viii ABSTRAK
SEJARAH KERETA API JALUR BANYUMAS-WONOSOBO 1917-1976
Nova Tri Utomo Universitas Sanata Dharma
2014
Skripsi ini bertujuan untuk mendeskripsikan dan menganalisis tiga permasalahan pokok, yaitu: 1) Latar belakang pembangunan kereta api jalur Wonosobo 1917-1976; 2) Perkembangan kereta api jalur Wonosobo 1917-1976;3) Dampak setelah munculnya kereta api jalur Banyumas-Wonosobo.
Skripsi ini disusun menggunakan metode sejarah mencakup lima tahapan yaitu perumusan judul, pengumpulan sumber, verifikasi (kritik sumber), interpretasi dan historiografi dengan pendekatan sosial-ekonomi dan ditulis secara deskriptif analitis.
ix ABSTRACT
THE HISTORY RAILWAY TRACK OF BANYUMAS-WONOSOBO 1917-1976
Nova Tri Utomo Sanata DharmaUniversity
2014
The purposes of this paper are to describe and analyze three main problems, which are: 1.) The background of the construction of Banyumas-Wonosobo railway 1976; 2.) The development of Banyumas-Wonosobo railway 1917-1976; 3.) The impact of the construction of Banyumas-Wonosobo railway.
This Descriptive-analytic paper was written using historical method, which comprises of five steps that are title formulation, source gathering, verification (source criticism), interpretation, and historiography. The analysis was done using socio-economicapproach.
SEJARAH KERETA API JALUR BANYUMAS – WONOSOBO
1917-1976
MAKALAH
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan
Program Studi Pendidikan Sejarah
Oleh: Nova Tri Utomo
(081314011)
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SEJARAH
JURUSAN PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA
iv
PERSEMBAHAN
Makalah ini saya persembahkan kepada:
1. Allah SWT. Yang telah memberikan rahmat dan hidayahNya sehingga tulisan ini dapat terselesaikan.
2. Kedua orangtua BapakBudi Wiryatmaji dan Ibu Wahyu Retno Sayekti, yang telah membesarkan dan mendidik saya dalam sebuah kesderhanaan cinta dan kasih sayang.
3. Kepada kakaku Rizal Dwi Saputra, yang telah menyemangati saya untuk menyelesaikan tulisan ini.
v MOTTO
Kebijaksanaan yang paling tinggi adalah jangan khawatir akan hari esok
(Mahatma Gandhi )
Guru adalah seseorang yang dengan baik serta lembut membimbing dan mengajarkan sesuatu kepadanya. Ia mengajari untuk mengembangkan diri dengan
membaca buku, sehingga kemudian dapat mengendalikan diri dengan perbuatan baik.
(Confusius)
Barang siapa melihat sesuatu pada sebab-sebab, maka ia akan menjadi pemuja bentuk. Namun orang yang mampu menatap pada ‘sebab pertama’, maka ia akan
menemukan cahaya yang memancarkan makna.
viii ABSTRAK
SEJARAH KERETA API JALUR BANYUMAS-WONOSOBO 1917-1976
Nova Tri Utomo Universitas Sanata Dharma
2014
Skripsi ini bertujuan untuk mendeskripsikan dan menganalisis tiga permasalahan pokok, yaitu: 1) Latar belakang pembangunan kereta api jalur Wonosobo 1917-1976; 2) Perkembangan kereta api jalur Wonosobo 1917-1976;3) Dampak setelah munculnya kereta api jalur Banyumas-Wonosobo.
Skripsi ini disusun menggunakan metode sejarah mencakup lima tahapan yaitu perumusan judul, pengumpulan sumber, verifikasi (kritik sumber), interpretasi dan historiografi dengan pendekatan sosial-ekonomi dan ditulis secara deskriptif analitis.
ix ABSTRACT
THE HISTORY RAILWAY TRACK OF BANYUMAS-WONOSOBO 1917-1976
Nova Tri Utomo Sanata DharmaUniversity
2014
The purposes of this paper are to describe and analyze three main problems, which are: 1.) The background of the construction of Banyumas-Wonosobo railway 1976; 2.) The development of Banyumas-Wonosobo railway 1917-1976; 3.) The impact of the construction of Banyumas-Wonosobo railway.
This Descriptive-analytic paper was written using historical method, which comprises of five steps that are title formulation, source gathering, verification (source criticism), interpretation, and historiography. The analysis was done using socio-economicapproach.
x
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas berkat dan rahmat-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “SEJARAH KERETA API JALURBANYUMAS-WONOSOBO 1917-1976”. Makalah ini disusun untuk memenuhi salah satu syarat untuk meraih gelar Sarjana Pendidikan di Universitas Sanata Dharma, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Jurusan Ilmu Pengetahuan Sosial, Program Studi Pendidikan Sejarah.
Penulis menyadari bahwa penyusunan makalah ini tidak terlepas dari batuan berbagai pihak, maka pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih kepada:
1. Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.
2. Ketua Program Studi Pendidikan Sejarah Universitas Sanata Dharma yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk menyelesaikan makalah ini.
3. Drs. A. Kardiyat Wiharyanto, M. M., selaku dosen pembimbing yang telah sabar membimbing, membantu dan memberikan banyak pengarahan, saran serta masukan selama penyusunan makalah ini.
4. Seluruh dosen dan pihak sekretariat Program Studi Pendidikan Sejarah yang telah memberikan dukungan dan bantuan selama penulis menyelesaikan studi di Universitas Sanata Dharma.
5. Seluruh karyawan Perpustakaan Universitas Sanata Dharma, yang telah memberikan pelayanan dan membantu penulis dalam memperoleh sumber penulisan makalah ini.
6. Kedua orang tua penulis dan kedua saudara penulis yang telah memberikan dorongan spiritual dan material, sehingga penulis dapat menyelesaikan.
xii DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ... i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii
HALAMAN PENGESAHAN ... iii
HALAMAN PERSEMBAHAN ... iv
MOTTO ... v
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... vi
HALAMANPERSETUJUANPUBLIKASI... vii
ABSTRAK ... viii
C.Perkembangan Kereta Api di Banyumas Sebelum Tahun 1917 16
D. Keadaan Wonosobo Pada Akhir Abad ke-19……….. 19
BAB III PERKEMBANGAN JALUR KERETA API BANYUMAS-WONOSOBO TAHUN 1917-1976……….. 22
A.Pembangunan Jalur Kereta Api Banyumas-Wonosobo ... 22
xiii
1. Persaingan Dengan Angkutan Darat Lainnya………... 25
2. Masa Depresi Ekonomi……….... 26
C.Kereta Api jalur Banyumas-Wonosobo Pada Masa Pendudukan Jepang ... 29
D.Kondisi Setelah Kemerdekaan ... 32
1. Nasionalisasi Perusahaan Swasta Belanda ... 33
2. Perubahan Nama Perusahaan ... 34
BAB IV DAMPAK KEBERADAAN KERETA API JALUR BANYUMAS-WONOSOBO TAHUN 1917-1976 ... 39
A. Dampak di BidangEkonomi ... 39
B.Dampak di Bidang Sosial ... 43
1. Mobilitas Sosial ... 43
2. Perubahan Sosial Setelah Adanya Kereta Api ... 48
BAB V KESIMPULAN ... 53
DAFTAR PUSTAKA ... 56
xiv
DAFTAR LAMPIRAN
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pada awal abad ke-19 Jawa merupakan salah satu daerah agraris, sebab
hampir sebagian besar penduduknya bekerja pada sektor pertanian dan
peternakan.1Penggarapan lahan pertanian dikerjakan masih secara tradisional,
teknologi yang digunakan juga masih sederhana. Usaha yang dilakukan penduduk
tersebut hanya sekedar memenuhi kebutuhan hidup. Pola semacam itu membuat
penduduk Jawa masih berada pada tingkat subsistensi. Mereka menanam untuk
mencukupi kebutuhan hidup mereka sendiri. Kegiatan tersebut akan berubah ketika
bangsa Belanda mulai mengenalkan tanaman untuk tujuan ekspor di Jawa.
