• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II LANDASAN TEORI. perubahan ketiga dari Undang Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II LANDASAN TEORI. perubahan ketiga dari Undang Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan"

Copied!
61
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II LANDASAN TEORI

II.1 Pemahaman Pajak II.1.1 Pengertian Pajak

Sesuai dengan Undang – Undang Nomor 28 Tahun 2007 yang merupakan perubahan ketiga dari Undang – Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, yang menyebutkan pengertian umum pajak dalam pasal 1 ayat 1 yang berbunyi: “Pajak adalah kontribusi wajib kepada Negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan undang-undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan Negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.”

Adapun pengertian – pengertian menurut para ahli, salah satu contohnya yaitu menurut Prof. Dr. Rochmat Soemitro, SH. : “Pajak adalah iuran rakyat kepada Kas Negara berdasarkan undang – undang (yang dapat dipaksakan) dengan tiada mendapat jasa timbal (kontraprestasi) yang langsung dapat ditunjukkan dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum.”

Dalam pengertian – pengertian pajak tersebut bisa disimpulkan adanya 5 ciri – ciri sebagai berikut :

1. Pajak dipungut berdasarkan undang-undang. Asas ini sesuai dengan perubahan ketiga UUD 1945 pasal 23A yang menyatakan "pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan Negara diatur dalam undang-undang."

(2)

bermotor akan melalui jalan yang sama kualitasnya dengan orang yang tidak membayar pajak kendaraan bermotor.

3. Pemungutan pajak diperuntukkan bagi keperluan pembiayaan umum pemerintah dalam rangka menjalankan fungsi pemerintahan, baik rutin maupun pembangunan. 4. Pemungutan pajak dapat dipaksakan. Pajak dapat dipaksakan apabila Wajib Pajak

tidak memenuhi kewajiban perpajakan dan dapat dikenakan sanksi sesuai peraturan perundang-undangan.

5. Selain fungsi budgeter (anggaran) yaitu fungsi mengisi Kas Negara/Anggaran Negara yang diperlukan untuk menutup pembiayaan penyelenggaraan pemerintahan, pajak juga berfungsi sebagai alat untuk mengatur atau melaksanakan kebijakan Negara dalam lapangan ekonomi dan sosial (fungsi mengatur/regulatif).

Dalam perpajakan juga dikenal hukum Lex Specialis derogat Lex Generalis yang berarti peraturan khusus lebih diutamakan daripada peraturan umum, dimana apabila suatu ketentuan belum atau tidak diatur dalam peraturan khusus, maka yang diberlakukan yaitu ketentuan yang diatur dalam peraturan umum. Dalam hal ini, peraturan khusus adalah hukum pajak dan peraturan umum adalah hukum publik atau hukum lain yang sudah ada sebelumnya.

II.1.2 Jenis Pajak

Apabila ditinjau dari segi lembaga yang memungut pajak, pajak dibedakan menjadi 2 (dua) jenis, yaitu:

1. Pajak Negara atau Pajak Pusat, adalah pajak yang dipungut oleh pemerintah pusat untuk mengisi Kas Negara. Contohnya Pajak Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai,

(3)

Pajak Penjualan Barang Mewah, Pajak Penjualan, Pajak Bumi dan Bangunan, Pajak Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan, Pajak Bea Masuk dan Cukai dan Pajak Bea Materai.

2. Pajak Daerah, adalah pajak yang dipungut oleh pemerintah daerah untuk mengisi kas daerahnya. Contohnya Pajak Kendaraan Bermotor, Pajak Radio, Pajak Reklame, Pajak Tontonan, Pajak Kendaraan Bermotor, dan lain sebagainya.

Ditinjau dari segi pihak yang menanggung, pajak dibedakan menjadi 2 (dua) jenis, yaitu:

1. Pajak Langsung. Berdasarkan segi administrasi negara, pajak langsung adalah pajak yang untuk pengenaannya terlebih dahulu harus didaftarkan dengan memberikan Nomor Pokok Wajib Pajak, yang pengenaannya dilakukan secara berkala. Berdasarkan segi ekonomisnya, pajak langsung adalah pajak yang beban pajaknya tidak dapat digeser atau dilimpahkan kepada orang lain. Contohnya Pajak Penghasilan, Pajak Bumi dan Bangunan.

2. Pajak Tidak Langsung. Berdasarkan segi administrasi negara, pajak tidak langsung adalah pajak yang pemungutannya tidak didaftar berdasarkan Nomor Pokok Wajib Pajak dan pengenaannya tidak dilakukan secara berkala. Berdasarkan segi ekonomisnya, pajak tidak langsung adalah pajak yang beban pajaknya dapat digeser atau dilimpahkan kepada orang lain. Contohnya Pajak Penjualan, Pajak Pertambahan Nilai, Pajak Penjualan Barang Mewah, Bea Materai dan Bea Cukai, Pajak Hiburan, Pajak Hotel dan Restoran, Cukai, dan sebagainya.

(4)

Ditinjau dari segi sifatnya, pajak dibedakan menjadi 2 (dua) jenis, yaitu :

1. Pajak Subjektif, adalah pajak yang memperhatikan kondisi keadaan wajib pajak. Contohnya Pajak Penghasilan.

2. Pajak Objektif, adalah pajak yang berdasarkan pada objeknya tanpa memperhatikan keadaan diri wajib pajak. Contohnya Pajak Pertambahan Nilai, Pajak Bumi dan Bangunan, Pajak Penjualan Barang Mewah, Pajak Kendaraan Bermotor.

II.1.3 Unsur Pajak

Unsur – unsur pajak terdiri dari 3 (tiga), yaitu:

1. Subjek Pajak atau Wajib Pajak, adalah orang atau badan usaha yang menurut undang – undang wajib membayar pajak kepada Negara. Setiap Wajib Pajak wajib memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP).

2. Objek Pajak, adalah segala sesuatu yang menurut undang – undang dijadikan dasar atau sasaran dalam pemungutan pajak.

3. Tarif pajak, adalah dasar pengenaan pajak terhadap objek pajak yang menjadi tanggungan Wajib Pajak. Ada 3 (tiga) macam tarif pajak, yaitu :

• Tarif Proporsional, adalah tarif pajak yang persentasenya tetap atau sama untuk setiap jenis objek pajak. Contohnya Pajak Pertambahan Nilai (PPN).

• Tarif Progresif, adalah tarif pajak yang persentasenya semakin besar jika objek pajaknya bertambah. Tarif ini biasanya digunakan untuk pajak – pajak subjektif yang memperhatikan daya pikul Wajib Pajak. Contohnya Pajak Penghasilan. • Tarif Degresif, adalah tarif pajak yang persentasenya semakin rendah jika objek

(5)

II.1.4 Sistem Pemungutan Pajak

Di Indonesia ada 3 (tiga) sistem pemungutan pajak yang berlaku, yaitu: 1. Official Assessment System.

Sistem ini merupakan suatu sistem pemungutan yang memberikan wewenang kepada pemerintah (Fiskus) untuk menentukan besarnya pajak yang terutang oleh Wajib Pajak.

Ciri – cirinya, yaitu:

• Wewenang untuk menentukan besarnya pajak terutang ada pada Fiskus. • Wajib Pajak bersifat pasif.

• Utang pajak timbul setelah dikeluarkan surat ketetapan oleh Fiskus. 2. Self Assessment System.

Sistem ini merupakan suatu sistem pemungutan pajak yang member wewenang kepada Wajib Pajak untuk menentukan sendiri besarnya Pajak yang terutang.

Ciri – cirinya, yaitu:

• Wewenang untuk menentukan besarnya pajak terutang ada pada Wajib Pajak itu sendiri.

• Wajib Pajak aktif, mulai dari menghitung, menyetor, dan melaporkan sendiri pajak yang terutang.

• Fiskus tidak ikut campur dan hanya mengawasi. 3. Withholdoing System.

Sistem ini merupakan suatu sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada pihak ketiga (bukan Fiskus dan bukan pula Wajib Pajak yang bersangkutan) untuk menentukan besarnya pajak yang terutang oleh Wajib Pajak.

(6)

Ciri – cirinya, yaitu:

• Wewenang menentukan besarnya pajak yang terutang ada pada pihak ketiga, pihak selain Fiskus dan Wajib Pajak.

II.2 Pajak Pertambahan Nilai

II.2.1 Pengertian Pajak Pertambahan Nilai

Pajak Pertambahan Nilai adalah pajak yang dikenakan atas setiap pertambahan nilai dari barang dan jasa yang terjadi dari produsen ke konsumen. Pajak Pertambahan Nilai disebut sebagai pajak tidak langsung karena pembayaran pajaknya dilakukan oleh produsen, bukan konsumen yang membeli produk tersebut.

Pajak Pertambahan Nilai merupakan pengganti Pajak Penjualan, karena Pajak Penjualan diyakini sudah tidak memadai untuk mengatur kegiatan masyarakat dan belum mancapai sasaran kebutuhan pembangunan, seperti untuk meningkatkan penerimaan negara, mendorong ekspor, dan pemerataan pembebanan pajak.

Adapun karakteristik dari Pajak Pertambahan Nilai, yaitu: 1. Pajak tidak langsung.

Pajak Pertambahan Nilai memisahkan antara penanggung jawab pembayaran pajak dan pemikul beban pajak. Penanggung jawab pemungutan dan pembayaran pajak terletak pada Pengusaha Kena Pajak (PKP) yang melakukan transaksi penyerahan atas Barang Kena Pajak (BKP) dan/atau Jasa Kena Pajak (JKP). Sedangkan, pemikul beban pajak adalah antara pembeli Barang Kena Pajak atau penerima Jasa Kena Pajak. Oleh karena itu, apabila terjadi penyimpangan pemungutan Pajak Pertambahan Nilai, petugas pajak (Fiskus) akan meminta pertanggungjawaban

(7)

kepada Pengusaha Kena Pajak tersebut, bukan kepada pembeli walaupun kemungkinan pembeli tersebut juga berstatus Pengusaha Kena Pajak.

