• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tahap-Tahap Perkembangan

Dalam dokumen Kepala Sekolah 27 Pengembangan Kepribadian (Halaman 70-75)

BAB III PSIKOLOGI KEPRIBADIAN: PSIKOANALITIK

G. Tahap-Tahap Perkembangan

Hereditas diberi peranan penting dalam psikologi Jung. Pertama, hereditas berkenaan dengan insting biologik yang berfungsi memelihara kehidupan dan reproduksi. Insting-insting merupakan sisi binatang pada kodrat manusia. Pandangan semacam itu tidak berbeda dengan padangan biologi modern. Kedua, hereditas juga mewariskan pengalaman leluhur dalam bentuk arsetip; ingatan tentang ras yang telah menjadi bagian hereditas karena diulang berkali- kali lintas generasi. Biologi modern mempertanyakan pandangan ini (bagaimana pengalaman dapat mengubah gen?) begitu juga psikologi modern (bagaimana nurture dapat mengubah nature?).

Jung tidak menyusun tahap-tahap perkembangan seacra rinci seperti Freud. Ada 4 tahap perkembangan, masa anak, remaja & dewasa awal, usia pertengahan, dan usia tua. Perhatian utamanya tertuju pada tujuan-tujuan perkembangan, khususnya tahap ke dua pada tekanan perkembangannya terletak pada pemenuhan syarat sosial dan ekonomi, dan tahap ke tiga ketika orang mulai membutuhkan nilai spiritual.

1. Usia Anak (Childhood)

Jung membagi usia anak menjadi tiga tahap, yakni tahap anarkis (anachic), tahap monarkis (monarchic), dan tahap dualistik (dualistic). Tahapan-tahapan itu tidak memakai batasan usia secara kaku, karena ketiganya berada dalam kontinum dan perubahannya terjadi secara perlahan atau berangsur-angsur.

Tahap anarkis (0-6 tahun): ditandai dengan kesadaran yang kacau

dan sporadis (kadang ada kadang tidak). Mungkin muncul “pulau-pulau kesadaran” tetapi antar pulau satu dengan yang lain tidak saling berhubungan. Pengalaman pada fase anarkis ini sering muncul ke dalam kesadaran sebagai gambaran primitif, yang tidak dapat dijelaskan secara akurat.

Tahap monarkis (6 – 8 tahun): pada anak-anak ditandai dengan perkembangan ego, dan mulainya pikiran verbal dan logika. Pada tahap ini anak memandang dirinya secara obyektif, sehingga sering secara tidak sadar mereka menganggap dirinya sebagai orang ketiga. Pulau-pulau kesadaran semakin luas, semakin banyak (sehingga ada saling hubungan menjadi satu), dihuni oleh ego-primitif.

Tahap dualistik (8 – 12 tahun): ditandai dengan pembagian ego menjadi dua, obyektif dan subyektif. Anak kini memandang dirinya sebagai orang pertama, dan menyadari eksistensinya sebagai individu yang terpisah. Pada tahap dualistik ini kesadaran terus berkembang, pulau- pulau kesadaran menyatu, dihuni oleh ego-kompleks yang menyadari diri

sendiri baik sebagai obyek maupun sebagai subyek. Jung mengamati bahwa anak-anak sering mengalami kesulitan emosional. Menurutnya, hampir pasti kesulitan itu merefleksikan “pengaruh buruk di rumah”. Sampai anak masuk sekolah, mereka masih belum memiliki kesadaran identitas diri. Menurut Jung, anak hidup dalam atmosfer jiwa yang tertutup yang diberikan orang tuanya, dan kehidupan psikisnya diatur oleh insting. Kecuali ritme tidur, makan, defakasi, dan tingkah laku biologis dasar lain yang diatur oleh insting, tingkah laku lain bersifat anarkis dan kacau kalau tidak diprogram oleh orang tuanya. Jelas salah sekali menginterpretasi anak yang aneh – keras kepala – tidak patuh atau sukar diasuh, sebagai tingkah laku yang sengaja atau tingkah laku yang terganggu secara serius. Dalam kasus semacam itu selalu harus diuji iklim psikologis dan sejarah pengasuhan anak. Hampir tanpa kecuali akan ditemukan bahwa penyebab “anak sulit” adalah orang tuanya.

2. Usia Pemuda

Tahap pemuda berlangsung mulai dari pubertas sampai usia pertengahan. Pemuda berjuang untuk mandiri secara fisik dan psikis dari orang tuanya; menemukan pasangan, membina rumah tangga, dan mempunyai tempat tinggal. Tahap ini ditandai oleh meningkatnya kegiatan, kematangan seksual, tumbuh-kembangnya kesadaran, dan pemahaman bahwa era bebas masalah dari kehidupan anak-anak sudah hilang. Kesulitan utama yang dihadapi pemuda adalah bagaimana melupakan hidup dengan kesadaran yang sempit pada masa anak-anak. Kecenderungan untuk hidup seperti anak-anak dan menolak menghadapi kelumpuhan pribadi pada separuh kehidupannya yang akan datang, mengalami hambatan usaha mencapai realisasi diri, tidak mampu menciptakan tujuan baru, dan tidak bisa mencari makna baru dalam kehidupan. “kelahiran jiwa” terjadi pada awal pubertas, mengikuti terjadinya perubahan-perubahan fisik dan ledakan seksualitas. Tahap ini ditandai oleh perbedaan perlakuan orang tua, dari perlakukan kepada

