• Tidak ada hasil yang ditemukan

D. Degradasi Warna Hijau

V. Pendugaan Umur Simpan Dengan Metode Arrhenius

2. Perubahan Mutu Selama Penyimpanan - Warna

Warna hijau pada lada hijau kering berasal dari pigmen alami yaitu klorofil. Pigmen klorofil memberikan warna hijau pada lada sebelum masak dan akan berubah menjadi kemerahan setelah buah lada masak. Menurut Muchtadi (1989), pigmen-pigmen alam biasanya mengalami perubahan kimia, sebagaimana terjadi pada pematangan buah-buahan.

86 Selama penyimpanan lada hijau kering mengalami perubahan warna dari hijau cerah menjadi hijau kecokelatan. Hal tersebut dapat dilihat dari kenaikan nilai a* selama penyimpanan. Perubahan warna lada hijau kering dapat dilihat pada Gambar 8, 9, dan 10.

Gambar 8. Grafik warna hijau nilai a* dalam kemasan LDPE pada beberapa suhu penyimpanan dan lama penyimpanan.

Gambar 9. Grafik warna nilai a* dalam kemasan PP pada beberapa suhu penyimpanan dan lama penyimpanan.

Gambar 10. Grafik nilai a* dalam kemasan alufo pada beberapa suhu penyimpanan dan lama penyimpanan.

‐1,500 ‐1,000 ‐0,500 0,000 0,500 1,000 1 14 28 42 56 70 84 98 112 warna  hi ja u  lad a Lama pengamatan (hari)

LDPE 20°C LDPE 30°C LDPE 40°C

‐1,500 ‐1,000 ‐0,500 0,000 0,500 1,000 1 14 28 42 56 70 84 98 112 Warna  hi ja u Lama penyimpanan (hari) PP 20°C PP 30°C PP 40°C ‐2,000 ‐1,000 0,000 1,000 2,000 1 14 28 42 56 70 84 98 112 Warn hi ja u Lama penyimpanan (hari)

87 Degradasi warna hijau selama penyimpanan dapat disebabkan oleh reaksi browning enzimatis. Browning enzimatis adalah proses kimia yang terjadi pada buah dan sayur oleh enzim polifenol oksidase, yang menghasilkan warna cokelat (Anonim, 2010). Enzim ini terdapat pada semua tanaman tetapi konsentrasi yang tinggi terdapat pada jamur, kentang, buah persik, apel, pisang, alpukat, daun teh, kopi, dan daun tembakau (Naz, 2002).

Browning enzimatis dapat terjadi apabila terdapat enzim polifenol oksidase atau fenolase, substrat fenol, tembaga, dan oksigen. Meskipun telah mengalami proses blanching pada suhu 1000C untuk inaktivasi, tidak semua enzim fenolase tersebut inaktif. Hal ini dapat dikarenakan waktu

blanching yang kurang maksimal serta kekuatan enzim tersebut sehingga

beberapa enzim tetap aktif dan berpengaruh pada proses browning enzimatis. Enzim fenolase tidak kehilangan aktivitasnya pada suhu tinggi seperti pada enzim lainnya. Menurut Bandyopadhyay (1990), aktivitas enzim polifenolase mencapai optimum pada suhu tinggi (73 – 780C).

Substrat fenol yang mendukung terjadinya browning enzimatis pada tiap – tiap buah dan sayur berbeda. Menurut Marshall et al. (2000), catechins, cinnamic acid esters, 3,4-dihydroxy phenylalanine (DOPA), dan tyrosine adalah substrat terpenting bagi polifenol oksidase pada buah dan sayuran. Komposisi polifenol dari buah dipengaruhi oleh spesies, penanaman, tingkat kematangan serta kondisi lingkungan pertumbuhan dan penyimpanan. Senyawa fenol juga berkontribusi pada warna, aroma, kepahitan, dan flavor pada buah. Menurut Pradhan et al. (1999), reaksi pencokelatan enzimatis dapat disebabkan adanya luka pada kulit buah lada akibat perontokan sehingga komponen fenol pada buah lada segar (3, 4 dihydroxy-6-(N-ethylamino) benzamide dan 3,4 dihydroxyphenol ethanol glucoside keluar dari jaringan buah, kontak dengan udara (mengalami autooksidasi) sehingga terjadi reaksi pencokelatan.