Perubahan itu terjadi ketika pemerintah kolonial yang dipimpin Van den
Bosch (Gubernur Jendral Hindia Belanda yang berkuasa mulai tahun 1830) ini mulai
melaksanakan Culturstelsel (Tanam Paksa). Alasan penerapan kebijakan tersebut,
karena kas negara Belanda mengalami kekosongan untuk membiayai Perang Jawa2.
Oleh karena itu Belanda memberlakukan kebijakan Culturstelsel dengan harapan
1Sartono Kartodirdjo, Pengantar Sejarah Indonesia Baru:1500-1900 Dari Emporium sampai Imperiu, Jakarta, GramediaPustaka Utama, 1992, hlm. 289
mendapatkan keuntungan untuk mengisi kas negara induk yang sedang mengalami
krisis.
Pada masa Culturstelsel penduduk pribumi diharuskan menanam tanaman
ekspor yang tujuannya untuk dijual terutama ke pasar Eropa. Pemerintah kolonial
bermaksud mendapatkan pendapatan yang lebih banyak dari hasil ekspor tanaman
tersebut. Perlu diketahui bahwa tanaman yang diekspor dari Hindia Belanda adalah
tanaman yang sangat diminati di Eropa. Tanaman-tanaman tersebut antara lain, Kina,
tembakau, teh dan Indigo.
Akan tetapi berlangsungnya Culturstelsel pada saat itu masih terjadi banyak
penyimpangan. Praktek Culturstelseltidak sesuai dengan apa yang direncanakan oleh
pemerintah kolonial. Karena penyimpangan yang dilakukan oleh para pejabat
pemerintah terus terjadi, maka praktek politik ini mendapatkan banyak kritik dari
kalangan orang Belanda sendiri, terutama kelompok humaniter.
Periode Culturstelsel hanya berjalan sampai tahun 1850, pada tahun 1850
sampai 1870 adalah masa transisi dari Culturstelsel ke masa politik liberal di Hindia
Belanda. Bersamaan diberlakukannya sistem politik liberal di Hindia Belanda juga
disertai dengan disahkannya Undang-Undang Agraria (Agrarische Wet) pada tahun
1870. Undang-undang tersebut merupakan jalan masuk bagi investor swasta untuk
menanamkan modal di Hindia Belanda terutama usaha di bidang ekonomi sektor
perkebunan dan tambang. Menurut kalangan liberal bahwa pembukaan Hindia
Belanda bagi pengusaha swasta merupakan jaminan utama untuk kemajuan dan
Eksploitasi kolonial pada abad ke-19 tersebut merupakan gerakan
kolonialisme yang paling besar pengaruhnya yang membawa dampak perubahan
politik, ekonomi, sosial dan kebudayaan terhadap negara yang dijajah.3Ciri pokok
hubungan kolonial pada dasarnya berpangkal pada prinsip dominasi, eksploitasi,
diskriminasi dan dependensi. Penaklukan dan penguasaan rakyat bersama sumber
ekonomi tanah jajahan menjadi tujuan utama. Usaha yang dilakukan pemerintah
kolonial untuk mengambil kekayaan alam tanah jajahan, serta mempertahankan
kekuasaan wilayah di Hindia Belanda terus dilakukan. Salah satu cara yang dilakukan
untuk mempertahankan tanah jajahan yaitu dengan mengekploitasi, oleh karena itu
untuk melanggengkan usaha tersebut pemerintah kolonial Belanda membangun jalur
transportasi kereta api sebagai salah satu faktor pendukung dalam persiapan
eksploitasi tanah jajahan.
Hindia Belanda merupakan wilayah kedua di Asia (setelah India pada tahun
1853)4yang membangun sarana transportasi kereta api uap kemudian Jepang jalur
pertama Tokyo-Yokohama dibuka pada tahun 1872, Cina jalan kereta api daerah
tambang Kaiping dibangun pada tanggal 1879 jalur Tianjin-Shanghai baru selesai
pada tahun 1894, Myanmar pada 1877, Turki 1888, sementara negara lainnya seperti
3Sartono Kartodirdjo dan Djoko Suryo, Sejarah Perkebunan Di Indonesia: Kajian Sosial- Ekonomi, Yogyakarta, Aditya Media, 1980, hlm. 5
Siam (Thailand) jalur pertama dibuka baru pada tahun 1892.5Bangsa Eropa tidak
terkecuali Belanda yang berada di Indonesia membangun jaringan sama dengan
sistem kereta api di wilayah Asia Tenggara lainnya dengan lebih menekankan pada
pengintegrasian kota pelabuhan dengan daerah pedalaman. Serta membuat hubungan
secara internasional dengan Eropa, Amerika Serikat dan Canada.6
Gagasan pembangunan jalur kereta api pertama kali di Jawa saat itu
dikemukakan oleh seorang kolonel bernama Jhr Van der Wijk pada 15 Agustus
18407. Van der Wijk berpendapat bahwa pembangunan jalur kereta api akan
mempunyai banyak manfaat, selain dapat mengangkut banyak hasil produksi
pembangunan jalur ini juga mempunyai manfaat untuk kepentingan militer
pemerintah kolonial. Akhirnya pemerintah menyambut baik usulan itu melalui surat
keputusan No.270 tanggal 2 Mei 1842.
Setelah melalui proses yang sangat panjang akhirnya pada masa pemerintahan
Gubernur Jendral Baron Sloet van Den Beele pada tanggal 7 Juni 1864 diresmikan
pembangunan jalur kereta api pertama di Indonesia yang dimulai dari desa Kemidjen
Semarang yang dipercayakan pada perusahaan Belanda Naamlooze Venotschappij
Nederlandsce Indische Spoorweg Maastschappij (NV. NISM).
5 Denys Lombard, Nusa Jawa: Silang Budaya Batas-Batas Pemberatan Jilid 1, Jakarta, Gramedia Pustaka, 2005, hlm.280
6Howard Dick and Peter J. Rimer, Cities, Transport, and Communications The Integrate of Southeast Asia S ince 1850, New York, Palgrave Macmillan, 2003, hlm hlm.64
Pembangunan jalur kereta pertama ini adalah jalur Semarang-Tanggung
proses pengerjaan jalur ini membutuhkan waktu hampir selama tiga tahun tepatnya
pada 10 Agustus 1867 dan pada hari yang sama kereta pertama melaju dari
Semarang-Tanggung. Sedangkan pembangunan jalur kereta api menuju Surakarta
dimulai pada bulan Juni 1864 berhasil mencapai Surakarta pada tanggal September
1870.8 Meskipun jalur menuju Surakarta ini sempat mengalami kendala pembiayaan
dalam pembangunannya dan pada tanggal 10 Juni 1872 dari Surakarta telah mencapai
Yogyakarta.
Daerah Semarang sampai Tanggung adalah pusat perkebunan masa kolonial.
Jenis tanaman yang dominan di sana adalah tanaman kopi, sistem perkebunan yang
ada di Jawa saat itu kelanjutan dari periode Culturstelsel oleh Gubernur Jendral Van
den Bosch yaitu dengan kebijakan yang mengganti sebagian besar tanaman konsumsi
lokal dengan tanaman orientasi pasar (market oriented) dunia.