2. Multistage Tax.

Multistage tax adalah karakteristik Pajak Pertambahan Nilai yang dikenakan pada setiap mata rantai jalur produksi maupun jalur distribusi. Setiap penyerahan barang yang menjadi objek Pajak Pertambahan Nilai mulai dari tingkat pabrikan (manufacturer) kemudian ke tingkat perdagangan besar (wholesaler) dalam berbagai bentuk atau nama sampai dengan tingkat pedagang pengecer (retailer) dikenakan Pajak Pertambahan Nilai.

3. Pajak objektif.

Pajak Pertambahan Nilai sebagai pajak objektif maksudnya bahwa kewajiban atas pajak ini ditentukan atas objek pajaknya.

4. Menghindari pengenaan pajak berganda.

Meskipun Pajak Pertambahan Nilai dikenakan tiap jenjang penyerahan, tetapi model pengenaan Pajak Pertambahan Nilai yang berulang – ulang tidak mengakibatkan timbulnya pajak berganda karena Pajak Pertambahan Nilai menggunakan pengurangan tidak langsung ketika menghitung pajak yang harus disetorkan.

5. Dihitung dengan menggunakan indirect subtraction method atau credit method atau invoice method.

Pajak Pertambahan Nilai terutang yang harus disetor ke kas Negara diperoleh dari perhitungan mengurangkan Pajak Pertambahan Nilai yang dibayar kepada Pengusaha Kena Pajak lain yang dinamakan Pajak Masukan (input tax) dengan Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut dari pembeli atau penerima jasa yang dinamakan

(8)

Pajak Keluaran (output tax). Metode ini dinamakan metode pengurangan tidak langsung (indirect substraction method). Pajak Keluaran yang dikurangkan dengan Pajak Masukan untuk memperoleh jumlah pajak yang akan dibayarkan ke kas negara yang disebut tax credit. Oleh karena itu, metode ini dinamakan juga metode pengkreditan (credit method). Untuk mendeteksi kebenaran jumlah Pajak Masukan dan Pajak Keluaran yang terlihat dalam mekanisme ini dibutuhkan suatu dokumen sebagai penunjang alat bukti yang disebut Faktur Pajak (tax invoice). Oleh karena itu, metode ini dinamakan juga Metode Faktur (invoice method).

6. Pajak atas konsumsi umum dalam negeri.

Pajak Pertambahan Nilai hanya dikenakan atas konsumsi Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak yang dilakukan di dalam negeri. Oleh karena itu, komoditi impor dikenakan Pajak Pertambahan Nilai dengan persentase yang sama dengan produk domestik. Sebagai pajak konsumsi, tujuan akhir dari Pajak Pertambahan Nilai adalah mengenakan pajak atas pengeluaran untuk konsumsi, baik yang dilakukan oleh perseorangan maupun badan, baik swasta maupun pemerintah, karena konsumen tidak semata – mata mengkonsumsi barang tetapi juga jasa. Maka agar beban pajak yang dipikul oleh konsumen dapat dihitung dengan baik, Pajak Pertambahan Nilai selain dikenakan atas konsumsi atas barang, juga dikenakan terhadap konsumsi atas jasa.

7. Dikenakan disetiap jenjang penyerahan (Multistage Levy).

Pajak Pertambahan Nilai dikenakan disetiap jenjang produksi dan distribusi. Pajak Pertambahan Nilai sudah dikenakan sejak penyerahan dari tingkat pabrikan hingga penyerahan tingkat konsumen akhir.

(9)

II.2.2 Subjek dan Objek Pajak Pertambahan Nilai II.2.2.1 Subjek Pajak Pertambahan Nilai

Menurut Undang – Undang Pajak Pertambahan Nilai No. 42 Tahun 2009 pasal 3A Subjek Pajak Pertambahan Nilai meliputi:

1. Pengusaha Kena Pajak (PKP), adalah Orang Pribadi atau Badan dalam bentuk apapun yang dalam lingkungan perusahaan atau pekerjaannya menghasilkan barang, mengimpor barang, mengekspor barang, melakukan usaha perdagangan, memanfaatkan barang tidak berwujud dari luar Daerah Pabean, melakukan usaha jasa atau memanfaatkan jasa dari luar Daerah Pabean, maupun yang melakukan penyerahan Barang atau Jasa Kena Pajak, kecuali pengusaha kecil yang batasannya ditetapkan oleh Menteri Keuangan, wajib melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak dan wajib memungut, menyetor, dan melaporkan Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang terutang. Pengusaha kecil dapat pula memilih untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak.

Yang termasuk dalam kategori Pengusaha Kena Pajak, yaitu: • Importir.

• Pabrikan. • Agen utama.

• Pengusaha yang mempunyai hubungan istimewa dengan pabrikan atau importir. • Pemegang hak paten dan merk dagang dari Barang Kena Pajak.

• Pemborong bangunan atau barang tetap.

(10)

• Pedagang eceran besar.

2. Pengusaha yang memilih menjadi Pengusaha Kena Pajak, adalah pengusaha yang tidak termasuk ruang lingkup pengenaan pajak tetapi menyatakan memilih untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak dan wajib melaksanakan ketentuan – ketentuan yang menjadi persyaratan Pengusaha Kena Pajak.

Yang termasuk kategori pengusaha yang memilih menjadi Pengusaha Kena Pajak, yaitu:

• Eksportir.

• Pedagang yang menjual Barang Kena Pajak kepada Pengusaha Kena Pajak. 3. Orang pribadi atau Badan yang melakukan pembangunan rumahnya sendiri dengan

persyaratan tertentu. Dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 39/PMK.03/2010 Tentang Batasan dan Tata Cara Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai Atas Kegiatan Membangun Sendiri, persyaratan yang harus dipenuhi oleh Wajib Pajak adalah sebagai berikut:

• Pembangunan tersebut dilakukan tidak dalam kegiatan usaha atau pekerjaan oleh Orang Pribadi atau Badan yang hasilnya digunakan sendiri atau digunakan oleh pihak lain.

• Peruntukan bangunan tersebut adalah untuk tempat tinggal atau tempat usaha. • Luas keseluruhan minimal 300m2 (tiga ratus meter persegi).

• Bangunan bersifat permanen.

• Konstruksi utamanya terdiri dari kayu, beton, pasangan batu bata atau bahan sejenis, dan/atau baja.

(11)

Yang tidak termasuk Subjek Pajak Pertambahan Nilai, yaitu:

1. Pengusaha yang termasuk sebagai pengusaha kecil yakni pengusaha yang memenuhi kriteria tertentu. Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 68/PMK.03/2010 Tentang Batasan Pengusaha Kecil Pajak Pertambahan Nilai, pengusaha kecil adalah pengusaha yang selama satu tahun buku melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak dengan jumlah peredaran bruto tidak lebih dari Rp. 600.000.000,- (enam ratus juta Rupiah).

2. Pengusaha yang bergerak di bidang pertanian, peternakan, perikanan, kehutanan dan perkebunan serta hasil – hasil agrarian lainnya yang belum diolah karena barang tersebut bukan Barang Kena Pajak.

3. Perwakilan negara asing.

4. Badan internasional di Indonesia yang memperoleh kekebalan diplomatik serta pejabat atau tenaga ahlinya.

II.2.2.2 Objek Pajak Pertambahan Nilai

Menurut Undang – Undang Pajak Pertambahan Nilai No. 42 Tahun 2009 pasal 4 ayat (1), pasal 16C, dan pasal 16D, Objek dari Pajak Pertambahan Nilai, yaitu:

1. Penyerahan Barang Kena Pajak di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh pengusaha.

Penyerahan barang yang dikenai pajak harus memenuhi syarat – syarat sebagai berikut:

(12)

• Barang tidak berwujud yang diserahkan merupakan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud.

• Penyerahan dilakukan di dalam Daerah Pabean.

• Penyerahan dilakukan dalam rangka kegiatan usaha atau pekerjaannya. 2. Impor Barang Kena Pajak.

Pajak juga dipungut pada saat impor Barang Kena Pajak. Pemungutan dilakukan melalui Direktorat Jendral Bea dan Cukai.

3. Penyerahan Jasa Kena Pajak didalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh pengusaha.

Penyerahan jasa yang terutang pajak harus memenuhi syarat – syarat sebagai berikut: • Jasa yang diserahkan merupakan Jasa Kena Pajak.

• Penyerahan dilakukan di dalam Daerah Pabean.

• Penyerahan dilakukan dalam kegiatan usaha atau pekerjaannya. Termasuk dalam pengertian penyerahan Jasa Kena Pajak adalah Jasa Kena Pajak yang dimanfaatkan untuk kepentingan sendiri dan/atau yang diberikan secara cuma – cuma.

4. Pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean.

Suatu penyerahan Barang Kena Pajak tidak berwujud oleh Pengusaha Kena Pajak terkena Pajak Pertambahan Nilai atau tidak tergantung dari peristiwa – peristiwa berikut:

• Saat harga penyerahan Barang Kena Pajak tidak berwujud dinyatakan sebagai piutang oleh Pengusaha Kena Pajak.

(13)

• Saat harga penyerahan Barang Kena Pajak tidak berwujud ditagih oleh Pengusaha Kena Pajak.

• Saat harga penyerahan Barang Kena Pajak tidak berwujud diterima pembayarannya, baik sebagian atau seluruhnya, oleh Pengusaha Kena Pajak. • Saat ditandatanganinya kontrak atau perjanjian oleh Pengusaha Kena Pajak 5. Pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean.

Jasa yang berasal dari luar Daerah Pabean yang dimanfaatkan oleh siapapun di dalam Daerah Pabean dikenai Pajak Pertambahan Nilai.

6. Ekspor Barang Kena Pajak Berwujud oleh Pengusaha Kena Pajak. 7. Ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud oleh Pengusaha Kena Pajak.

