• Tidak ada hasil yang ditemukan

Fenomena Kodokushi di Jepang Dewasa Ini

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Fenomena Kodokushi di Jepang Dewasa Ini"

Copied!
74
0
0

Teks penuh

(1)

1

FENOMENA KODOKUSHI DI JEPANG DEWASA INI

GENZAI NO NIHON NI ARU KODOKUSHI NO GENSHOU

SKRIPSI

Skripsi ini diajukan Kepada Panitia Ujian Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Medan untuk melengkapi salah satu syarat

ujian sarjana dalam bidang Ilmu Sastra Jepang

Oleh: DILA FITRIA

100708029

DEPARTEMEN SASTRA JEPANG

FAKULTAS ILMU BUDAYA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2014

(2)

2

FENOMENA KODOKUSHI DI JEPANG DEWASA INI

GENZAI NO NIHON NI ARU KODOKUSHI NO GENSHOU

SKRIPSI

Skripsi ini diajukan Kepada Panitia Ujian Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Medan untuk melengkapi salah satu syarat

ujian sarjana dalam bidang Ilmu Sastra Jepang

Oleh: Dila Fitria 100708029

Pembimbing I Pembimbing II

Prof. Hamzon Situmorang, M. S, Ph. D. Adriana Hasibuan, S. S, M. Hum. NIP. 195807041984121001 NIP. 196207271987032005

DEPARTEMEN SASTRA JEPANG FAKULTAS ILMU BUDAYA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2014

(3)

3 Disetujui oleh:

FAKULTAS ILMU BUDAYA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

Medan, Oktober 2014

Depatemen Sastra Jepang Ketua Departemen

Drs. Eman Kusdiyana, M. Hum. NIP. 19600919 1988 03 1 001

(4)

i ABSTRAK

Fenomena kodokushi di Jepang Dewasa Ini

Jepang adalah salah satu negara maju di dunia dengan tingkat

perekonomian yang tinggi. Meski begitu akibat kemajuan dalam semua bidang,

termasuk bidang kesehatan, Jepang tidak terlepas dari masalah-masalah sosial

yang harus dihadapi. Jepang yang telah memiliki layanan kesehatan yang mudah

diakses, kemajuan teknologi kedokteran dan gaya hidup sehat. Hal ini

menyebabkan tingginya angka harapan hidup masyarakatnya. Pada dasarnya ini

merupakan hal yang positif karena menandakan meningkatnya kualitas hidup,

tetapi dilain sisi menyebabkan makin meningkatnya populasi penduduk lansia di

Jepang. Peningkatan jumlah lansia merupakan masalah sosial yang sedang

dihadapi masyarakat Jepang saat ini karena tidak diikuti dengan jumlah kelahiran.

Kemerosotan angka kelahiran ini sangat berpengaruh terhadap kelangsungan

hidup lansia ke depannya. Jika jumlah anak merosot ini berarti jumlah tenaga

produktif akan berkurang. Jika tenaga produktif berkurang maka pajak pendapatan

guna membiayai lansia ikut berkurang dan terbatasnya tenaga perawat bagi lansia.

Padahal dari tahun ke tahun tunjangan kesehatan yang harus di keluarkan negara

bagi para lansia semakin besar.

Para lansia ini juga sedang dihadapkan pada masalah yang disebut

kodokushi. Kodokushi adalah suatu kondisi dimana seseorang mati dalam keadaan

kesepian atau sendirian tanpa ada keluarga yang mendampingi. Kondisi ini

sebenarnya dapat terjadi pada siapa saja, namun di Jepang fenomena kodokushi

banyak terjadi pada para lansia yang tinggal sendiri. Kodokushi menjadi perhatian

pasca gempa bumi Kobe pada tahun 1995. Saat itu ditemukan 207 kasus kematian

(5)

ii

lansia yang hidup tanpa keluarga. Di duga hal ini karena kurangnya kepedulian

masyarakat sekitar sehingga para lansia merasa terisolasi dari lingkungannya dan

tidak lagi memiliki keinginan untuk hidup (ikigai). Selain itu lemahnya ikatan

sosial yang terjadi dalam masyarakat Jepang sekarang sehingga membuat jarak

antara generasi muda dan generasi tua. Penyebabnya sejak pasca perang dunia II

kehidupan masyarakat Jepang mulai beralih dari masyarakat agraris menjadi

masyarakat industri. Perubahan ini juga turut mengubah struktur keluarga di

Jepang yang awalnya berbentuk ie berubah menjadi bentuk kaku kazoku. Ini

disebabkan perindustrian membuat para remaja harus pergi ke kota untuk mencari

pekerjaan dan harus berpisah dengan orang tua mereka akibatnya perlahan-lahan

sistem ie mulai tergantikan. Para generasi tua yang terbiasa dengan sistem ie ini

akhirnya merasa tersisihkan dari lingkungan sosial yang kemudian menyebabkan

depresi dan kehilangan keinginan untuk hidup. Para lansia yang depresi kemudian

banyak yang mengkonsumsi minuman keras dan melakukan tindakan bunuh diri.

Masalah ekonomi juga turut memperparah keadaan para lansia. Karena tidak

mampu membiayai hidupnya banyak para lansia yang meninggal karena sakit,

kelaparan, dan kedinginan.

Fenomena kodokushi sendiri menyebabkan adanya rasa takut terhadap

para lansia. Banyak dari mereka karena khawatir akan mengalami kodokushi

sehingga tidak ingin tinggal di tempat penampungan. Bahkan banyak dari lansia

melakukan tindakan kriminal seperti mencuri atau mengutil di toko untuk mencari

perhatian, sebagian besar mengambil kerja paruh waktu agar mereka tidak merasa

disisihkan dari kehidupan bermasyarakat.

(6)

iii

Meningkatnya jumlah kodokushi dari tahun ke tahun menjadi masalah

yang sangat serius bagi warga Jepang saat ini. Beberapa media massa banyak

menyalahkan pemerintah mengenai fenomena kodokushi ini. Mereka mengatakan

pemerintah tidak ikut serta dalam membangun komunitas yang saling peduli,

padahal pemerintah telah membuat undang-undang yang menjamin kesejahteraan

lansia. Selain itu untuk mendukung undang-undang ini banyak program yang

dibuat oleh pemerintah, masyarakat, juga para lansia guna menjamin

kesejahteraan dihari tua.

Program yang dilakukan pemerintah diantaranya memberikan tunjangan

kesejahteraan bagi lansia, membangun panti jompo, mendatangkan perawat asing,

dan lain sebagainya.Para lansia sendiri juga melakukan banyak usaha untuk

mengurangi kodokushi, diantaranya dengan membentuk kelompok lansia, menjadi

volunteer disuatu lembaga, membangun usaha sendiri, dan sebagainya.

(7)

iv

KATA PENGANTAR

Alhamdulillahirabbil „Alamin, segala puji dan syukur bagi Allah SWT

yang telah begitu banyak memberi nikmat kepada penulis baik nikmat waktu,

kesempatan, kesehatan dan masih banyak lagi yang sering penulis lupakan. Berkat

rahmat Allah SWT juga sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Tidak

lupa pula shalawat dan salam penulis sampaikan semoga dilimpahkan kepada

Rasulullah SAW, keluarganya, sahabatnya, dan seluruh umat dimanapun berada.

Adapun skripsi ini berjudul: Fenomena Kodokushi di Jepang Dewasa Ini.

Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk menyelesaikan pendidikan dan

meraih gelar sarjana pada Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sumatera Utara.

Skripsi ini dapat selesai berkat bantuan dari banyak pihak, maka dalam

kesempatan kali ini penulis ingin mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya

kepada:

1. Bapak Dr. Syahron Lubis, M. A., selaku Dekan Fakultas Ilmu Budaya,

Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Drs. Eman Kusdiyana, M. Hum, selaku Ketua Departemen Sastra

Jepang, Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Prof. Drs. Hamzon Situmorang, M. S., Ph. D., selaku Dosen

Pembimbing I yang telah dengan sabar meluangkan waktunya untuk

membimbing penulis sehingga skripsi ini dapat terselesaikan.

4. Ibu Adriana Hasibuan, S. S, M. Hum., selaku Dosen Pembimbing II yang

juga telah bersedia meluangkan waktunya untuk membimbing penulis

dalam mengerjakan skripsi.

i

(8)

v

5. Seluruh staf pengajar dan staf pegawai Fakultas Ilmu Budaya USU,

khususnya pada Departemen Sastra Jepang yang telah mengajarkan

ilmunya kepada penulis.

6. Ayah dan Mamak tercinta (Ahdan dan Nurmismah) yang tanpa lelah

mengorbankan segalanya sehingga penulis dapat mengenyam pendidikan

sampai saat ini, kalian menjadi inspirasi dan penyemangat yang luar biasa.

7. Adik-adikku tersayang (Rizal, Taufik, Arini) yang telah menjadi

penyemangat dan penghibur bagi penulis sampai saat ini, penulis akan

berusaha lebih baik lagi ke depannya untuk membantu kalian mewujudkan

impian dan menjadi contoh yang bisa di teladani.

8. Orang-orang yang akan paling di rindukan setelah tamat, Elvi, Liska, Echa,

Vitri, Martha, yang dengan senang hati mau mendengar keluh-kesah

penulis, sabar menghadapi sikap penulis yang menyebalkan, dan

menghibur penulis dengan semua candaan dan gurauannya. Setelah ini kita

masih punya mimpi yang harus kita kejar dan meski nanti kita terpisah,

semoga gak ada yang berubah ^_^.

