• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perubahan Undang – Undang Pajak Pertambahan Nilai

Peraturan mengenai Pajak Pertambahan Nilai diatur dalam UU No. 8 Tahun 1983 yang kemudian direvisi menjadi UU No. 11 Tahun 1994, lalu UU No. 18 Tahun 2000, dan yang berlaku saat ini yaitu UU No. 42 Tahun 2009. Berikut ini perubahan – perubahan yang terjadi dalam UU No. 42 Tahun 2009 yaitu sebagai berikut:

1. Objek Pajak.

Ekspor Jasa Kena Pajak dan/atau Barang Kena Pajak Tidak Berwujud. Undang – Undang PPN yang sebelumnya berlaku hanya mengenal istilah Ekspor Barang Kena Pajak. Untuk menetralkan pembebanan Pajak Pertambahan Nilai dan menambah daya saing untuk kegiatan jasa yang dilakukan oleh pengusaha Indonesia di luar Daerah Pabean dan pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari Indonesia di luar Daerah Pabean, atas ekspor Jasa Kena Pajak dan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud akan dikenakan Pajak Pertambahan Nilai dengan tarif 0%.

2. Bukan Objek.

• Penyerahan Barang Kena Pajak dalam Rangka Restrukturisasi Usaha.

Untuk membantu cash flow perusahaan dan memberikan kemudahan administrasi, maka pengalihan Barang Kena Pajak yang dilakukan dalam rangka penggabungan, peleburan, pemekaran, pemecahan, dan pengambilalihan usaha, akan tidak dikenakan Pajak Pertambahan Nilai, dengan syarat pihak yang melakukan pengalihan dan yang menerima pengalihan adalah Pengusaha Kena Pajak.

Untuk lebih memberikan kepastian hukum, penetapan barang dan jasa yang tidak dikenakan Pajak Pertambahan Nilai yang selama ini diatur dengan peraturan pemerintah dinaikkan menjadi batang tubuh Undang – Undang.

• Daging, telur, susu, sayur – sayuran dan buah – buahan.

Dalam rangka pemenuhan gizi rakyat Indonesia dengan cara membantu tersedianya sumber gizi yang harganya terjangkau maka daging segar, telur yang belum diolah, susu perah, sayuran segar dan buah – buahan segar ditetapkan sebagai barang kebutuhan pokok yang tidak dikenakan Pajak Pertambahan Nilai. • Barang dan Jasa yang telah dikenakan Pajak Daerah.

Untuk menghindari pengenaan pajak berganda terhadap suatu objek yang sama maka objek – objek tertentu yang sudah dikenakan pajak daerah dikecualikan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai, yaitu:

− Barang hasil pertambangan galian C UU PDRD.

− Makanan dan minuman yang disajikan di hotel, restoran, rumah makan, warung dan sejenisnya.

− Jasa perhotelan. − Jasa boga/katering. − Jasa keuangan.

Untuk memberikan perlakuan yang sama, jasa keuangan yang dilakukan oleh siapapun, termasuk perbankan syariah, ditetapkan sebagai buka Jasa Kena Pajak, sehingga atas penyerahannya tidak dikenakan Pajak Pertambahan Nilai. Dengan demikian, tidak ada perbedaan perlakuan Pajak Pertambahan

Nilai bagi Wajib Pajak yang berbeda status tetapi melakukan kegiatan usaha yang sama.

− Pasokan Barang Hasil Pertambangan Umum sebagai Bahan Baku untuk Industri Energi Dalam Negeri.

Untuk menjamin ketersediaan bahan baku untuk industri energi Dalam Negeri, barang hasil pertambangan umum yang diambil langsung dari sumbernya, termasuk batubara, tetap dikategorikan sebagai barang yang tidak dikenakan Pajak Pertambahan Nilai.

3. Faktur Pajak dan Saat Pembuatannya.

Beberapa hal berkenaan dengan penerbitan Faktur Pajak diberikan kemudahan, kesederhanaan dan kepastian hukum dalam Undang – Undang Pajak Pertambahan Nilai, yaitu:

• Hanya akan dikenal satu jenis Faktur Pajak. Tidak ada lagi Faktur Pajak Standard dan Faktur Pajak Sederhana.

