

Gambar 2.2 Pola Tingkah Laku b. Kebudayaan

Kluckhohn berpendapat bahwa “kebudayaan meregulasi kehidupan kita sejak lahir sampai mati, baik disadari maupun tidak yang mempengaruhi kita untuk mengikuti pola-pola perilaku tertentu yang telah dibuat orang lain untuk kita”.

Pola-pola perilaku yang sudah terkembangkan dalam masyarakat (bangsa) tertentu (seperti bentuk adat istiadat) sangat memungkinkan mereka untuk memiliki karakteristik kepribadian tertentu yang sama. Kesamaan karakteristik ini mendorong berkembangnya konsep kepribadian dasar (Kardiner: Yusuf, 2002) dan karakter nasional atau bangsa (Gorer: Yusuf, 2002).

Berikut contoh tipe kepribadian suku Indiana Maya dan Alorese. Suku Indiana memiliki karakteristik: rajin, kurang peka terhadap penderitaan, fatalistik, tidak takut mati, independen namun tidak kompetitif, tidak demonstratif dalam mengekspresikan perasaan, dan jujur. Sementara suku Alorese berkarakteristik: cemas, curiga, kurang percaya diri, kurang berminat ke dunia luar, sangat membutuhkan dorongan kasih sayang, kurang memiliki dorongan untuk mengembangkan keterampilan, dan suka mengkompensasi perasaan rendah dirinya dengan membuat dan membangga-banggakan diri.

Setiap bangsa di dunia memiliki kepribadian dasar yang relatif berbeda, sebagaimana bangsa Indonesia memiliki kepribadian dasar: religius, ramah, kurang disiplin, bangsa Jepang: ulet, kreatif, dan disiplin; dan bangsa Amerika: optimis, perspektif, disiplin, ulet dalam menyelesaikan sesuatu, namun individualistik.

Pentingnya peranan kebudayaan terhadap perkembangan kepribadian seseorang tergantung pada tiga prinsip di antaranya: (a) pengalaman awal dalam kehidupan dalam keluarga, (b) pola asuh orangtua terhadap anak, dan (c) pengalaman awal dalam kehidupan anak dalam masyarakat. Jika anak-anak memiliki pengalaman awal kehidupan yang sama dalam suatu masyarakat maka mereka cenderung akan memiliki karakteristik kepribadian yang sama pula.

Lingkungan sekolah dapat mempengaruhi kepribadian anak. Faktor yang dipandang berpengaruh itu di antaranya adalah:

1) Iklim emosional kelas

Suasana kelas yang sehat (guru yang ramah, respek antar siswa) memberi dampak posif bagi perkembangan psikis anak, mereka menjadi aman, nyaman, bahagia, mau bekerjasama, termotivasi untuk belajar, mau mentaati peraturan. Sebaliknya kelas yang tidak sejuk (guru bersikap otoriter, tidak menghargai siswa) berdampak kurang baik bagi perkembangan anak, mereka merasa tegang, nervous, mudah marah, malas belajar, berperilaku mengganggu di kelas, tidak tertib.

2) Sikap dan perilaku guru

Sikap dan perilaku guru tercermin dalam hubungannya dengan siswa (human relationship). Hubungan guru-siswa dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain: strerotip budaya terhadap guru (pribadi dan profesi), positif atau negatif, sikap dan pola pembimbingan guru terhadap siswa, metode mengajar, penegakan disiplin di kelas, dan penyesuaian pribadi guru. Sikap dan perilaku guru secara langsung mempengaruhi “self- concept” siswa, melalui sikap-sikapnya terhadap tugas akademik (kesungguhan dalam mengajar), kedisiplinan dalam mentaati peraturan sekolah, dan perhatiannya terhadap siswa. Secara tidak langsung, pengaruh guru ini terkait dengan upayanya membantu siswa dalam mengembangkan kemampuan penyesuaian sosialnya.

