DAMPAK KEBERADAAN KERETA API JALUR BANYUMAS-WONOSOBO
B. Dampak di Bidang Sosial 1.Mobilitas Sosial 1.Mobilitas Sosial
2. Perubuahan sosial setelah beroperasinya kereta api
Sejak abad ke-18 sampai awal abad ke-20 muncul golongan sosial baru sebagai pendukung kuat kebudayaan campuran (Belanda-Jawa) di daerah jajahan Hindia Belanda. Hal itu disebabkan oleh kuatnya pengaruh Belanda di pulau Jawa. Ada lima golongan masayarakat baru diatas desa zaman kolonial, (a) golongan pamong praja bangsa Belanda, (b) golongan pegawai Indoensia baru, (c) golongan pengusaha partikelir Eropa, (d) golongan akademisi Indonesia (sarjana hukum, insinyur, guru, dokter, ahli pertanian dan ilmu-ilmu lainnya) (e) golongan menengah Indonesia, yaitu orang Indonesia yang mempunyai usaha di
bidang kerajinan dan perniagaan.11
Keberadaan jalur kereta api di Jawa membuat percampuran budaya ini semakin meluas bahkan sampai di pedalaman Jawa seperti wilayah karesidenan Banyumas dan Wonosobo. Percampuran budaya ini tidak hanya didominasi oleh orang Eropa saja bahkan beberapa orang Arab dan Cina berbaur dengan
10 Neil J. Smelser, Struktur Sosial dan Mobilitas Dalam Pembangunan Ekonomi, Yogyakarta, Nur Cahaya, 1984,hlm.32
11Djoko Soekiman, Kebudayaan Indis Dari Zaman Kompeni Sampai Revolusi, Depok, Komunitas Bambu, 2011. hlm.11
masyarakat lokal karena pada saat itu kedua etnis ini memiliki peranan yang cukup penting dalam kehidupan ekonomi di Banyumas.
Menurut Duyvendak Percampuran ini seolah usaha pendobrakan kekebalan kebudayaan tradisional desa untuk mencapai sesuatu yang
benar-benar baru.12Meskipun pendobrakan yang terjadi ketika kedatangan orang-orang
asing tersebut tidak secara langsung, yakni melalui perdagangan yang dilakukan oleh orang Cina dan pembangunan Industri oleh orang-orang Eropa. Percampuran budaya ini terjadi ketika tawaran pekerjaan dari pemilik perkebunan yang ada di Banyumas dan Wonosobo diberikan oleh para pribumi yang tidak memiliki tanah untuk di garap. Nantinya mereka diberi pekerjaan sebagai kuli lepas di perkebunan maupun di dalam pabrik. Akhirnya secara tidak langsung para pribumi mulai mengenal budaya sistem kerja dan ekonomi Barat lewat industrialisasi yang mereka tanamkan secara tidak langsung.
Jalur kereta api membuat desa mengalami perubahan secara cepat. Banyak warga desa pergi ke kota untuk mencari pekerjaan di bidang industri perkebunan. Pada saat itu sudah ada beberapa pabrik gula yang berdiri di Karesidenan Banyumas dan di Wonosobo mulai di manfaatkan tanaman teh, tembakau, dan kina. Sebagian besar para pekerja di pabrik gula adalah tenaga produktif yang berasal dari desa. Seringnya mobilitas yang terjadi didalam masyarakat ketika kembali ke daerahnya semula dengan membawa informasi baru, dari
12Burger, D.H., Perubahan-Perubahan Struktur Dalam Masyarakat Jawa, Jakarta,Bharatara, 1983, hlm.130
informasi itulah yang menyebabkan suatu perubahan sosial secara perlahan terjadi didalam lingkungan masyarakat.
Kota Purwokerto yang menerima keuntungan dengan adanya
pembangunan jalur kereta api SDS. Berangsur-angsur Purwokerto menjadi pusat keramaian yang dalam beberapa waktu kemudian mengalahkan dari kota Banyumas sendiri. Beberapa pedagang dan pengusaha memulai membuka usahanya di kota ini.