Yang dimaksud dengan “Barang Kena Pajak tidak berwujud” adalah:

a. Penggunaan atau hak menggunakan hak cipta di bidang kesusastraan, kesenian atau karya ilmiah, paten, desain atau model, rencana, formula atau proses rahasia, merek dagang, atau bentuk hak kekayaan intelektual/industrial, atau hak serupa lainnya.

b. Penggunaan atau hak menggunakan peralatan/perlengkapan industrial, komersial, atau ilmiah.

c. Pemberian pengetahuan atau informasi di bidang ilmiah, teknikal, industrial, atau komersial.

d. Pemberian bantuan tambahan atau pelengkap sehubungan dengan penggunaan atau hak menggunakan hak – hak tersebut pada huruf a, penggunaan atau hak menggunakan peralatan/perlengkapan tersebut pada huruf b, atau pemberian pengetahuan atau informasi tersebut pada huruf c, berupa:

(14)

• Penerimaan atau hak menerima rekaman gambar atau rekaman suara atau keduanya, yang disalurkan kepada masyarakat melalui satelit, kabel, serat optik, atau teknologi serupa.

• Penggunaan atau hak menggunakan rekaman gambar atau rekaman suara atau keduanya, untuk siaran televisi atau radio yang disiarkan/dipancarkan melalui satelit, kabel, serat optik, atau teknologi serupa.

• Penggunaan atau hak menggunakan sebagian atau seluruh spektrum radio komunikasi.

e. Penggunaan atau hak menggunakan film gambar hidup (motion picture films), film atau pita video untuk siaran televisi, atau pita suara untuk siaran radio. f. Pelepasan seluruhnya atau sebagian hak yang berkenaan dengan penggunaan

atau pemberian hak kekayaan intelektual/industrial atau hak – hak lainnya sebagaimana disebut di atas.

8. Ekspor Jasa Kena Pajak oleh Pengusaha Kena Pajak.

Termasuk dalam pengertian ekspor Jasa Kena Pajak adalah penyerahan Jasa Kena Pajak dari dalam Daerah Pabean ke luar Daerah Pabean oleh Pengusaha Kena Pajak yang menghasilkan dan melakukan ekspor Barang Kena Pajak berwujud atas dasar pesanan atau permintaan dengan bahan dan atas petunjuk dari pemesan di luar Daerah Pabean.

9. Kegiatan membangun sendiri yang dilakukan tidak dalam kegiatan usaha atau pekerjaan Orang Pribadi atau Badan.

(15)

10. Penyerahan Barang Kena Pajak berupa aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan oleh Pengusaha Kena Pajak, kecuali atas penyerahan aktiva yang Pajak Masukannya tidak dapat dikreditkan.

Yang tidak termasuk objek Pajak Pertambahan Nilai, yaitu: ƒ Barang Kena Pajak

1. Barang hasil pertambangan atau hasil pengeboran yang diambil langsung dari sumbernya, meliputi:

ƒ Minyak mentah (crude oil).

ƒ Gas bumi, tidak termasuk gas bumi seperti elpiji yang siap dikonsumsi langsung oleh masyarakat.

ƒ Panas bumi.

ƒ Asbes, batu tulis, batu setengah permata, batu kapur, batu apung, batu permata, bentonit, dolomit, felspar (feldspar), garam batu (halite), grafit, granit/andesit, gips, kalsit, kaolin, leusit, magnesit, mika, marmer, nitrat, opsidien, oker, pasir dan kerikil, pasir kuarsa, perlit, fosfat (phospat) talk, tanah serap (fullers earth), tanah diatome, tanah liat, tawas (alum, tras, yarosif, zeolit, basal, dan trakkit).

ƒ Batu bara sebelum diproses menjadi briket batu bara.

ƒ Bijih timah, bijih besi, bijih emas, bijih tembaga, bijih nikel, bijih perak, dan bijih bauksit.

2. Barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh rakyat banyak. ƒ Beras.

(16)

ƒ Jagung. ƒ Sagu. ƒ Kedelai.

ƒ Garam, baik yang beryodium maupun yang tidak beryodium.

ƒ Daging, yaitu daging segar tanpa diolah, tetapi telah melalui proses disembelih, dikuliti, dipotong, didinginkan, dibekukan, dikemas atau tidak dikemas, digarami, dikapur, diasamkan, diawetkan dengan cara lain, dan/atau direbus.

ƒ Telur, yaitu telur yang tidak diolah, termasuk telur yang dibersihkan, diasinkan, atau dikemas.

ƒ Susu, yaitu susu perah, baik yang telah melalui proses didinginkan maupun dipanaskan, tidak mengandung tambahan gula atau bahan lainnya, dan/atau dikemas atau tidak dikemas.

ƒ Buah – buahan, yaitu buah – buahan segar yang dipetik, baik yang telah melalui proses dicuci, disortir, dikupas, dipotong, diiris, di-grading, dan/atau dikemas atau tidak dikemas.

ƒ Sayur – sayuran, yaitu sayuran segar yang dipetik, dicuci, ditiriskan, dan/atau disimpan pada suhu rendah, termasuk sayuran segar yang dicacah.

3. Makanan dan minuman yang disajikan di hotel, restoran, rumah makan, warung, dan sejenisnya, meliputi makanan dan minuman baik yang dikonsumsi di tempat maupun tidak, termasuk makanan dan minuman yang diserahkan oleh usaha jasa boga atau katering. Ketentuan ini dimaksudkan untuk menghindari pengenaan pajak berganda karena sudah merupakan objek pengenaan Pajak Daerah.

(17)

4. Uang, emas batangan, dan surat berharga. ƒ Jasa Kena Pajak

1. Jasa pelayanan kesehatan medik, meliputi:

ƒ Jasa dokter umum, dokter spesialis, dan dokter gigi. ƒ Jasa dokter hewan.

ƒ Jasa ahli kesehatan, seperti akupuntur, fisioterapis, ahli gizi, dan ahli gigi. ƒ Jasa kebidanan dan dukun bayi.

ƒ Jasa paramedis dan perawat.

ƒ Jasa rumah sakit, rumah bersalin, klinik kesehatan, laboratorium kesehatan, dan sanatorium.

ƒ Jasa psikologi dan psikiater.

ƒ Jasa pengobatan alternatif, termasuk yang dilakukan paranormal. 2. Jasa pelayanan sosial, meliputi:

ƒ Jasa pelayanan panti asuhan dan panti jompo.

ƒ Jasa pemadam kebakaran, kecuali yang bersifat komersial. ƒ Jasa pemberian pertolongan pada kecelakaan.

ƒ Jasa lembaga rehabilitasi, kecuali yang bersifat komersial. ƒ Jasa pemakaman, termasuk krematorium.

ƒ Jasa di bidang olahraga, kecuali yang bersifat komersial.

3. Jasa pengiriman surat dengan perangko, meliputi: jasa pengiriman surat dengan menggunakan perangko tempel dan menggunakan cara lain pengganti perangko tempel.

(18)

4. Jasa keuangan, meliputi:

ƒ Jasa menghimpun dana dari masyarakat berupa giro, deposit berjangka, sertifikat deposito, tabungan, dan/atau bentuk lain yang dipersamakan dengan itu.

ƒ Jasa menempatkan dana, meminjam dana, atau meminjamkan dana kepada pihak lain dengan menggunakan surat, sarana telekomunikasi maupun dengan wesel unjuk, cek, atau sarana lainnya.

ƒ Jasa pembiayaan, termasuk pembiayaan berdasarkan prinsip syariah, berupa: − Sewa guna usaha dengan hak opsi.

− Anjak piutang. − Usaha kartu kredit. − Pembiayaan konsumen.

ƒ Jasa penyaluran pinjaman atas dasar hukum gadai, termasuk gadai syariah dan fidusia.

ƒ Jasa peminjaman.

5. Jasa asuransi, adalah jasa pertanggungan yang meliputi asuransi kerugian, asuransi jiwa, dan reasuransi yang dilakukan oleh perusahaan asuransi kepada pemegang polis asuransi, tidak termasuk jasa penunjang asuransi seperti agen asuransi, penilai kerugian asuransi, dan konsultan asuransi.

6. Jasa keagamaan, meliputi:

ƒ Jasa pelayanan rumah ibadah.

ƒ Jasa pemberian khotbah atau dakwah. ƒ Jasa penyelenggaraan kegiatan keagamaan.

(19)

ƒ Jasa lainnya di bidang keagamaan. 7. Jasa pendidikan, meliputi:

ƒ Jasa penyelenggaraan pendidikan sekolah, seperti jasa penyelenggaraan pendidikan umum, pendidikan kejuruan, pendidikan luar biasa, pendidikan kedinasan, pendidikan keagamaan, pendidikan akademik, dan pendidikan profesional.

ƒ Jasa penyelenggaraan pendidikan luar sekolah, seperti kursus.

8. Jasa kesenian dan hiburan yang telah dikenakan pajak tontonan, meliputi semua jenis jasa yang dilakukan oleh pekerja seni dan hiburan.

9. Jasa penyiaran yang tidak bersifat iklan seperti jasa penyiaran radio atau televisi, baik yang dilakukan oleh instansi pemerintah maupun swasta, yang bukan bersifat iklan dan tidak dibiayai oleh sponsor yang bertujuan komersial.

10. Jasa angkutan umum darat dan di air serta jasa angkutan udara dalam negeri yang menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari jasa angkutan udara luar negeri. 11. Jasa tenaga kerja, meliputi:

ƒ Jasa tenaga kerja.

ƒ Jasa penyediaan tenaga kerja sepanjang pengusaha penyedia tenaga kerja tidak bertanggungjawab atas hasil kerja dari tenaga kerja tersebut.

ƒ Jasa penyelenggaraan pelatihan bagi tenaga kerja. 12. Jasa perhotelan, meliputi:

ƒ Jasa persewaan kamar termasuk tambahannya di hotel, rumah penginapan, motel, losmen, hostel, serta fasilitas yang terkait dengan kegiatan perhotelan untuk tamu yang menginap.

(20)

ƒ Jasa persewaan ruangan untuk kegiatan acara atau pertemuan di hotel, rumah penginapan, motel, losmen, dan hostel.