• Saat pembuatan Faktur Pajak.

Dalam rangka meringankan beban administrasi Wajib Pajak maka saat pembuatan Faktur Pajak adalah pada saat terutangnya pajak, yaitu pada saat penyerahan, atau dalam hal pembayaran mendahului penyerahan maka Faktur Pajak dibuat pada saat pembayaran. Dengan pengaturan ini, Wajib Pajak tidak perlu lagi membuat faktur penjualan (invoice) yang berbeda dengan Faktur Pajak.

4. Pengkreditan Pajak Masukan.

• Untuk mencegah penggunaan Faktur Pajak yang tidak dapat dipertanggungjawabkan, dalam Undang – Undang Pajak Pertambahan Nilai yang baru dipertegas bahwa selain pemenuhan syarat formal Faktur Pajak, maka suatu Pajak Masukan untuk dapat dikreditkan harus juga memenuhi syarat material, yaitu adanya penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak sesuai dengan yang tercantum dalam Faktur Pajak.

• Pengusaha yang belum berproduksi tetap dapat mengkreditkan Pajak Pertambahan Nilai yang telah dibayar atas pembelian barang modal.

• Namun demikian, apabila dalam kurun waktu tertentu pengusaha yang bersangkutan ternyata gagal berproduksi maka atas Pajak Pertambahan Nilai yang telah dikreditkan dan telah dimintakan pengembaliannya wajib dibayar kembali.

5. Deemed Pajak Masukan

Untuk lebih memberikan kepastian hukum dan memberikan kemudahan kepada Pengusaha Kena Pajak tertentu yang mengalami kesulitan mengikuti mekanisme Pajak Keluaran – Pajak Masukan secara normal, atau mengalami kesulitan dalam menghitung Pajak Pertambahan Nilai yang harus dibayar, misalnya Pedagang Eceran atau petani kecil, maka dalam Undang – Undang Pajak Pertambahan Nilai yang baru diatur mengenai penggunaan deemed Pajak Masukan, yaitu pedoman untuk menghitung besarnya Pajak Masukan yang dapat dikreditkan oleh Pengusaha Kena Pajak berdasarkan:

• Sektor/kegiatan usaha tertentu. 6. Retur/Pengembalian Jasa Kena Pajak.

Agar paralel dengan perlakuan Pajak Pertambahan Nilai untuk retur/pengembalian Barang Kena Pajak, dalam Undang – Undang Pajak Pertambahan Nilai yang baru diatur mengenai perlakuan Pajak Pertambahan Nilai atas penyerahan Jasa Kena Pajak yang dibatalkan/dikembalikan sebagian atau seluruhnya.

7. Saat penyetoran dan pelaporan SPT Masa Pajak Pertambahan Nilai.

Untuk membantu likuiditas Wajib Pajak, saat penyetoran Pajak Pertambahan Nilai dan pelaporan SPT Masa Pajak Pertambahan Nilai yang semula paling lambat tanggal 15 (lima belas) dan tanggal 20 (dua puluh) setelah Masa Pajak berakhir sebagaimana diatur dalam UU KUP, diperlonggar menjadi paling lambat akhir bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir sebagaimana yang diatur dalam UU KUP No. 28 Tahun 2007 pasal 9 ayat 2a dan pasal 7 ayat 1.

8. Restitusi dan Pengembalian Pendahuluan. • Restitusi (Umum).

Apabila dalam suatu Masa Pajak terdapat kelebihan pajak maka atas kelebihan pajak tersebut dikompensasikan ke Masa Pajak berikutnya dan dapat restitusi pada akhir tahun buku, kecuali Wajib Pajak tertentu yang secara mekanisme Pajak Pertambahan Nilai akan mengalami lebih bayar seperti eksportir dan penyalur/pemasok pemerintah, diperkenankan untuk restitusi di setiap Masa Pajak.