Selain itu dampak dengan adanya kereta api SDS di Banyumas yaitu ketika kota Banyumas tidak termasuk dalam wilayah yang dilalui, meskipun kota Banyumas berada di lembah sungai Serayu namun wilayah disekitarnya tertutup
pegunungan terjal yang dirasa sulit untuk dilalui.13Perlahan kota Banyumas
mulai sepi ditinggalkan warganya yang berpindah ke kota Purwokerto yang memiliki sarana dan infrastruktur yang lengkap dibanding kota Banyumas. Purwokerto semakin menunjukan perkembangan yang pesat apalagi setelah jaringan kereta api SDS melintasi wilayah ini. Selain itu Purwokerto memasuki
periode baru yakni menjadi ibukota kabupaten dan Karesidenan yang baru.14
Jauh sebelum pemerintah merasa usaha untuk perbaikan ekonomi setelah depresi ekonomi yang ikut melanda Banyumas sangat tidak mungkin apabila keadaan kota yang sepi sehingga kehidupan ekonomi tidak berkembang lagi.
13Purnawan Basundoro, op.cit, hlm.221
14Prima Nurahmi Mulyasari, Runtuhnya Suatu Kejayaan: Kota Banyumas 1900-1937, Dalam Sri Margana & M. Nursam, Kota-Kota di Jawa Identitas, Gaya Hidup, dan Permasalahan Sosial, Yogyakarta, Ombak, 2010, hlm.29
Akibatnya terjadi wacana penggabungan dan pemindahan ibukota kabupaten dan karesidenan ke Purwokerto. Dalam harian “De Locomotief” tanggal 4 April 1935 mengusulkan sebaiknya perusahaan listrik, sekolah dasar HIS dan ELS serta rumah sakit Juliana yang berada di Banyumas untuk ditutup karena kota ini semakin sepi. Bahkan pada bulan April 1935 pemimpin pemberantasan penyakit Pes karesidenan Banyumas Dokter J.H. De Bruyn Kops tidak mengadakan rapat
di Banyumas namun justru di kota Purwokerto.15
Cilacap merupakan salah satu wilayah di karesidenan Banyumas bagian
selatan masih merupakan terra incognito sebelum ada jalur kereta api
satu-satunya cara untuk mengunjungi Cilacap harus menggunakan kapal yang melalui
sungai Serayu karena pada saat itu jalan darat memang belum tersedia.16 Setelah
adanya jalur kereta kota Cilacap memang berangsur-angsur ramai terhubung dengan wilayah Banyumas lainnya. Bahkan kota Cilacap dapat dikatakan sebagai pusat ekonomi baru di Banyumas selatan. Kehidupan ekonomi di wilayah tersebut disebabkan transportasi dan komunikasi di kota yang lancar, keduanya itu menjamin kekompakan kehidupan masyarakat kota. Apabila kedua
faktor ini terhambat maka segala tata kerja akan lumpuh.17
Selain itu pembangunan jalur kereta api juga menghubungkan Cilacap
dengan wilayah-wilayah strategis di utaranya seperti Purwokerto,18 meskipun
15Purnawan Basundoro, op.cit, hlm.222 16Ibid, hlm.228
17Daljoeni, N., op. cit., hlm.14
jalur menuju Purwokerto hanya sebatas jalan setapak yang sulit dilalui namun pada perkembangan selanjutnya adanya jalur kereta api swasta SDS dari Maos yang terhubung dengan jalur kereta api pemerintah SS mulai membuka isolasi wilayah ini. Sehingga pusat-pusat keramaian tumbuh di sepanjang jalur ini disertai dengan pembangunan halte-halte untuk naik dan turun penumpang.