13. Jasa yang disediakan oleh pemerintah dalam rangka menjalankan pemerintahan secara umum, meliputi jenis – jenis jasa yang dilaksanakan oleh instansi pemerintah seperti pemberian Izin Mendirikan Bangunan (IMB), pemberian Izin Usaha Perdagangan (IUP), pemberian Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP), dan pembuatan Kartu Tanda Penduduk (KTP).

14. Jasa penyediaan tempat parkir, adalah jasa penyediaan tempat parkir dan/atau pengusaha kepada pengguna tempat parkir dengan dipungut bayaran.

15. Jasa telepon umum dengan menggunakan uang logam, adalah jasa telepon umum dengan menggunakan uang logam atau koin, yang diselenggarakan oleh pemerintah maupun swasta.

16. Jasa pengiriman uang dengan menggunakan wesel pos. 17. Jasa boga atau katering.

II.2.3 Penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak

Syarat penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak yang dikenakan Pajak Pertambahan Nilai, yaitu:

1. Dilakukan oleh Pengusaha Kena Pajak atau pengusaha yang seharusnya dikukuhkan menjadi Pengusaha Kena Pajak.

2. Barang yang diserahkan merupakan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak. 3. Dilakukan di dalam Daerah Pabean.

(21)

Berdasarkan Undang – Undang Pajak Pertambahan Nilai No. 42 Tahun 2009 Pasal 1A ayat (1), penyerahan yang termasuk dalam penyerahan Barang Kena Pajak, yaitu:

1. Penyerahan hak atas Barang Kena Pajak karena suatu perjanjian.

2. Pengalihan Barang Kena Pajak oleh karena suatu perjanjian sewa beli dan perjanjian leasing.

3. Penyerahan Barang Kena Pajak kepada pedagang perantara atau melalui juru lelang. 4. Pemakaian sendiri dan/atau pemberian cuma – cuma.

5. Barang Kena Pajak berupa persediaan dan/atau aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan, yang masih tersisa pada saat pembubaran perusahaan, sepanjang Pajak Pertambahan Nilai atas peroleh aktiva tersebut menurut ketentuan dapat dikreditkan.

6. Penyerahan Barang Kena Pajak dari Pusat ke Cabang atau sebaliknya, dan penyerahan antar Cabang.

7. Penyerahan Barang Kena Pajak secara konsinyasi.

8. Penyerahan Barang Kena Pajak oleh Pengusaha Kena Pajak dalam rangka perjanjian pembiayaan yang dilakukan berdasarkan prinsip syariah, yang penyerahannya dianggap langsung dari Pengusaha Kena Pajak kepada pihak yang membutuhkan Barang Kena Pajak.

Berdasarkan Undang – Undang Pajak Pertambahan Nilai No. 42 Tahun 2009 Pasal 1A ayat (2), penyerahan yang tidak termasuk dalam penyerahan Barang Kena Pajak, yaitu:

(22)

1. Penyerahan Barang Kena Pajak kepada makelar, yaitu pedagang perantara yang diangkat oleh Presiden atau pejabat yang oleh Presiden dinyatakan berwenang untuk itu. Mereka menjalankan perusahaan dengan melakukan pekerjaan dengan mendapat upah atau provisi tertentu, atas amanat dan atas nama orang – orang lain yang dengan mereka tidak terdapat hubungan kerja.

2. Penyerahan Barang Kena Pajak untuk jaminan utang piutang.

3. Penyerahan Barang Kena Pajak dari Pusat ke Cabang atau sebaliknya, dan antar Cabang, dalam hal Pengusaha Kena Pajak memperoleh ijin pemusatan tempat pajak terutang (sentralisasi).

4. Pengalihan Barang Kena Pajak dalam rangka penggabungan, peleburan, pemekaran, pemecahan, dan pengambilalihan usaha dengan syarat pihak yang melakukan pengalihan dan yang menerima pengalihan adalah Pengusaha Kena Pajak.

5. Barang Kena Pajak berupa aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan, yang masih tersisa pada saat pembubaran perusahaan, dan yang Pajak Masukan atas perolehannya tidak dapat dikreditkan.

II.2.4 Cara Menghitung Pajak Pertambahan Nilai

Untuk menghitung besarnya Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang terutang perlu adanya Dasar Pengenaan Pajak (DPP), dimana yang menjadi DPP sesuai yang tercantum dalam Undang – Undang Pajak Pertambahan Nilai No. 42 Tahun 2009 pasal 1, yaitu sebagai berikut:

1. Harga jual, adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta atau seharusnya diminta oleh penjual karena penyerahan Barang Kena Pajak, tidak

(23)

termasuk Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut menurut undang – undang dan potongan harga yang dicantumkan dalam Faktur Pajak.

2. Penggantian, adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta atau seharusnya diminta oleh pengusaha karena penyerahan Jasa Kena Pajak, ekspor Jasa Kena Pajak, atau ekspor Barang Kena Pajak tidak berwujud, tetapi tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut menurut undang – undang dan potongan harga yang dicantumkan dalam Faktur Pajak atau nilai berupa uang yang dibayar atau seharusnya dibayar oleh penerima jasa karena pemafaatan Jasa Kena Pajak dan/atau oleh penerima manfaat Barang Kena Pajak tidak berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean.

3. Nilai Impor, adalah nilai berupa uang yang menjadi dasar penghitungan bea masuk ditambah pungutan berdasarkan ketentuan dalam peraturan perundang – undangan yang mengatur mengenai kepabeanan dan cukai untuk impor Barang Kena Pajak, tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang dipungut menurut undang – undang.

4. Nilai Ekspor, adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta atau seharusnya diminta oleh eksportir.

5. Nilai lain yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan.

Penerapan DPP diatur dalam berbagai peraturan pelaksanaan undang – undang sebagai berikut:

1. Dalam hal penyerahan atau penjualan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak, DPP-nya adalah jumlah harga jual.

(24)

3. Dalam hal ekspor, yang menjadi DPP adalah nilai ekspor itu sendiri.

4. Atas kegiatan membangun sendiri bangunan permanen dengan luas keseluruhan paling sedikit 300 m2 (tiga ratus meter persegi) yang dilakukan oleh Orang Pribadi atau Badan tidak dalam lingkungan perusahaan atau pekerjaannya, DPP nya adalah 40% (empat puluh persen) dari jumlah biaya yang dikeluarkan untuk membangunnya, tidak termasuk harga perolehan tanah.

5. Dalam hal pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud atau Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean, DPP-nya adalah sebesar jumlah yang dibayarkan atau seharusnya dibayarkan kepada pihak yang menyerahkan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak tersebut.

6. Dalam hal pemakaian sendiri Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak, DPP-nya adalah harga jual atau penggantian, setelah dikurangi laba kotor.

7. Dalam hal maupun pemberian cuma – cuma Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak, DPP nya adalah harga jual atau penggantian, setelah dikurangi laba kotor. 8. Dalam hal penyerahan media rekaman suara atau gambar, DPP-nya adalah perkiraan

harga jual rata – rata.

9. Dalam hal penyerahan film cerita, DPP-nya adalah perkiraan hasil rata – rata per judul film.

10. Dalam hal penyerahan produk hasil tembakau, DPP-nya adalah sebesar harga jual eceran.

11. Untuk persediaan Barang Kena Pajak maupun aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan, yang masih tersisa pada saat pembubaran perusahaan, DPP-nya adalah harga pasar wajar.

(25)

12. Dalam hal penyerahan Barang Kena Pajak dari pusat ke cabang atau sebaliknya dan/atau penyerahan Barang Kena Pajak antarcabang, DPP-nya adalah harga pokok penjualan atau harga perolehan.

13. Untuk penyerahan Barang Kena Pajak melalui pedagang perantara, DPP-nya adalah harga yang disepakati antara pedagang perantara dengan pembeli.

14. Untuk penyerahan Barang Kena Pajak melalui juru lelang, DPP-nya adalah harga lelang.

15. Untuk penyerahan jasa biro perjalanan atau pariwisata maupun jasa pengiriman paket, DPP-nya adalah 10% (sepuluh persen) dari jumlah tagihan atau jumlah yang seharusnya ditagih.

II.2.5 Mekanisme Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai

Mekanisme pengenaan Pajak Pertambahan Nilai dapat diuraikan sebagai berikut: 1. Pada saat membeli atau memperoleh Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak,

maka Pengusaha Kena Pajak sebagai penjual akan memungut Pajak Pertambahan Nilai. Bagi pembeli, Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut oleh penjual tersebut merupakan pembayaran pajak dimuka dan disebut Pajak Masukan. Oleh karena itu, pembeli berhak menerima bukti pemungutan berupa Faktur Pajak.

2. Pada saat menjual atau menyerahkan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak kepada pihak lain, maka Pengusaha Kena Pajak penjual wajib memungut Pajak Pertambahan Nilai yang akan disebut Pajak Keluaran oleh penjual. Oleh karena itu, sebagai bukti pemungutan maka Pengusaha Kena Pajak penjual wajib membuat Faktur Pajak.

(26)

3. Apabila dalam satu Masa Pajak jumlah Pajak Keluaran lebih besar daripada jumlah Pajak Masukan, maka selisihnya harus disetorkan ke Kas Negara.

4. Apabila dalam satu Masa Pajak jumlah Pajak Keluaran lebih kecil daripada jumlah Pajak Masukan, maka selisihnya dapat direstitusi atau dikompensasikan ke Masa Pajak berikutnya.

5. Pelaporan penghitungan Pajak Pertambahan Nilai dilakukan setiap Masa Pajak dengan menggunakan Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai (SPT Masa PPN).

II.2.6 Tarif Pajak Pertambahan Nilai

Menurut Undang – Undang Pajak Pertambahan Nilai No. 42 Tahun 2009 pasal 7 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3), tarif pengenaan Pajak Pertambahan Nilai menganut sistem tarif tunggal yaitu:

1. Tarif Pajak Pertambahan Nilai adalah 10% (sepuluh persen).

2. Tarif Pajak Pertambahan Nilai sebesar 0% (nol persen) diterapkan atas: • Ekspor Barang Kena Pajak berwujud.

• Ekspor Barang Kena Pajak tidak berwujud. • Ekspor Jasa Kena Pajak.