anak-anak menjadi perlakuan kepada orang dewasa. Tiba-tiba kepribadian harus banyak membuat keputusan dan menyesuaikan diri dengan kehidupan sosial. Jika pemuda disiapkan secara baik, perubahan dari aktivitas anak-anak menjadi aktivitas vokasional akan berlangsung lancar. Jika pemuda terikat dengan ilusi anak-anak, atau mengembangkan harapan yang tidak realistik, dia akan menghadapi masalah yang luar biasa besar. Misalnya pemuda yang bercita-cita menjadi pilot, ternyata ketajaman matanya tidak memenuhi syarat, kalau dia tidak segera menggeser tujuannya (berarti dia terikat ilusi masa kecilnya), dia mungkin akan mengalami distres. Tidak semua masalah tahap kedua ini datang dari luar, seperti pilihan pekerjaan tadi.

Kesulitan bisa datang dari dalam, misalnya yang disebabkan oleh insting seksual, atau terlalu peka, atau perasaan tidak aman. Di dalam lubuk jiwa seseorang, dia mungkin ingin tetap menjadi anak, tetap berada dalam tahap dimana tidak ada masalah nyata dan tidak ada tanggung jawab. Namun tugas dari usia perkembangan tahap kedua ini yang lebih penting adalah menangani masalah yang datang dari luar. Orang harus mampu membuat keputusan, mengatasi hambatan, dan memperoleh kepuasan bagi dirinya sendiri dan bagi orang lain.

3. Usia Pertengahan

Tahap ini dimulai antara usia 35 atau 40 tahun. Puncak perkembangan sudah lewat, tetapi periode ini justru ditandai dengan aktualisasi potensi yang sangat bervariasi. Pada usia ini orang yang ingin tetap memakai nilai-nilai sosial dan moral usia pemuda, menjadi kaku dan fanatik dalam mempertahankan postur dan kelenturan fisiknya, mereka mungkin berjuang habis-habisan untuk mempertahankan tampang dan gaya hidup masa mudanya. Menurut Jung, kebanyakan orang tidak siap melangkah menuju usia pertengahan, orang berada di usia pertengahan dengan menganggap nilai-nilai mudanya masih bisa berlaku sampai sekarang. Sesuatu yang mustahil karena orang tidak dapat hidup di masa

pertengahan dengan aturan anak-anak, apa yang bagus pada masa anak- anak menjadi buruk pada masa pertengahan, apa yang dulu dianggap benar kini menjadi penipuan.

Menurut Jung, tahap ini ditandai dengan munculnya kebutuhan nilai spiritual, kebutuhan yang selalu menjadi bagian dari jiwa, tetapi pada usia muda dikesampingkan karena pada usia itu orang lebih tertarik dengan nilai materialistik. Pada usia pertengahan orang sudah berhasil menyesuaikan diri dengan lingkungan, memiliki pekerjaan mantap, kawin, punya anak, ikut serta dalam kegiatan sosial. Tiba-tiba mereka menemukan dirinya kehilangan tidak tahu makna dan tujuan hidupnya sendiri. Mereka tidak lagi berminat kepribadiannya menjadi kosong. Mereka membutuhkan nilai-nilai baru yang dapat memperluas pandangan hidup yang materialistik. Usia pertengahan adalah usia realisasi diri. Mereka ingin memahami makna kehidupan dirinya, ingin memahami kehidupan di dalam diri mereka sendiri.

4. Usia Tua

Tahap usia tua kurang mendapat perhatian Jung. Menurutnya, usia tua mirip dengan usia anak-anak; pada kedua tahap itu fungsi jiwa sebagian besar bekerja di tidak sadar. Pada anak-anak belum terbentuk pikiran dan kesadaran ego, sedang pada orang tua mereka berangsur- angsur tenggelam dalam tak sadar, dan akhirnya hilang-masuk ke dalamnya. Jika pada awal kehidupan orang takut hidup (nanti kerja apa, rumahnya dimana, dan seterusnya), pada usia tua hampir pasti orang takut mati. Takut mati mungkin sesuatu yang normal, namun menurut Jung mati adalah tujuan hidup. Hidup hanya benar-benar bermakna kalau kematian dipandang sebagai tujuan hidup.

Kebanyakan klien Jung berusia pertengahan dan usia tua, dan banyak di antara mereka yang mengalami kesengsaraan karena berorientasi ke belakang, merangkul kuat-kuat tujuan dan gaya hidup

masa lalu dan menjalani hidup tanpa tujuan. Jung mengobati mereka dengan membantu memantapkan tujuan baru dan menemukan makna kehidupan melalui pemahaman yang benar makna kematian. Jung menggarap hal itu melalui interpretasi mimpi, karena mimpi orang usia tua sering penuh dengan simbol-simbol kelahiran kembali, seperti; mimpi mengembara ke tempat yang jauh atau mimpi pindah rumah. Jung memakai simbol-simbol itu untuk memahami sikap tak sadar klien terhadap kematian, dan membantu mereka memahami makna kehidupan secara filosofis.

Dalam dokumen Kepala Sekolah 27 Pengembangan Kepribadian (Halaman 70-75)

Dokumen terkait