Keberhasilan produksi daerah ini ikut memacu penanaman di wilayah lain di
Jawa, selanjutnya perkebunan Ambarawa-Salatiga dan sekitarnya mencapai 80 buah
lebih.9 Jumlah ini tidak hanya perkebunan kopi akan tetapi banyak macam lainnya
seperti kina, teh, tembakau, karet, coklat, lada, kapuk dan lain sebagainya. Dengan
melimpahnya panen saat itu maka para pengusaha perkebunan berfikir untuk
mengangkut hasil-hasil perkebunan ini, melihat kondisi alam Ambarawa dan sekitar
yang bergunung-gunung para pengusaha membutuhkan alat transportasi yang bisa
8 Djoko Suryo, Sejarah Sosial Karesidenan Semarang 1830-1900, Yogyakarta, Pusat Studi Sosial Universitas Gadjah Mada,1989, hlm.128
mengangkut dalam jumlah banyak, cepat dan aman. Oleh sebab itu daerah-daerah
perkebunan ini nantinya memilih jenis transportasi kereta api sebagai pengangkutan
utama hasil perkebunan untuk dibawa ke Semarang. Selain itu jalan kereta api
berfungsi sebagai perangsang dan daya tarik bagi para pedagang pedesaan yang lebih
tertutup dengan unit-unit pemasaran yang lebih luas.10
Keberadaan jalur kereta api tidak bisa terlepas dari keberadaan perkebunan,
perkebunan yang tersebar di seluruh penjuru Jawa tidak terkecuali di daerah
Banyumas dan Wonosobo. Daerah Banyumas terdapat beberapa pabrik gula
sedangkan di daerah Wonosobo merupakan daerah penghasil tembakau, kina dan teh.
Hasil alam yang ada ini perlu diangkut dengan alat transportasi yang cepat dan aman,
sehingga akan mengurangi resiko kerugian. Satu-satunya transportasi yang memenuhi
kriteria tersebut adalah kereta api.
Meskipun demikian, perkembangan jalur kereta api di daerah ini lebih lambat
daripada perkembangan jalan raya. Medan yang sulit, menanjak dan tentang siapa
yang berwenang membangun jalur ini menjadi hambatan utama dalam pembangunan
jalur kereta api di pedalaman Banyumas. Upaya untuk membangun jalur kereta api
terus dilakukan oleh pemerintah kolonial maupun swasta hingga menuju
lembah-lembah subur pedalaman Jawa.
Sebelum adanya jalur kereta pengiriman barang di Banyumas dan Wonosobo
masih menggunakan cikar, andong dan sarana transportasi sungai. Proses ini dirasa
lama, mengeluarkan banyak biaya dan terlalu banyak resiko terhadap menyusutnya
kualitas nilai barang-barang produksi. Oleh karena itu pada tanggal 24 April 1894
dengan sebuah keputusan Ratu Belanda mengesahkan rancangan pendirian Namlooze
Venootschappij (NV) Serajoedal Stoomtram Maatschappij (SDS) yang berkedudukan
di ‘S Gravenhage dibawah pimpinan Ir.C.Groll.11
Dalam perkembangan selanjutnya keberadaan kereta api juga diperuntukan
untuk jasa pengangkutan penumpang. Pada saat itu kereta api SDS menjadi
primadona angkutan umum masyarakat Banyumas dan Wonosobo. Pembangunan
jalan kereta api ini juga membuat wilayah Banyumas dan sekitarnya semakin ramai.
Mobilitas masyarakat yang terjadi wilayah ini semakin dinamis. Keberadaan kereta
api SDS ini membuat pengiriman barang produksi perkebunan menjadi lancar.
Pada tahun-tahun selanjutnya kereta api ini menjadi saksi betapa gigihnya
para pejuang Indonesia dalam menunjukkan jiwa nasionalismenya terhadap
negaranya. Dibuktikan dengan pengambilalihan perusahaan swasta yang menaungi
kereta SDS kereta api paska kemerdekaan Republik Indonesia pada 17 Agustus 1945
dari Jepang oleh para pegawai kereta api yang tergabung dalam AMKA (Angkatan
Moeda Kereta Api) pada tanggal 28 September 1945.12Peristiwa tersebut menegaskan
bahwa urusan kereta api di Indonesia adalah sepenuhnya tanggung jawab dari warga
Indonesia sendiri dan orang-orang Jepang tidak boleh campur tangan mengurusi
perkeretaapian di Indonesia lagi, oleh karena itu momentum bersejarah ini diperingati
sebagai hari kereta api Indonesia. 11Ibid, hlm.65
Bersamaan dengan itu peresmian Djawatan Kereta Api Republik Indonesia
(DKARI) dilakukan di Indonesia. Pada masa awal kemerdekaan tidak semua
perusahaan kereta api yang ada di Indonesia tergabung dalam DKARI. Hal itu
memerlukan waktu yang panjang untuk penyatuan jawatan kereta api yang ada
diseluruh Indonesia dibawah pemerintah Indonesia. Berdasarkan Pengumuman
Menteri Perhubungan, Tenaga dan Pekerjaan Umum No 2 Tanggal 6 Januari 1950.
Seluruh jawatan kereta api di lebur menjadi satu menjadi Djawatan Kereta Api
(DKA). Proses sejarah ini ikut merubah wajah dari bekas jalur kereta SDS dari masa
ke masa.
Oleh karena itu sejauh pembangunan jalur kereta api yang melintasi jalur
karesidenan Banyumas-Wonosobo beserta dinamika sosial ekonomi didalamnya
menjadi sesuatu yang menarik untuk dikaji lebih lanjut. Bahwa perlu dimengerti
jalur-jalur kereta yang dilalui merupakan jalur yang sulit. Keberadaan kereta api
sebagai salah satu indikator letak pentingnya wilayah Banyumas dan Wonosobo pada
saat itu bagi para pengusaha perkebunan dan pemerintah Belanda. Dalam proses
penelitian ini, peneliti membatasi cakupan tahun yang akan dikaji yakni tahun
1917-1976 dikarenakan pada periode ini untuk pertama kali jalur kereta api mulai dibangun
dari wilayah karesidenan Banyumas menuju Wonosobo sampai berhenti melayani
pengangkutan penumpang namun tetap melayani pengangkutan barang, hal tersebut
yang melatar belakangi penulis mengangkat karya tulis dengan judul “Sejarah Kereta
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian di atas maka dapat diambil rumusan masalah sebagai
berikut :
1. Apa yang menjadi latar belakang pembangunan jalur kereta api Banyumas-
Wonosobo?
2. Bagaimana perkembangan jalur kereta api Banyumas-Wonosobo dari
1917-1976 ?
3. Dampak sosial dan ekonomi apa saja setelah pembangunan jalur kereta api
Banyumas-Wonosobo ?
