• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perubahan Jenis-Jenis Mata Pencaharian

Jenis mata pencaharian masyarakat transmigran semakin beragam dalam berbagai golongan. Perubahan-perubahan ini dilakukan oleh masyarakat transmigran dengan tujuan untuk meningkatkan perekonomiannya. Banyak faktor yang menyebabkan terjadinya perubahan jenis mata pencaharian masyarakat transmigran.

Pada tahun 1983 masyarakat transmigran datang ke wilayah ini yaitu Desa Suka Makmur melalui program transmigrasi umum. Masyarakat yang datang berasal dari daerah Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Jawa Barat dengan jumlah 400 kepala keluarga. Program transmigrasi ini memberikan 2 hektar lahan bagi setiap kepala keluarga dengan pembagian 1 hektar lahan garapan, 0.75 hektar lahan belukar, dan 0.25 hektar lokasi tempat tinggal serta kebutuhan pangan dan non pangan melalui bantuan pemerintah. Terdapat juga JADUP (Jaminan Hidup) berupa bantuan dari pemerintah dikarenakan masih minimnya fasilitas kebutuhan masyarakat dan komoditi perekonomiannya belum menghasilkan. Lahan belukar masih banyak tidak dimanfaatkan maka terbentukllah kelompok tani. Tujuan kelompok tani adalah untuk mengantisipasi petani yang malas bekerja untuk mengerjakan lahan berupa penebasan hutan.

Mayoritas masyarakat transmigran berasal dari Pulau Jawa yang di daerahnya dulu bekerja sebagai petani palawija sehingga ketika datang ke wilayah ini lahan yang mereka dapatkan digunakan untuk bertani palawija. Pada saat itu, kepemilikan lahan sama dan jenis rmata pencaharian masyarakat transmigran sekitar 90% bekerja sebagai petani dan sekitar 10% bekerja di sektor non pertanian. Hal ini berdasarkan penuturan informan sebagai berikut:

Iya, kalo dulu masyarakat 90% bekerja sebagai petani karena yang merantau kesini kan banyakan dari Jawa yang dulunya disananya memang orang tani. Sedangkan yang lain ya sekitaran 10% pada merantau keluar daerah karena bagi mereka kerja tani ngga banyak menghasilkan.” (HP 47) Masyarakat yang transmigran pertama dulu itu memang bener semuanya bekerja sebagai petani palawija, kemungkinan sedikit sih keluar atau merantau karena untuk mencari penghasilan lain biasanya itu anak-anak masih muda yang merantau.” (SR 54)

Sebagian besar pada masa kini masyarakat transmigran bermata pencaharian sebagai petani. Pertanian yang dilakukan adalah menanam palawija berupa padi, kacang tanah, dan jagung. Selain itu, petani juga menanam tanaman sayuran untuk pemenuhan kebutuhan sehari-hari. Penanaman palawija dilakukan oleh masyarakat secara gotong royong dengan keluarga dan tetangga. Penanaman palawija ini juga ditentukan sesuai dengan perhitungan Jawa yaitu pranoto mongso.

Pranoto mongso merupakan perhitungan jawa yang digunakan untuk menentukan bulan penanaman sampai dengan pemanenan pada tanaman palawija. Hal ini berdasarkan penuturan informan sebagai berikut:

Pranoto mongso itu perhitungan jawa untuk bulan penanaman seperti bulan ke 12 sampai bulan ke 2 panen padi, bulan ke 3 tanam kacang, bulan ke 4 sampai ke 5 tanam jagung, bulan ke 6 sampai ke 7 membuka lahan, dan bulan ke 8 sampai ke 11 menanam padi. Ini juga disesuaikan dengan musim hujan dan musim kemarau.” (HP 47)