3) Disiplin

Penegakan tata tertib di lingkungan sekolah akan membentuk sikap dan tingkah laku siswa. Disiplin yang kaku

akan mengembangkan sifat-sifat pribadi siswa yang tegang, nervous, dan antagonistik. Disiplin yang bebas, cenderung membentuk sifat siswa yang kurang bertanggungjawab, kurang menghargai otoritas, dan egosentris. Sementara disiplin yang demokratis, cenderung mengembangkan perasaan berharga, merasa bahagia, perasaan tenang, dan sikap bekerjasama.

4) Prestasi Belajar

Pencapaian prestasi belajar atau peringkat kelas mempengaruhi peningkatan harga diri dan sikap percaya diri siswa

5) Penerimaan Teman Sebaya

Siswa yang diterima oleh teman-temannya, ia akan mengembangkan sikap positif terhadap dirinya, dan juga orang lain. Ia merasa menjadi orang yang berharga.

E. Karakteristik Kepribadian

Salah satu kata kunci dan definisi kepribadian adalah “penyesuaian (adjustment)”. Menurut Alexander A. Schneiders (1964), penyesuaian itu dapat diartikan sebagai “Suatu proses respon individu, baik yang bersifat behavioral maupun mental dalam upaya mengatasi kebutuhan-kebutuhan dari dalam diri, tegangan emosional, frustasi dan konflik; dan memelihara keharmonisan antara pemenuhan kebutuhan tersebut dengan tuntutan (norma) lingkungan”.

Dalam upaya memenuhi kebutuhan atau memecahkan masalah yang dihadapi, ternyata tidak semua individu mampu menampilkannya secara wajar, normal atau sehat (well adjustment); di antara mereka banyak juga yang mengalaminya secara tidak sehat (maladjustment).

E.B. Hurlock (1987) mengemukakan bahwa penyesuaian yang sehat atau kepribadian yang sehat (healty personality) ditandai dengan karakteristik sebagai berikut.

1. Mampu menilai diri secara realistik. Individu yang berkepribadian sehat mampu menilai dirinya sebagaimana apa adanya, baik kelebihan maupun kekurangan atau kelemahannya, yang menyangkut fisik (postur tubuh, wajah, keutuhan, dan kesehatan) dan kemampuan (kecerdasan, dan keterampilan).

2. Mampu menilai situasi secara realistik. Individu dapat menghadapi situasi atau kondisi kehidupan yang dialaminya secara realistik dan mau menerimanya secara wajar. Dia tidak mengharapkan kondisi kehidupan itu sebagai suatu yang harus sempurna.

3. Mampu menilai prestasi yang diperoleh secara realistik. Individu dapat menilai prestasinya (keberhasilan yang diperolehnya) secara realistik dan mereaksinya secara rasional. Dia tidak menjadi sombong, angkuh atau mengalami “ superiority complex”, apabila memperoleh prestasi yang tinggi atau kesuksesan dalam hidupnya. Apabila mengalami kegagalan, dia tidak mereaksinya dengan frustasi, tetapi dengan sikap optimistik (penuh harapan).

4. Menerima tanggung jawab. Individu yang sehat adalah individu yang bertanggung jawab. Dia mempunyai keyakinan terhadap kemampuannya untuk mengatasi masalah-masalah kehidupan yang dihadapinya.

5. Kemandirian (autonomy). Individu memiliki sifat mandiri dalam berpikir dan bertindak, mampu mengambil keputusan, mengarahkan dan mengembangkan diri serta menyesuaikan diri dengan norma yang berlaku di lingkungannya.

6. Dapat mengontrol emosi. Individu merasa nyaman dengan emosinya. Dia dapat menghadapi situasi frustasi, depresi atau stress secara positif atau konstruktif, tidak destruktif (merusak).