9. Teman-teman penulis, Puti, Chusyam, Dian, Lina, Linda, Restu, Bari,

Baim, Rauf, pendopo genk, dan berbagai pihak yang telah banyak

membantu dan tidak dapat penulis sebutkan satu per satu, biarpun nanti

kita berjauhan jangan lupa sama ku ya .

10.Untuk “BM” (Ayu, Tika, Ifa, Winda) dan Retno yang biarpun kita jarang

ketemu karena kesibukan masing-masing, tapi kalian tetap nggak

bosan-bosan ngingatkan aku tentang skripsi, menjadi sahabat terhebat sampai

hari ini dan semoga selama-lamanya.

ii

(9)

vi

11.Rekan-rekan Sastra Jepang Stambuk 2010 yang telah memberi banyak

bantuan dan dukungan kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini

dan yang telah menemani penulis dalam menghadapi dunia perkuliahan

sampai saat ini.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih belum sempurna, untuk itu

penulis mengharapkan masukan berupa kritik dan saran yang membangun

demi kesempurnaan skripsi ini. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi semua

orang yang membacanya dan ingin mengetahui lebih banyak mengenai

kodokushi.

Medan, Oktober 2014

Penulis,

Dila Fitria

iii

(10)

vii DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...i

DAFTAR ISI……….….…………...…iii

BAB I PENDAHULUAN………...1

1.1. Latar Belakang Masalah……….1

1.2. Perumusan Masalah………...……….6

1.3. Ruang Lingkup Pembahasan………...7

1.4. Tinjauan Pustaka dan Kerangka Teori………8

1.5. Tujuan dan Manfaat Penelitian………..……...11

1.6. Metode Penelitian……….12

BAB II TINJAUAN UMUM TERHADAP KODOKUSHI 2.1. Definisi kodokushi……….13

2.1.1. Pertumbuhan Penduduk Jepang………..16

2.1.2. Pelaku Kodokushi………20

2.2. Penyebab Terjadinya Kodokushi………...22

2.3. Perubahan Perilaku Sosial Masyarakat Jepang terhadap Lansia……...30

2.4. Contoh-contoh Kejadian Kodokushi……….34

BAB III DAMPAK KODOKUSHI DALAM KEHIDUPAN SOSIAL MASYARAKAT JEPANG 3.1. Diri Sendiri (Kaum Lansia)………36

3.2. Masyarakat………...…………... 40

3.3. Negara………46

iv

(11)

viii BAB IV. KESIMPULAN DAN SARAN

4.1. Kesimpulan………... 55

4.2. Saran……… 56

DAFTAR PUSTAKA ABSTRAK.

v

(12)

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. LATAR BELAKANG MASALAH

Selain memiliki kebudayaan yang begitu beragam, Jepang juga memiliki

perindustrian yang maju dan ekonomi yang kuat. Tidak banyak negara maju yang

mampu mempertahankan kebudayaannya hingga dikenal diseluruh dunia namun

diimbangi dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Jepang merupakan

salah satu dari negara-negara Asia yang mampu bersaing dengan negara-negara

barat saat ini, Jepang yang awalnya mencontoh dari negara-negara barat terutama

Amerika dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi yang saat ini mampu

mengimbangi negara-negara tersebut bahkan mengunggulinya.

Kemajuan Jepang dalam berbagai bidang telah dimulai sejak pemerintahan

Meiji yang menganjurkan industrialisasi dan peningkatan produksi, kemakmuran

nasional, dan kekuatan militer, akibatnya ekonomi kapitalis Jepang mulai tumbuh

pesat. Setelah Perang Dunia II kemakmuran Jepang juga dikarenakan adanya

perjanjian keamanan dengan Amerika Serikat yang menekankan kemajuan

ekonomi dan politik yang berorientasi pada perdagangan dan pendidikan, hal itu

membantu memulihkan kondisi rakyat yang menderita trauma dan peperangan.

Pencapaian Jepang hingga sekarang tidak terlepas dari semangat kerja orang

Jepang yang sangat tinggi serta budaya kelompok yang kuat. Setiap pekerjaan

yang mereka lakukan merupakan pekerjaan untuk kepentingan bersama. Mereka

bekerja keras untuk menunjukkan keberhasilan pekerjaan yang dilakukannya juga

(13)

2

rela dan loyal melakukan pekerjaan yang menjadi kewajibannya demi kepentingan

keluarga dan negara walaupun pekerjaan itu berat. Sikap loyal diperlukan dalam

usaha memenuhi kebutuhan hidup didalam masyarakat. Semangat kerja mayarakat

Jepang ini dapat dilihat disiaran televisi, koran, ataupun majalah Jepang yang

sering memberitakan tentang orang meninggal karena kelelahan dalam bekerja,

fenomena ini disebut dengan istilah karoshi (Skripsi Lastri Pebriyanti Situmorang:

2008). Ini merupakan hal yang biasa bagi masyarakat Jepang, bahkan mereka

lebih mementingkan pekerjaannya daripada kehidupan sosialnya.

Statistik tahun 2013 menunjukkan rata-rata setiap tahunnya pekerja Jepang

bekerja sekitar 1.765 jam yang merupakan salah satu jam kerja tertinggi di dunia

dan para pekerja Jepang lebih sering merelakan hari liburnya untuk bekerja. Para

pekerja di Jepang secara tradisional maupun struktural didorong untuk

meningkatkan pendapatan dengan bekerja lembur. Perusahaan tidak memaksa

pegawai bekerja lebih panjang, akan tetapi pegawai secara sukarela melakukannya

demi prestasi. Mereka secara sukarela harus bekerja lebih lama, baik untuk

prestasi atau meraih pendapatan lebih tinggi karena dalam budaya kerja

masyarakat Jepang kenaikan pangkat dinilai berdasarkan prestasi kerja.

Orang-orang yang hidupnya tergantung gaji ini dikenal dengan istilah

Salaryman. Mereka adalah kaum pekerja kelas menengah kebawah yang hidupnya

serba pas-pasan. Para salaryman ini seluruh hidupnya berkutat disekitar pekerjaan

dikantor dan bekerja lembur setiap hari. Jenis pekerjaan yang termasuk kedalam

Salaryman adalah pegawai Bank, asuransi, perusahaan pelayanan, pegawai

perusahaan listrik dan gas, pegawai perkapalan, pegawai kontruksi, dan lain

sebagainya. Sikap masyarakat Jepang yang seperti ini tidak terlepas dari tingginya

(14)

3

biaya hidup yang harus dipenuhi. Hal ini menyebabkan para pekerja tidak

memiliki kehidupan sosial diluar kehidupan kantornya karena mereka hanya

berteman dan bergaul dengan orang-orang ditempat kerjanya. Mereka tidak

mengenal orang-orang dilingkungan sekitarnya sehingga ketika mereka telah

pensiun dan berpisah dari teman-teman kantornya mereka tidak memiliki teman

untuk berbagi bahkan dengan keluarga sendiripun tidak memiliki ikatan

kekeluargaan yang kuat, yang lebih mengkhawatirkan adalah mereka bahkan tidak

memiliki keluarga karena tidak pernah menikah. Kondisi seperti ini disebut

dengan istilah Muen shakai yaitu seseorang yang tidak memiliki hubungan

kekerabatan. Kondisi masyarakat yang seperti ini pada akhirnya menimbulkan

berbagai masalah sosial dalam masyarakatnya.

Salah satu masalah sosial yang sedang dihadapi Jepang saat ini adalah

kodokushi. Jika dilihat dari kanjinya yaitu kodoku(孤独) yang berarti kesepian dan

shi(死) yang berarti kematian, maka kodokushi dapat diartikan mati kesepian atau

mati dalam kesendirian. Kodokushi merupakan masalah sosial yang saat ini

sedang dihadapi kaum lansia Jepang, suatu kondisi dimana orang tua yang hidup

sendiri, di apartemen ataupun di rumah mereka, meninggal tanpa ada keluarga

yang merawatnya. Hal ini dikarenakan adalah berubahnya sistem masyarakat di

Jepang yang disebabkan beralihnya masyarakat agraris menjadi masyarakat

industri. Pola keluarga Jepang yang awalnya berbentuk Ie dimana dalam satu

rumah tangga dapat hidup dua sampai tiga generasi berubah menjadi kaku kazoku

atau keluarga inti yang hanya terdiri dari ayah, ibu, dan anak-anak yang belum

menikah. Hal ini dimaklumi mengingat biaya hidup yang semakin lama semakin

mahal membuat tradisi keluarga besar yang hidup bersama semakin pudar.