C. Tujuan dan Manfaat Penulisan
- Tujuan Penulisan
a. Mendeskripsikan latar belakang dibangunnya jalur kereta api
Banyumas-Wonosobo pada masa kolonial Belanda 1917-1976.
b. Mendeskripsikan perkembangan jalur kereta api Banyumas-Wonsobo dari
tahun 1917 sampai 1976.
c. Mendeskripsikan dampak sosial dan ekonomi yang ditimbulkan setelah
dibangunnya jalur kereta api Banyumas- Wonosobo.
d. Penelitian ini sebagai sarana untuk menerapkan metodologi penelitian sejarah
sesuai dengan kaidah yang ada.
e. Menambah wacana tentang sejarah lokal yang ada di sekitar
- Manfaat Penulisan
a. Bagi perkembangan ilmu pengetahuan, karya ilmiah ini akan menambah
khasanah tentang sejarah kususnya perkeretaapian di sekitar Wonosobo dan
karesidenan Banyumas yang selama ini belum banyak terungkap dan
dampaknya bagi kehidupan warga masyarakat disekitarnya.
b. Bagi lembaga pendidikan, diharapkan penulisan karya ilmiah ini
menyumbang informasi baru tentang sejarah lokal yang ada di Indonesia
sehingga dapat dijadikan bahan pembelajaran bagi generasi muda yang akan
datang.
c. Penulisan ini suatu kritik pada kebijakan pemerintah yang mengabaikan alat
transportasi masal. Bahwa transportasi yang digemari oleh kalangan
menengah kebawah ini, jika dikelola dengan baik akan menjadi jawaban bagi
pemerintah Indonesia ketika mengahadapi krisis energi seperti yang terjadi
belakangan ini.
d. Penulisan ini menjadi pesan sekaligus ajakan bagi masyrakat umum untuk
bersama-sama melestarikan dan menjaga warisan cagar budaya yang ada di
Indonesia kusunya disekitar karesidenan Banyumas dan Wonosobo.
D. Sistematika Penulisan
Makalah yang berjudul “SEJARAH KERETA API JALUR
BAB I berisi: Pendahuluan yang berisi tentang latar belakang penulisan karya ilmiah,
perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, dan sistematika penulisan.
BAB II berisi: Latar belakang pembangunan jalur kereta api Banyumas-Wonosobo
1917-1976.
BAB III berisi: Perkembangan jalur kereta api jalur Banyumas-Wonosobo
1917-1976.
BAB IV berisi: Dampak pembangunan jalur kereta api jalur Banyumas-Wonosobo
1917-1976.
12
BAB II
LATAR BELAKANG PEMBANGUNAN JALUR KERETA API BANYUMAS-WONOSOBO
A. Penggunaan Mesin Modern
Pergerakan manusia dengan barang-barang sudah ada sejak lama. Pada zaman
dahulu perpindahan yang dilakukan manusia dari satu tempat ke tempat lain bertujuan
untuk memenuhi kebutuhan satu sama lain. Pada awalnya manusia membawa
barang-barang tersebut dalam jumlah yang relatif sedikit. Perpindahan yang sangat sederhana
tersebut merupakan awal dari cara hidup sekarang. Manusia berpergian dari satu
tempat ke tempat lain dengan menggunakan beragam transportasi baik itu transportasi
darat, sungai maupun udara.1
Selain sebagai upaya dalam memenuhi kebutuhan manusia, perpindahan
tersebut juga salah satu cara yang dilakukan manusia dalam rangka adaptasi dengan
kehidupan. Salah satu cara yang dilakukan manusia untuk beradaptasi dengan
lingkungannya adalah menciptakan penemuan-penemuan baru, termasuk penemuan
mesin modern. Penemuan-penemuan tersebut bertujuan membantu manusia untuk
menyesuaikan diri dengan keadaan lingkungannya..
Mesin-mesin pabrik yang telah ada dimanfaatkan sebagai sarana pembantu
memaksimalkan hasil produksi perkebunan di Hindia Belanda.Mesin membantu
pengolahan agar jumlah produksi perkebunan lebih banyak dibandingkan saat
menggunakan tenaga manusia (manual).Mulai dikenalnya mesin sebagai sistem kerja
mekanik dalam industri tidak serta merta menggantikan tenaga manusia.Mesin-mesin
industri yang ada penggunaannya masih sebatas pada tingkat pengolahan dalam
pabrik.Sedangkan sebagai tenaga lapangan perusahaan perkebunan masih
membutuhkan banyak tenaga kuli kontrak yang dikerjakan oleh rakyat dengan gaji
yang rendah.
Pada abad ke-19 di Banyumas mulai berdiri pabrik-pabrik gula yang
pengolahannya memanfaatkan mesin modern.Dampak yang terjadi pada saat itu
karena ditemukannya mesin sebagai pengganti tenaga manual, maka hasil produksi
semakin banyak.Ketika jumlah produksi semakin banyak, selanjutnya membutuhkan
sarana untuk memasarkan hasil produksi. Oleh sebab itu kebutuhan terhadap sarana
transportasi sangatlah penting untuk membantu proses distribusi. Dalambeberapa
tahun setelah kesulitan kebutuhan transportasi melanda beberapa pengusaha industri
gula, Banyumas segera mulai mengenal alat transportasi modern seperti kereta api
yang pada saat itu masih menggunakan mesin uap.
Keuntungan yang diperoleh dari pemerintah kolonial Belanda dengan adanya
mesin modern ini antara lain, 1) Potensi alam sebagai sumber pemasukan kas negara
induk dapat diolah dengan cepat, 2) Proses distribusi terhadap barang-barang
produksi dapat cepat dilakukan, sehingga barang-barang yang hendak dipasarkan
cepat sampai pasar (konsumen), 3) Penemuan mesin dapat mengurangi kebutuhan
perusahaan terhadap tenaga kerja, oleh sebab itu pengeluaran perusahaan untuk
B. Pembangunan Jalur Kereta Api di Banyumas
Banyumas merupakan salah satu wilayah yang memiliki potensi yang besar di
Jawa karena perkebunan tebu dan kopi banyak tersebar di daerah ini.Selain itu
Banyumas memiliki pelabuhan alami yang berada di pesisir selatan yaitu pelabuhan
Cilacap. Melihat kondisi ini pemerintah berinisiatif membangun jalur kereta api yang
menghubungkan dengan pelabuhan Cilacap. Jalur kereta api lintas
Cilacap-Yogyakarta dibangun pada tahun 1879 dan selesai dibangun pada tahun 1887 dengan
panjang 187,23 km. Pembangunan itu menghabiskan biaya sebesar f
14.709.074.75.2Pada awalnya jalur ini belum terhubung dengan pelabuhan.Stasiun
terdekat dari pelabuhan adalah stasiun Maos. Setahun kemudian 1888 penyambungan
jalur kereta api dari Maos ke pelabuhan dilakukan oleh departemen pekerjaan umum
Hindia Belanda (Burgerlijke Openbare Werken). Perusahaan kereta api yang
melintasi daerah ini adalah perusahaan kereta api negara Staats Spoorwegen (SS).
Keberadaan kereta api milik pemerintah tersebut merangsang pembangunan
jalur kereta api di pedalaman Banyumas (lembah Serayu). Akan tetapi antara pihak
swasta dan pemerintah sama-sama tertarik untuk membangun jalur kereta di
pedalaman Banyumas ini. Adu kepentingan ini nantinya akan memicu perdebatan
antara kedua kubu tentang siapa yang berhak untuk mengeksploitasi wilayah
pedalaman Banyumas dengan usaha dalam bidang angkutan transportasi .
2Purnawan Basundoro,“Transportasi dan Ekonomi di Karesidenan Banyumas Tahun 1830-1940”,Tesis,
Keinginan pihak pemerintah untuk menanamkan modalnya di Banyumas
telah disampaikan sejak lama sebelum pihak pengelola SDS mendapatkan konsesi
pembangunan jalur kereta api. Pemerintah beranggapan bahwa keuntungan yang akan
diperoleh dari kereta jalur ini tidak semata keuntungan yang didapatkan dari
pengoperasian kereta api. Akan tetapi keuntungan dapat diperoleh bersamaan dengan
pembangunan Cilacap sebagai pelabuhan niaga.