Proses pemanasan seperti blanching, mengakibatkan rusaknya jaringan kulit buah lada sehingga akan mempercepat reaksi antara enzim fenolase dengan substratnya. Selain itu menurut Mangalakumari et al.

88 (1983), pada proses pengolahan yang melibatkan panas seperti pengeringan akan menyebabkan turbiditas sel hilang dan ekstrak fenol menyebar keluar seiring dengan pergerakan kelembaban dari dalam ke luar.

Pada proses browning enzimatis tersebut, dibutuhkan ketersediaan oksigen sebagai akseptor hidrogen selama proses oksidasi. Rendahnya laju transmisi O2 akan menghambat laju browning enzimatis karena terbatasnya oksigen yang diperlukan untuk oksidasi enzim pada substrat fenol. Lada hijau dalam kemasan aluminium foil mampu mempertahankan warna hijaunya paling baik karena laju transmisi O2 kemasan ini paling rendah dibanding kemasan lain. Kemasan PP mampu mempertahankan warna hijau lebih baik dibandingkan dengan LDPE. Hal ini dikarenakan laju transmisi O2 kemasan PP lebih rendah jika dibanding kemasan LDPE sehingga PP memberikan perlindungan yang lebih baik dibanding LDPE.

Selain dipengaruhi oleh permeabilitas O2 masing – masing kemasan, sifat PP dan LDPE yang dapat ditembus oleh cahaya juga mendukung terjadinya degradasi warna hijau. Matthew (1993) menyebutkan bahwa sinar matahari dapat merusak klorofil pada jaringan buah lada, sehingga warna lada tampak lebih pucat. Kemasan aluminium foil mempunyai sifat yang tidak tembus cahaya sehingga radiasi sinar matahari dapat dihindarkan.

Selain disebabkan oleh browning enzimatis, degradasi warna hijau juga disebabkan oleh proses pemanasan. Menurut Kim et al. (2003), faktor seperti suhu, oksigen, dan antioksidan dapat berpengaruh pada tingkat degradasi klorofil selama penyimpanan. Proses degradasi warna hijau karena pemasanan dijelaskan dalam Winarno (1973), lokasi klorofil terlindung oleh lipoprotein dan panas dapat menyebabkan denaturasi protein. Oleh pengaruh panas, protein yang terikat dalam lipoprotein akan mengalami denaturasi. Terjadinya denaturasi tersebut akan menyebabkan klorofil terbuka terhadap reaksi kimia dari luar. Pemanasan tersebut akan memudahkan terlepasnya ion Mg pada klorofil dengan disubtitusi oleh ion H, sehingga warna hijau akan berubah menjadi feopitin dan feoforbid yang

89 berwarna kecokelatan. Menurut Kim et al. (2003), penyimpanan pada suhu lebih dari 400C menyebabkan konversi klorofil menjadi feopitin menjadi cepat.

Berdasarkan hasil penelitian, lada hijau kering yang dikemas dalam aluminium foil dan disimpan pada suhu rendah (200C) paling baik dalam mempertahankan warna hijaunya. Hal tersebut dapat dilihat dari nilai a* yang tetap bernilai negatif yaitu (-1.191). Nilai a* lada tersebut mengalami kenaikan paling kecil jika dibanding dengan nilai a* awal sebesar (-1.203). Penyimpanan pada suhu rendah memberikan hasil yang lebih baik dalam mempertahankan warna hijau karena laju reaksinya lebih kecil dibanding pada suhu tinggi. Menurut Muchtadi (1989), untuk setiap kenaikan suhu 100C kecepatan reaksi termasuk enzimatik dan nonenzimatik rata-rata akan bertambah dua kali lipat.

Penurunan intensitas warna hijau terbesar terjadi pada lada hijau yang dikemas dalam aluminium foil dan disimpan dalam suhu 400C. Hal ini dapat dilihat dari nilai a* yang terbesar yaitu (+0.890). Aluminium foil merupakan bahan kemasan yang terbuat dari logam sehingga memiliki daya hantar panas yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan plastik. Lada yang dikemas dalam kemasan tersebut mendapat panas yang lebih tinggi sehingga lebih cepat mengalami kerusakan klorofil. Selain itu, kecepatan reaksi browning enzimatis pada suhu tinggi juga lebih cepat dibanding suhu rendah.