(15)

4

Akibatnya banyak orangtua yang tidak lagi tinggal bersama anak atau cucunya

kemudian menyebabkan banyak orang tua tinggal sendiri atau di panti jompo dan

kemudian meninggal. Fenomena kodokushi ini merupakan dampak dari

peningkatan jumlah lansia di Jepang dimana saat ini pertumbuhan kaum lansia

meningkat sedangkan penduduk usia muda semakin menurun atau biasa disebut

shoushi koreika. Penyebab menurunnya jumlah penduduk usia muda dikarenakan

kaum wanita Jepang saat ini merasa kesulitan untuk memilih antara kodratnya

sebagai ibu rumah tangga yang harus mendidik anak atau berkarir. Banyak dari

mereka lebih memilih bekerja sehingga mereka tidak mau melahirkan anak

bahkan semakin banyak kaum wanita yang tidak mau menikah. Ini menyebabkan

angka kelahiran di Jepang saat ini adalah yang terendah di dunia yaitu sekitar 1,3

per pasangan sedangkan angka lansia mencapai 23,3% pada 2011 dan diprediksi

akan mencapai 38,5% pada 2050. Kondisi tersebut mempengaruhi kehidupan

kaum lansia yang hidup tanpa keluarga dan hubungan sosial yang baik dengan

sekitarnya. Pada dasarnya peningkatan usia hidup disatu sisi menunjukkan hal

yang positif karena hal ini berarti meningkatnya sistem kesehatan dan pola hidup

yang baik, akan tetapi dalam perkembangannya hal ini menimbulkan masalah

yaitu tentang penanganan lansia. Para lansia tidak mendapatkan kualitas

pemeliharaan yang memadai akibat keterbatasan tenaga muda yang produktif.

Fenomena kodokushi adalah fenomena sosial yang muncul ke permukaan di

Jepang pasca gempa bumi Kobe tahun 1995. Kasus ini mencuat pasca

ditemukannya 207 lansia yang meninggal di rumah penampungan sementara

(Themporary Shelter Housing). Mereka adalah para lansia yang menjadi korban

gempa dan tidak memiliki sanak keluarga. Kondisi ini menyebabkan mayoritas

(16)

5

dari mereka mengalami deperesi akibat kesepian, banyak diantaranya yang

akhirnya mengalami ketergantungan alkohol. Sebagian lagi ditemukan karena

kelaparan, kekurangan gizi, atau sakit lever. Mayoritas adalah pria berusia 55

an. Jumlahnya hampir dua kali lipat wanita yang rata-rata berusia 70

tahun-an.

Kasus-kasus kodokushi lainnya banyak dialami oleh para pekerja yang

memasuki usia pensiun dimana sebagian besar masyarakatnya, terutama kaum

pria, memiliki fokus yang lebih besar terhadap pekerjaannya sehingga mereka

akan merasa diasingkan apabila mereka telah pensiun atau kehilangan pekerjaan.

Pada lansia berumur 70-80 tahunan sering muncul perasaan tidak puas terhadap

kaum muda yang dianggap tidak mampu merawat mereka dan mereka

beranggapan bahwa keberhasilan Jepang menjadi negara maju yang membuat para

generasi muda hidup nyaman adalah berkat jasa mereka. Hal ini diperparah karena

adanya budaya malu dalam masyarakat Jepang dan kebiasaan tidak ingin

mencampuri masalah orang lain sehingga ketika seseorang dalam kesulitan

mereka tidak mau meminta bantuan orang lain meski itu keluarganya sendiri, bagi

mereka lebih baik bertahan dalam penderitaan daripada harus meminta bantuan

orang lain. Karenanya masyarakat Jepang cenderung individualis dan merasa

hidup nyaman tanpa harus berinteraksi dengan banyak orang. Gaya hidup

masyarakat Jepang yang cenderung individualis ini pada akhirnya membawa

dampak negatif karena ketika mereka meninggal tidak ada yang mengurus jasad

mereka. Namun disisi lain hal ini melahirkan perusahaan-perusahaan yang

menangani urusan kematian, mulai dari pemindahan barang-barang orang yang

sudah meninggal, upacara kematian, hingga pemakaman.

(17)

6

Menurut Soekanto dalam sosiologi suatu pengantar, sejak dilahirkan

manusia sudah mempunyai dua hasrat atau keinginan pokok yaitu menjadi satu

dengan manusia lain disekelilingnya serta menjadi satu dengan suasana alam

sekelilingnya (1990: 124). Proses ini bisa disebut sosialisasi sehingga ketika

kehilangan agen sosialisasi untuk sebagian besar manusia ini membuat mereka

merasa terisolasi dari lingkungannya dan kehilangan masa depannya. Hal inilah

yang dirasakan oleh sebagian besar kaum lansia Jepang sekarang ini, ditambah

tidak adanya lagi sistem keluarga besar dimana dalam satu keluarga dapat hidup

dua sampai tiga generasi yang memungkinkan kaum lansia dapat terus

bersosialisasi.

Berdasarkan uraian yang telah dipaparkan di atas, penulis merasa penting

untuk membahas dan menganalisis tentang sejarah dan pekembangan kodokushi

yang berdampak pada kehidupan sosial masyarakat Jepang. Hal ini akan penulis

bahas melalui skripsi yang berjudul Fenomena Kodokushi di Jepang

Dewasa Ini .“

1.2. PERUMUSAN MASALAH

Guba dalam Moleong (2007: 93) mendefinisikan masalah sebagai suatu

keadaan yang bersumber dari hubungan antara 2 faktor atau lebih yang

menghasilkan situasi lain yang menyeret mereka dalam hubungan yang rumit

yang mereka sendiri sulit memahaminya.

Fenomena kodokushi sendiri telah menjadi masalah serius bagi

pemerintahan Jepang. Fenomena tersebut menunjukkkan lemahnya ikatan sosial

masyarakat Jepang saat ini padahal Jepang adalah negara yang bangga akan

(18)

7

komitmen mereka untuk menghormati orang tua. Kebanggaan ini ditunjukkan dari

adanya sistem Ie dimana dalam satu keluarga dapat terdiri dari dua hingga tiga

generasi, menurut Ariga Kizaemon dalam Situmorang (2011: 25) Ie adalah

kelompok kerjasama dalam mengelola kehidupan. Maka jika ditinjau lebih jauh

pada dasarnya masyarakat Jepang didasarkan pada dua pilar yaitu pekerjaan dan

keluarga yang stabil, namun sekarang hal tersebut tidak sekuat dulu lagi.

Berdasarkan hal diatas maka permasalahan penelitian ini akan menjawab

masalah yang dirumuskan dalam bentuk pertanyaan sebagai berikut:

1. Bagaimanakah realitas kodokushi?

2. Bagaimanakah usaha mengatasi kodokushi dan apa dampak yang

ditimbulkan oleh kodokushi terhadap kehidupan sosial masyarakat

Jepang?

1.3. RUANG LINGKUP PEMBAHASAN

Berdasarkan masalah yang telah dikemukakan sebelumnya maka penulis

menganggap perlu adanya pembatasan masalah karena dalam setiap penelitian

diperlukan adanya pembatasan masalah agar pembahasan tidak terlalu melebar

sehingga penulis dapat lebih fokus terhadap pembahasan dalam masalah tersebut

dan agar tidak menyulitkan pembaca untuk memahami pokok permasalahan yang

dibahas.

Seperti diketahui bahwa setiap manusia memiliki masalah tidak peduli

apakah seseorang tersebut muda ataupun tua. Di Jepang sendiri yang merupakan

negara maju masyarakatnya tidak terlepas dari masalah-masalah sosial tidak

(19)

8

hanya kaum muda saja, tetapi kaum lansia juga. Salah satu masalah sosial yang

sedang dihadapi kaum lansia Jepang saat ini adalah kodokushi. Untuk membatasi

ruang lingkup pembahasan, dalam penulisan ini hanya akan membahas masalah

Kodokuhi dalam kehidupan kaum lansia Jepang dan dampak yang ditimbulkannya

terhadap kehidupan sosial masyarakat Jepang. Untuk mendukung pembahasan ini

penulis juga akan membahas tentang kehidupan sosial masyarakat Jepang dewasa

ini, latar belakang terjadinya kodokushi, serta faktor-faktor penyebab terjadinya

kodokushi di Jepang.

1.4. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA TEORI

a. Tinjauan Pustaka

Setiap manusia dimanapun mereka berada tidak dapat hidup tanpa bantuan

orang lain karena manusia tidak mampu memenuhi kebutuhan hidupnya sendiri

sehingga perlu adanya jalinan kerjasama antara manusia yang satu dengan yang

lain. Tidak dapat dibayangkan bagaimana kehidupan manusia jika tidak berada

dalam masyarakat (sosial) sebab setiap individu tidak dapat hidup dalam

keterpencilan selama-lamanya. Manusia membutuhkan satu sama lain untuk

bertahan hidup dan untuk hidup sebagai manusia. Saling ketergantungan ini

menghasilkan bentuk kerjasama tertentu dan menghasilkan bentuk masyarakat

tertentu.

Mac Iver dan page dalam Hasan (2009: 28) menyatakan bahwa masyarakat

ialah suatu sistem dari kebiasaan dan tata cara, dari wewenang dan kerjasama

antara berbagai kelompok dan penggolongan, dari pengawasan tingkah laku serta

(20)

9

kebebasan- kebebasan manusia. Masyarakat merupakan jalinan hubungan sosial.

Dan masyarakat selalu berubah.

Kenudian Ralph Linton dalam Hasan (2009: 28) dalam bukunya yang

berjudul The Study of Man, mengemukakan masyarakat merupakan setiap

kelompok manusia yang telah hidup dan bekerja bersama cukup lama sehingga

mereka dapat mengatur diri mereka dan menganggap diri mereka sebagai suatu

kesatuan sosial dengan batas-batas yang dirumuskan dengan jelas.