Melalui pertimbangan yang panjang dan tekanan dari pihak swasta yang
semakin gencar akhirnya pemerintah mengalah, kemudian pembangunan jalur kereta
api lembah Serayu diserahkan kepada swasta. Pengusaha swasta memutuskan
membangun jalur kereta api uap swasta lembah Serayu Serajoedal Stoomtram
Maatschappij (SDS).3Langkah untuk usaha pembangunan tersebut diawali dengan
pendirian NV.SDS pada tanggal 30 April 1894.Pembangunan Rel dan eksploitasinya
kemudian diserahkan kepada pengusaha swasta R.H.Eysonius de Waal.4Keberhasilan
swasta mendapat konsesi pembangunan atas wilayah ini segera ditindaklanjuti dengan
pembukaan jalur pertama yang menghubungkan Maos sampai Purwokerto.
Pembangunan jaringan jalur kereta api ini adalah rute jarak pendek. Oleh karena itu
kereta api yang melintasi jalur ini adalah jenis Trem, yang memang dikususkan untuk
perjalanan jarak pendek.5
3Serajoedal Stoomtram Maatschappij (SDS) adalah perusahaan Swasta yang diberikan konsesi selama
99 tahun oleh pemerintah kolonial Belanda.
4Susanto Zuhdi, Cilacap 1830-1942, Bangkitdan Runtuhnya Suatu Pelabuhan di Jawa, Jakarta, KPG
2002, hlm. 48
Pembangunan jalur SDS ini dilaksanakan secara bertahap meliputi jalur
Maos-Purwokerto pembangunan dilakukan pada tanggal 16 Juli 1896 sepanjang 29
km dengan modal awal sebesar f 1500.000.6Maos adalah titik temu antara stasiun
pemerintah Staats Spoorweg (SS) dengan SDS. Purwokerto-Sokaraja dibuka tanggal
5 Desember 1896 sepanjang 8,6 km untuk mengincar kesempatan mengangkut dari
pabrik gula Kalibagor, Sokaraja-Purwareja 5 Juni 1897 sepanjang 16,1 km,
Purwareja-Banjarnegara tanggal 18 Mei 1898 sepanjang 30,4 km dan
Banjarsari-Purbalingga sepanjang 6,5 km.7
C. Perkembangan Kereta Api di Banyumas sebelum tahun 1917
Mendengar keberhasilan pembangunan jalur dari Purwokerto sampai Maos
membuat penanaman investasi di wilayah ini menjadi semakin ramai. Tidak hanya
perkebunan tebu pendirian gudang-gudang kopi dan garam di sekitar Banyumas
menjadi bukti bahwa Banyumas mempersiapkan perdagangan niaga dengan skala
yang lebih besar dan mengintegrasikannya segala kepentingan ekonomi itu dengan
kereta api SDS. Kereta api SDS menjadi simpul simpul utama dalam perkembangan
ekonomi pada saat itu.
Meskipun kopi tidak menjadi komoditas perdagangan yang utama di
Banyumas setelah adanya jalur kereta api, namun gudang-gudang penyimpanan kopi
tetap didirikan di sekitar jalur yang dilalui oleh kereta api SDS pada akhir abad ke-19.
6Susanto Zuhdi, op cit,hlm 49
Selain gula dan kopi, pengangkutan garam juga dilakukan oleh kereta api SDS.
Pengangkutan ini dimulai dari Maos sampai daerah pedalaman Banyumas lainnya
untuk memnuhi kebutuhan garam di wilayah pedalaman.
Pada kemudian hari fasilitas kereta api ini ditambah dengan gerbong
penumpang yang diperuntukan untuk mengangkut orang-orang. Gerbong khusus
penumpang terdiri dari gerbong kelas satu, kelas dua dan kelas tiga.8 Untuk
mengembangkan kegiatan ekonomi yang lebih besar di Banyumas pihak swasta
kembali meminta ijin kepada pemerintah agar menyetujui pembangunan jalur kereta
api yang baru melintasi Banjarsari sampai Purbalingga dengan alasan bahwa
pembangunan jalur ini melintasi dua pabrik gula yang cukup besar yaitu pabrik gula
Kalimanah dan pabrik gula Bojong. Kedua pabrik gula ini membutuhkan transportasi
kereta api untuk pengangkutan produk gula ke pelabuhan Cilacap yang selanjutnya di
bawa ke Eropa. Permintaan yang diajukan pihak swasta akhirnya dikabulkan oleh
pemerintah melalui surat keputusan no.19 tanggal 22 September 1898. Dapat
dimengerti dari kenyataan tersebut bahwa industri gula di karesidenan Banyumas
berkembang dengan pesat sehingga di beberapa daerah segera muncul pabrik-pabrik
gula baru.
Kereta api SDS berhasil membangun jalur lanjutannya di Purbalingga. Akan
tetapi pemerintah meminta beberapa syarat pada NV. SDS atas pengajuan ijin
tersebut, pemerintah meminta agar jalur SDS melintasi kota Banyumas. Pemerintah
mempertimbangkan kepentingan politik karena di kota Banyumas terdapat kantor
Residen dan kantor Bupati. Pengelola kereta api SDS segera menanggapi usulan yang
diajukan oleh pihak pemerintah dengan surat keputusan 31 Mei 1889 pihak SDS
menolak usulan agar NV. SDS membangun jalur kereta api yang melintasi kota
Banyumas. Pihak SDS beralasan bahwa di kota Banyumas sendiri tidak terdapat
pabrik gula sedangkan pembangunan jalur kereta di wiliyah ini akan membutuhkan
biaya yang cukup banyak, sebaliknya wilayah ini nantinya tidak banyak
menghasilkan keuntungan untuk pengelola SDS. Dari kenyataan ini nampak bahwa
pembangunan jalur kereta api merupakan monopoli dari pihak swasta untuk
mengeksploitasi pedalaman Banyumas didasarkan pada kepentingan ekonomi bukan
politik.
Sejak dari Maos sampai Banjarnegara terdapat 31 halte dan stasiun
pemberhentian. Selain sebagai tempat pemberhentian stasiun dan halte ini juga
berfungsi sebagai tempat menurunkan dan menaikan barang yang akan dikirim ke
pedalaman maupun sebaliknya yang hendak dibawa keluar Banyumas melalui
pelabuhan Cilacap atau ke Batavia.
Kereta api merupakan satu-satunya angkutan darat yang mampu membawa
penumpang dalam jumlah yang sangat banyak. Baik itu pedagang maupun
masyarakat umum lainnya.Ketika komisi kesejahteraan Belanda mengukur selama 10
hari di beberapa halte dan stasiun SDS. Dari kegiatan pengukuran tersebut didapatkan
Jumlah penumpang di beberapa halte selama 10 hari pada tahun 19049
Halte Jumlah Penumpang
Gambarsari 447 Orang
Mandirancang 176 Orang
Sokaraja 296 Orang
Banjarsari 586 Orang
Klampok 753 Orang
Mandiraja 564 Orang
Purwanegara 302 Orang
Dari tahun ke tahun lalulintas pengangkutan oleh kereta api SDS cukup ramai,
hal ini membuat keuntungan yang diperoleh SDS meningkat. Sehingga hal ini juga
menjadi pertimbangan bagi pengelola melakukan perpanjangan jaringan kereta api
SDS pada tahun-tahun selanjutnya.