Penanaman palawija menggunakan perhitungan pranoto mongso ternyata tidak sesuai dengan wilayah ini karena perbedaan musim antara wilayah Sumatera dan Jawa khususnya wilayah transmigran. Bertani palawija ternyata tidak cocok karena panen yang tidak menentu dan tidak adanya irigasi sehingga masyarakat hanya menggantungkan tadah hujan sebagai pengairan. Kondisi pada saat itu belum adanya PPL (Penyuluh Pertanian Lapangan) yang bisa mengarahkan masyarakat untuk mengatasi permasalahan tersebut. Sementara itu, masyarakat belum mengetahui tanaman yang cocok di wilayah ini. Penanaman palawija ini kurang menghasilkan dikarenakan banyak tanaman terkena hama dan penyakit bahkan gagal memanen sehingga masyarakat transmigran mulai merasa resah. Masyarakat mulai mencoba untuk menanam tanaman keras yaitu kopi namun ternyata gagal lagi. Selanjutnya, masyarakat mencoba menanam cengkeh dan ternyata tidak ada kecocokan dan gagal. Hal ini berdasarkan penuturan informan sebagai berikut:

Masyarakat jawa dulukan masih awam jadi tahu nya ya nanam palawija itu tapi ternyata ngga cocok disini. Katanya perbedaan musim. Lalu, masyarakat mulai mencoba menanam tanaman keras yaitu kopi. Lalu, nanam cengkeh tuh ternyata ngga cocok pula dan gagal.” (S 54)

Pada tahun 1990-an masuklah perusahaan perkebunan karet ke wilayah Kecamatan Putri Hijau dengan membeli lahan masyarakat. Perusahaan perkebunan karet menguasai lahan seluas 3639 hektar. Perusahaan perkebunan karet yang pertama kali masuk adalah PT Air Muring. Masyarakat transmigran pada masa kini belum mengetahui tentang tanaman perkebunan sehingga masih ragu untuk menanam tanaman karet. Mayoritas masyarakat Jawa yang bertransmigrasi ke daerah ini beranggapan bahwa tanaman karet tidak dapat memenuhi kebutuhan sehari-hari. Hal ini seperti penjelasan informan sebagai berikut:

ah nanti kalo nanam karet apa mau makan getahnya atau batangnya.” (HP 47)

Perusahaan perkebunan karet ini juga berada di beberapa desa penyangga dengan kewajiban perusahaan untuk merekrut masyarakat sebagai karyawannya. PT Air Muring berada di desa penyangga yakni Desa Air Muring, Desa Karya Pelita, Desa Suka Merindu, Desa Suka Makmur, dan Desa Karang Tengah. Kondisi ini berdasarkan penuturan informan yang bekerja sebagai karyawan PT Air Muring:

Jadi begini kan jika perusahaan itu berada di desa penyangga maka sudah menjadi kewajiban perusahaan untuk merekrut masyarakat disekitar menjadi karyawannya. Kondisi di desa penyangga saat itu masih banyak pengangguran ketika hadirnya perusahaan maka perusahaan merekrut karyawan dari masyarakat.” (PR 50)

Bapak PR bekerja sebagai karyawan perusahaan perkebunan karet juga menjelaskan bahwa masuknya perusahaan perkebunan karet sangatlah membantu pemerintah desa untuk mengatasi pengangguran dengan tujuan memperbaiki perekonomian rumah tangga masyarakat transmigran. Masuknya perusahaan perkebunan karet ini menjadikan bertambahnya jenis mata pencaharian baru di masyarakat transmigran yakni sebagai karyawan dan buruh perusahaan. Sektor lain juga yakni pertukangan dan pedagang. Hal ini sesuai hasil penelitian (Kinseng et al. 2013) masuknya perusahaan tambang telah menyebabkan terjadinya diferensiasi sosial pada masyarakat lokal di lokasi penelitian ini. Seiring dengan semakin tingginya diferensiasi sosial, stratifikasi sosial juga mengalami perubahan. Perusahaan tambang telah mendorong munculnya beragam jenis usaha atau mata pencaharian yang baru. Berkembangnya berbagai jenis pekerjaan atau mata pencaharian di bidang jasa dan perdagangan sangat terlihat di Kelurahan Loa Tebu dan kemudian disusul Desa Embalut. Dengan kata lain, tambang telah menyebabkan terjadinya diferensiasi sosial pada masyarakat lokal di lokasi penelitian ini. Seiring dengan semakin tingginya diferensiasi sosial, stratifikasi sosial juga mengalami perubahan. Kini perbedaan antara strata bawah dengan strata paling atas semakin mencolok, antara lain terlihat dari kepemilikan harta milik. Hal ini berdasarkan penuturan responden dan informan sebagai berikut:

Masuknya perusahaan perkebunan karet ke wilayah yang masih banyak pengangguran ya pasti banyak positifnya buktinya banyak yang bekerja di perusahaan meskipun sekarang masyarakat sudah tidak bisa lagi memperluas lahan tetapi tak ada yang protes karena bagi mereka sudah cukup bekerja di perusahaan menjadi karyawan. Dampaknya mungkin akan dirasakan pada anak atau cucunya yang akan datang.” (SR 54)

Banyak positifnya Feb karena masuknya perusahaan PT Air muring ini masyarakat dapat bekerja disitu dan pekerjanya dapat membeli bibit karet dengan harga yang lebih murah. Sambil menunggu hasil panen karet juga makanya masyarakat banyak yang bekerja di perusahaan ini.” (S 58) Terdapat pula perusahaan yang masuk ke wilayah ini yakni perusahaan tambang batu bara. Perusahaan tambang batu bara yang ada di Desa Suka Makmur baru berdiri selama lima tahun. Masuknya perusahaan tambang ini dengan cara membeli lahan masyarakat. Masuknya perusahaan tambang ini juga membuka peluang kerja baru bagi masyarakat seperti, supir perusahaan.

Pada tahun 1992-an Disbun (Dinas Perkebunan) mengadakan program untuk penanaman tanaman karet. Disbun hadir di kawasan transmigran terutama di

Desa Suka Makmur tujuannya adalah sosialiasi tentang cara penanaman karet dan memberikan bibit serta pupuk untuk penanaman karet dengan sistem kredit yang disebut TCSSP (Tree Crops Smallholder Supporting Programme). Sistem kredit ini merupakan peminjaman yang diberikan oleh Disbun berupa bibit dan pupuk dengan menyerahkan sertifikat lahan sebagai jaminan. Proses pembayaran kredit dilakukan selama lima tahun dengan sistem menyicil setiap bulan. Pelaksanaan program ini dilakukan dengan pendampingan oleh PPL (Penyuluh Pertanian Lapangan). Pertemuan dengan PPL juga dilakukan berupa sosialisasi yang dilaksanakan setiap 3 bulan sekali. Awal penanaman komoditi karet ini berjumlah 500 batang. Setelah itu, terbentuklah perkebunan karet masyarakat didukung dengan harga karet pada masa kini sangat mahal yakni Rp15 000 kg-1 sehingga semua masyarakat berlomba- lomba menanam komoditi karet dengan tujuan untuk memperbaiki perekonomiannya. Selain itu, terdapat juga komoditi sawit dengan penanaman pola plasma yang didapatkan masyarakat dari perusahaan sawit di kecamatan yang berbeda karena melihat hasil dari komoditi ini juga baik untuk meningkatkan perekonomiannya. Seiring dengan berubahnya penanaman komoditi pertanian dari palawija menjadi karet dan sawit menjadikan bertambahnya jenis mata pencaharian di kawasan transmigran. Terbentuknya perkebunan karet masyarakat lalu muncullah jenis mata pencaharian baru seperti pedagang pengumpul (tengkulak), kuli karet, buruh penyadap, buruh pemanen sawit (pendodos), pemanen atau pendodos sawit milik sendiri, dan penyadap milik sendiri. Penyadap merupakan seseorang yang bekerja di kebun karet baik kebun milik sendiri maupun orang lain. Adapun pendodos merupakan seseorang yang bekerja di kebun sawit baik kebun milik sendiri maupun milik orang lain.