Dari penjelasan diatas maka jelaslah bahwa manusia adalah makhluk sosial

sedangkan yang merupakan bentuk umum dalam proses-proses sosial adalah

interaksi sosial, bahkan beberapa ahli sosiologi berpendapat bahwa interaksi sosial

tersebut merupakan syarat utama terjadinya aktivitas-aktivitas sosial. Bentuk lain

dari proses-proses sosial hanya merupakan bentuk-bentuk khusus dari interaksi

sosial. Interaksi sosial merupakan hubungan-hubungan sosial yang dinamis,

menyangkut hubungan secara perorangan, antara kelompok-kelompok manusia,

maupun antara perorangan dengan kelompok manusia (Soekanto, 1990: 51).

Namun dalam masyarakat Jepang sekarang ini interaksi sosial yang terjadi

sangat jarang karena adanya tuntutan pekerjaan sehingga interaksi sosial dianggap

tidak terlalu penting. Hal ini akhirnya menjadi masalah bagi masyarakat Jepang

yang salah satunya adalah kodokushi.

b. Kerangka Teori

Dalam setiap penelitian perlu adanya kerangka teori untuk mendukung

penelitian tersebut, menurut Koentjaraningrat (1976: 1) kerangka teori berfungsi

sebagai pendorong proses berfikir deduktif yang bergerak dari bentuk abstrak

(21)

10

kedalam bentuk yang nyata. Dalam penelitian kebudayaan masyarakat diperlukan

satu atau lebih teori pendekatan yang sesuai dengan objek dan tujuan dari

penelitian ini. Dalam hal ini, penulis menggunakan teori pendekatan psikologi

sosial, teori sosiologi, juga pendekatan fenomenologis untuk meneliti masalah

yang berkaitan dengan kodokushi.

Michener dan Delameter, dalam Tridayaksini dan Hudaniah (2003: 5)

mendefinisikan psikologi sosial sebagai studi yang sistematik tentang sifat alami

dan sebab-sebab dari perilaku sosial manusia. Sementara menurut Shaw Costanzo

dalam Sarwono (1987: 3), psikologi sosial didefinisikan sebagai ilmu pengetahuan

yang mempelajari tingkah laku individu sebagai fungsi dari

rangsangan-rangsangan sosial. Dalam hal ini, yang dimaksud dengan rangsangan-rangsangan-rangsangan-rangsangan

sosial adalah manusia dan seluruh hasil karya manusia yang ada disekitar individu.

Teori ini berhubungan dengan bagaimana cara berfikir kaum lansia di Jepang

dalam menghadapi masalah yang ada dalam kehidupannya.

Sedangkan menurut Soerjono Soekanto dalam Upe (2010: 39) menyatakan

bahwa sosiologi adalah ilmu yang mempelajari struktur sosial, proses sosial,

termasuk perubahan-perubahan sosial dan masalah sosial.

Menurut Moleong (1994: 8), pendekatan fenomenologis menekankan

rasionalitas dan realitas budaya yang ada serta berusaha memahami budaya dari

sudut pandang pelaku budaya tersebut. Dalam pendekatan fenomenologis, peneliti

berusaha memahami arti peristiwa dan kaitan-kaitannya terhadap orang-orang

dalam situasi tertentu.

(22)

11

Penulis menggunakan teori psikologi sosial, teori sosiologi, dan pendekatan

fenomenologis untuk menjawab hal-hal yang melatarbelakangi terjadinya

kodokushi dan dampak yang ditimbulkan oleh kodokushi terhadap kehidupan

sosial masyarakat Jepang karena perilaku individu pelaku kodokushi merupakan

gejala psikologi sosial yang terjadi di masyarakat.

1.5. TUJUAN PENELITIAN DAN MANFAAT PENELITIAN

a. Tujuan Penelitian

Sesuai dengan permasalahan yang telah dikemukakan di atas, maka tujuan

dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Mengetahui latar belakang terjadinya kodokushi.

2. Mengetahui dampak yang ditimbulkan oleh kodokushi terhadap kehidupan

sosial masyarakat Jepang.

b. Manfaat Penelitian

1. Menambah wawasan bagi penulis dan pembaca mengenai kodokushi.

2. Diharapkan mampu menambah informasi bagi para pembaca khususnya

pelajar Bahasa Jepang mengenai masalah sosial yang sedang dihadapi

kaum lansia di Jepang yaitu kodokushi.

3. Menjadi bahan referensi bagi pembaca yang ingin meneliti masalah

kodokushi lebih jauh.

(23)

12 1.6. METODE PENELITIAN

Dalam melakukan penelitian sangat diperlukan metode-metode yang

mendukung penelitian untuk menunjang keberhasilan tulisan yang akan

disampaikan penulis kepada para pembaca. Maka dalam mengerjakan penelitian

ini penulis menggunakan metode penelitian deskriptif, yaitu penelitian yang

menggambarkan peristiwa atau gejala apa adanya. Menurut Koentjaraningrat

(1976: 30) penelitian yang bersifat deskriptif yaitu memberikan gambaran yang

secermat mungkin mengenai suatu individu, keadaan, gejala, atau kelompok

tertentu. Oleh karena itu, data-data yang diperoleh, dikumpulkan, disusun,

diklasifikasikan, sekaligus dikaji dan kemudian diinterpretasikan dengan tetap

mengacu pada sumber data dan informasi yang ada.

Selain itu untuk pengumpulan data penulisan menggunakan metode

penelitian kepustakaan (Library Research). Menurut Nasution (1996 : 14), metode

kepustakaan atau Library Research adalah mengumpulkan data dan membaca

referensi yang berkaitan dengan topik permasalahan yang dipilih penulis.

Kemudian merangkainya menjadi suatu informasi yang mendukung penulisan

skripsi ini. Studi kepustakaan merupakan aktivitas yang sangat penting dalam

kegiatan penelitian yang dilakukan. Beberapa aspek yang perlu dicari dan diteliti

meliputi : masalah, teori, konsep, kesimpulan serta saran. Data dihimpun dari

berbagai literatur buku yang berhubungan dengan masalah penelitian. Survey book

dilakukan di perpustakaan. Data juga didapat melalui Internet yang berhubungan

mengenai masalah kodokushi dan hal-hal yang berhubungan dengan masalah

sosial ini.

(24)

13 BAB II

TINJAUAN UMUM TERHADAP KODOKUSHI

2.1. Definisi Kodokushi

Kata kodokushi Jika dilihat dari makna kanjinya maka 孤 独(kodoku)

berarti kesepian atau kesunyian, sedangkan死 (shi) yang memiliki arti kematian.

Jadi 孤独死 (kodokushi) secara harafiah berarti mati kesepian atau mati dalam

kesendirian tanpa ada keluarga yang mendampingi. Fenomena kodokushi banyak

dialami oleh para lansia di Jepang saat ini dan makin bertambah setiap tahunnya

mengingat tingginya jumlah penduduk lanjut usia (lansia).

Fenomena kodokushi sendiri awalnya disebabkan adanya pencanangan

program pemerintah pasca Perang Dunia II. Tepatnya pada tahun 1947 pemerintah

Jepang mencanangkan sebuah program diet nasional yang disebut kokkai yang

jika diterjemahkan berarti “hari beras”. Fungsi program ini adalah untuk

menyehatkan pemerintah, terutama untuk merestorasi keuangan Jepang yang

hancur total akibat mendanai perang. Ternyata program ini juga diikuti oleh

program-program nasional lainnya, diantaranya adalah program yang

menyehatkan badan masyarakat Jepang. Hal ini berdasarkan pada pemikiran

bahwa jika masyarakat mampu menjaga badannya agar tetap sehat maka mereka

juga akan mampu menjaga negaranya agar tetap aman, karena masyarakatnya

hidup sehat maka tingkat harapan hidup makin tinggi. Karena hal inilah

digalakkan program kesehatan masyrakat Jepang. (http://www.wfs.org/sept-Oct07

files/Trend2so07.htm)

(25)

14

Pada dasarnya hal ini merupakan sesuatu yang baik karena menunjukkan kualitas

hidup yang baik, kemajuan teknologi kedokteran, serta pelayanan kesehatan yang

modern. Namun diluar dugaan hal ini menimbulkan masalah dibelakang hari

karena menyebabkan makin meningkatnya populasi manusia lanjut usia (manula)

yang berbanding terbalik dengan jumlah kelahiran.

Istilah kodokushi sendiri sebenarnya telah ada pada era 1980-an. Pada

1980 sampai awal 1990-an dimana ketika itu permasalahn mengenai koreika

shakai atau masyarakat yang mulai beranjak tua, banyak menghiasi halaman

media utama Jepang. Terminologi ini kemudian dilanjutkan dengan korei shakai

atau masyarakat lanjut usia. Pada akhir 1990-an, istilah ini berubah menjadi

chokoreika shakai masyarakat yang mulai beranjak sangat tua dan chokorei

shakai atau masyarakat sangat tua.

Peningkatan jumlah manula berarti dibutuhkan perawatan yang lebih bagi

para manula tersebut, namun peralihan masyarakat Jepang dari masyarakat agraris

menajadi masyarakat industri membuat perawatan lansia tidak lagi terjamin.