Untuk kegiatan ekspor dikenakan tarif 0% yang dimaksudkan agar para eksportir di Indonesia semakin banyak melakukan ekspor ke Luar Negeri dan juga dapat semakin meningkatkan jumlah investor asing di Indonesia.

(27)

3. Tarif pajak sebagaimana dimaksud pada nomor 1 dapat diubah menjadi paling rendah 5% (lima persen) dan paling tinggi 15% (lima belas persen) yang perubahan tarifnya diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Rumus dari perhitungan Pajak Pertambahan Nilai yaitu : PPN Terutang = Tarif (10%) x Dasar Pengenaan Pajak (DPP)

II.2.7 Faktur Pajak

Dalam UU No. 8 Tahun 1983 yang sebagaimana telah diubah menjadi UU No. 42 Tahun 2009 Tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah pasal 1 menyebutkan: “Faktur Pajak adalah bukti pungutan pajak yang dibuat oleh Pengusaha Kena Pajak yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak atau penyerahan Jasa Kena Pajak.”

Faktur pajak adalah faktur yang dibuat oleh Pengusaha Kena Pajak yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak. Faktur pajak harus dibuat sekurang – kurangnya dalam rangkap 2 (dua), yaitu:

• Lembar ke-1 : Untuk pembeli Barang Kena Pajak atau penerima Jasa Kena Pajak sebagai bukti Pajak Masukan.

• Lembar ke-2 : Untuk Pengusaha Kena Pajak yang menerbitkan Faktur Pajak sebagai bukti Pajak Keluaran.

Apabila Faktur Pajak dibuat lebih dari rangkap 2 (dua), maka pada lembar ketiga dan seterusnya harus dinyatakan secara jelas pihak yang akan menerima Faktur Pajak tersebut, misalnya:

(28)

• Lembar ke-3 : Untuk Kantor Pelayanan Pajak dalam hal penyerahan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak dilakukan kepada pemungut Pajak Pertambahan Nilai.

Faktur Pajak harus memenuhi syarat formal maupun syarat material. Dimana yang dimaksud dengan syarat formal adalah Faktur Pajak paling sedikit harus memuat keterangan:

1. Nama, alamat, dan NPWP yang melakukan penyerahan atau pembelian Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak.

2. Jenis barang atau jasa, jumlah harga jual atau penggantian, dan potongan harga. 3. Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut.

4. Kode, nomor seri dan tanggal pembuatan Faktur Pajak. 5. Nama, jabatan, dan tanda tangan yang berhak.

Sedangkan yang dimaksud dengan syarat material yaitu bahwa barang yang diserahkan benar, baik secara nilai maupun jumlah. Demikian juga pengusaha yang melakukan dan yang menerima penyerahan Barang Kena Pajak tersebut sesuai dengan keterangan yang tercantum pada Faktur Pajak.

Dokumen – dokumen tertentu yang dapat dijadikan sebagai Faktur Pajak sepanjang dokumen tersebut memuat sekurang – kurangnya:

• Identitas yang berwenang menerbitkan dokumen. • Nama, alamat, NPWP penerima dokumen. • Jumlah satuan.

• Dasar Pengenaan Pajak. • Jumlah pajak terutang.

(29)

Pada prinsipnya Faktur Pajak harus dibuat pada saat penyerahan atau pada saat penerimaan pembayaran dalam hal pembayaran terjadi sebelum penyerahan. Dalam hal tertentu dimungkinkan saat pembuatan Faktur Pajak tidak sama dengan saat – saat tersebut, misalnya dalam hal terjadi penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak kepada bendahara pemerintah. Berdasarkan Undang – Undang Nomor 42 Tahun 2009 pasal 13 ayat (1a), faktur Pajak harus dibuat pada:

• Saat penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak.

• Saat penerimaan pembayaran dalam hal penerimaan pembayaran terjadi sebelum penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau sebelum penyerahan Jasa Kena Pajak.

• Saat penerimaan pembayaran termin dalam hal penyerahan sebagian tahap pekerjaan.

• Saat lain yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.

Penyetoran Faktur Pajak yaitu pada akhir bulan berikutnya setelah berakhirnya Masa Pajak dan sebelum SPT disampaikan. Sedangkan, pelaporannya dilakukan pada akhir bulan berikutnya setelah berakhirnya Masa Pajak.

II.2.8 Pajak Keluaran dan Pajak Masukan II.2.8.1 Pajak Keluaran

Pajak Keluaran yaitu Pajak Pertambahan Nilai yang wajib dipungut oleh Pengusaha Kena Pajak yang melakukan kegiatan penyerahan Barang Kena Pajak, penyerahan Jasa Kena Pajak, ataupun ekspor Barang Kena Pajak. Apabila dalam suatu Masa Pajak, Pajak Keluaran lebih besar daripada Pajak Masukan, maka selisihnya merupakan Pajak Pertambahan Nilai yang wajib disetorkan oleh Pengusaha Kena Pajak

(30)

kepada pemerintah. Sedangkan, apabila dalam suatu Masa Pajak, Pajak Masukan yang dikreditkan lebih besar daripada Pajak Keluaran, maka selisihnya merupakan kelebihan pajak yang dapat dikompensasikan ke Masa Pajak berikutnya.

II.2.8.2 Pajak Masukan

Pajak Masukan yaitu Pajak Pertambahan Nilai yang harus dikreditkan oleh Pengusaha Kena Pajak karena perolehan Barang Kena Pajak dan/atau perolehan Jasa Kena Pajak dan/atau pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud dari luar Daerah Pabean dan/atau pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean dan/atau impor Barang Kena Pajak.

Pengkreditan Pajak Masukan sebagai berikut:

1. Pajak Masukan dalam suatu Masa Pajak dapat dikreditkan dengan Pajak Keluaran untuk Masa Pajak yang sama (Pasal 9 ayat (2) Undang – Undang PPN). Pembeli Barang Kena Pajak, penerima Jasa Kena Pajak, pengimpor Barang Kena Pajak, pihak yang memanfaatkan Barang Kena Pajak tidak berwujud dari luar Daerah Pabean, atau pihak yang memanfaatkan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean wajib membayar Pajak Pertambahan Nilai dan berhak menerima bukti pungutan pajak. Pajak Pertambahan Nilai yang seharusnya sudah dibayar tersebut merupakan Pajak Masukan bagi pembeli Barang Kena Pajak, penerima Jasa Kena Pajak, pengimpor Barang Kena Pajak, pihak yang memanfaatkan Barang Kena Pajak tidak berwujud dari luar Daerah Pabean, atau pihak yang memanfaatkan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean yang berstatus sebagai Pengusaha Kena Pajak. Pajak

(31)

Masukan wajib dibayar tersebut oleh Pengusaha Kena Pajak dapat dikreditkan dengan Pajak Keluaran yang dipungutnya dalam Masa Pajak yang sama.

2. Bagi Pengusaha Kena Pajak yang belum berproduksi sehingga belum melakukan penyerahan yang terutang pajak, Pajak Masukan atas perolehan dan/atau impor barang modal dapat dikreditkan. Pada dasarnya Pajak Masukan dikreditkan dengan Pajak Keluaran pada Masa Pajak yang sama. Namun, bagi Pengusaha Kena Pajak yang belum berproduksi, Pajak Masukan atas perolehan dan/atau impor barang modal diperkenankan untuk dikreditkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2), kecuali Pajak Masukan sebagaimana dimaksud dalam pasal 9 ayat (8).

3. Pajak Masukan yang dikreditkan harus menggunakan Faktur Pajak yang memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam pasal 13 ayat (5) dan ayat (9).

4. Apabila dalam suatu Masa Pajak, Pajak Keluaran lebih besar daripada Pajak Masukan, selisihnya merupakan Pajak Pertambahan Nilai yang harus disetor oleh Pengusaha Kena Pajak.

5. Apabila dalam suatu Masa Pajak, Pajak Masukan yang dapat dikreditkan lebih besar daripada Pajak Keluaran, selisihnya merupakan kelebihan pajak yang dikompensasikan ke Masa Pajak berikutnya.

6. Atas kelebihan Pajak Masukan sebagaimana dimaksud pada angka (5) dapat diajukan permohonan pengembalian pada akhir tahun buku. Kelebihan Pajak Masukan dalam suatu Masa Pajak sesuai dengan ketentuan pada pasal 9 ayat (4) dikompensasikan pada Masa Pajak berikutnya. Namun, apabila kelebihan Pajak Masukan terjadi pada Masa Pajak akhir tahun buku, kelebihan Pajak Masukan tersebut dapat diajukan permohonan pengembalian (restitusi).

(32)

Pajak Masukan yang dapat dikreditkan tetapi belum dikreditkan dengan Pajak Keluaran pada Masa Pajak yang sama, dapat dikreditkan pada Masa Pajak berikutnya paling lama 3 (tiga) bulan setelah berakhirnya Masa Pajak yang bersangkutan sepanjang belum dibebankan sebagai biaya dan belum dilakukan pemeriksaan.

Pengkreditan Pajak Masukan tidak dapat diberlakukan bagi pengeluaran untuk: 1. Perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak sebelum pengusaha dikukuhkan

sebagai Pengusaha Kena Pajak.

2. Perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang tidak mempunyai hubungan langsung dengan kegiatan usaha.

3. Perolehan dan pemeliharaan kendaraan bermotor berupa sedan dan station wagon, kecuali merupakan barang dagangan atau disewakan.

4. Pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud atau pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean sebelum pengusaha dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak.

5. Perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang Faktur Pajaknya tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 13 ayat (5) atau ayat (9) atau tidak mencantumkan nama, alamat, dan Nomor Pokok Wajib Pajak pembeli Barang Kena Pajak atau penerima Jasa Kena Pajak.

6. Pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud atau pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean yang Faktur Pajaknya tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 13 ayat (6).

7. Perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang Pajak Masukannya ditagih dengan penerbitan ketetapan pajak.

(33)

8. Perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang Pajak Masukannya tidak dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai, yang ditemukan pada waktu dilakukan pemeriksaan.