Perubahan penanaman komoditi pertanian dari bertani palawija menjadi perkebunan karet dan sawit menjadikan perekonomian masyarakat transmigran semakin meningkat. Hal ini terbukti dengan fasilitas-fasilitas rumah yang digunakan oleh setiap rumah tangga semakin banyak. Hal ini berdasarkan penuturan informan dan responden sebagai berikut:

Dampaknya itu sebenernya cukup baik dengan perubahan penanaman komiditi pertanian menjadi perkebunan karet dan sawit ke wilayah trannsmigrasi. Komoditi karet dan sawit ini juga menambah penghasilan masyarakat terutama rumah tangga petani sehingga keadaan perekonomian semakin baik. Yang pasti perubahan menjadi komoditi karet dan sawit menyebabkan pendapatan masyarakat meningkat. Lihat aja secara fisik semakin banyak fasilitas tiap rumah tangga seperti motor, mobil, dan lain-lain yang pada zaman dulu ngga ada. Ngga ada ya karena ngga bisa beli dan ngga bisa beli juga karena ngga punya duit gitu aja gampangnya Feb.” (HP 47)

Perubahan jadi nanam karet pastinya menjadi semakin baik. Jadi begini artinya kalo dulu masalahnya belum tahu komoditi yang menghasilkan tapi penduduk masih sedikit sehingga masih bisa untuk kebutuhan sehari-hari kalo sekarang pertambahan penduduk semakin meningkat sehingga

persaingan dalam bekerja juga semakin banyak. Yang penting orangnya mau untuk kerja dan ngga males maka pasti dapat memenuhi kebutuhan keluarga apalagi keluarga yang tidak mempunyai lahan.” (SR 54)

Pastinya makin baik Feb karena makin banyak yang bisa dikerjakan asal mau untuk bekerja apa aja. Ya kayak nguli karet begini. Paginya jadi buruh di kebun orang, siang kadang kuli pasir, dan sore kuli karet. Ngga ada berhentinya apalagi harga karet sekarang murahkan. Tapi yang pasti lebih baiklah dari dulu. Dulu sekolah aja susah gimana mau sekolah buat makan aja susah kalo sekarang anak udah bisa sekolah dan sudah tercukupi untuk kebutuhan sehari-hari.” (SW 30)

Berdasarkan penelitian Prambudi (2010) mengartikan perubahan mata pencaharian atau biasa disebut transformasi pekerjaan adalah pergeseran atau perubahan dalam pekerjaan pokok yang dilakukan manusia untuk hidup dan sumber daya yang tersedia untuk membangun kehidupan yang memuaskan (peningkatan taraf hidup). Merujuk teori tersebut, dapat disimpulkan bahwa terjadi perubahan jenis-jenis mata pencaharian responden dengan tujuan untuk meningkatkan perekonomian rumah tangga. Perubahan jenis mata pencaharian ini terjadi karena ada heterogenitas dalam kepemilikan lahan. Hal inilah yang menyebabkan terjadinya perubahan jenis mata pencaharian. Rumah tangga petani yang memiliki lahan luas memilih menambah pendapatannya dengan menambah jenis mata pencahariannya namun tetap tidak meninggalkan kegiatan pertanian. Adapun rumah tangga petani yang tidak memiliki lahan atau memiliki lahan sedikit maka menambah pendapatannya dengan bekerja kepada petani lahan luas atau bekerja serabutan seperti kuli angkut pasir, kuli karet, dan tukang bangunan.

Terdapat beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya perubahan jenis mata pencaharian masyarakat transmigran yakni pertambahan jumlah penduduk, masyarakat transmigran merubah komoditi pertanian dari bertani palawija menjadi perkebunan karet dan sawit, dan masuknya perusahaan perkebunan karet dan perusahaan tambang batu bara. Dapat disimpulkan bahwa masyarakat transmigran telah mengalami perubahan jenis mata pencaharian yang menjadi semakin meningkatnya jenis mata pencaharian baru. Tujuan masyarakat transmigran melakukan perubahan jenis mata pencaharian baru adalah untuk meningkatkan perekonomian rumah tangga masyarakat transmigran.

