• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perubahan Perilaku Sosial Masyarakat Jepang terhadap Lansia

Dalam dokumen Fenomena Kodokushi di Jepang Dewasa Ini (Halaman 41-45)

BAB II TINJAUAN UMUM TERHADAP KODOKUSHI

2.3. Perubahan Perilaku Sosial Masyarakat Jepang terhadap Lansia

Di masa lampau, ketika orang Jepang belum banyak dipengaruhi oleh modernisasi, mereka senantiasa diliputi rasa berhutang budi (on) kepada orang tua, para penguasa, masyarakat dan negara. Karena adanya rasa berhutang budi, maka orang Jepang merasa berkewajiban untuk membalas budi baik kepada orang tua, para penguasa, masyarakat dan negara; rasa berkewajiban itu dinamakan gimu. Inilah yang memperkuat solidaritas kelompok dan patriotismenya. Di Jepang tidak ada pendidikan khusus mengenai patriotisme, apalagi setelah Perang Dunia II. Tetapi karena kuatnya sifat berkewajiban membalas budi itu, maka patriotisme tetap kuat diantara rakyat Jepang yang telah mengalami modernisasi yang tinggi. Selain itu, orang Jepang selalu merasa berkewajiban untuk membalas sikap atau kebaikan yang telah diterima dari orang lain dengan setimpal, yang disebut giri

(Suryoharjodiprojo, 1982: 47-48).

Namun masyarakat Jepang yang dahulu memiliki komitmen untuk menghormati orang tua kini telah banyak berubah, modernisasi Jepang

31

menyebabkan berkurangnya rasa berhutang budi itu, meskipun belum sepenuhnya hilang. Perubahan ini mulai terjadi setelah Perang Dunia II dan juga disebabkan hilangnya sistem Ie dimana ketika itu seseorang menjadi ayah dan pemimpin rumah tangga, didampingi oleh istrinya sebagai ibu. Kalau anak laki-laki tertua telah menikah dan meningkat umurnya, maka dia harus beralih menjadi pimpinan rumah tangga, sedangkan ayah yang telah menjadi kakek beralih menjadi pinisepuh rumah tangga dan tinggal dalam lingkungan rumah tangga sampai mereka meninggal (Suryoharjodiprojo, 1982: 45). Dalam sistem ini juga sang nenek memiliki peranan penting. Ie merupakan dasar pendidikan dalam keluarga tersebut. Anak-anak dalam keluarga ie biasanya diasuh dibawah bimbingan nenek yang memanjakan daripada oleh ibu mereka sendiri yang tidak memiliki kewibawaan nyata untuk mengatur mereka. Bagi seorang ibu mempunyai anak sendiri berarti mempunyai persyaratan untuk mendapatkan jaminan akan dapat tinggal dalam keluarga suaminya. Anak-anak dalam keluarga tradisional ini mendapatkan dari ibu dan nenek mereka disiplin yang menumbuhkan apa yang oleh Ruth Benedict disebut shame culture atau budaya rasa malu (Fukutake, 1988: 54).

Namun saat ini wewenang tersebut tidak berlaku lagi. Generasi kakek-nenek tidak lagi dapat mempertahankan hak-hak istimewa mereka dalam mendidik anak-anak yang dahulu mereka miliki sebelum perang karena berubahnya bentuk keluarga luas menjadi keluarga inti. Dalam keluarga inti tidak terdapat tekanan psikologis yang disebabkan tinggalnya dua generasi dalam satu rumah tangga. Mungkin mereka akan lebih bahagia namun jika melihat masa depan mereka tentulah masa depan mereka tidak terjamin. Ini karena

32

aggota keluarga dalam sistem seperti ini tidak dapat menjamin kehidupan hari tua mereka. Dalam keluarga inti para ibu bebas dari campur tangan ibu mertua, tetapi mereka kehilangan kesempatan untuk belajar lebih banyak dari generasi tua.