7. Berorientasi tujuan. Setiap orang memiliki tujuan yang ingin dicapainya. Namun, dalam merumuskan tujuan itu ada yang realistik ada yang tidak realistik. Individu yang sehat kepribadiannya dapat merumuskan tujuannya berdasarkan pertimbangan secara matang (rasional), tidak atas dasar paksaan dari luar. Dia berupaya untuk mencapai tujuan tersebut dengan cara mengembangkan kepribadian (wawasan, perilaku) dan keterampilan.

8. Berorientasi keluar. Individu yang sehat memiliki orientasi keluar (ekstrovert). Dia bersifat respect, empati terhadap orang lain mempunyai kepedulian terhadap situasi, atau masalah-masalah lingkungannya dan bersifat fleksibel dalam berpikirnya. Barret Leonard mengemukakan sifat-sifat individu yang berorientasi keluar, yaitu (a) menghargai dan menilai orang lain seperti dirinya sendiri; (b) merasa nyaman dan terbuka terhadap orang lain; (c) tidak membiarkan dirinya dimanfaatkan untuk menjadi korban orang lain dan tidak mengorbankan orang lain karena kekecewaan dirinya. 9. Penerimaan sosial. Individu dinilai positif oleh orang lain, mau

berpartisipasi aktif dalam kegiatan sosial, dan memiliki sikap bersahabat dalam berhubungan dengan orang lain.

10. Memiliki filsafat hidup. Dia mengarahkan hidupnya berdasarkan filsafat hidup yang berakar dari agama, keyakinan, way of life yang dianutnya.

11. Berbahagia. Individu yang sehat, situasi kehidupannya diwarnai kebahagiaan. Kebahagiaan ini didukung oleh faktor-faktor achievement (pencapaian prestasi), acceptance (penerimaan dari

orang lain), dan affection (perasaan dicintai atau disayangi orang lain).

Berikut ini karakteristik kepribadian yang tidak sehat: 1. Mudah marah (tersinggung), panik

2. Menunjukkan kekhawatiran dan kecemasan berlebihan 3. Sering merasa tertekan (stres dan dipresi)

4. Bersikap kejam atau senang mengganggu orang lain yang umurnya lebih muda atau terhadap binatang (sikap intimidasi)

5. Ketidakmampuan untuk menghindar dari perilaku menyimpang sekalipun sudah diperingatkan atau dihukum

6. Mempunyai kebiasaan berbohong, berdusta 7. Hiperaktif

8. Bersikap memusuhi semua bentuk otoritas 9. Senang mengkritik/mencemooh orang lain 10. Sulit tidur

11. Kurang memiliki rasa tanggung jawab

12. Sering mengalami pusing kepala (meskipun penyebabnya bukan bersifat fisiologis)

13. Kurang memiliki kesadaran untuk mentaati ajaran agama 14. Bersikap pesimis dalam menghadapi kehidupan

15. Kurang bergairan dalam kehidupan (“loyo”)

Kelainan perilaku di atas berkembang bilamana anak hidup dalam lingkungan yang tidak kondusif dalam perkembangannya. Misalnya, lingkungan

keluarga yang kurang berfungsi (disfunctional family) bercirikan “broken home”, hubungan antar anggota keluarga kurang harmonis, kurang menjunjung nilai- nilai agama, orangtua bersikap keras atau kurang memberikan perhatian dengan kasih sayang kepada putra-putrinya.

Berkembangnya kelainan kepribadian pada umumnya disebabkan oleh faktor lingkungan yang kurang baik, maka upaya pencegahan sebaiknya dilakukan oleh pihak keluarga, sekolah, dan pemerintah bekerja sama untuk menciptakan iklim lingkungan yang memfasilitasi atau memberikan kemudahan kepada anak untuk mengembangkan potensi atau tugas-tugas perkembangannya secara optimal, baik menyangkut fisik, psikis, sosial, dan moral-spiritual.

Dalam dokumen Kepala Sekolah 27 Pengembangan Kepribadian (Halaman 30-43)

Dokumen terkait