D. Keadaan Wonosobo Pada Akhir Abad ke-19
Wonosobo merupakan wilayah yang berada pada ketinggian 800 m,
keberadaan geografi wilaya ini membuat Wonosobo memiliki suasanayang sejuk dan
subur menjadi daerah persawahan dan Palawija.10Kesuburan tanah Wonosobo
membuat wilayah ini mudah untuk ditanami beberapa macam jenis tanaman.Tanaman
yang berhasil dibudidayakan di Wonosobo adalah kopi, tembakau, palawija, padi,
kina, dan teh.Pada periode masa kolonialisme Belanda beberapa jenis tanaman ini
merupakan suatu hal cukup penting.
9Ibid, hlm.193
10DjokoSuryo dkk, Sejarah Perjuangan Rakyat Wonosobo, Yogyakarta,Kerja Sama Pemerintah
Kekayaan sumber daya alam seperti tanaman tembakau, kopi, kina dan teh yang
memang belum banyak dieksploitasi dengan maksimal.Tembakau merupakan
satu-satunya jenis tanaman yang menjadi primadona perdagangan lokal maupun
internasional.Tanaman ini sudah ditanam sejak tahun 1932, Tembakau yang ditanam
merupakan jenis Havana.Tercatat bahwa tanaman tembakau yang berhasil diproduksi
oleh petani pada 1835 saja berjumlah 263 pikul. Sedangkan jenis kopi yang ditanam
di Wonosobo merupakan jenis pager, pada tahun yang sama sudah diproduksi
sebanyak 2.000 pikul.11
Pada tahun 1872 saja penanaman tembakau mengalami masa-masa
keemasannya, hal ini dapat dilihat pada hampir seluruh wilayahWonosobo sudah
terdapat tanaman tembakau. Kota Wonosobo terdapat 250 bau (896 pikul) lahan
tanaman tembakau, Kalialang 1.017 bau (11.005 pikul), Leksono 349 bau
(2.357 pikul).12
Berdasarkan Algemeen Verslag Belanda tahun 1872, selain kopi dan tembakau
teh juga merupakan tanaman andalan dari Wonosobo. Perkebunan teh swasta sudah
beroperasi di Sapuran (Tanjung Sari) seluas 162 bau (115.582 pikul), Kalialang 141
bau (56.192 pikul), dan daerah Wonosobo 237 bau (127, 018 pikul).Tembakau dari
Wonosobo menjadi produk unggulan dengan waktu yang cukup lama menjelang abad
ke-19.Eksistensi dari tembakau Wonosobo hanya mampu disaingi oleh teh pada abad
ke-19 setelah berdirinya perusahaan teh Tambi.
11Ibid, hlm.93
Kebutuhan sarana untuk pengangkutan hasil bumi dari Wonosobo sangatlah
penting.Meskipun pada saat itu sudah terdapat jalur militer yang menghubungkan
Ambarawa, Wonosobo dan Banyumas, namun hal itu dirasa kurang.13Ketika belum
terdapat jalan di wilayah selatan kota yang memadahi untuk pendistribusian hasil
bumi dari Wonosobo. Para pedagang memanfaatkan jalan menanjak pegunungan
Dieng sampai ke Kalibening (Banjarnegara) untuk menuju ke Pekalongan.
Perlu diketahui bahwa jalan yang dilalui para pedagang ini adalah jalan bukit
yang terjal sangat sulit untuk dilalui, serta harus menembus lebatnya hutan untuk
sampai di wilayah pesisir pekalongan.Beberapa pedagang lebih memilih jalan ini dari
pada harus menuju Purworejo ataupun Banjarnegara. Karena beberapa lahan yang
cukup banyak terdapat tenaman tembakau berada di Kejajar yang letaknya tidak jauh
dari pegunungan Dieng.
Oleh sebab itu kesulitan-kesulitan yang dialami beberapa pedagang inilah
kemudian memancing pengelola kereta api SDS untuk membangun perpanjangan
jalurnya sampai di Wonosobo, selain itu pihak SDS juga melihat potensi keuntungan
yang cukup besar jika nanti dari beberapa barang yang dihasilkan di Wonosobo dapat
diangkut dengan kereta api SDS menuju Cilacap maupun Batavia.
22
BAB III
PERKEMBANGAN JALUR KERETA API BANYUMAS–WONOSOBO 1917-1976
A. Pembangunan Jalur Kereta Api di Banyumas-Wonosobo
Perlunya penambahan jalur sebagai salah satu rangkaian jalur kereta dan juga
motivasi bisnis dari beberapa pengusaha yang ada di Wonosobo, kebutuhan ini
dirasakan sangat mendesak untuk mendapatkan keuntungan yang lebih besar bagi
pengelola. Seperti halnya permohonan yang dilakukan oleh pihak perusahaan untuk
pemasangan jalur lanjutan kereta api SDS agar sampai di daerah Wonosobo.
Melihat kebutuhan tersebut pengelola SDS meminta ijin kepada pemerintah
untuk memperpanjang rangkaian jalur SDS. Akhirnya ijin itu diberikan oleh
pemerintah, lewat surat keputusan 22 Juni 1912 no.12. Setelah beroperasi cukup lama
di wilayah Banyumas akhirnya jaringan jalur kereta api SDS sampai di Wonosobo.
Wonosobo merupakan wilayah yang memiliki potensi yang cukup besar sama halnya
dengan Banyumas.
Pembangunan jalur ini dimulai dari Banjarnegara secara bertahap rincian dari
pembangunan wilayah Banyumas sampai dengan Ledok (Wonosobo) sebagai berikut,
Banjarnegara-Selokromo (Wonosobo) sepanjang 19 Km diresmikan
pengoperasiannya pada tanggal 1 Mei 1916. Pembangunan jalur ini memerlukan
dengan melewati lembah dan tanjakan yang cukup banyak. Topografi alam menjadi
hambatan tersendiri ketika merencanakan pembangunan jalur kereta api sampai
Selokromo. Pembangunan jalur dari Banjarnegara sampai Selokromo melewati
beberapa halte kecil untuk pemberhentian antara lain,
Sokanandi-Singomerto-Sigaluh-Prigi-Bandingan-Bojonegoro-Tunggoro-Selokromo.
Setelah SDS berhasil membangun jalur sampai sebagian wilayah Wonosobo
pihak pengelola memperkirakan kereta SDS kala itu belum menjagkau wilayah pusat
pemerintahan dan ekonomi di Wonosobo, atas pertimbangan itu SDS dengan dasar
keputusan yang sama dari pemerintah Belanda melanjutkan pembangunan kereta api
ini menuju arah utara sampai dengan kota Wonosobo saat ini.1Saat itu di Wonosobo
sendiri sudah terdapat asisten residen, sekretaris urusan pendudukan Belanda,
kontrolir dan juru lelang.2 yang secara administratif kedudukannya dibawah
Residen.3Jalur lanjutan dari Selokromo ini menempuh jarak sepanjang kurang lebih
14 Km yang diresmikan pengoperasiannya pada tanggal 7 Juni 1917. Sepanjang jalur
dari Selokromo-Wonosobo melewati halte-halte pemberhentian antara lain,
Krasak-Selomerto-Penawangan-Wonosobo. Jalan yang dilalui dari Selokromo sangat
menanjak. Sampai Krasak lajur kereta api SDS melalui jembatan untuk menyebrangi
1
http://indonesianheritagerailway.com/index.php?option=com_content&view=article&id=238%3Apur wokerto-wonosobo&catid=58%3Atrack&lang=id. Diakses 3 Oktober 2013
2 DjokoSuryo dkk, Sejarah Perjuangan Rakyat Wonosobo, Yogyakarta,Kerja Sama Pemerintah
Kabupaten Daerah Tingkat II Kabupaten Wonosobo Dengan Jurusan Sejarah Fakultas Sastra Universitas Gadjah Mada, 1994-1995, hlm. 89
sungai Serayu. Ketika melewati daerah Selomerto kereta api terlihat seperti
menyebrangi jalan darat melaju melewati sisi kiri menuju pinggiran Desa Pakuncen.