Peralihan ini mengubah pola keluarga di Jepang yang awalnya berupa dozoku

(sistem keluarga besar) berubah menjadi kaku kazoku (keluarga inti). Dalam

sistem dozoku dalam satu rumah tangga dapat tinggal dua sampai tiga generasi,

hal ini berbeda dengan kaku kazoku. Menurut Murdock dalam Alimansyar (2004:

25) mendefinisikan keluarga inti (kaku kazoku) sebagai keluarga yang terdiri dari

sepasang suami-istri dan anak-anak yang belum menikah. Pola masyarakat

industri ini juga turut mengubah pola pikir wanita Jepang dimana para wanitanya

sangat sibuk dengan pekerjaan sehingga tidak memiliki waktu berada dirumah dan

harus hidup terpisah dengan orangtuanya. Kondisi ini mempengaruhi perawatan

(26)

15

bagi lansia, para lansia terpaksa dititipkan dirumah jompo atau tinggal sendiri

karena keluarganya tidak memiliki waktu untuk mengurus mereka. Hal ini

menyebabkan banyak para lansia yang mengalami depresi karena kesepian dan

akhirnya meninggal dunia. Dari sinilah mulai berkembang istilah kodokushi.

Meski begitu fenomena kodokushi mulai muncul ke permukaan pasca

gempa bumi Kobe tahun 1995 dimana ketika itu ditemukan 207 lansia yang

meninggal, termasuk bunuh diri, di rumah penampungan sementara (temporary

shelter housing). Mereka adalah para orang tua yang tidak memiliki keluarga dan

merasa kesepian. Akibat rasa kesepian karena disisihkan oleh keluarga dan

masyarakat banyak dari mereka akhirnya mengalami ketergantungan alkohol

sebagai bentuk pelampiasan dari keadaan yang dialami. Sebagian lagi ditemukan

meninggal karena mengalami kelaparan, kekurangan gizi, sakit lever, dan lain

sebagainya. Para lansia ini merasa tidak memiliki tujuan hidup lagi.

Istilah kodokushi digunakan oleh media sebagai judul berita yang

sensasional dengan tujuan menarik perhatian masyarakat terkait masalah pasca

gempa bumi Kobe yang terjadi pada 24 April 1998. Kata kodokushi sering

menyebabkan ketegangan bila digunakan, meski tidak mengejutkan, juga

menggambarkan kesedihan dan menarik perhatian publik jika mengingat orang

tua yang meninggal karena kesepian. Media Jepang menyatakan kasus kodokushi

dapat terus diberitakan jika hal tersebut dapat membuat masyarakat untuk peduli

pada masalah ini, meskipun hal ini tidak dapat mencegah orang dari mati kesepian.

Meski begitu berita yang dilaporkan tidak terkait dengan kasus kodokushi tertentu,

melainkan kodokushi secara umum.

(27)

16

Sebuah artikel surat kabar Jepang memandang kodokushi sebagai

fenomena simbolik yang menunjukkan kegagalan pemerintah untuk berkolaborasi

dengan warga guna mengembangkan komunitas yang saling peduli.

2.1.1. Pertumbuhan Penduduk Jepang

Dampak pertumbuhan penduduk disuatu negara dipengaruhi oleh tiga hal

yaitu angka kelahiran (birth rate), angka kematian (mortality rate), serta migrasi

(out migration and in migration). Birth rate mengacu pada jumlah kelahiran hidup

dalam satu tahun pada seribu penduduk pada pertengahan tahun. Mortality rate

mengacu pada jumlah kematian pada seribu penduduk dalam satu tahun pada

pertengahan tahun. Out migration menyangkut migrasi yang meninggalkan daerah

sedangkan in migration menyangkut migrasi yang memasuki suatu daerah

(Sunarto, 2000: 173).

Umumnya tingkat kelahiran dan kematian di negara berkembang sangat

pesat dikarenakan rendahnya tingkat pendidikan dan ekonomi, kurangnya

sosialisasi mengenai keluarga berencana, serta sedikitnya fasilitas dan akses

kesehatan. Hal ini berbanding terbalik dengan negara maju yang angka kelahiran

dan kematiannya relatif rendah. Para ahli demografi cenderung mengaitkan hal

tersebut dengan kemajuan perindustrian. Atas dasar keterkaitan ini, mereka

membuat teori kependudukan yang dikenal dengan teori transisi demografi

(demographic transition theory). Menurut teori ini, masyarakat yang mengalami

proses industrialisasi akan melewati tiga tahap. Tahap pertama, yaitu tahap pra

industri, tingkat kelahiran dan kematian tinggi dan stabil. Pada tahap kedua, tahap

transisi, terjadi peningkatan kelahiran akibat meningkatnya kualitas kesehatan.

(28)

17

Pada tahap ketiga tingkat kelahiran dan kematian rendah dan stabil (Sunarto,

2000: 175)

Jepang adalah salah satu negara maju yang melewati tahap tersebut dan

sekarang telah sampai ditahap ketiga dimana terjadi penurunan jumlah kelahiran

yang sangat drastis. Hal tersebut dapat terlihat pada table (Thang, 2001: 174)

berikut ini:

Trends in Population Structure: 1920-2075 Population Composition by Major Age Dependency Ratio Year 0-14 15-64 65+ Total Children Elders

1920 36.48 58.26 5.29 71.6 62.6 9.0 1925 36.70 58.24 5.06 71.7 63.0 8.7 1930 36.59 58.66 4.75 70.5 62.4 8.1 1935 36.89 58.46 4.66 71.1 63.1 8.0 1940 36.08 59.19 4.73 69.0 61.0 8.0 1947 35.30 59.90 4.79 66.9 58.9 8.0 1950 35.41 59.64 4.94 67.7 59.4 8.3 1955 33.44 61.24 5.29 63.3 54.6 8.7 1960 30.15 64.12 5.72 55.9 47.0 8.9 1965 25.73 67.98 6.29 47.1 37.9 9.2 1970 24.03 68.90 7.06 45.1 34.9 10.3 1975 24.32 67.72 7.92 47.6 35.9 11.7 1980 23.50 67.35 9.10 48.4 34.9 13.5 1985 21.51 68.16 10.30 46.7 31.6 15.4 1990 18.24 69.69 12.08 43.5 26.2 17.3 1995 15.90 69.28 14.82 44.4 23.0 21.4 2000 15.18 67.79 17.03 47.5 22.4 25.1 2005 15.64 65.24 19.12 53.3 24.0 29.3 2010 16.37 62.35 21.28 60.4 26.3 34.1 2015 16.34 59.53 24.14 68.0 27.4 40.5 2020 15.43 59.01 25.51 69.4 26.2 43.2 2025 14.50 59.71 25.79 67.5 24.3 43.2 2030 14.17 59.81 26.02 67.2 23.7 43.5 2035 14.59 58.82 26.58 70.0 24.8 45.2 2040 15.34 56.68 27.98 76.4 27.1 49.4 2045 15.79 55.82 28.37 79.2 28.3 50.9 2050 15.74 56.09 28.17 78.3 28.1 50.2 2075 17.09 57.32 25.58 74.5 29.8 44.6

Sources: (Up to 1995) Institute of Population Problems, Ministry of Health and Welfare. Latest Demographic Statistics 1995, Tokyo; Statistics Bureau, Management and Cordination Agency. Quick Report on One-percent Sample Tabulations of the 1995 Population Census, Tokyo, 1996. (From 2000) Institute of Population Problems, Ministry of Health and Welfare, Population Projections for Japan: 1991-2090, Tokyo,1992 (cited in Kono 1996, 10-11)

(29)

18

Seperti diketahui di Jepang antara tahun 1947 dan 1949 terjadi baby boom

sejumlah 2,7 juta per tahun sebagai akibat kembalinya tentara Jepang yang

selamat dari medan pertempuran lalu menikah, namun hal ini diikuti dengan

kurangnya perumahan yang tidak memungkinkan penyebaran penduduk menjadi

faktor utama dalam peningkatan jumlah penduduk. Penurunan jumlah tersebut

baru dimulai bersama dengan terjadinya peralihan dari masa pemulihan menuju

pertumbuhan. Pada tahun 1955 rata-rata keluarga mempunyai 4,97 anggota,

kira-kira sama seperti sebelum perang dan berangsur-angsur turun setiap tahunnya

(Fukutake, 1988: 38). Meski begitu antara tahun 1971 dan 1974 terjadi lagi baby

boom dengan skala yang lebih kecil (2,14 anak per wanita pada 1973), tapi setelah

itu terjadi penurunan kelahiran secara berkelanjutan hingga mencapai 1,43 persen

per wanita pada tahun 1995 (Thang, 2001: 174).

Jepang merupakan salah satu negara dengan angka harapan hidup tertinggi

di dunia, dengan kata lain masyarakat yang memiliki umur panjang. Selain itu

Jepang menempati urutan teratas dengan jumlah lansia terbanyak dibandingkan

dengan angka kelahiran bayi disana. Estimasi Kementrian Kesehatan Jepang

menyatakan jumlah penduduk di Jepang menurun hingga 244 ribu orang pada

2013. Jumlah tersebut lebih banyak daripada jumlah merosotnya populasi Jepang

pada 2012 yaitu sebanyak 219 ribu jiwa. Jumlah tersebut turun 0,21% dari tahun

2012, tahun 2013 pemerintah setempat menyatakan jumlah penduduk di Jepang

menurun 0,17%, yakni menjadi 127,2 juta. Jumlah tersebut termasuk warga asing

yang lama tinggal di Jepang. Menurut penelitian U.S. Census Bureau

(Internasional Data Base) dan Kementrian Kesehatan dan Kesejahteraan

diperkirakan pada tahun 2050 jumlah kelahiran di Jepang mencapai titik terendah.