9. Perolehan Barang Kena Pajak selain barang modal atau Jasa Kena Pajak sebelum Pengusaha Kena Pajak berproduksi sebagaimana dimaksud pada pasal 9 ayat (2a).

II.2.9 Saat dan Tempat Terutang Pajak Pertambahan Nilai II.2.9.1 Saat Terutang Pajak Pertambahan Nilai

Saat terutang Pajak Pertambahan Nilai terjadi pada saat sebagai berikut: 1. Penyerahan Barang Kena Pajak

• Penyerahan Barang Kena Pajak Berwujud Untuk Barang Bergerak, yaitu:

− Saat Barang Kena Pajak tersebut langsung diserahkan kepada pembeli.

− Saat Barang Kena Pajak tersebut diserahkan langsung kepada pihak ketiga untuk dan atas nama pembeli.

− Saat Barang Kena Pajak tersebut diserahkan kepada juru kirim atau pengusaha.

Untuk Barang Tidak Bergerak, yaitu:

− Mana yang lebih dulu terjadi penyerahan hak untuk menggunakan atau menguasai Barang Kena Pajak tersebut, baik secara hukum atau nyata kepada pembeli.

(34)

Saat terutangnya adalah pada saat mana yang terjadi lebih dahulu pada peristiwa di bawah ini:

− Saat harga penyerahan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dinyatakan sebagai piutang oleh Pengusaha Kena Pajak.

− Saat harga penyerahan Barang Tidak Kena Pajak Tidak Berwujud ditagih oleh Pengusaha Kena Pajak.

− Saat harga penyerahan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud diterima pembayarannya, baik sebagian atau seluruhnya, oleh Pengusaha Kena Pajak. − Saat ditandatangani kontrak atau perjanjian oleh Pengusaha Kena Pajak,

dalam hal pengakuan piutang, waktu penagihan dan pembayaran tidak diketahui.

2. Penyerahan Jasa Kena Pajak

• Untuk penyerahan jasa pemborong bangunan atau barang tidak bergerak: − Saat pembayaran per termin, jika bangunan belum diserahkan.

− Saat bangunan diserahkan, mana yang lebih dahulu dengan pembayaran. • Untuk penyerahan Jasa Kena Pajak selain pemborong bangunan:

− Saat mulai tersedianya fasilitas atau kemudahan untuk dipakai, baik sebagian atau seluruhnya.

− Saat dilakukan penagihan pembangunan atau penggantian.

− Saat pembayaran, apabila pembayaran diterima sebelum penyerahan Jasa Kena Pajak dilakukan.

(35)

3. Impor Barang Kena Pajak

Saat terutangnya adalah pada saat Barang Kena Pajak tersebut dimasukkan di dalam Daerah Pabean.

4. Ekspor Barang Kena Pajak

Saat terutangnya adalah pada saat Barang Kena Pajak tersebut dikeluarkan dari Daerah Pabean.

5. Pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dan/atau Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean ke dalam Daerah Pabean.

Saat terutangnya adalah pada saat Orang Pribadi atau Badan mulai memanfaatkan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dan/atau Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean ke dalam Daerah Pabean. Dan dalam Peraturan Menteri Keuangan No. 40/PMK.05/2010 Tentang Tata Cara Perhitungan, Pemungutan, Penyetoran, dan Pelaporan PPN atas Pemanfaatan BKP Tidak Berwujud dan/atau Jasa Kena Pajak dari Luar Daerah Pabean, dinyatakan saat mulai pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dan/atau Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean, yaitu saat yang diketahui terjadi lebih dahulu dari peristiwa di bawah ini:

• Saat secara nyata digunakan oleh pihak yang memanfaatkannya. • Saat dinyatakan sebagai utang oleh pihak yang memanfaatkannya. • Saat ditagih oleh pihak yang menyerahkannya.

• Saat dibayar, baik sebagian maupun seluruhnya, oleh pihak yang memanfaatkannya.

(36)

• Dalam hal saat – saat tersebut tidak diketahui, maka saat dimulainya pemanfaatan adalah tanggal ditandatanganinya kontrak/perjanjian atau saat lain yang ditetapkan Dirjen Pajak.

II.2.9.2 Tempat Terutang Pajak Pertambahan Nilai

Tempat terutang Pajak Pertambahan Nilai adalah sebagai berikut:

• Atas penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak adalah tempat tinggal (Orang Pribadi) atau tempat kedudukan (Badan) dan tempat kegiatan usaha dilakukan, yaitu tempat pengusaha dikukuhkan atau seharusnya dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak.

• Atas impor barang adalah tempat dimasukkannya Barang Kena Pajak ke dalam Daerah Pabean.

• Atas pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dan/atau Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean adalah di tempat tinggal (orang pribadi) atau tempat kedudukan (badan).

• Atas kegiatan membangun sendiri yang dilakukan tidak dalam kegiatan usaha atau pekerjaannya oleh bukan Pengusaha Kena Pajak adalah di tempat bangunan didirikan.

• Atas ekspor Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak adalah di tempat tinggal (Orang Pribadi) atau tempat kedudukan (Badan) dan tempat kegiatan usaha dilakukan, yaitu di tempat Pengusaha dikukuhkan atau seharusnya dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak.

(37)

• Dirjen Pajak dapat menentukan tempat lain selain tempat di atas sebagai tempat pajak terutang atas ekspor, baik atas permohonan tertulis dari Pengusaha Kena Pajak atau jabatan.

• Untuk Pengusaha Kena Pajak Orang Pribadi yang tidak melakukan kegiatan usaha (semata – mata hanya untuk tempat tinggal), maka Pajak Pertambahan Nilai hanya terutang di tempat kegiatan usaha, sehingga pengukuhan sebagai Pengusaha Kena Pajak hanya dilakukan di Kantor Pelayanan Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat kegiatan usaha.

II.2.9.3 Pemusatan Tempat Terutang Pajak Pertambahan Nilai

• Apabila Pengusaha Kena Pajak memiliki tempat kegiatan usaha satu atau lebih tempat kegiatan usaha di luar tempat tinggal atau tempat kedudukan, maka setiap tempat tersebut merupakan tempat terutangnya pajak, dan Pengusaha Kena Pajak dimaksud wajib melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak.

• Apabila Pengusaha Kena Pajak memiliki tempat kegiatan usaha lebih dari satu tempat pajak terutang yang berada di wilayah kerja satu kantor Dirjen Pajak, maka untuk seluruh tempat pajak terutang tersebut, Pengusaha Kena Pajak memilih salah satu tempat kegiatan usaha sebagai tempat pajak terutang yang bertanggungjawab untuk seluruh tempat kegiatan usahanya.

• Apabila Pengusaha Kena Pajak terutang pajaknya pada lebih dari satu tempat kegiatan usaha, maka Pengusaha Kena Pajak tersebut dalam pemenuhan kewajiban

(38)

perpajakannya dapat mengajukan permohonan secara tertulis kepada Dirjen Pajak untuk memilih satu tempat atau lebih sebagai tempat terutangnya pajak.

II.2.10 Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai

Menurut Undang – Undang Nomor 16 Tahun 2009 Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan pasal 1, “Surat Pemberitahuan Masa adalah Surat Pemberitahuan untuk suatu Masa Pajak.”

Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai berfungsi sebagai sarana bagi Pengusaha Kena Pajak untuk mempertanggungjawabkan penghitungan jumlah Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang terutang dan melaporkan tentang:

• Pengkreditan Pajak Masukan terhadap Pajak Keluaran.

• Pembayaran atau pelunasan pajak yang telah dilaksanakan sendiri dan/atau melalui pihak lain dalam suatu Masa Pajak.

Pengusaha yang berstatus sebagai pemungut Pajak Pertambahan Nilai juga diwajibkan melaporkan Pajak Pertambahan Nilai yang telah dipungut dengan menggunakan formulir Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai untuk Pemungut Pajak Pertambahan Nilai.

II.2.10.1 Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai 1107

Setiap Pengusaha Kena Pajak wajib mengisi dan menyampaikan Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai bentuk Formulir 1107, khusus bagi Pengusaha Kena Pajak yang menghasilkan Barang Kena Pajak yang tergolong mewah,

(39)

dalam hal Pengusaha Kena Pajak yang bersangkutan melakukan penyerahan Barang Kena Pajak yang tergolong mewah maka kolom Pajak Penjualan Barang Mewah pada Formulir 1107A juga harus diisi.

Berdasarkan Peraturan Direktur Jendral Pajak PER-146/PJ/2006, Formulir Induk Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai dan Lampirannya dalam bentuk formulir kertas (hard copy) dan Aplikasi Pengisian Surat Pemberitahuan Masa (e-SPT) dapat diperoleh dengan cara:

1. Disediakan secara cuma – cuma di Kantor Pelayanan Pajak atau Kantor Penyuluhan dan Pengamatan Potensi Perpajakan dalam wilayah KPP.

2. Digandakan atau diperbanyak sendiri oleh Pengusaha Kena Pajak.

3. Di – download di Home Page Direktorat Jendral Pajak, dengan alamat http://www.pajak.go.id.

4. Disediakan oleh Perusahaan Penyedia Jasa Aplikasi (ASP) yang telah ditunjuk oleh Direktorat Jendral Pajak, dalam hal Surat Pemberitahuan disampaikan dengan cara elektronik.

Tata Cara Penyetoran PPN atau PPN dan PPnBM, Pelaporan dan Penyampaian Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai 1107

Berdasarkan Peraturan Direktur Jendral Pajak PER-146/PJ/2006, tata cara penyetoran PPN atau PPN dan PPnBM, pelaporan dan penyampaian Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai 1107 adalah sebagai berikut:

1. Batas waktu penyetoran

PPN atau PPN dan PPnBM yang terutang dalam satu Masa Pajak, harus disetor paling lambat tanggal 15 (lima belas) hari setelah Masa Pajak berakhir. Dalam hal

(40)

tanggal jatuh tempo penyetoran bertepatan dengan hari libur, maka penyetoran dapat dilakukan pada hari kerja berikutnya.