Setelah pembangunan kereta api SDS yang menembus wilayah Wonosobo pada tahun 1917 berangsur-angsur pengiriman tembakau mulai memanfaatkan alat transportasi ini, selain itu kereta api SDS tidak hanya mengangkut tembakau beberapa hasil bumi dari Wonosobo seperti indigo, kina, sayuran dan minyak
kelapa dari pabrik Singghe Banjarnegara tahun 1980-an.19.
Dari beberapa kenyataan diatas dapat dilihat bahwa kepentingan ekonomi ketika pembangunan jalur kereta api di wilayah Banyumas ini mampu membuat beberapa wilayah yang dahulunya terisolir berubah menjadi pusat-pusat kegiatan ekonomi. Perubahan yang terjadi meskipun secara perlahan mampu membuat masyarakat Banyumas mudah dalam melakukan aktifitas ekonomi seperti perdagangan, komunikasi.
53
PENUTUP
Berdasarkan pembahasan “Sejarah Kereta Api Jalur Banyumas-Wonosobo 1917-1976” dibahas tiga permasalahan yaitu ”pertama, Latar belakang pembangunan jalur kereta api Banyumas-Wonosobo tahun 1917-1976, kedua, perkembangan keretaapi jalur Banyumas-Wonosobo tahun 1917-1976; ketiga dampak pembangunan jalur kereta api Banyumas-Wonosobo. Berdasarkan uraian bab II, III, dan IV, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :
1. Latar belakang pembangunan kereta adalah keberadaan perkebunan diwilayah
Banyumas dan Wonosobo menjadi pemicu lahirnya jenis transportasi tersebut. Hasil produksi dari beberapa perkebunan tebu, kopi, kina, teh, dan tembakau yang ada membutuhkan alat angkut yang cepat, aman dan mampu mengangkut dalam jumlah banyak, dengan tujuan agar mempercepat pemasaran hasil ke Eropa.
Sebelum adanya kereta api dikedua wilayah ini proses distribusi memakan waktu yang sangat lama dengan resiko rusak ditengah perjalanan. Pengiriman sebelum adanya kereta api di Banyumas dan Wonosobo menggunakan alat trasnsportasi sungai, gerobak alat angkut tradisional lainnya. Hal tersebut dirasa sangat lama dan penuh resiko.
Melihat situasi yang terjadi selama bertahun-tahun ini pemerintah kolonial memikirkan untuk membangun suatu perubahan untuk membuka isolasi Banyumas dan Wonosobo. Ternyata keinginan dari pemerintah itu direspon oleh pihak swasta. Pihak swasta mengusulkan agar dilakukan pembangunan sarana transportasi masal
itu tertuju pada jenis transportasi kereta api.
Tanggal 24 April 1894 melalui restu Ratu Wilhemina II dengan surat
keputusan akhirnya mengesahkan N.V. Serajoedal Stoomtram Matschaappij (SDS).
Perusahaan tersebut yang menaungi perkeretaapian di Banyumas. Pembangunan jalur ini dilaksanakan pada bulan Mei 1895 yang diketuai oleh Ir. C. Groll seorang ahli teknik dari Belanda.
2. Pembangunan jalur SDS ini dilakukan secara bertahap pertama dibangun adalah
jalur Maos sampai Purwokerto. Tahap selanjutnya dilakukan pembangunan jalur terusan melalui Purbalingga, Banjarnegara dan sampai pada jalur akhir yakni di Wonosobo pada tahun 1917.
Pada perkembangan selanjutnya kereta api SDS ini mengalami pasang surut tahun 1930-an menjadi masa sulit sepanjang sejarah perusahaan. Ketika jalan darat mulai diperbaiki dan menjadi pesaing utama dalam pengangkutan menggunakan kereta api. Beroperasinya kendaraan bermotor ini mengancam keberlangsungan keretaapi SDS. Selain itu pada tahun ini juga terjadi depresi ekonomi yang melanda seluruh dunia yang berdampak juga pada Hindia Belanda. Masa penjajahan Jepang terjadi pembongkaran terhadap sebagian jalur SDS oleh Jepang karena dirasa tidak efektif yakni jalur (Kebasen) Gambarsari sampai dengan Tanjung. Pembongkaran ini bermaksud untuk penghematan anggaran. Setelah Indonesia merdeka pada 17 Agustus 1945 keberadaan kereta api melalui Angkatan Moeda Kereta Api (AMKA) mengambil alih kepemilikan kereta api di Indonesia. Seluruh anggota AMKA adalah pegawai kereta api masa
berganti nama dari DKARI menjadi DKA, kemudian PNKA, lalu PJKA sampai tahun 1971.