(30)

19

Pada 2008 jumlah lansia Jepang mencapai seperlima dari populasi dan rata-rata

harapan hidup orang Jepang meningkat pula, yaitu menjadi 82 tahun dibandingkan

dengan tahun 1947 yang hanya mencapai 50 tahun. Ini turut mengubah bentuk

grafik masyarakat Jepang yang awalnya berbentuk pohon dengan jumlah

kelahiran bayi yang besar menjadi layang-layang dengan proporsi penduduk

lansia yang makin meningkat.

(http://abgnet.blogspot.com/2008/05/jumlah-penduduk-lansia-jepang-meningkat.html)

Meningkatnya jumlah lansia di Jepang secara berkelanjutan merupakan

masalah serius yang harus dihadapi. Ini berarti semakin meningkatnya biaya

kesejahteraan dan perawatan yang harus diberikan pemerintah kepada lansia

[image:30.595.142.476.59.210.2]
(31)

20

padahal biaya kesejahteraan itu diambil dari pajak penghasilan masyarakat Jepang,

namun berkurangnya tenaga muda yang bekerja menyebabkan berkurangnya

pajak penghasilan yang didapat. Selain itu menurut lembaga survei diwilayah

metropolitan Tokyo saja lansia yang hidup sendiri yang awalnya sebanyak 11,1%

(1,87 juta) pada 1990 meningkat menjadi 24,8% (4,76 juta) pada 2010 (Thang,

2001: 177). Sedangkan angka kelahiran di Jepang saat ini adalah yang terendah

yaitu sekitar 1,3 per pasangan, sementara itu jumlah penduduk lansia

mencapai 23,3% pada 2011 dan diprediksi akan mencapai 38,5% pada tahun 2050.

(http//www.anthropoetics.ucla.edu/ap1801/1801taylor.pdf).

Hal tersebut menunjukkan kurangnya tenaga muda produktif yang akan

menanggung biaya hidup para lansia. Pada tahun 1990, dalam setiap enam orang

tenaga kerja produktif terdapat satu lansia, angka ini terus menurun setiap

tahunnya menjadi empat orang tenaga produktif yang harus menanggung satu

lansia pada tahun 2000. Tahun 2010 menjadi tiga tenaga produktif membiayai

satu lansia. pada 2025 diperkirakan tinggal dua tenaga produktif menanggung satu

lansia.

2.1.2. Pelaku Kodokushi

Kodokushi atau mati dalam kesepian dapat menimpa siapa saja baik kaum

muda maupun tua. Namun di Jepang fenomena ini banyak dialami oleh kaum

lansia mengingat saat ini Jepang merupakan negara dengan jumlah penduduk

senior tertinggi didunia.

Pada lansia kasus kodokushi banyak terjadi pada laki-laki yang hidup

sendiri, terasing, dan berada dibawah garis kemiskinan menurut standar Jepang.

Biasanya menimpa kaum pria yang memasuki masa pensiun. Mayoritas

(32)

21

masyarakat Jepang, terutama kaum pria, lebih mementingkan pekerjaan sehingga

mereka akan merasa terbuang apabila memasuki masa pensiun atau kehilangan

pekerjaan. Hal ini dikarenakan kehidupan sosial mereka hanya seputar pekerjaan

dan hanya bergaul dengan kerja mereka, ini bukan hal yang mengherankan

mengingat mereka bekerja seharian sampai kira-kira jam 19.30 dan sebelum

pulang biasanya minum-minum dengan teman kantor hingga jam 21.00. Mereka

tidak memiliki waktu untuk berinteraksi dengan tetangga disekitar lingkungannya,

bahkan mereka jarang bercengkrama dengan anak istrinya. Dihari minggu pun

mereka jarang di rumah, terkadang bermain golf dengan atasan di kantor. Hampir

setiap hari anak mereka jarang bertatap muka dengan ayahnya, kondisi ini

menyebabkan lemahnya ikatan kekeluargaan. Karena hal tersebut ketika

memasuki masa pensiun atau kehilangan pekerjaan, mereka tidak lagi memiliki

teman untuk menghabiskan waktu dan berbagi hingga akhirnya merasa kesepian

dan tidak lagi memiliki tujuan hidup.

Jumlah kasus kodokushi yang dialami laki-laki dua kali lebih banyak jika

dibandingkan perempuan. Penelitian yang dilakukan oleh Universitas Doshisha

pada tahun 1997 menemukan bahwa sebagian besar orang yang meninggal

kesepian adalah mereka yang berusia diatas 50 tahun, sedangkan wanita pada usia

diatas 70 tahun. Kasus kodokushi pada laki-laki berusia 50-an dan 60-an tahun

terhitung hampir setengah dari total kasus kodokushi.

(33)

22 2.2. Penyebab Terjadinya Kodokushi

Peningkatan jumlah lansia di Jepang dari tahun ke tahun menyebabkan

makin meningkatnya kasus kodokushi yang terjadi. Adapun fenomena kodokushi

disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain:

1. Hidup sendiri tanpa keluarga

Fenomena kodokushi turut dipicu oleh berubahnya struktur keluarga yaitu dari

sistem ie berubah menjadi kaku kazoku (keluarga inti). Perubahan ini disebabkan

oleh industrialisasi yang mendorong kaum muda di Jepang melakukan urbanisasi

dan beralih pekerjaan dari sektor agraris ke sektor industri. Pada masa sebelum

perang ie menjamin kehidupan para lansia karena harta warisan yang ada tidak

dibagi-bagi, melainkan diwariskan kepada anak tertua dengan syarat pewaris akan

menjaga dan merawat orangtuanya dimasa tua mereka (Fukutake, 1988: 45-46).

Namun berubahnya sistem keluarga menjadi keluarga inti (kaku kazoku)

menyebabkan banyak lansia yang harus hidup terpisah dari anak dan cucu mereka.

Alasannya sebagian besar anak-anak tinggal dan menetap di kota atau tempat lain

karena penempatan kerja. Selain itu pasangan suami-istri yang baru saja menikah

lebih suka hidup terpisah dari orang tua mereka. Keluarga kelas atas, meskipun

mempunyai ruangan di rumah lama bagi pengantin baru, lebih suka membangun

rumah baru bagi mereka. Sedangkan pasangan dari kelas menengah bawah yang

baru menikah biasanya tidak mempunyai dana untuk menjamin kemandirian

mereka dan kerap kali mereka hidup terpisah dari orang tua mereka dalam kamar

sewaan dengan bantuan dari orang tua (Fukutake, 1988: 45).

Okamoto mengatakan bahwa orang tua yang terbiasa hidup dalam

keluarga besar menghadapi berbagai masalah dalam kehidupan sehari-hari,

(34)

23

kesehatan yang buruk, kesepian, dan bunuh diri. Sebenarnya antrian untuk masuk

rumah jompo memang tinggi namun masih banyak yang memilih untuk hidup

sendiri, mereka ingin mempertahankan sosialisasi dalam komunitas yang mereka

kenal. Alasan lain mereka hidup sendiri karena mereka tidak pernah menikah

sebelumnya sehingga tidak ada keluarga yang mengurus mereka ketika tua.

2. melemahnya interaksi sosial (fureai)

Masyarakat Jepang saat ini menghabiskan seluruh waktunya ditempat kerja

menyebabkan mereka apatis terhadap orang-orang dilingkungan tempat

tinggalnya. Kesibukan tersebut akhirnya menyebabkan para tetangga yang

rumahnya berdekatan tidak lagi sering saling menyapa sehingga ketika di tempat

mereka tinggal ada orang tua, yang rentan terhadap penyakit dan tentunya

kecelakaan didalam maupun diluar rumah, luput dari perhatian dan tidak

menyadarinya. Selain itu sifat masyarakat Jepang yang cenderung tertutup

menyebabkan mereka tidak ingin mencampuri urusan orang lain dan sebaliknya

tidak ingin urusannya dicampuri. Menurut sebuah survei yang dikutip penyiaran

TBS menyatakan 70 persen penduduk Jepang tidak menginginkan tetangga untuk

masuk dalam kehidupan mereka. Ini mengindikasikan meskipun terjadi interaksi

antar tetangga hanya berupa ucapan salam dan obrolan ringan saja. Akibatnya

banyak orang yang memilih meninggal sendirian di apartemen atau rumah mereka

karena tidak lagi memiliki keinginan untuk berkomunikasi dan bersosialisasi,

mereka merasa tersisihkan dari lingkungan sekitarnya.

Berdasarkan survei nilai dunia yang dilakukan oleh Organization for

Economic Cooperation and Development (OECD) yang meminta para responden

memberitahu tentang kontak sosial mereka didapati bahwa Jepang merupakan

(35)

24

salah satu negara paling kesepian di dunia. Orang Jepang tampaknya memiliki

paling sedikit kontak sosial dengan teman-teman, rekan kerja, dan kenalannya.

Tidak heran keadaan ini menyebabkan para lansia merasa kesepian. Kata-kata

seperti masyarakat, relawan, kodokushi, mengembangkan tsunagari (hubungan),

seikatsu fukko (rekonstruksi kehidupan), fureai (interaksi sosial), dan yang

berkaitan dengan kepedulian sosial menjadi kosa kata yang umum untuk dibahas

baik oleh media maupun pidato pemerintah setempat.