2. Bentuk Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai • Formulir kertas

• Data elektronik (hard copy)

− Dalam bentuk media elektronik − Melalui e-Filing

3. Batas waktu pelaporan Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai

Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai harus disampaikan setiap bulan paling lambat 20 (dua puluh) hari setelah Masa Pajak berakhir. Dalam hal hari ke-20 adalah hari libur, maka Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai harus disampaikan pada hari kerja sebelum hari libur.

4. Tempat pelaporan Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai • Kantor Pelayanan Pajak

• Kantor Penyuluhan dan Pengamatan Potensi Perpajakan dalam wilayah KPP 5. Cara pelaporan dan penyampaian Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan

Nilai

• Manual, yaitu:

− Disampaikan langsung ke KPP atau KP4, dan atas penyampaian Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai tersebut Pengusaha Kena Pajak akan menerima tanda bukti penerimaan

− Disampaikan melalui Kantor Pos secara tercatat atau melalui perusahaan jasa ekspedisi atau melalui perusahaan jasa kurir dan tanda bukti serta tanggal

(41)

pengiriman Surat Pemberitahuan Masa dianggap sebagai tanda bukti dan tanggal penerimaan Surat Pemberitahuan Masa, sepanjang Surat Pemberitahuan Masa tersebut lengkap.

• Elektronik yaitu sistem online yang real time melaui satu atau beberapa perusahaan Penyedia Jasa Aplikasi (ASP) yang ditunjuk oleh Direktur Jendral Pajak, yang tata cara penyampaiannya diatura lebih lanjut dengan Peraturan Direktur Jendral Pajak Nomor KEP-05/PJ/2005 tentang Tata Cara Penyampaian Surat Pemberitahuan Secara Elektronik (e-Filing) Melalui Perusahaan Penyedia Jasa Aplikasi (ASP).

Dalam hal Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai disampaikan dalam bentuk data elektronik, Induk Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai harus tetap disampaikan dalam bentuk formulir kertas (hard copy), ditandatangani dan disampaikan secara manual.

II.2.10.2 Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai 1111

Setiap Pengusaha Kena Pajak wajib mengisi dan menyampaikan Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai 1111 ini, kecuali Pengusaha Kena Pajak yang menggunakan pedoman penghitungan pengkreditan Pajak Masukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (7) dan ayat (7a) Undang – Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang – Undang Nomor 42 Tahun 2009 (Undang – Undang Pajak Pertambahan Nilai). Khusus bagi Pengusaha Kena Pajak yang menghasilkan Barang Kena Pajak yang tergolong mewah,

(42)

dalam hal Pengusaha Kena Pajak yang bersangkutan melakukan penyerahan Barang Kena Pajak yang tergolong mewah maka kolom PPnBM pada masing – masing formulir juga harus diisi.

Tata Cara Perolehan, Pengisian dan Pencetakan Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai

Berdasarkan Peraturan Direktur Jendral Pajak PER-44/PJ/2010, tata cara perolehan, pengisian dan pencetakan Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai 1111 adalah sebagai berikut:

1. Formulir induk Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai 1111 beserta Lampirannya dalam bentuk formulir kertas (hard copy) dan Aplikasi Pengisian Surat Pemberitahuan (e-SPT) dapat diperoleh dengan cara:

• Diambil di Kantor Pelayanan Pajak atau Kantor Pelayanan, Penyuluhan dan Konsultasi Perpajakan.

• Digandakan atau diperbanyak sendiri oleh Pengusaha Kena Pajak.

• Diunduh di laman Direktorat Jendral Pajak, dengan alamat http://www.pajak.go.id selanjutnya dapat dimanfaatkan/digandakan.

• Disediakan oleh Pengusaha Penyedia Jasa Aplikasi yang telah ditunjuk oleh Direktorat Jendral Pajak (khusus e-SPT).

2. Pengusaha Kena Pajak dapat mengisi Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai 1111 dan Lampirannya dalam bentuk formulir kertas (hard copy) dengan cara: • Ditulis dengan tangan menggunakan huruf balok (bukan huruf sambung). • Diketik dengan menggunakan mesin ketik.

(43)

3. Pengisian data pada Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai 1111 dalam bentuk formulir kertas (hard copy) juga harus memperhatikan hal – hal sebagai berikut:

• Pengisian data pada Induk dan Lampiran Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai tidak boleh melebihi baris dan/atau kolom yang telah disediakan dan harus dituliskan dalam satu baris.

• Pengisian Nomor Pokok Wajib Pajak, Kode dan Nomor Seri Faktur Pajak, nomor Dokumen Tertentu, dan nomor Nota Retur/Nota Pembatalan harus dituliskan secara lengkap dan tidak boleh disingkat. Untuk pengisian Surat Pemberitahuan dengan menggunakan tulisan tangan atau mesin ketik, Pengusaha Kena Pajak diperbolehkan mengisi data Nomor Pokok Wajib Pajak pada kolom atau baris tanpa menggunakan tanda baca, kecuali untuk identitas Nomor Pokok Wajib Pajak yang sudah disediakan formatnya pada formulir.

4. Penggunaan formulir Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai 1111 dalam bentuk PDF mengikuti ketentuan sebagai berikut:

• Pengusaha Kena Pajak dapat mencetak/print formulir Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai 1111 langsung dari file PDF yang telah disediakan, selama memperhatikan beberapa ketentuan sebagai berikut:

a. Dicetak dengan menggunakan kertas folio/F4 dengan berat minimal 70 gram. b. Pengaturan ukuran kertas pada printer menggunakan kertas (paper size) 8,5 x

13 inci (215 x 330 mm).

(44)

• Formulir Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai 1111 dalam bentuk file PDF terlebih dahulu dicetak, selanjutnya Pengusaha Kena Pajak mengisi formulir Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai 1111 tersebut, menandatanganinya kemudian menyampaikannya ke Kantor Pelayanan Pajak atau Kantor Pelayanan, Penyuluhan dan Konsultasi Perpajakan.

Tata Cara Penyetoran PPN atau PPN dan PPnBM, Pelaporan dan Penyampaian Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai 1111

Berdasarkan Peraturan Direktur Jendral Pajak PER-44/PJ/2010, tata cara penyetoran PPN atau PPN dan PPnBM, pelaporan dan penyampaian Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai 1111 adalah sebagai berikut:

1. Batas waktu penyetoran PPN atau PPN dan PPnBM

• PPN atau PPN dan PPnBM yang terutang dalam satu Masa Pajak, harus disetor paling lama akhir bulan berikutnya setelah berakhirnya Masa Pajak dan sebelum Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai 1111 disampaikan.

• Dalam hal tanggal jatuh tempo penyetoran bertepatan dengan hari libur termasuk hari Sabtu atau hari libur nasional, penyetoran dapat dilakukan pada hari kerja berikutnya.

2. Batas waktu pelaporan Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai 1111 • Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai 1111 harus disampaikan

paling lama akhir bulan berikutnya setelah berakhirnya Masa Pajak.

• Dalam hal batas akhir pelaporan bertepatan dengan hari libur termasuk hari Sabtu atau hari libur nasional, pelaporan Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai 1111 dapat dilakukan pada hari kerja berikutnya.

(45)

3. Tempat pelaporan Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai 1111 • Kantor Pelayanan Pajak.

• Kantor Pelayanan, Penyuluhan dan Konsultasi Perpajakan.

• Tempat lain yang ditetapkan dengan Peraturan Direktur Jendral Pajak.

4. Cara pelaporan dan penyampaian Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai 1111

• Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai 1111 dapat disampaikan oleh Pengusaha Kena Pajak dengan cara:

a. Manual, yaitu:

• Disampaikan langsung ke Kantor Pelayanan Pajak, Kantor Pelayanan, Penyuluhan dan Konsultasi Perpajakan, atau tempat lain yang ditetapkan dengan Peraturan Direktur Jendral Pajak, dan atas penyampaian Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai 1111 tersebut Pengusaha Kena Pajak akan menerima tanda bukti penerimaan.

• Disampaikan melalui pos, perusahaan jasa ekspedisi atau perusahaan jasa kurir, dengan bukti surat. Bukti pengiriman surat tersebut dianggap sebagai tanda bukti dan tanggal penerimaan Surat Pemberitahuan, sepanjang Surat Pemberitahuan tersebut lengkap.

b. Elektronik (e-Filing), yaitu melalui sistem online yang real time melalui satu atau beberapa perusahaan Penyedia Jasa Aplikasi yang ditunjuk oleh Direktur Jendral Pajak.

• Pelaporan dan penyampaian Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai 1111 secara manual dapat dilakukan untuk Surat Pemberitahuan Masa Pajak

(46)

Pertambahan Nilai 1111 dalam bentuk formulir kertas (hard copy) atau dalam bentuk media elektronik.

• Dalam hal Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai 1111 disampaikan dalam bentuk media elektronik, induk Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai 1111 harus tetap disampaikan dalam bentuk formulir kertas (hard copy), ditandatangani dan disampaikan secara manual.

• Dalam hal Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai 1111 disampaikan secara e-Filing, induk Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai 1111 tidak perlu disampaikan secara manual dalam bentuk formulir kertas (hard copy).

II.2.11 Batas Waktu Penyetoran dan Penyampaian Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 & Peraturan Menteri Keuangan Nomor 184/PMK.03/2007 jo. 80/PMK.03/2010, batas waktu penyetoran dan penyampaian Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai, yaitu sebagai berikut:

1. Pajak Pertambahan Nilai atas impor.

• Batas waktu penyetoran: bersamaan dengan saat pembayaran Bea Masuk dan dalam hal Bea Masuk ditunda atau dibebaskan. Pajak Pertambahan Nilai atas impor harus dilunasi pada saat penyelesaian dokumen pemberitahuan pabean impor.

(47)

2. Pajak Pertambahan Nilai atas impor yang dipungut oleh Direktorat Jendral Bea dan Cukai.

• Batas waktu penyetoran: 1 (satu) hari kerja setelah dilakukan pemungutan pajak. • Batas waktu penyampaian Surat Pemberitahuan: secara mingguan, paling lama

pada hari kerja terakhir minggu berikutnya.