Dengan pertimbangan bahwa barang bawaan yang dibawa ke luar Daerah Pabean oleh orang asing yang bukan penduduk Indonesia merupakan barang yang akan dikonsumsi di Luar Negeri dan untuk menarik wisatawan mancanegara berkunjung ke Indonesia, maka PPN dan PPn BM yang dibayar oleh orang asing tersebut atas barang – barang yang dibawanya ke Luar Negeri diberikan pengembalian. Oleh karena itu, dalam Undang – Undang Pajak Pertambahan Nilai diatur pemberian pengembalian PPN dan PPn BM atas barang bawaan yang dibawa ke luar Daerah Pabean oleh Orang Pribadi pemegang paspor Luar Negeri, dengan syarat nilai Pajak Pertambahan Nilai minimal sebesar Rp. 500 ribu.

• Pengembalian pendahuluan.

− Dengan pertimbangan untuk membantu likuiditas, memberikan pelayanan yang lebih baik dan mendorong kepatuhan sukarela Wajib Pajak dalam melaksanakan kewajiban pajaknya berdasarkan Self Assessment, Wajib Pajak tertentu yang memiliki resiko rendah dapat diberikan restitusi dengan pengembalian pendahuluan tanpa melalui pemeriksaan terlebih dahulu. Pemeriksaan dapat dilakukan kemudian apabila diperlukan.

− Sanksi yang dikenakan lebih rendah dari Undang – Undang KUP yaitu 2% (dua persen) per bulan, kecuali terdapat indikasi tindak pidana perpajakan maka sanksi yang berlaku sesuai ketentuan sebagaimana diatur dalam UU KUP.

9. Pemusatan Tempat Pajak Pertambahan Nilai Terutang.

Dalam rangka mengurangi beban administrasi Wajib Pajak, dalam UU PPN yang baru diberikan kemudahan prosedur penetapan pemusatan tempat terutang, yaitu cukup dengan melakukan pemberitahuan (bukan lagi permohonan) secara tertulis kepada Direktur Jendral Pajak.

10. Pajak Penjualan atas Barang Mewah.

• Dengan tujuan untuk memberikan ruang kepada pemerintah dalam rangka melaksanakan fungsi regulasinya, maka tarif tertinggi PPn BM dinaikkan dari 75% menjadi 200%. Tarif PPnBM tertinggi sebesar 200% ini hanya akan ditetapkan apabila benar – benar diperlukan.

• Barang yang apabila dikonsumsi dapat merusak kesehatan masyarakat dan moral masyarakat, serta mengganggu ketertiban masyarakat, seperti minuman beralkohol, tidak lagi dikategorikan sebagai barang mewah, karena lebih tepat untuk dikategorikan sebagai barang yang dikenakan cukai.

11. Fasilitas Perpajakan.

Untuk lebih memberikan kepastian hukum bagi pemberian fasilitas perpajakan yang belum diatur dalam Undang – Undang antara lain untuk:

• Perwakilan negara asing/badan – badan internasional.

• Impor dan penyerahan Barang Kena Pajak/Jasa Kena Pajak dalam rangka pelaksanaan proyek pemerintah yang dibiayai pinjaman/hibah/bantuan luar negeri.

• Listrik dan air.

• Menjamin tersedianya angkutan umum di udara untuk mendorong kelancaran perpindahan arus barang dan orang di daerah tertentu yang tidak tersedia sarana transportasi lainnya yang memadai, dimana perbandingan antara volume barang dan orang yang harus dipindahkan dengan sarana transportasi yang tersedia sangat tinggi.

• Bahan baku kerajinan perak. 12. Tanggung Renteng.

Pengaturan mengenai tanggung renteng Pajak Pertambahan Nilai – yang semula diatur dalam Undang – Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) sampai dengan perubahan kedua atas Undang – Undang tersebut dengna Undang – Undang Nomor 16 Tahun 2000, dan kemudian dihapus dari UU KUP yang baru karena merupakan pengaturan material – diatur kembali dalam UU PPN yang baru mengingat ketentuan ini masih sangat diperlukan untuk melindungi pembeli maupun penjual.