- Kadar Air

Kadar air adalah presentase kandungan air dari suatu bahan yang dapat dinyatakan berdasarkan berat basah (wet basis) atau berdasarkan berat kering (dry basis) (AOAC, 1984). Salah satu faktor yang mempengaruhi mutu produk kering adalah kadar air. Kadar air produk kering umumnya rendah. Kadar air menentukan kerenyahan lada serta kerusakan mikrobiologis.

Kadar air lada hijau kering dalam kemasan selama penyimpanan mengalami perubahan. Perubahan kadar air lada hijau kering pada

90 berbagai kemasan yang disimpan pada suhu 200C, 300C, dan 400C dapat dilihat pada Lampiran 4. Grafik hubungan antara lama penyimpanan (hari) dan kadar air (%) dapat dilihat pada Gambar 11, 12, dan 13.

Gambar 11. Grafik perubahan kadar air dalam kemasan LDPE pada beberapa suhu penyimpanan dan lama penyimpanan.

Gambar 12. Grafik perubahan kadar air dalam kemasan PP pada beberapa suhu penyimpanan dan lama penyimpanan.

Gambar 13. Grafik perubahan kadar air dalam kemasan aluminium foil pada beberapa suhu penyimpanan dan lama penyimpanan. Berdasarkan grafik di atas dapat diketahui bahwa kadar air selama penyimpanan mengalami peningkatan pada suhu 200C dan 300C. Pada suhu 400C kadar air mengalami penurunan kecuali pada kemasan

0,000 2,000 4,000 6,000 8,000 10,000 12,000 1 14 28 42 56 70 84 98 112 ka dar  air  (%) lama penyimpanan (hari) LDPE 20°C LDPE 30°C LDPE 40°C 0,000 2,000 4,000 6,000 8,000 10,000 12,000 1 14 28 42 56 70 84 98 112 kad ar  ai (%) Lama Penyimpanan (hari) PP 20°C PP 30°C PP 40°C 0,000 2,000 4,000 6,000 8,000 10,000 1 14 28 42 56 70 84 98 112 Kad ar  air  (% ) lama penyimpanan (hari) AL 20°C AL 30°C AL 40°C

91 aluminium foil yang tetap mengalami kenaikan. Kondisi penyimpanan pada suhu yang lebih tinggi menyebabkan ruang inkubator semakin kering sehingga kelembaban ruang inkubator kurang terkontrol dan bahan akan mengalami penurunan kadar air untuk mencapai kadar air kesetimbangan. Menurut Syarief dan Halid (1993), jika kelembaban ruangan lebih kecil daripada bahan, makanan akan menguapkan sebagian airnya.

Perubahan kadar air pada lada hijau ini disebabkan karena sifatnya higroskopis. Menurut Pruthi (1980), rempah dan produk rempah-rempah bersifat higroskopis, dan sensitif terhadap kadar air yang dapat menyebabkan discoloration, ketengikan, pertumbuhan jamur, dan serangan serangga. Lebih lanjut disebutkan dalam Pruthi (1980), higroskopis merupakan salah satu karakteristik penting dari produk yang didehidrasi atau dikeringkan. Hal ini dipengaruhi oleh kadar air produk itu sendiri dan kelembaban atmosfer di sekelilingnya.

Higroskopis adalah kemampuan suatu zat untuk menyerap molekul air dari lingkungannya baik melalui absorbsi atau adsorpsi. Suatu zat disebut higroskopis jika zat itu mempunyai kemampuan menyerap molekul air yang baik. Jika kelembaban relatif lingkungan tinggi, bahan akan menyerap sejumlah air dari lingkungan untuk menyesuaikan dengan kelembaban relatif lingkungan. Hal ini menyebabkan nilai kadar air mengalami peningkatan.

Selain itu, perubahan kadar air bahan juga dipengaruhi oleh permeabilitas kemasan. Kemampuan permeabilitas tiap kemasan yang berbeda-beda akan berpengaruh pada laju transmisi uap air. Semakin kecil laju transmisi uap air suatu kemasan menunjukkan semakin sedikit jumlah uap air yang mampu menembus bahan. Laju transmisi uap air pada kemasan LDPE paling besar dibanding PP dan aluminium foil. Hal ini menyebabkan laju peningkatan kadar air pada kemasan tesebut paling tinggi, diikuti kemasan PP dan aluminium foil. Perubahan kadar air pada aluminium foil paling kecil dibanding dengan kemasan lain karena nilai transmisi uap air pada kemasan ini paling kecil dibanding lainnya.