Selain itu ketika menuju arah Wonosobo kereta api SDS berganti lokomotif di
stasiun Selokromo dengan spesifikasi lokomotif untuk jalur menanjak, hanya saja
perbedaan antara jalan kereta api yang terdapat di Ambarawa dengan Wonosobo
adalah bahwa jalan kereta api yang terdapat di Ambarawa menggunakan gigi/rel
bergerigi tengah yang berfungsi sebagai pendorong lokomotif maupun penahan.
Sedangkan jalur kereta api di Wonosobo tidak menggunakan gigi tengah, akan tetapi
lokomotif berganti dengan yang bertenaga lebih besar. Dalam satu rangkaian
perjalanan gerbong kereta api yang dimiliki oleh SDS berjumlah tiga buah.4Hal ini
dilakukan mempertimbangkan jalur kereta dari Banjarnegara menuju Wonosobo
dengan medan yang dilalui sangat sulit.
Jalur kereta api lintas Banyumas-Wonosobo melewati empat kabupaten, yaitu
Kabupaten Banyumas yang berpusat di kota Purwokerto, Purbalingga, Banjarnegara,
dan Wonosobo. Sepanjang jalur ini terdapat empat belas stasiun dan empat belas
tempat pemberhentian semacam halte.5 Pada masa jayanya, satu rangkaian kereta api
terdiri dari gerbong barang dan kereta penumpang. Dalam satu Rangkaian kereta api
dapat mencapai lima gerbong. Gerbong barang biasanya terdapat di urutan dua
kebelakang dan difungsikan sebagai tempat mengangkut hasil bumi seperti sayuran,
kina, teh dan tembakau
4Wawancara dengan Bapak Soedjono pada tangga l 6 Desember 2013
B. Pasang Surut Perkembangan Kereta Api Banyumas-Wonosobo
1. Persaingan dengan angkutan darat lainnya
Setelah beroperasi cukup lama dan menjadi alat trasnportasi andalan
masyarakat Banyumas dan Wonosobo, keberadaan alat transportasi ini mendapat
saingan.Hal itu disebabkan adanya pembangunan besar-besaran jalan darat yang
menghubungkan Banyumas sampai Wonosobo.Serta keberadaan kendaraan
bermotor lainnya dikhawatirkan oleh pengelola kereta SDS pada tahun 1920-an.
Menjelang tahun 1933 pasang surut perusahaan kereta api SDS ini
semakin terasa. Diawali dengan pendirian General Motors sebagai pabrik
perakitan otomobil pertama di Batavia.6
Distribusi kendaraan bermotor menuju pedalaman semakin gencar pada
masa tersebut. Ketika kendaraan bermotor semakin pesat serta jalan-jalan darat
mulai berkembang dengan pesat. Angkutan dari perusahaan mulai menggunakan
jenis transportasi truk dan otobis. Pada tahun 1922 outobis mulai beroperasi untuk
umum di karesidenan Banyumas. Perlahan masyarakat mulai berminat dengan
transportasi ini. Perusahaan angkutan yang pertama berdiri di Banyumas adalah
milik seorang Cina bernama H.B. Njoo yang berkedudukan di Purwokerto.7
Perbaikan jalan darat secara besar-besaran dan pengadaan transportasi
angkutan darat jalan raya menyebabkan sepinya para pedagang dan penumpang
6Malcolm Caldwell dan Ernst Utrecht, Sejarah Alternatif Indonesia, Yogyakarta, Djaman Baroe, 2011, hlm. 125
umum memanfaatkan kereta api. Pengguna jasa kereta api SDS turut berpindah
menggunakan transportasi darat tersebut. Pada tahun 1927 saja kendaraan darat
yang ada diwilayah Banyumas berjumlah 499 untuk kendaraan pribadi sedangkan
kendaraan umum berjumlah 12 buah. Alasan utama menggunakan truk maupun
kendaraan bermotor lainnya ialah mahalnya biaya yang harus dikeluarkan para
pengusaha untuk memakai jasa kereta api untuk satu kali perjalanan.
Berpindahnya sebagian masyarakat dengan menggunakan alat trasnportasi
lain juga disebabkan penggunaan kendaraan semacam bus dan truk lebih mudah
menjangkau daerah-daerah yang tidak mampu dilintasi oleh kereta api.
Kemudahan itu didasarkan pada keengganan para pengguna jasa kereta api
mengeluarkan biaya yang lebih besar dalam menggunakan jasa kereta api untuk
pengangkutan selanjutnya dari stasiun. Serta kesepakatan/negosiasi biaya sebelum
menggunakan truk maupun bus antara penjaja jasa dan pengguna jasa lebih
mudah dilakukan.
2. Masa Depresi ekonomi
`Akibat dari depresi ekonomi yang melanda pada tahun 1933 turut sebagai
akibat dari Perang Dunia I berdampak panjang bagi perekonomian Hindia
Belanda.Banyumas sebagai daerah yang ikut membangun pertumbuhan ekonomi
di Hindia Belanda juga terkena akibat dari depresi ekonomi tersebut.
Salah satu usaha yang tutup akibat dari depresi ekonomi tersebut ialah
pabrik-pabrik gula yang ada di Karesidenan Banyumas tutup, seperti pabrik gula
pada kisaran F 0.09 – F 0.10 per Kg tidak sebanding dengan biaya pengangkutan
yang selama menggunakan kereta SDS.Sehingga pengangkutan menggunakan
truk dianggap lebih murah untuk memangkas ongkos produksi.Pada tahun 1933
gula yang diangkut menggunakan SDS hanya 13.077 ton, tentu saja kondisi ini
membuat pihak SDS mengalami kerugian.8
Beberapa pabrik gula yang ada hanya pabrik gula Kalibagor saja yang
kembali beroperasi pada tahun 1933,9 tetapi dalam waktu yang lama setelah masa
depresi ekonomi tersebut.Selain itu kondisi perekonomian yang ada di Banyumas
sangat lesu karena beberapa barang kebutuhan sulit dipenuhi.Kalaupun ada
harganya pasti sangat mahal karena sudah di monopoli oleh beberapa pengusaha.
Masa depresi ekonomi juga berakibat pada kebutuhan masyarakat terhadap
pengangkutan, terutama jasa pengangkutan kereta api. Semakin surutnya kegiatan
ekonomi dapat dilihat ketika mulai berkurangnya intensitas pegiriman barang
menggunakan jasa kereta api baik yang dibawa masuk ke wilayah Banyumas ke
Wonosobo maupun sebaliknya. Hal tersebut dapat dilihat pada tabel dibawah ini
tahun 1933 memang kegiatan ekonomi surut.
Pendapatan N.V. Serajoedal Stoomtram Matschappij dari pengoperasian Trem th.1929-193410 (Gulden)
Tahun Pendapatan Kotor Biaya Operasional Pendapatan Bersih 1929 1.477.767.93 664.031.54 813.736.39 1930 1.137.668.54 614.836.32 522.832.22 1931 902.609.18 531.891.28 370.717.90 1932 821.391.33 393.807.89 427.583.44 1933 343.218.80 313.687.98 29.530.82 1934 353.289.74 266.700.75 86.588.99
Berdasarkan tabel diatas tahun 1933 adalah tahun yang terburuk untuk
pendapatan NV.SDS Semua ini diakibatkan krisis ekonomi jauh sebelum masa
depresi ekonomi yang melanda Hindia Belanda.Akan tetapi beberapa saat
kemudian kondisi ekonomi Hindia Belanda berangsur-angsur membaik meskipun
tidak membaik seperti sebelum terjadinya depresi ekonomi.