3. kondisi ekonomi

Jepang merupakan negara dengan tingkat perekonomian terbesar ketiga di

dunia. Jepang telah mengambil berbagai langkah untuk memacu pertumbuhan

perekonomiannya hingga menjadi salah satu negara dengan pereokonomian

terbesar di dunia setelah bertahun-tahun mengalami stagnansi, namun tingkat

kemiskinan meningkat 15,7 persen ditahun 2007. Satu dari enam penduduk

Jepang berada dibawah garis kemiskinan. Menurut OECD mereka yang masuk

kategori miskin adalah mereka yang berpenghasilan setengah dari penghasilan

rata-rata pendudk Jepang, yaitu sekitar Rp 79 juta per tahun. Angka ini termasuk

besar jika dilihat dari kacamata orang Indonesia namun di Jepang hanya untuk

membayar sewa rumah sudah menghabiskan setengah dari gaji yang didapat. Ini

belum termasuk biaya makan, kesehatan, transportasi, dan lain-lain. Maka jumlah

ini tidak mencukupi. Menurut kementrian kesehatan, ketenagakerjaan, dan

kesejahteraan, sejak tahun 2000 lebih dari 700 orang meninggal karena kelaparan.

Masalah ekonomi ini juga menjadi masalah yang sangat mengkhawatirkan

bagi penduduk lansia yang hidupnya hanya tergantung pada uang pensiun. Kaum

lansia Jepang tidak memiliki kemampuan finansial yang cukup untuk memenuhi

(36)

25

kebutuhan hidupnya. Hal ini terbukti dari banyaknya laporan yang menyatakan

bahwa lansia yang meninggal dunia tidak mampu mebayar tagihan listrik dan gas,

sewa rumah, bahkan banyak dari mereka yang meninggal karena kelaparan

sehingga terserang berbagai penyakit.

4. Rendahnya angka kelahiran

Rendahnya angka kelahiran turut pula memperparah keadaan para lansia.

Kementrian komunikasi dan urusan dalam negeri Jepang memprediksi di Tokyo

saja jumlah anak dibawah 15 tahun menurun 160 ribu orang dibandingkan tahun

2013. Itu adalah penurunan tertinggi sejak pemerintah setempat memulai sensus

tahunan pada 1950. Jumlah anak-anak saat ini hanya 12,8% dari populasi Jepang.

Jika dibandingkan negara lain yang berpenduduk diatas empat puluh juta, Jepang

memiliki rasio jumlah anak-anak terendah.

(http://internasional.kompas.com/read/2014/01/03/0837105/Penurunan.Populasi.C

atat.Rekor.Tertinggi.di.Jepang).

Menurunnya populasi di Jepang berarti berkurangnya tenaga kerja produktif

untuk merawat lansia dan menurunnya pajak penghasilan yang didapat untuk

membiayai lansia. Akibat jumlah lansia yang meningkat setiap tahunnya berarti

memerlukan tenaga medis dan perawat yang lebih banyak sedangkan populasi

penduduk muda Jepang terus menurun pada tahap yang mengkhawatirkan.

Diperkirakan ada beberapa penyebab rendahnya angka kelahiran, antara lain:

1. Tidak ingin memiliki anak karena biaya pendidikan anak yang sangat

mahal.

2. Tidak ingin memiliki anak karena ketika mempunyai anak seorang wanita

harus menghentikan karirnya (keluar dari pekerjaan) dan harus

(37)

26

menghabiskan banyak waktu untuk merawat anak, di Jepang tidak ada

asisten rumah tangga.

3. Tidak ada kewajiban merawat orang tua, apalagi jika punya anak

perempuan yang marga-nya berubah ketika telah menikah.

4. Meski punya anak tidak ada jaminan akan dirawat dihari tua karena tempat

tinggal yang terpisah bahkan jauh. Di hari tua pun mereka tetap tinggal

sendiri, apalagi jika pasangannya telah meninggal.

(http://majalah1000guru.net/2011/02/lansia-di-jepang/)

Saat ini di Jepang juga muncul istilah “anak kunci”, yaitu suatu kondisi

dimana ketika seorang anak pulang ke rumah mereka mendapati rumah itu kosong

sehingga mereka harus membawa kunci rumah atau apartemen (Fukutake, 1988:

45). Baik suami maupun istri terus bekerja untuk meningkatkan taraf hidup

mereka agar bisa meninggalkan perumahan umum dan memasuki rumah milik

sendiri sehingga mengakibatkan pembatasan jumlah anak yang sebenarnya tidak

mereka inginkan.

Berkurangnya angka kelahiran ini terkait dengan peningkatan jumlah wanita

yang ikut berpartisipasi dalam angkatan kerja dan banyaknya jumlah wanita yang

baru melahirkan anak pertama mereka pada usia tua. Beberapa kritikus

menafsirkan bahwa merosotnya angka kesuburan merupakan pembalasan kaum

wanita Jepang yang menentang sistem sosial patriarkal dan dominasi kaum pria,

serta institusi-institusi terkait.

Akibat dari penurunan jumlah kaum muda ini mengindikasikan di masa yang

akan datang jumlah perawat lansia akan semakin berkurang. Masalah lain yang

menyebabkan kurangnya tenaga perawat adalah perawat untuk usia lanjut di

(38)

27

Jepang kebanyakan bekerja dimalam hari seperti memandikan pasien. Orang yang

berhenti dari perawat orang jompo biasanya disebabkan depresi, sakit pinggang,

dan lain-lain. Mereka merasa tidak sanggup lagi bekerja. Yang lebih fatal lagi,

menjadi perawat jompo menyebabkan meningkatnya presentase perceraian di

Jepang.

Penurunan angka kelahiran membawa dampak negatif bagi negara maju dan

harus mendapat perhatian khusus. Kementrian menyatakan secara resmi bahwa

ancaman berkurangnya penduduk produktif semakin nyata. Sebuah penelitian

pada 2012 memprediksi bahwa Jepang akan punah seribu tahun lagi. Sebab,

rendahnya tingkat kelahiran membuat jumlah anak-anak menurun seorang setiap

seratus detik. Hiroshi Yoshida, Profesor Ekonomi di Universitas Tohoku

menyatakan jika penurunan rasio ini berlanjut, kami akan merayakan Hari Anak 5

Mei pada 3011 tanpa ada anak-anak di Jepang.

5. Budaya malu

Jepang merupakan negara yang masyarakatnya sangat menjunjung tinggi

budaya malu. Terdapat beberapa hal yang mendasari sikap orang Jepang dalam

bertindak, yaitu bertindak dengan menghindari “rasa malu” karena rasa malu

merupakan sanksi yang utama dalam kehidupan masyarakatnya. Oleh karena itu

sebelum sanksi masyarakat itu jatuh pada dirinya, mereka bertindak seolah-olah

mengungkapkan pengakuan dirinya dengan sikap rasa bersalah. Rasa malu adalah

reaksi terhadap kritik yang dibayangkan seolah-olah dia sedang diperolok-olok

oleh orang lain, sedangkan rasa bersalah merupakan bagian dari tata karma dalam

bertindak. Bersikap yang didasari atas rasa malu dan rasa bersalah ini sudah

merupakan bagian sikap yang sudah melekat pada orang Jepang. Berdasarkan

(39)

28

kedua hal tersebut ini merupakan bagian dari tata krama dalam bertindak.

Berdasarkan kedua hal ini Ruth Benedict mengatakan bahwa, budaya malu (haji

no bunka) dan budaya rasa bersalah (tsumi no bunka) merupakan budaya yang

berlangsung dalam kehidupan masyarakat Jepang. Untuk menghindari rasa malu,

masyarakat Jepang dalam bersosialisasi berusaha menjaga hubungan dengan

memegang prinsip “meiwakuni sarenaiyouni meiwakuwo shinai” yang artinya

jangan mengusik orang, supaya tidak di usik.

(http://ameliaazzahra.weebly.com/26/post/2012/06/kajian-kebudayaan-orang-jepang-sekarang-sudah-berubah.html)

Rakyat Jepang mempunyai kecendrungan mendalam untuk menganggap

bantuan keringanan penderitaan sebagai sesuatu yang memalukan; kemiskinan itu

adalah sesuatu yang harus ditanggung oleh keluarga dan sanak saudara.

Kemiskinan yang tidak dapat ditangani dengan cara ini dianggap sebagai suatu

masalah orang-orang bernasib malang dan harus ditangani melalui

kegiatan-kegiatan karitatif. Orang-orang yang tidak mempunyai sanak saudara untuk

membantu mereka hanya dipandang sebagai yang terendah diantara orang-orang

yang malang nasibnya. Sama sekali tidak terdapat suatu sikap bahwa orang-orang

itu mempunyai hak untuk memperoleh bantuan dari masyarakat melalui sistem

kesejahteraan nasional (Fukutake, 1988: 140). Karena sikap tersebut ketika para

lansia mengalami kesulitan mereka tidak mau meminta bantuan kepada orang lain

maupun memanfaatkan fasilitas yang diberikan pemerintah karena menganggap

hal tersebut dianggap sesuatu yang memalukan.

(40)

29

6. Semakin meningkatnya jumlah wanita yang bekerja

Wanita dari dulu sampai sekarang merupakan perawat utama dalam keluarga.

Menurut Spitze dan Logan dalam Suleeman (1999: 108), ada dua alasan kenapa

lebih banyak wanita yang merawat orang tuanya dibandingkan pria.

Pertama, baik pria maupun wanita percaya bahwa anak perempuan secara alamiah

mempunyai sifat merawat sehingga tugas wanita berkisar dibidang perawatan dan

pengasuhan. Sebelum menikah dia mengasuh adiknya, setelah menikah dia

merawat anak, suami, dan orang tua mereka yang sudah lanjut usia.