PERUBAHAN SOSIAL PADA MASYARAKAT

TRANSMIGRAN DI DESA SUKA MAKMUR

Perubahan Tingkat Kepemilikan Lahan

Masyarakat transmigran telah mengalami perubahan sosial pada tingkat kepemilikan lahan. Perubahan terjadi karena masyarakat transmigran relatif tidak memiliki lahan lalu mendapatkan lahan yakni sebanyak 2 hektar. Program transmigrasi telah memindahkan masyarakat dari masyarakat yang tidak memiliki lahan menjadi memiliki lahan sebanyak 2 hektar. Pada awal transmigran pemilikan lahan hanyalah milik masyarakat dengan pembagian yang sama sebanyak 2 hektar. Pembagian 2 hektar lahan adalah 1 hektar sebagai lahan garapan, 0.75 hektar sebagai lahan belukar, dan 0.25 hektar sebagai lokasi tempat tinggal. Pada masa kini lahan yang dimiliki oleh masyarakat transmigran dimanfaatkan sebagai penanaman palawija dengan cara gotong royong bersama keluarga dan tetangga menggunakan sistem pembagian hasil yang sama. Sementara itu, masih banyak lahan belukar atau lahan yang tidak dimanfaatkan disebut tanah restan. Tanah restan ini dapat dijadikan hak milik masyarakat transmigran dengan cara menebas hutan lalu membuat sendiri sertifikat tanahnya. Hal ini merupakan salah satu penyebab kepemilikan lahan masyarakat semakin beragam. Pada saat penelitian ini kepemilikan lahan di kawasan transmigran semakin beragam. Hal ini terbukti seperti Tabel 9 dibawah ini:

Tabel 9 Jumlah dan persentase rumah tangga transmigran menurut kepemilikan luas lahan

Klasifikasi Luas lahan

N (jumlah)

Persentase (%)

1 Tidak memiliki lahan 4 6.5

2 0.5-<2 hektar 30 49.1

3 2-4 hektar 22 36.0

4 5-8 hektar 6 9.8

5 9-11 hektar 1 1.6

Total 61 100.0

Berdasarkan Tabel 9, dapat diketahui bahwa terjadi perubahan kepemilikan lahan rumah tangga transmigran. Perubahan yang terjadi yaitu semakin berkurang dan bertambahnya kepemilikan lahan. Rumah tangga transmigran yang kepemilikan lahannya berkurang adalah sebesar 49.1% dan tidak memiliki lahan adalah sebesar 6.5%. Adapun rumah tangga transmigran yang kepemilikan lahannya bertambah adalah sebesar 47.4%. Rata-rata kepemilikan lahan adalah 2 hektar artinya tidak ada yang berkurang dan bertambah. Pada klasifikasi 3 kepemilikan lahan bertambah sampai dengan 2 kali lipat sebesar 36% dan klasifikasi 4 kepemilikan lahan bertambah sampai dengan 4 kali lipat sebesar 9.8%. Adapun klasifikasi 5 kepemilikan lahan bertambah sampai dengan 5.5 kali lipat sebesar 1.6%. Hal ini sesuai dengan Soekanto (1982) yang menjelaskan bahwa ada

dua jenis gerak sosial yakni gerak sosial horizontal dan gerak sosial vertikal. Gerak sosial horizontal merupakan peralihan individu dari suatu kelompok ke kelompok lainnya yang sederajat. Adapun gerak sosial horizontal merupakan perpindahan individu dari suatu kedudukan sosial ke kedudukan lainnya yang tidak sederajat. Sesuai dengan arahnya, maka terdapat dua jenis gerak sosial yang vertikal, yaitu yang naik (social-climbing) dan yang turun (social-sinking).