Dibawah ini adalah pokok – pokok perubahan yang terdapat dalam UU No. 42 Tahun 2009 sebagai berikut:

URAIAN UU No. 12 Tahun 2000 UU No. 42 Tahun 2009

1. Istilah baru dalam objek pajak Tidak diatur. Ekspor BKP Tidak Berwujud dan Ekspor JKP dikenakan PPN dengan tarif 0%.

2. Penyerahan aktiva yang tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan

Dikenakan PPN terbatas pada penyerahan aktiva yang PPN Terutang pada saat perolehannya telah dibayar dan dapat

dikreditkan.

PPN dikenakan atas penyerahan seluruh aktiva, kecuali aktiva yang tidak berhubungan

3. Penyerahan dan bukan penyerahan BKP

a. Pembiayaan syariah

b. Dalam rangka restrukturisasi

c. Persediaan yang tersisa pada saat pembubaran perusahaan

Dikenakan PPN pada setiap transaksi penyerahan.

Dikenakan PPN.

Terbatas pada aktiva yang PPN pada saat perolehannya telah dibayar dan dapat dikreditkan.

Dikenakan PPN,

penyerahaannya dianggap langsung.

Tidak dikenakan PPN, syarat semua perusahaan terdaftar sebagai PKP.

Seluruh aktiva yang tidak berhubungan langsung dengan kegiatan usaha.

4. NonBKP dan nonJKP (pasal 4a) a. Daging, telur, susu,

sayur-sayuran, dan buah-buahan

b. Barang hasil pertambangan

c. Jasa keuangan

d. Jasa tertentu

Dibebaskan dari pengenaan PPN, melalui Peraturan Pemerintah tentang BKP strategis.

Dikenakan PPN, kecuali pasir dan kerikil (pasal 4a (2) huruf A).

PPN tidak dikenakan atas jasa perbankan (pasal 4a (3) huruf D).

PPN dikenakan atas jasa: penyediaan parkir, telepon

Dibebaskan dari pengenaan PPN.

Tidak dikenakan PPN.

PPN tidak dikenakan atas jasa keuangan (menghimpun, menempatkan, dan meminjam dana, pembiayaan, penyaluran, atas dasar hukum gadai, penjaminan).

umum (koin), pengiriman uang dengan wesel pos, serta jasa boga/katering.

5. Barang dan jasa yang tidak dikenakan PPN

Sebelumnya ditetapkan berdasarkan Peraturan Pemerintah.

Ditetapkan langsung di dalam penjelasan Undang – Undang (pasal 4a).

6. Pengusaha Kena Pajak (PKP) PKP bertambah:

1. Eksportir JKP. 2. Eksportir BKP tidak berwujud.

7. Retur atas penyerahan JKP Tidak diatur PPN atas penyerahan JKP yang dibatalkan dapat dikurangkan. 8. a. Kriteria BKP mewah

b. Tarif PPnBM

(1) Bukan kebutuhan pokok, (2) Dikonsumsi masyarakat tertentu, (3) Dikonsumsi masyarakat berpenghasilan tinggi, (4) Menunjukkan status, (5) Merusak kesehatan dan moral masyarakat, serta mengganggu ketertiban.

Tarif paling rendah 10% dan paling tinggi 75%.

Kriteria nomor 5 dihapus.

Tarif paling rendah 10% dan paling tinggi 200%

9. Restitusi

a. Saat pengajuan restitusi (pasal 9 (4a), (4b))

Seluruh PKP dapat melakukan restitusi pada setiap masa pajak (pasal 9 (4)).

Hanya PKP tertentu, yaitu PKP: (1) Eksportir, (2) Dengan penyerahan kepada pemungut PPN, (3) Mendapat fasilitas tidak dipungut PPN, (4) Belum

berproduksi. Restitusi PKP lain pada akhir tahun buku (pasal 9 (4a)).

b. Pengembalian pendahuluan

c. Restitusi untuk Turis Asing

Hanya diberikan kepada WP patuh dan WP dengan persyaratan tertentu.

Tidak diatur.

1. Mengatur pengembalian pendahuluan bagi PKP Eksportir, PKP dengan penyerahan kepada pemungut PPN, dan PKP yang mendapat fasilitas tidak dipungut PPN, yang beresiko rendah.