Kedua, wanita biasanya tidak mencari nafkah, atau kalaupun mencari nafkah,

biasanya mereka bekerja paruh waktu (part time) sehingga mereka memiliki

waktu lebih banyak untuk merawat orang tua mereka dibandingkan dengan pria.

Namun saat ini sangat sulit bagi wanita yang juga mempunyai pekerjaan

diluar rumah untuk dapat melaksanakan perannya dengan baik dalam hal merawat

lansia, baik orang tuanya sendiri maupun mertua, yang berada dalam kondisi fisik

yang lemah di rumah. Banyak dari wanita Jepang saat ini mengambil pekerjaan

full time. Di kota padat seperti Tokyo dimana suami-istri benar-benar harus

bekerja keras untuk membiayai hidup, bahkan untuk mempunyai anak saja tidak

ada waktu, mengurus orang tua atau para lansia mereka adalah sebuah hal yang

berat. Menurut survey tahun 1975 mengenai tenaga kerja, hampir separuh (47%)

dari karyawan wanita yang bekerja penuh dalam pekerjaan bukan pertanian dan

bukan kehutanan adalah wanita-wanita yang telah menikah. Dan kira-kira

seperempat dari jumlah wanita yang tidak bekerja menginginkan pekerjaan; 40

persen atau lebih dari mereka mengatakan “ini bukanlah karena kita mengalami

kesulitan untuk mencari nafkah; saya hanya ingin mencari uang untuk biaya

(41)

30

pengeluaran tambahan bagi rumah tangga (Fukutake, 1988: 48). Jumlah ini

meningkat dari tahun ke tahun, Jeff Kingston menyatakan pada tahun 2010

sebanyak 55% pasangan suami-istri Jepang bekerja sehingga beban perempuan

menjadi lebih berat. Bahkan karena kesibukan pekerjaan wanita Jepang saat ini

banyak dari mereka lebih memilih karir daripada harus menikah. Karena tidak

memiliki waktu mereka lebih memilih menitipkan orang tua mereka di panti

jompo atau health care manula. Mereka berpendapat bahwa hal ini lebih baik

daripada membiarkan orang tua mereka mati kesepian.

2.3. Perubahan Perilaku Sosial Masyarakat Jepang terhadap Lansia

Di masa lampau, ketika orang Jepang belum banyak dipengaruhi oleh

modernisasi, mereka senantiasa diliputi rasa berhutang budi (on) kepada orang tua,

para penguasa, masyarakat dan negara. Karena adanya rasa berhutang budi, maka

orang Jepang merasa berkewajiban untuk membalas budi baik kepada orang tua,

para penguasa, masyarakat dan negara; rasa berkewajiban itu dinamakan gimu.

Inilah yang memperkuat solidaritas kelompok dan patriotismenya. Di Jepang tidak

ada pendidikan khusus mengenai patriotisme, apalagi setelah Perang Dunia II.

Tetapi karena kuatnya sifat berkewajiban membalas budi itu, maka patriotisme

tetap kuat diantara rakyat Jepang yang telah mengalami modernisasi yang tinggi.

Selain itu, orang Jepang selalu merasa berkewajiban untuk membalas sikap atau

kebaikan yang telah diterima dari orang lain dengan setimpal, yang disebut giri

(Suryoharjodiprojo, 1982: 47-48).

Namun masyarakat Jepang yang dahulu memiliki komitmen untuk

menghormati orang tua kini telah banyak berubah, modernisasi Jepang

(42)

31

menyebabkan berkurangnya rasa berhutang budi itu, meskipun belum sepenuhnya

hilang. Perubahan ini mulai terjadi setelah Perang Dunia II dan juga disebabkan

hilangnya sistem Ie dimana ketika itu seseorang menjadi ayah dan pemimpin

rumah tangga, didampingi oleh istrinya sebagai ibu. Kalau anak laki-laki tertua

telah menikah dan meningkat umurnya, maka dia harus beralih menjadi pimpinan

rumah tangga, sedangkan ayah yang telah menjadi kakek beralih menjadi

pinisepuh rumah tangga dan tinggal dalam lingkungan rumah tangga sampai

mereka meninggal (Suryoharjodiprojo, 1982: 45). Dalam sistem ini juga sang

nenek memiliki peranan penting. Ie merupakan dasar pendidikan dalam keluarga

tersebut. Anak-anak dalam keluarga ie biasanya diasuh dibawah bimbingan nenek

yang memanjakan daripada oleh ibu mereka sendiri yang tidak memiliki

kewibawaan nyata untuk mengatur mereka. Bagi seorang ibu mempunyai anak

sendiri berarti mempunyai persyaratan untuk mendapatkan jaminan akan dapat

tinggal dalam keluarga suaminya. Anak-anak dalam keluarga tradisional ini

mendapatkan dari ibu dan nenek mereka disiplin yang menumbuhkan apa yang

oleh Ruth Benedict disebut shame culture atau budaya rasa malu (Fukutake, 1988:

54).

Namun saat ini wewenang tersebut tidak berlaku lagi. Generasi

kakek-nenek tidak lagi dapat mempertahankan hak-hak istimewa mereka dalam

mendidik anak-anak yang dahulu mereka miliki sebelum perang karena

berubahnya bentuk keluarga luas menjadi keluarga inti. Dalam keluarga inti tidak

terdapat tekanan psikologis yang disebabkan tinggalnya dua generasi dalam satu

rumah tangga. Mungkin mereka akan lebih bahagia namun jika melihat masa

depan mereka tentulah masa depan mereka tidak terjamin. Ini karena

(43)

32

aggota keluarga dalam sistem seperti ini tidak dapat menjamin kehidupan hari tua

mereka. Dalam keluarga inti para ibu bebas dari campur tangan ibu mertua, tetapi

mereka kehilangan kesempatan untuk belajar lebih banyak dari generasi tua.

Sebelum perang, orang-orang cacat fisik dan mental, yatim piatu, dan

orang-orang tua yang kesepian tanpa keluarga dapat menghidupi dirinya melalui

pertolongan sanak saudara atau menerima belas kasihan dari tetangga sekitarnya.

Namun hal ini sudah mulai pudar, generasi saat ini menganggap bahwa hal

tersebut bukan tanggung jawab mereka. Survei pendapat umum oleh kantor

perdana menteri mengenai kehidupan dan masalah penduduk berusia lanjut

menunjukkan bahwa angka perbandingan orang-orang yang beranggapan jaminan

hari tua sebagai tanggung jawab keluarga adalah 34% pada tahun 1969, tetapi

menurun menjadi 22% pada tahun 1973. Sebaliknya yang beranggapan bahwa

tanggung jawab itu harus ditanggung oleh negara atau masyarakat meningkat dari

15% menjadi 24%. Survei ini juga menunjukkan bahwa orang-orang berusia

lanjut seharusnya diurus oleh mereka sendiri atau masyarakat, semakin banyak

dianut oleh responden yang usianya lebih muda (Fukutake, 1988: 47-48).

Saat ini di Jepang mulai bermunculan bentuk keluarga ie dimana dalam

satu rumah terdapat dua rumah tangga (nisetai juutaka), maksudnya kakek-nenek

tinggal dilantai yang berbeda atau sisi yang berbeda dari anak-cucu mereka juga

memiliki dapur, kamar mandi, dan kadang pintu masuk masing-masing. Kikuko

kato menyebut hal ini sebagai keluarga “ie modifikasi” karena meskipun dalam

satu rumah hidup tiga generasi dan berbagi alamat yang sama, pada dasarnya

terdapat dua keluarga inti dalam generasi yang berurut. Bentuk keluarga ie saat ini

berbeda jauh dengan ie sebelumnya, meski kakek-nenek hidup dalam satu rumah

(44)

33

dengan cucu mereka namun mereka tidak dapat menjadi pendorong dan pendidik

karena terhalang oleh generasi tengah (Thang, 2011: 140-141).

Seringnya media melaporkan kasus mengenai banyaknya lansia yang

hilang, namun keluarga yang harusnya merupakan paling dekat dengan orang tua

mereka tidak mengetah

Gambar

grafik masyarakat Jepang yang awalnya berbentuk pohon dengan jumlah

Referensi

Dokumen terkait

Silase dibuat dengan mencacah bahan hijauan menjadi ukuran yang kecil-kecil, kemudian menyimpannya kedalam ruang kedap udara.Pencacahan dilakukan untuk mendapatkan

Golongan marga keturunan Arab di kota Medan pertama yaitu sayyid yang merupakan kelas tertinggi dalam masyarakat Arab khususnya keturunan Arab yang berasal dari

Air lindi dihasilkan akibat terjadinya presipitasi cairan di TPA, baik dari resapan air hujan maupun kandunganairpadasampahitusendiri.Lindi bersifat toksik karena

The project is dedicated to development of integrated and modular system of sensors for monitoring of cultural heritage objects by means of processing of

Dengan mengidentifikasikan perilaku di masyarakat, siswa mampu memberikan contoh dan menceritakan perilaku yang sesuai dengan nilai-nilai yang terkandung pada

In Chinese rural practice cases, the architects fully consider the original architectural materials, forms and other traditional elements to make the construction design

Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2O06 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah (Berita Negara Republik. Indonesia Tahun 201I Nomor

There are nine distinguished national parks in Taiwan. Each one has its own wild variety of natural inhabitants and cultural resources. However, due to the