Tabel 10 Jumlah dan persentase rumah tangga transmigran menurut asal mula kepemilikan lahan

Asal mula kepemilikan lahan N (jumlah) Persentase (%) Pemerintah 1 1.6

Pemerintah dan beli sendiri

11 18.1

Warisan 8 13.1

Warisan dan beli sendiri 8 13.1

Beli sendiri 33 54.1

Berdasarkan hasil wawancara dengan responden bahwa ada perbedaan asal mula kepemilikan lahan rumah tangga transmigran. Pada Tabel 10 dapat diketahui bahwa asal mula kepemilikan lahan dikategorikan menjadi 5 yakni pemerintah, pemerintah dan beli sendiri, warisan dan beli sendiri, dan warisan. Asal mula kepemilikan lahan didominasi dengan membeli sendiri sebanyak 54.1%. Hal ini dikarenakan responden paling banyak usia muda adalah masyarakat transmigran generasi ketiga dari masyarakat asli transmigran sehingga sudah memiliki keluarga baru dan membeli lahan sendiri. Sementara itu, asal mula kepemilikan lahan urutan kedua paling banyak adalah pemerintah dan beli sendiri sebesar 18.1% dan asal mula kepemilikan lahan dari pemerintah adalah sebesar 1.6%. Adapun asal mula kepemilikan lahan warisan dan warisan ditambah beli sendiri adalah sebesar 13.1%. Hal ini seseuai penuturan responden sebagai berikut:

Iya, beli sendiri Feb. Siapa yang mau ngasih juga. Lahan orang tua udah pada dijual jadi anak-anaknya juga ngga kebagian.” (RY 43)

Lahan warisan Feb dari nenek ngga punya lagi lahan yang lain makanya kerja serabutan juga kalo dari lahan 1 hektar saja kurang untuk 4 orang sekeluarga. Apalagi anak sekarang sudah SMP.” (ST 36)

Tabel 11 Jumlah dan persentase rumah tangga transmigran menurut luas lahan dan asal mula kepemilikan lahan

Klasifikasi Luas lahan Asal mula kepemilikan lahan N (jumlah) Persentase (%) 1 Tidak memiliki lahan - 4 -

2 0.5-<2 hektar Warisan, beli sendiri 30 49.1 3 2-4 hektar Pemerintah, pemerintah

dan beli sendiri

22 36.0

4 5-8 hektar Pemerintah dan beli sendiri, beli sendiri

6 9.8

5 9-11 hektar Pemerintah dan beli sendiri

1 1.6

Berdasarkan Tabel 11, pada penelitian ini rumah tangga transmigran klasifikasi 2 yang memiliki lahan antara 0.5 sampai dengan kurang 2 hektar asal mula kepemilikan lahannya adalah dari warisan dan beli sendiri. Klasifikasi 3 rumah tangga transmigran yang memiliki lahan 2 sampai dengan 4 hektar asal mula kepemilikannya lahannya adalah dari pemerintah, pemerintah dan beli sendiri, dan beli sendiri. Klasifikasi 4 rumah tangga transmigran yang memiliki lahan 5 sampai dengan 8 hektar asal mula kepemilikan lahannya adalah dari pemerintah dan beli sendiri dan beli sendiri dan sisanya merupakan rumah tangga transmigran klasifikasi 5 yang memiliki lahan 9 sampai 11 hektar asal mula kepemilikan lahanna adalah dari pemerintah dan beli sendiri.

Banyak faktor penyebab terjadinya perubahan sosial pada tingkat kepemilikan lahan. Pertama, kepemilikan lahan berkurang dan tidak memiliki lahan karena jumlah tanggungan yang banyak. Lahan yang diberikan oleh pemerintah untuk masyarakat transmigran adalah 2 hektar. Rumah tangga petani yang memiliki tanggungan atau anak dengan jumlah banyak maka harus melakukan pembagian secara adil. Adapun anak yang tidak mendapatkan pembagian lahan dikarenakan lahannya sudah habis. Hal ini juga berdasarkan penuturan informan dan responden sebagai berikut:

“Pada awal transmigran diterima lahan 2 hektar lalu memiliki anak 4 maka setiap anaknya hanya kebagian 0.5 hektar. Kalo anaknya lebih dari itu yaudah ngga kebagian lahan.” (HP 47)

kebunnya dulu punya 3 hektar sekarang hanya 1 hektar karena dikasih sama anak yang sudah menikah dan punya keluarga baru sendiri.” (S 58) “Ngga punya kebun Feb. Ngga dapat warisan juga dari orang tua karena kebun orang tua masih dikerjakan oleh beliau makanya sekarang kerja jadi buruh.” (E 33)

Kedua, bertambahnya jumlah penduduk. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Dassir (2007) yang menjelaskan bahwa diferensiasi pemilikan lahan terjadi akibat pertambahan penduduk dan berkembangnya sistem teknologi pertanian persawahan bercorak komersil atau kapitalis di Desa Timpuseng.

Ketiga, kepemilikan lahan berkurang karena lahannya dijual. Hal ini berdasarkan penjelasan informan dan responden sebagai berikut:

Lahan itu kan asset ekonomi yang mudah untuk dijual. Jadi, masyarakat disini dulu itu perekonomiannya kurang terus banyak pendatang yang datang ingin membeli lahan maka masyarakat yang punya lahan langsung menjual lahannya untuk pendatang. Disini terdapat penukaran lahan dengan uang. Masyarakat berpendapat bahwa mereka bisa bekerja di perusahaan atau di lahan orang lain dan mereka dapat uang dari penjualan lahan tersebut.” (HP 47)

Kebunnya habis Feb buat sekolah anak. Tapi sekarang anaknya udah lulus kuliah malah minta nikah dan ngga mau kerja sesuai kuliahnya. Ya sudahlah nanti dipaksa malah marah namanya juga anak laki-laki.” (W 49)

Keempat, masuknya perusahaan perkebunan karet dan perusahaan tambang di Desa Suka Makmur dengan membeli lahan masyarakat. Pada tahun 1990-an masuklah perusahaan perkebunan karet ke wilayah Kecamatan Putri Hijau termasuk Desa Suka Makmur sebagai desa penyangga. Perusahaan membeli lahan masyarakat untuk dijadikan perkebunan karet sebanyak 3 639 hektar. Perusahaan perkebunan karet yang pertama kali masuk adalah PT Air Muring. Masuknya perusahaan perkebunan karet lalu terbentuklah perkebunan milik perusahaan. Pada tahun 2010 masuklah perusahaan tambang ke wilayah ini dengan tujuan untuk menambang batu bara. Hal ini berdasarkan penuturan responden sebagai berikut:

Lahannya udah berkurang soalnya kena proses penambangan batu bara jadi ya dijual aja.” (S 63)

PERUBAHAN SOSIAL PADA MASYARAKAT

TRANSMIGRAN DI DESA SUKA MAKMUR

Perubahan Tingkat Pendapatan

Pendapatan masyarakat transmigran semakin meningkat daripada awal transmigran sampai dengan penelitian ini berlangsung sehingga program transmigrasi yang dilakukan oleh pemerintah dianggap berhasil meningkatkan pendapatan masyarakat. Hal ini berdasarkan penuturan informan sebagai berikut:

Program transmigrasi ini ya sangat berhasil. Bahkan kalo bisa diteruskan dengan catatan adanya pembagian yang adil antara pendatang dan penduduk asli daerah yang menjadi kawasan transmigran agar tidak adanya kecemburuan sosial. Kalo pendapatan ya pasti meningkatlah. Namun kalo dulu kurang ekonomi karena belum tahu tanaman yang cocok di daerah ini. kalo sekarang pertambahan penduduk semakin meningkat sehingga harus ulet bekerja jika memang mau banyak pendapatannya karena kesempatan kerja disini banyak banget. Tapi yang pasti pendapatannya makin meningkatlah daripada dulu.” (SR 54)

Pada awal transmigrasi sekitar 90% masyarakat transmigran bekerja sebagai

Dokumen terkait