3. Pembangunan jaringan kereta api di Banyumas-Wonosobo berdampak pada
kehidupan sosial, ekonomi dan budaya masyarakat. Perubahan dalam bidang sosial itu tampak ketika masyarakat mulai mengadakan hubungan dengan daerah lain yang letaknya cukup jauh, sebagai contoh hubungan para pedagang di Banyumas dengan daerah Priangan dan Batavia. Akibatnya mobilitas sosial masyarakat Banyumas dan Wonosobo meningkat serta terjadi perubahan sosial dalam struktur masyarakat.
Adanya hubungan sosial tersebut juga berdampak pada kegiatan ekonomi masyarakat. Semenjak adanya hubungan ini arus kegiatan perdagangan menjadi semakin lancar. Adanya perdagangan lintas wilayah, misalnya perdagangan antara wilayah Banyumas, Wonosobo dengan para pedagang dari Batavia, Banten dan Madura.
56
Breman, J.C. (1971). Djawa Pertumbuhan Penduduk dan Struktur Demografis. Jakarta:
Bharatara.
Burger, D.H. (1983). Perubahan-Perubahan Struktur Dalam Masyarakat Jawa. Jakarta:
Bharatara.
Caldwell, Malcolm & Utrecht, Ernst. (2011). Sejarah Alternatif Indonesia. Yogyakarta:
Djaman Baroe.
Daljoeni, N. (1982). Seluk Beluk Masyarakat Kota Puspagram Sosiologi Kota, Bandung:
Penerbit Alumni.
Djoko Soekiman. (2011). Kebudayaan Indis Dari Zaman Kompeni Sampai Revolusi.
Depok: Komunitas Bambu.
Djoko Suryo. (1994-1995). Sejarah Perjuangan Rakyat Wonosobo. Yogyakarta: Kerja
Sama Pemerintah Kabupaten Daerah Tingkat II Kabupaten Wonosobo Dengan Jurusan Sejarah Fakultas Sastra Universitas Gadjah Mada.
_ _ _ _ _ _, (1997). Sejarah Perkebunan di Indonesia: Kajian Sosial-Ekonomi.
Yogyakarta: Aditya Media.
_ _ _ _ _ _ _ _ , (1989). Sejarah Sosial Karesidenan Semarang 1830-1900. Yogyakarta:
Pusat Studi Sosial Universitas Gadjah Mada.
Eddy Supangkat. (2008). Ambarawa Kota Lokomotif Tua Town of Ancient Locomotives.
Salatiga: Griya Media.
Freek, Colombijn. (Ed). (2005). Kota Lama Kota Baru: Sejarah Kota-kota di Indonesia
Sebelum dan Setelah Kemerdekaan. Yogyakarta: Ombak.
Howard, Dick & Peter, J., Rimer. (2003). Cities, Transport, and Communications The
Integrate of Southeast Asia Since 1850. New York: Palgrave Macmillan.
Lombard, Denys. (2005). Nusa Jawa Silang Budaya Batas-Batas Pembaratan 1.
Jakarta: Gramedia Pustaka.
Sartono Kartodirdjo. (1992). Pengantar Sejarah Indonesia Baru:1500-1900 Dari
Emporium Sampai Imperium. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
Smelser, J. Neil. (1984). Struktur Sosial dan Mobilitas Dalam Pembangunan Ekonomi.