Sebelum perang, orang-orang cacat fisik dan mental, yatim piatu, dan orang-orang tua yang kesepian tanpa keluarga dapat menghidupi dirinya melalui pertolongan sanak saudara atau menerima belas kasihan dari tetangga sekitarnya. Namun hal ini sudah mulai pudar, generasi saat ini menganggap bahwa hal tersebut bukan tanggung jawab mereka. Survei pendapat umum oleh kantor perdana menteri mengenai kehidupan dan masalah penduduk berusia lanjut menunjukkan bahwa angka perbandingan orang-orang yang beranggapan jaminan hari tua sebagai tanggung jawab keluarga adalah 34% pada tahun 1969, tetapi menurun menjadi 22% pada tahun 1973. Sebaliknya yang beranggapan bahwa tanggung jawab itu harus ditanggung oleh negara atau masyarakat meningkat dari 15% menjadi 24%. Survei ini juga menunjukkan bahwa orang-orang berusia lanjut seharusnya diurus oleh mereka sendiri atau masyarakat, semakin banyak dianut oleh responden yang usianya lebih muda (Fukutake, 1988: 47-48).

Saat ini di Jepang mulai bermunculan bentuk keluarga ie dimana dalam satu rumah terdapat dua rumah tangga (nisetai juutaka), maksudnya kakek-nenek tinggal dilantai yang berbeda atau sisi yang berbeda dari anak-cucu mereka juga memiliki dapur, kamar mandi, dan kadang pintu masuk masing-masing. Kikuko kato menyebut hal ini sebagai keluarga “ie modifikasi” karena meskipun dalam satu rumah hidup tiga generasi dan berbagi alamat yang sama, pada dasarnya terdapat dua keluarga inti dalam generasi yang berurut. Bentuk keluarga ie saat ini berbeda jauh dengan ie sebelumnya, meski kakek-nenek hidup dalam satu rumah

33

dengan cucu mereka namun mereka tidak dapat menjadi pendorong dan pendidik karena terhalang oleh generasi tengah (Thang, 2011: 140-141).

Seringnya media melaporkan kasus mengenai banyaknya lansia yang hilang, namun keluarga yang harusnya merupakan paling dekat dengan orang tua mereka tidak mengetahui keberadaannya dan dalam banyak kasus tidak mau meminta polisi untuk mencari mereka menunjukkan lemahnya ikatan sosial bahkan diantara keluarga.

Perbedaan jarak umur antara generasi tua dan generasi muda juga turut membuat mereka menjauh. Banyak pelajaran di Jepang pada persepsinya para lansia difokuskan bagi pelajar SMA dan mahasiswa sebagai bahan perbincangan. Koyano dalam Thang (2011: 179) mengatakan pelajaran-pelajaran ini secara keseluruhan menyimpulkan sikap remaja Jepang kepada lansia ditandai oleh stereotip negatif. Sebuah survei perbandingan Internasional tentang pandangan mahasiswa kepada lansia di Jepang oleh The United States, Great Britain, dan

Sweden lebih lanjut menunjukkan bahwa banyak remaja Jepang menganggap para lansia suka mengeluh dan keras kepala, hanya sedikit yang melihat mereka sebagai orang yang baik dan jujur melebihi teman sebaya. Ini menunjukkan bahwa remaja Jepang memandang lansia dengan anggapan negatif dan hal ini berlawanan dengan ajaran Jepang yang idealis untuk hormat dan peduli terhadap lansia. Meski begitu anggapan negatif terhadap lansia tidak berlaku bagi anak-anak yang berusia 9-12 tahun, survei yang dilakukan kepada mereka menunjukkan bahwa mereka memiliki pandangan positif terhadap lansia. namun ketika mereka memasuki SMP, Tim peneliti menemukan bahwa gambaran positif terhadap lansia sedikit demi sedikit menurun seiring dengan pertambahan umur si anak.

34

Meningkatnya pandangan negatif diantara anak SMP mungkin dipengaruhi oleh usia kakek-nenek mereka yang tinggal dengan mereka. Karena kemungkinan banyak dari kakek-nenek ini yang telah memasuki kategori usia old-old (75 tahun keatas) ketika cucu-cucu mereka masuk SMP atau juga dipengaruhi oleh gambaran stereotip negatif mengenai lansia yang didominasi oleh media.

Dalam dokumen Fenomena Kodokushi di Jepang Dewasa Ini (Halaman 41-45)

Dokumen terkait