2. Sanksi bunga 2% per bulan paling lama 24 bulan, bila terbit SKPKB.

PPN atas barang bawaan dapat direstitusi melalui bandara tertentu, dengan syarat tertentu. 10. Deemed Pajak Masukan 1. Hanya mengatur untuk PKP

yang menggunakan norma PPh. 2. Deemed PM bagi PKP kegiatan tertentu belum diatur.

Berlaku bagi PKP baik orang pribadi maupun badan yang: 1. Memiliki omzet tertentu. 2. Melakukan kegiatan tertentu. 11. Pengkreditan Pajak Masukan

(PM)

a. PM yang boleh dikreditkan oleh PKP yang belum berproduksi

b. Pengkreditan PM atas BKP yang dialihkan dalam rangka resrtukturisasi

Seluruh PM (pasal 9 (2a)).

Tidak diatur (pada perubahan kedua UU PPN, ketentuan ini dihapus).

Terbatas PM yang berasal dari perolehan dan/atau impor barang modal. Dalam hal PKP gagal berproduksi, maka PM yang telah dikreditkan dan telah direstitusi harus dibayar kembali.

Menghidupkan kembali rumusan pasal 9 ayat (14) yaitu dalam hal restrukturisasi, maka PM atas BKP yang dialihkan yang belum dikreditkan dapat dikreditkan oleh PKP.

12. Pemusatan tempat PPN WP mengajukan permohonan, pemberian ijin berdasarkan pemeriksaan.

Cukup dengan pemberitahuan oleh WP, pemeriksaan dilakukan kemudian dalam hal diperlukan. 13. Faktur Pajak

a. Saat pembuatan FP

b. Jenis FP

c. Sanksi atas pelanggaran syarat formal FP

d. Syarat formal dan material

Paling lama akhir bulan berikutnya atau pada saat pembayaran (Peraturan Dirjen Pajak).

Jenis FP yaitu Standard dan Sederhana.

PKP akan dikenai sanksi apabila menerbitkan FP yang tidak memenuhi syarat formal FP, antara lain: (1) Identitas pembeli, (2) Identitas pembeli, serta nama dan tanda tangan (pasal 13 ayat (5)).

Diatur dalam penjelasan Pasal 13 ayat (5)

Diatur dalam Undang-Undang (pasal 13 (1a)) yaitu saat penyerahaan atau pada saat pembayaran.

Hanya ada istilah “Faktur Pajak”.

PKP tidak dikenai sanksi apabila menerbitkan FP yang tidak memuat: (1) Identitas pembeli, (2) Identitas pembeli, serta nama dan tanda tangan untuk FP yang diterbitkan oleh pedagang eceran. FP tersebut tidak dikategorikan sebagai FP cacat, namun FP tidak dapat

dikreditkan oleh pembelinya.

Diatur dalam batang tubuh yaitu pasal 13 ayat (9).

14. a. Saat penyetoran PPN

b. Saat pelaporan PPN

Paling lama pada tanggal 15 setelah berakhirnya Masa Pajak.

Paling lama pada tanggal 20 setelah berakhirnya Masa Pajak.

Paling lama akhir bulan berikutnya setelah berakhirnya Masa Pajak dan sebelum SPT Masa PPN disampaikan.

Paling lama akhir bulan berikutnya setelah berakhirnya Masa Pajak.

15. Fasilitas perpajakan (pasal 16b) Belum ada dasar hukum untuk pemberian fasilitas kegiatan – kegiatan tertentu.

Memberikan dasar hukum atas pemberian fasilitas sebagai berikut:

1. Perwakilan negara asing dibebaskan PPN dan PPnBM; 2. Proyek Pemerintah yang

dibiayai hibah LN tidak dipungut PPN dan PPnBM; 3. Impor barang yang Bea

Masuknya dibebaskan tidak dipungut PPN dan PPn BM; 4. Fasilitas PPN bagi kegiatan

penanggulangan bencana alam nasional;

5. Pembebasan PPN bagi listrik & air;

6. Menjamin tersedianya angkutan umum di udara; 7. Bebas PPN bagi penyerahan

perak sebagai bahan baku kerajinan.

16. Tanggung renteng Tidak lagi diatur dalam UU KUP dan UU PPN.

Dokumen terkait