92 Nilai kadar air lada hijau kering tertinggi selama empat bulan penyimpanan adalah 10.665% sedangkan nilai kadar air terendahnya adalah 3.998%. Standar nilai maksimum kadar air lada hijau kering di pasaran sebesar 12% sedangkan menurut ESA (2007), nilai maksimum kadar airnya sebesar 13%. Hal ini menunjukkan bahwa nilai kadar air lada hijau kering selama penyimpanan masih berada jauh di bawah standar nilai maksimum.

Perubahan kadar air seperti yang ditunjukkan pada Gambar 7, 8, dan 9 menunjukkan slope atau arah kemiringan yang berbeda. Hal tersebut menyebabkan parameter kadar air tidak dapat digunakan sebagai parameter kritis dalam pendugaan umur simpan pada penelitian ini.

- Kadar Minyak Atsiri

Minyak atsiri atau eteris adalah istilah yang digunakan untuk minyak yang mudah menguap dan diperoleh dari tanaman dengan cara penyulingan uap (Guenther, 1987). Pada produk lada hijau kering terkandung minyak atsiri yang memberikan bau khas pada produk tersebut dan tidak mengandung persenyawaan yang menimbulkan rasa pedas. Rasa pedas pada lada disebabkan oleh senyawa piperin. Menurut Ketaren (1985), minyak atsiri yang dihasilkan dari penyulingan uap biasanya mempunyai warna kehijau-hijaun dengan bau khas lada yang disebabkan oleh persenyawaan phellandrene.

Sebelum dilakukan penyulingan, buah lada terlebih dahulu dihancurkan untuk memperkecil ukurannya. Menurut Guenther (1987), cara yang termudah untuk menghancurkan biji-bijian atau buah-buahan adalah dengan memasukkannya ke dalam gilingan halus. Pada penelitian ini digunakan blender sebagai alat penghancurnya. Penghancuran ini tidak boleh terlalu halus karena dikhawatirkan banyak minyak yang lepas sebelum dilakukan penyulingan untuk mengetahui kadar minyak atsirinya.

Minyak atsiri dapat diekstrak jika uap air berhasil melalui jaringan tanaman dan mendesaknya ke permukaan. Air berfungsi sebagai medium pembawa dalam proses ini. Kecepatan minyak terekstrak ditentukan oleh

93 kecepatan difusi. Penghancuran tersebut bertujuan agar sel-selnya hancur dan kelenjar minyak dapat terbuka sebanyak mungkin. Penghancuran dapat mengurangi ketebalan bahan di tempat terjadinya difusi, sehingga laju penguapan minyak atsiri menjadi cepat.

Selama penyimpanan, kadar minyak atsiri lada hijau kering mengalami penurunan yang cukup nyata. Penurunan kadar minyak atsiri lada hijau kering pada berbagai kemasan yang disimpan pada suhu 200C, 300C, dan 400C dapat dilihat pada Lampiran 5. Grafik hubungan antara lama penyimpanan (hari) dan kadar minyak atsiri (%) dapat dilihat pada Gambar 14, 15, dan 16.

Gambar 14. Grafik perubahan kadar minyak atsiri dalam kemasan LDPE pada berbagai suhu dan lama penyimpanan.

Gambar 15. Grafik perubahan kadar minyak atsiri dalam kemasan PP pada berbagai suhu dan lama penyimpanan.

0 1 2 3 4 1 14 28 42 56 70 84 98 112 Kadar  minyak  at si ri  (%) Lama penyimpanan (hari) LDPE 20°C LDPE 30°C LDPE 40°C 0 1 2 3 4 1 14 28 42 56 70 84 98 112 Ka dar  Miny ak  Atsiri  (%) Lama penyimpanan (hari) PP 20°C PP 30°C PP 40°C