Susanto Zuhdi. (2002). Cilacap 1830-1942, Bangkit dan Runtuhnya Suatu Pelabuhan di
Jawa. Jakarta: KPG.
Suryo Hapsoro Tri Utomo. (2009). Jalan Rel. Yogyakarta: Beta Offset.
Wiharyanto, A.K. (2011). Sejarah Indonesia Dari Proklamasi Sampai Pemilu 2009.
Yogyakarta: Penerbit USD.
Skripsi dan Tesis
Deaz, Recardus P., 2013, Sejarah Dan Perkembangan Stasiun Kereta Api Tugu Di
Yogyakarta 1887-1930, (Skripsi tidak diterbitkan), Yogyakarta,USD.
Purnawan Basundoro, 1999, Transportasi dan Ekonomi di Karesidenan Banyumas Tahun
1830-1940, (Tesis tidak diterbitkan), Program Studi Sejarah, Program
Paskasarjana, Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.
Jurnal
Roem Topatimasang. (2005). Jurnal Wacana, Menuju Transportasi Yang Manusiawi.
Yogyakarta: Insist Press.
Majalah
Soebandono, Joe. (Mei 2007). Empat Sekawan di Jalur Lokal Semarang dan Surabaya.
Jakarta: Majalah KA.
Arsip
PT. KAI DAOP IV, Evaluasi PJKA Eksploitasi Jalur Tengah Tahun 1977 Buku I.
Internet
Agus Mulyadi (Ed) “Jalur KA Purwokerto-Wonosobo Diaktifkan”.
http://regional.kompas.com/read/2011/08/05/2159385/Jalur.KA.Purwokerto-Wonosobo.Diaktifkan
PT.KAI.” Purwokerto-Wonosobo”,
http://indonesianheritagerailway.com/index.php?option=com_content&view=article&id= 238%3Apurwokerto-wonosobo&catid=58%3Atrack&lang=id.
Jatmiko W.,” Serajoedal Stoomtram Maatschaappij”,
58
59 SILABUS
MATA PELAJARAN SEJARAH
KELOMPOK PEMINATAN ILMU-ILMU SOSIAL
Satuan Pendidikan : Sekolah Menengah Atas (SMA)
Kelas : XI
Kompetensi Inti :
1. Menghayati dan mengamalkan ajaran agama yang dianutnya
2. Menghayati dan mengamalkan perilaku jujur, disiplin, tanggung jawab, peduli (gotong royong, kerja sama, toleran, damai), santun, responsif, dan pro-aktif dan menunjukan sikap sebagai bagian dari solusi atas berbagai permasalahan dalam berinteraksi secara efektif dengan lingkungan sosial dan alam serta dalam menempatkan diri sebagai cerminan bangsa dalam pergaulan dunia.
3. Memahami, menerapkan, dan menganalisis pengetahuan faktual, konseptual, prosedural, dan meta kognitif berdasarkan rasa ingin tahunya tentang ilmu pengetahuan, teknologi, seni, budaya, dan humaniora dengan wawasan kemanusiaan, kebangsaan, kenegaraan, dan peradaban terkait penyebab fenomena dan kejadian, serta menerapkan pengetahuan procedural pada bidang kajian yang. spesifik sesuai dengan bakat dan minatnya untuk memecahkan masalah.
4. Mengolah, menalar, dan menyaji dalam ranah konkret dan ranah abstrak terkait dengan pengembangan dari yang dipelajarinya di sekolah secara mandiri, dan mampu menggunakan metoda sesuai kaidah keilmuan.
KompetensiDasar MateriPokok Pembelajaran Penilaian
ktu lajar
3.7Menganalisis pengaruh
imperialism dan kolonialisme Barat di Indonesia dalam bidang politik, ekonomi, sosial- budaya, pendidikan dan agama serta perlawanan kerajaan Indonesia terhadap imperialism dan kolonialisme Barat.