3. Pajak Pertambahan Nilai yang terutang dalam satu Masa Pajak.

• Batas waktu penyetoran: akhir bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir dan sebelum Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai disampaikan. • Batas waktu penyampaian Surat Pemberitahuan: akhir bulan berikutnya setelah

Masa Pajak berakhir.

4. Pajak Pertambahan Nilai atas kegiatan membangun sendiri harus disetor oleh orang pribadi dan badan yang melakukan kegiatan membangun sendiri.

• Batas waktu penyetoran: tanggal 15 (lima belas) bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir.

• Batas waktu penyampaian Surat Pemberitahuan: akhir bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir.

5. Pajak Pertambahan Nilai yang pemungutannya dilakukan oleh pemungut Pajak Pertambahan Nilai selain Bendahara Pemerintah atau instasi Pemerintah yang ditunjuk.

• Batas waktu penyetoran: tanggal 15 (lima belas) bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir.

• Batas waktu penyampaian Surat Pemberitahuan: akhir bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir.

(48)

6. Pajak Pertambahan Nilai yang pemungutannya dilakukan oleh Bendahara Pengeluaran sebagai Pemungut Pajak Pertambahan Nilai.

• Batas waktu penyetoran: tanggal 7 (tujuh) bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir.

• Batas waktu penyampaian Surat Pemberitahuan: akhir bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir.

7. Pajak Pertambahan Nilai atas pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dan/atau Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean harus disetor oleh Orang Pribadi atau Badan yang memanfaatkan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dan/atau Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean.

• Batas waktu penyetoran: tanggal 15 (lima belas) bulan berikutnya setelah saat terutangnya pajak.

• Batas waktu penyampaian Surat Pemberitahuan: akhir bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir.

8. Pajak Pertambahan Nilai yang pemungutannya dilakukan oleh Pejabat Penandatanganan Surat Perintah Membayar sebagai Pemungut Pajak Pertambahan Nilai.

• Batas waktu penyetoran: pada hari yang sama dengan pelaksanaan pembayaran kepada Pengusaha Kena Pajak Rekanan Pemerintah melalui Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara.

• Batas waktu penyampaian Surat Pemberitahuan: akhir bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir.

(49)

II.2.12 Perubahan Undang – Undang Pajak Pertambahan Nilai

Peraturan mengenai Pajak Pertambahan Nilai diatur dalam UU No. 8 Tahun 1983 yang kemudian direvisi menjadi UU No. 11 Tahun 1994, lalu UU No. 18 Tahun 2000, dan yang berlaku saat ini yaitu UU No. 42 Tahun 2009. Berikut ini perubahan – perubahan yang terjadi dalam UU No. 42 Tahun 2009 yaitu sebagai berikut:

1. Objek Pajak.

Ekspor Jasa Kena Pajak dan/atau Barang Kena Pajak Tidak Berwujud. Undang – Undang PPN yang sebelumnya berlaku hanya mengenal istilah Ekspor Barang Kena Pajak. Untuk menetralkan pembebanan Pajak Pertambahan Nilai dan menambah daya saing untuk kegiatan jasa yang dilakukan oleh pengusaha Indonesia di luar Daerah Pabean dan pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari Indonesia di luar Daerah Pabean, atas ekspor Jasa Kena Pajak dan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud akan dikenakan Pajak Pertambahan Nilai dengan tarif 0%.

2. Bukan Objek.

• Penyerahan Barang Kena Pajak dalam Rangka Restrukturisasi Usaha.

Untuk membantu cash flow perusahaan dan memberikan kemudahan administrasi, maka pengalihan Barang Kena Pajak yang dilakukan dalam rangka penggabungan, peleburan, pemekaran, pemecahan, dan pengambilalihan usaha, akan tidak dikenakan Pajak Pertambahan Nilai, dengan syarat pihak yang melakukan pengalihan dan yang menerima pengalihan adalah Pengusaha Kena Pajak.

(50)

Untuk lebih memberikan kepastian hukum, penetapan barang dan jasa yang tidak dikenakan Pajak Pertambahan Nilai yang selama ini diatur dengan peraturan pemerintah dinaikkan menjadi batang tubuh Undang – Undang.

• Daging, telur, susu, sayur – sayuran dan buah – buahan.

Dalam rangka pemenuhan gizi rakyat Indonesia dengan cara membantu tersedianya sumber gizi yang harganya terjangkau maka daging segar, telur yang belum diolah, susu perah, sayuran segar dan buah – buahan segar ditetapkan sebagai barang kebutuhan pokok yang tidak dikenakan Pajak Pertambahan Nilai. • Barang dan Jasa yang telah dikenakan Pajak Daerah.

Untuk menghindari pengenaan pajak berganda terhadap suatu objek yang sama maka objek – objek tertentu yang sudah dikenakan pajak daerah dikecualikan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai, yaitu:

− Barang hasil pertambangan galian C UU PDRD.

− Makanan dan minuman yang disajikan di hotel, restoran, rumah makan, warung dan sejenisnya.

− Jasa perhotelan. − Jasa boga/katering. − Jasa keuangan.

Untuk memberikan perlakuan yang sama, jasa keuangan yang dilakukan oleh siapapun, termasuk perbankan syariah, ditetapkan sebagai buka Jasa Kena Pajak, sehingga atas penyerahannya tidak dikenakan Pajak Pertambahan Nilai. Dengan demikian, tidak ada perbedaan perlakuan Pajak Pertambahan

(51)

Nilai bagi Wajib Pajak yang berbeda status tetapi melakukan kegiatan usaha yang sama.

− Pasokan Barang Hasil Pertambangan Umum sebagai Bahan Baku untuk Industri Energi Dalam Negeri.

Untuk menjamin ketersediaan bahan baku untuk industri energi Dalam Negeri, barang hasil pertambangan umum yang diambil langsung dari sumbernya, termasuk batubara, tetap dikategorikan sebagai barang yang tidak dikenakan Pajak Pertambahan Nilai.

3. Faktur Pajak dan Saat Pembuatannya.

Beberapa hal berkenaan dengan penerbitan Faktur Pajak diberikan kemudahan, kesederhanaan dan kepastian hukum dalam Undang – Undang Pajak Pertambahan Nilai, yaitu:

• Hanya akan dikenal satu jenis Faktur Pajak. Tidak ada lagi Faktur Pajak Standard dan Faktur Pajak Sederhana.

• Saat pembuatan Faktur Pajak.

Dalam rangka meringankan beban administrasi Wajib Pajak maka saat pembuatan Faktur Pajak adalah pada saat terutangnya pajak, yaitu pada saat penyerahan, atau dalam hal pembayaran mendahului penyerahan maka Faktur Pajak dibuat pada saat pembayaran. Dengan pengaturan ini, Wajib Pajak tidak perlu lagi membuat faktur penjualan (invoice) yang berbeda dengan Faktur Pajak.

(52)

4. Pengkreditan Pajak Masukan.

• Untuk mencegah penggunaan Faktur Pajak yang tidak dapat dipertanggungjawabkan, dalam Undang – Undang Pajak Pertambahan Nilai yang baru dipertegas bahwa selain pemenuhan syarat formal Faktur Pajak, maka suatu Pajak Masukan untuk dapat dikreditkan harus juga memenuhi syarat material, yaitu adanya penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak sesuai dengan yang tercantum dalam Faktur Pajak.

• Pengusaha yang belum berproduksi tetap dapat mengkreditkan Pajak Pertambahan Nilai yang telah dibayar atas pembelian barang modal.

• Namun demikian, apabila dalam kurun waktu tertentu pengusaha yang bersangkutan ternyata gagal berproduksi maka atas Pajak Pertambahan Nilai yang telah dikreditkan dan telah dimintakan pengembaliannya wajib dibayar kembali.

5. Deemed Pajak Masukan

Untuk lebih memberikan kepastian hukum dan memberikan kemudahan kepada Pengusaha Kena Pajak tertentu yang mengalami kesulitan mengikuti mekanisme Pajak Keluaran – Pajak Masukan secara normal, atau mengalami kesulitan dalam menghitung Pajak Pertambahan Nilai yang harus dibayar, misalnya Pedagang Eceran atau petani kecil, maka dalam Undang – Undang Pajak Pertambahan Nilai yang baru diatur mengenai penggunaan deemed Pajak Masukan, yaitu pedoman untuk menghitung besarnya Pajak Masukan yang dapat dikreditkan oleh Pengusaha Kena Pajak berdasarkan:

Referensi

Dokumen terkait

mahasiswa diharapkan memiliki kecakapan dan kemampuan untuk mengambil keputusan yang tepat dan profesional berdasarkan hasil analisis terhadap informasi dan data,

Untuk daerah pedesaan yang jumlah penduduknya masih relatif sedikit, permasalahan sampah tidak begitu terasa karena sampah yang dihasilkan masih dapat

Parfum Laundry Aceh Utara Beli di Toko, Agen, Distributor Surga Pewangi Laundry Terdekat/ Dikirim dari Pabrik BERIKUT INI JENIS PRODUK NYA:.. Chemical Untuk Keperluan

lima ribu diterimanya saat tanda tangan aqad dan dibelanjakan dalam waktu dua bulan, dan lima ribu sisanya diterima setelah enam bulan, maka ia mengambilnya dan membelanjakannya

Ucapan terima kasih juga ditujukan kepada para informan penulis, yakni Juanico Soares, Yustina Soares, Aniceto Benigno Soares, dan Constantino Soares yang telah dengan

sehingga terkadang barang hasil produksi kurang memenuhi standar untuk dijual masih dimasukan kedalam kategori layak jual, dan belum adanya modul shipping dan

yaitu faktor keluarga dan faktor individu. Faktor keluarga disebabkan oleh kurangnya kasih sayang orang tua, kurangnya perhatian yang diberikan oleh orang tua

Jaringan syaraf tiruan berfungsi untuk menentukan apakah asap yang terdeteksi adalah asap kebakaran hutan atau bukan melalui karakteristik tegangan setiap asap