94 Gambar 16. Grafik perubahan kadar minyak atsiri dalam kemasan

aluminium foil pada berbagai suhu dan lama penyimpanan. Berdasarkan grafik di atas, semua perlakuan yang diberikan pada lada hijau kering mengalami penurunan kadar minyak atsiri. Penurunan yang terjadi pada kemasan LDPE dan PP cukup besar dibanding kemasan aluminium foil. Hal tersebut dapat dilihat dari terciumnya bau khas lada yang keluar dari kemasan tersebut. Bau yang tercium cukup kuat menunjukkan komponen minyak atsiri yang hilang cukup besar. Pada kemasan aluminium foil, bau lada tidak tercium dari luar kemasan. Hal ini menunjukkan minyak atsiri yang hilang tidak besar. Laju transmisi gas kemasan LDPE tinggi sehingga kurang baik jika digunakan untuk makanan yang beraroma. Kemasan PP lebih tahan terhadap gas daripada LDPE sehingga lebih mampu mempertahankan minyak atsiri.

Penurunan kadar minyak atsiri ini selama masa penyimpanan dapat disebabkan oleh hilangnya komponen-komponen volatile melalui proses penguapan. Selain itu menurut Guenther (1987), penguapan secara bertahap selama penyimpanan mengakibatkan kehilangan miyak atsiri, yang sebagian besar disebabkan oleh proses oksidasi dan resinifikasi. Proses penguapan efeknya tidak seberapa dibanding dengan proses oksidasi dan resinifikasi.

Penurunan kadar minyak atsiri terbesar terjadi pada kemasan LDPE, diikuti oleh PP dan penurunan terkecil pada aluminium foil. Laju transmisi O2 kemasan LDPE paling besar jika dibanding kemasan lainnya. Hal ini mendukung terjadinya reaksi oksidasi yang besar sehingga dapat menurunkan jumlah senyawa kimia dalam minyak atsiri dan kadar minyak atsirinya akan berkurang. Walaupun laju transmisi O2 pada kemasan PP

0 1 2 3 4 1 14 28 42 56 70 84 98 112 Kad ar  Miny ak  Atsiri   (%) Lama penyimpanan (hari) AL 20°C AL 30°C AL 40°C

95 tidak sebesar kemasan LDPE, proses oksidasi masih terjadi dan menyebabkan penurunan kadar minyak atsiri. Kemasan aluminium foil memiliki laju transmisi O2 yang sangat kecil sehingga dapat menekan proses oksidasi yang dapat mengurangi kadar minyak atsiri.

Lada hijau kering yang disimpan pada suhu 400C mengalami penurunan kadar minyak atsiri paling besar dibanding penyimpanan pada suhu lainnya. Pada awal bahan disimpan, lada masih mengandung sejumlah air dalam sel. Proses pemanasan akan membuat uap air keluar dari bahan sedangkan air merupakan media pembawa minyak atsiri selama proses hidrofusi. Proses hidrofusi tersebut membawa minyak ke permukaan dan akhirnya menguap. Selain itu, menurut Mathew (1993), beberapa komponen minyak atsiri lada dapat rusak karena adanya pemanasan.

Pada akhir penyimpanan, lada hijau kering yang dikemas pada kemasan aluminium foil dan suhu 200C mengandung kadar minyak atsiri tertinggi yaitu 3.003% sedangkan kadar minyak atsiri terendah yaitu 1.809% pada kemasan LDPE dan suhu penyimpanan 400C. Menurut ESA (2007), nilai minimum kadar minyak atsiri lada hijau kering adalah 1%. Dengan demikian, nilai kadar minyak atsiri selama empat bulan penyimpanan masih berada di atas nilai minimum kadar minyak atsiri menurut European Spice Association (ESA). Hal ini menunjukkan kemasan yang paling baik mempertahankan minyak atsiri lada hijau kering secara berurutan adalah aluminium foil, PP dan LDPE.

Kadar minyak atsiri pada lada hijau yang disimpan pada suhu rendah 200C dapat dipertahankan lebih besar jika dibanding suhu lain. Hal ini sesuai dengan pernyataan Guenther (1987), jika bahan harus disimpan sebelum diproses, maka penyimpanan dilakukan pada udara kering yang bersuhu rendah dan udara tidak disirkulasikan; jika mungkin ruangan dilengkapi dengan air-conditioned.