Pengaruhkolonialisme Barat di Indonesia
1.1 Latar belakang pembangunan jaringan jalur kereta api di karesidenan Banyumas-Wonosobo 1917-1976 1.2 Perkembangan jalur
kereta api karesidenan Banyumas-Wonosobo setelah 1917.
1.3 Dampak social dan ekonomi pembangunan jalur kereta api karesidenan Banyumas-Wonosobo.
Mengamati:
1. Membaca buku teks dan obeservasi dilapangan tentang masuknya pengaruh Barat pembangunan jalur kereta api karesidenan Banyumas-Wonosobo 1917. 2. Melihat tayangan power point mengenai
materi masuknya pengaruh Barat
pembangunan jalur kereta api karesidenan Banyumas-Wonosobo 1917.
Menanya:
Menanya melalui kegiatan diskusi untuk mendapatkan klarifikasi dan pendalaman pemahaman tentang pengaruh kolonialisme Barat yakni, pembangunan jalur kereta api
karesidenan Banyumas-Wonosobo 1917
perkembangan dan dampaknya di Indonesia.
Mengeksplorasikan:
1. Mengumpulkan data terkait dengan
pertanyaan mengenai pengaruh
kolonialisme Barat yakni, pembangunan jalur kereta api Banyumas-Wonosobo 1917 di Indonesia dari sumber tertulis, dan sumber-sumber lainnya yang mendukung dengan berdiskusi dalam kelompok dan observasi di lapangan.
2. Mengumpulkan beberapa tulisan yang terkait dengan materi sejarah pembangunan jalur kereta api di Banyumas-Wonosobo
Tugas:
Membuat hasil kajian kelompok dan individu dalam bentuk tulisan tentang pengaruh Barat
pembangunan jalur kereta api Banyumas-Wonosobo 1917 di Indonesia.
a. Apa latar belakang pendirian jalur kereta api di Banyumas-Wonosobo tahun 1917 b. Bagaimana perkembangan kereta api di karesidenan Banyumas-Wonosobo sejak tahun 1917-1976. c. Apa dampak sosial
yang terjadi di dalam masyarakat Banyumas dan Wonosobo setelah pembangunan jalur kereta api Banyumas-Wonosobo tahun 1917
Observasi:
Mengamati kegiatan peserta didik dalam proses
mengumpulkan data di lingkungan dan di dalam sekolah, analisis data dan pembuatan laporan. 4x 45 menit Badrika, Wayan I. 2006. Sejarah untuk SMA Kelas XI. Jakarta: Erlangga Sartono Kartodirdjo, 1992, Pengantar Sejarah Indonesia Baru:1500-1900 Dari Emporium sampai Imperium, Jakarta: Gramedia PustakaUt ama, Susanto Zuhdi, 2002, Cilacap 1830-1942, Bangkit dan Runtuhnya
KompetensiDasar MateriPokok Pembelajaran Penilaian
ktu lajar
Mengasosiasikan:
1. Menganalisis informasi yang didapatkan dari berbagai sumber (Buku dan Internet) mengenai keterkaitan antara pengaruh dari kolonialisme Barat dengan kereta api melalui diskusi kelompok.
2. Menganalisis keterkaitan antaradampak yang ditimbulkan setelah adanya kereta api dengan kehidupan masa sekarang.
Mengomunikasikan:
1. Menyajikan dalam bentuk tulisan dan presentasi kelompok tentang kolonialisme Barat, pembagunan jalur kereta api Banyumas-Wonosobo tahun 1917 2. Membuat laporan tentang hasil penelitian
kelompok di lapangan dan melalui studi pustaka tentang dampak yang ditimbulkan setelah dibangunnya kereta api di
Banyumas-Wonosobo 1917.
Portofolio:
Menilai tulisan dari hasil kajian dalam bentuk tulisan tentang pengaruh Barat pembangunan jalur kereta api karesidenan Banyumas-Wonosobo 1917 di Indonesia. Suatu Pelabuhan di Jawa, Jakarta:KPG Yogyakarta, April 2014 Mengetahui,
Guru Mata Pelajaran