96 - pH

Browning enzimatis pada lada hijau kering dapat berlangsung jika

tersedia faktor – faktor mendukungnya antara lain oksigen sebagai akseptor hidrogen, substrat fenol, tembaga, serta enzim fenolase. Nilai pH pada lada hijau kering sangat erat kaitannya dengan aktivitas enzim fenolase. Enzim fenolase adalah enzim yang bertanggung jawab terhadap reaksi pencokelatan enzimatis pada lada hijau kering. Aktivitas enzim fenolase aktif pada kisaran pH tertentu. Menurut Variar (1998), enzim fenolase pada lada hijau aktif pada kisaran pH 3.0 – 8.5 dan optimum pada pH 7. Pada pH mendekati 3 aktivitas enzim fenolase semakin kecil bahkan beberapa sudah inaktif. Pada pH mendekati 7, aktivitas enzim fenolase semakin besar.

Nilai pH lada hijau kering mengalami perubahan selama penyimpanan. Perubahan nilai pH lada hijau kering selama penyimpanan dalam kemasan LDPE, PP, dan aluminium foil pada suhu 200C, 300C, dan 400C dapat dilihat pada Lampiran 6. Grafik perubahan nilai lada hijau kering selama penyimpanan dapat dilihat pada Gambar 17, 18, dan 19.

Gambar 17. Grafik perubahan nilai pH dalam kemasan LDPE pada berbagai suhu dan lama penyimpanan.

0,000 2,000 4,000 6,000 8,000 1 14 28 42 56 70 84 98 112 Ni la i pH Lama penyimpanan (hari) LDPE 20°C LDPE 30°C LDPE 40°C

97 Gambar 18. Grafik perubahan nilai pH dalam kemasan PP pada berbagai

suhu dan lama penyimpanan.

Gambar 19. Grafik perubahan nilai pH dalam kemasan Aluminium foil pada berbagai suhu dan lama penyimpanan.

Nilai pH lada hijau kering cenderung mengalami fluktuasi dan menunjukkan tren penurunan yang sangat kecil sebesar 0.0001 – 0.0005%. Penurunan pH ini disebabkan oleh meningkatnya asam – asam organik yang terbentuk akibat proses oksidasi terpene pada minyak atsiri. Nilai pH lada hijau kering pada penelitian ini berkisar antara 4.08 – 5.79. Nilai pH tersebut berada pada kisaran pH aktif enzim fenolase. Hal ini mendukung terjadinya reaksi pencokelatan enzimatis dapat berlangsung selama penyimpanan lada hijau kering. Penurunan pH hingga kurang dari 3 dapat menonaktifkan enzim fenolase (Hutchings, 1999).

Selain berpengaruh pada aktivitas enzim fenolase, nilai pH juga berpengaruh pada kadar piperin pada lada hijau kering. Menurut Guenther (1952), penurunan piperin dapat terjadi karena terurainya piperin menjadi asam piperat dan piperidin dalam suasana asam. Dengan demikian, jika pH lada hijau kering terlalu rendah (asam) maka akan terjadi degradasi piperin menjadi senyawa yang lebih sederhana sehingga akan

3,800 4,000 4,200 4,400 4,600 4,800 1 14 28 42 56 70 84 98 112 Ni lai  pH Lama penyimpanan (hari) PP 20°C PP 30°C PP 40°C 3,500 4,000 4,500 5,000 1 14 28 42 56 70 84 98 112 Ni la i pH Lama penyimpanan (hari) AL 20°C AL 30°C AL 40°C

98 menurunkan kandungan piperin lada hijau kering selama penyimpanan. Penurunan piperin dapat mengurangi mutu produk karena piperin merupakan komponen yang memberi rasa pedas pada lada. Berkurangnya kandungan piperin menunjukkan berkurangnya pula rasa pedas lada tersebut. Pada penelitian ini tidak dilakukan pengukuran terhadap kandungan piperin sehingga tidak dapat dijelaskan hubungan antara nilai pH dan piperin selama penyimpanan lada hijau kering.

- Evaluasi Sensori

Secara umum penilaian mutu produk tidak hanya cukup dianalisis berdasarkan sifat-sifat objektifnya melainkan juga sifat-sifat indrawinya. Menurut Soekarto dan Hubeis (1992), penilaian sifat-sifat indrawi dari produk pangan menggunakan manusia sebagai instrument, karenanya sifat indrawi juga disebut sifat subjektif. Subjektivitas sifat indrawi bertingkat – tingkat. Yang paling tinggi tingkat subjektivitasnya ialah sifat hedonik, yaitu sifat yang menyatakan disukai, disenangi, enak, atau lawannya.

Evaluasi sensori yang dilakukan pada penelitian ini meliputi warna, rasa, aroma, dan penerimaan umum. Atribut tersebut merupakan faktor-faktor yang mempengaruhi penerimaan konsumen terhadap produk lada hijau kering. Evaluasi sensori dilakukan melalui uji hedonik. Hasil dari penilaian kesukaan oleh panelis selanjutnya dianalisis secara statistika melalui uji nonparametrik dengan tipe Friedman .

a. Warna

Warna merupakan salah satu atribut penting dari lada hijau kering karena atribut ini menjadi pembeda di antara lada – lada lain. Selain itu warna merupakan faktor awal yang menjadi penilaian awal konsumen terhadap suatu produk. Gould (1974) menambahkan, warna merupakan faktor mutu yang sangat penting dalam menilai produk-produk makanan. Hal tersebut benar adanya karena konsumen menilai suatu produk pertama kali berdasarkan warnanya.

99 Modus dan median parameter warna lada hijau kering dari awal pengujian hingga hari ke-98 pada semua sampel berada pada nilai 3 – 4. Nilai tersebut menunjukkan bahwa warna hijau sampel masih diterima oleh konsumen. Naik atau turunnya nilai modus dan median selama masa penyimpanan dapat dipengaruhi oleh penilaian subjektif panelis terhadap kesukaannya pada tiap sampel. Rata-rata skor yang diberikan oleh panelis adalah 3 (netral). Hal tersebut ditunjukkan oleh modus hasil uji hedonik yang bernilai 3.

Modus dan median sampel AL 20 bernilai 4 hingga hari ke-98. Hal ini menunjukkan bahwa panelis masih suka dengan sampel tersebut. Warna hijau sampel AL 20 dapat dipertahankan relatif baik sehingga panelis masih menyukai sampel tersebut. Setelah hari ke-112 panelis kesukaan panelis mulai turun terlihat dari modus dan mediannya yang bernilai 3. Penurunan ini dapat disebabkan oleh mulai memudarnya warna hijau sampel.

Tabel 7. Nilai modus dan median uji hedonik terhadap warna Hari

ke- Parameter LDPE 20°C LDPE 30°C LDPE 40°C 20°CPP 30°CPP 40°CPP 20°C AL 30°C AL 40°C AL

14 Median 4 3 3 3 3 3 4 3 3 Modus 4 3 3 3 3 3 3 3 3 28 Median 4 3.5 3 4 3.5 3.5 4 4 4 Modus 4 3 3 4 4 ; 3 4 ; 3 4 3 4 42 Median 3 3 3 3.5 3.5 3.5 4 4 3.5 Modus 3 3 3 4 ; 3 3 3 4 3 4 ; 3 56 Median 3 3 3 4 3 3 4 3 3 Modus 3 3 3 3 3 3 4 3 3 70 Median 3 3 3 3.5 3 3 4 3 3 Modus 3 3 3 4 ; 3 3 3 4 3 3 84 Median 3 3 3 3.5 3 3 4 3 3 Modus 3 3 3 3 3 3 4 3 3 98 Median 3 3 3 3 3 3 4 3 3 Modus 3 3 3 3 3 3 4 3 3 112 Median 3 3 2.5 3 3 2.5 3 3 2.5 Modus 3 3 2 ; 3 3 3 2 ; 3 3 3 2 ; 3 Pada penyimpanan hari ke-112, penilaian panelis terhadap sampel yang disimpan pada suhu 400C yaitu LDPE 40, PP 40, dan AL 40 mengalami penurunan yang signifikan. Hal ini terlihat dari

100 nilai modus dan mediannya yang mengalami penurunan dari nilai hari-hari sebelumnya. Median ketiga sampel tersebut bernilai 2.5 sedangkan modusnya bernilai 2 dan 3. Nilai tersebut menunjukkan kesukaan panelis berada pada rentang tidak suka – netral. Penurunan kesukaan ini dapat disebabkan oleh pencokelatan warna lada hijau akibat proses browning enzimatis dan pengaruh pemanasan. Panelis mulai tidak menyukai warna lada ini karena mulai dianggap tidak

Dokumen terkait