Kebangkitan kembali kehidupan perekonomian di Banyumas dapat terlihat
ketika pengoperasian kembali pabrik gula Kalibagor. Meskipun kebangkitan ini
tidak cukup kuat untuk merangsang kembali beroperasi pabrik gula lainnya di
seluruh wilayah Banyumas. Depresi ekonomi ini hampir merata di seluruh Hindia
Belanda yang merupakan masa-masa tersulit sepanjang sejarah penjajahan
Belanda.
C. Kereta Api jalur Banyumas-Wonosobo pada masa pendudukan Jepang
Jepang masuk ke wilayah Indonesia tahun 1942 melalui pelabuhan Tarakan
di Pulau Kalimantan. Dari Tarakan Jepang berhasil menyebrang ke Jawa dengan
mendarat di beberapa pelabuhan di pesisir pantai utara Jawa, Rembang Jawa
Tengah dan Banten. Meskipun penjajahan yang dilakukan Jepang tidak lama
nyatanya membawa dampak yang sangat besar bagi nasib bangsa Indonesia pada
saat itu. Pemerintah Jepang memberlakukan Romusha yang lebih kejam dari pada
kerja Rodi masa Belanda. Selain itu perubahan yang terjadi di Indonesia masa
penjajahan Jepang sangat terasa terutama dalam bidang tansportasi kereta api
yang dibangun zaman Belanda.
Perlu diketahui sampai dengan tahun 1939 panjang jalan kereta api di
Indonesia mancapai 6.811 km. Tetapi pada tahun 1950 panjangnya berkurang
menjadi 5.910 km, kurang lebih 901 km hilang. Diperkirakan hilangnya sebagian
sebagian komponen-komponen kereta api yang berasal dari Indonesia dibongkar
untuk diangkut Jepang ke Myanmar.
Jepang masuk ke Wonosobo dari arah timur yaitu melalui Kertek sampai
Semagung.11Jepang mulai menguasai sektor ekonomi peninggalan Belanda yaitu
beberapa perkebunan kopi, pabrik teh Tambi dan kereta api. Keberadaan kereta
api Wonosobo ini dimanfaatkan oleh Jepang sebagai upaya perluasan pendudukan
di pedalaman Jawa. Jepang membentuk kompi-kompi pasukan semi militer
sampai di daerah seperti pedalaman Jawa seperti Peta, Seinendan, Heiho dan
Keibodan.12 Seluruh pasukan ini disiapkan oleh Jepang dalam rangka perang Asia
Timur Raya melawan pihak Sekutu. Beberapa kereta api di Jawa tidak terkecuali
SDS digunakan sebagai alat angkutan logistik persenjataan untuk penguatan
Tentara ke Enam Belas. Pengelolaan SDS pada saat itu dibawah Chubu Kyoku.
Jepang berusaha menyatukan seluruh jalur kereta api di Jawa. Rencana
penyatuan ini dibawah perintah Mayor Takahashi kemudian digantikan oleh
Shosimatsu. Pada masa Jepang perkeretaapian berpusat di Bandung. Kereta api
pada masa Jepang dikuasai oleh Angkatan Darat Jepang diberi nama RIKUYU
SOKYOKU dan dibagi dalam tiga daerah eksploitasi yaitu,13
1. Seibu Kyoku di Jawa Barat
2. Chubu Kyoku di Jawa Tengah
3. Tobu Kyoku di Jawa Timur
Selain penyatuan jalur-jalur kereta api yang ada di Jawa pemerintah Jepang
juga membongkar beberapa jalur bagian dari kereta api SDS dengan alasan
keberadaannya kurang berfungsi strategis serta dan penghematan anggaran.
Keadaan ini hampir sama dengan nasib kereta api di Sumatera yang terkena imbas
dari zaman penjajahan Jepang, kereta api SDS di sepanjang sungai Serayu
beberapa jalurnya dibongkar oleh Jepang. Jalur yang dibongkar antara lain jalur
Kebasen (Gambarsari) sampai dengan Tanjung dibongkar. Sedangkan jalur
12 Ibid, hlm. 113
Gambarsari sampai Maos tetap dipertahankan untuk keperluan yang mendesak
dari pemerintah Jepang.
Pada 21 September 1942 ketika hendak berganti kereta api untuk menuju ke
Batavia dari Bandung maupun menuju ke Purwokerto penumpang kereta api tidak
transit lagi di Maos namun telah berpindah ke stasiun Kroya yang letakya kurang
lebih 10 km dari stasiun Maos.14Dalam perkembangan selanjutnya meningkatnya
jumlah angkutan yang berasal dari Cilacap membuat pemindahan dari Maos ke
Kroya semakin kuat. Sekaligus untuk meningkatkan pengamanan wilayah antara
Maos dan Cilacap.15
Selain perkembangan SDS pada masa Jepang perusahaan ini menjual
beberapa lokomotifnya. Perlu diketahui perusahaan ini memiliki seri lokomotif B,
Perusahaanjuga memiliki lokomotif seri C dan D, namun pada masa Perang
Dunia II lokomotif seri D NV. SDS dijual kepada perusahaan kereta api milik
pemerintahStaats Spoorwegen.16
D. Kondisi Setelah Kemerdekaan
Setelah Indonesia merdeka pada 17 Agustus 1945 keberadaan kereta api
melalui Angkatan Moeda Kereta Api (AMKA) mengambil alih kepemilikan
kereta api di Indonesia. Seluruh anggota AMKA adalah pegawai kereta api masa
14http://www.banjoemas.com/2010/05/serajoedal-stoomtram-maatschappij.html. Diakses pada tanggal
23 November 2013.
15Evaluasi Kerja PJKA Ekspolitasi Jalur Tengah Tahun 1977, Buku I
penjajahan Jepang. Begitu Soekarno dan Hatta mengumandangkan proklmasi
seketika seluruh wilayah di Indonesia ikut bergerak dalam menyambut bebasnya
Indonesia dari penjajahan bangsa asing.Siaran kemerdekaan disebarkan melalui
siaran Radio Republik Indonesia (RRI) pusat sehingga peristiwa ini dengan cepat
dapat didengarkan seluruh masyarakat yang ada di daerah.
Kekosongan kekuasaan di Indonesia setelah perginya Jepang dimanfaatkan
dengan baik oleh pemimpin bangsa.Selain keinginan dari seluruh masyarakat
untuk lepas dari belenggu penjajahan telah tertanam sejak lama. Sikap
nasionalisme para pejuang negara merupakan pernyataan yang berani oleh
beberapa tokoh bangsa Indonesia, hal ini juga yang terlihat dalam proses
nasionalisasi para anggota AMKA. Peristiwa ini terjadi beberapa kota besar yang
ada di Jawa terutama yang menjadi pusat perkeretaapian.
Wilayah Yogyakarta dan Jawa Tengah pengambil alihan kereta api dari
Jepang dilaksanakan pada tanggal 20 Agustus 1945. Kejadian ini meluas ke
wilayah lainnya seperti Jakarta dan Jawa Barat pada 4 September 1945 kemudian
pengambil alihan Balai besar di Bandung pada 28 September 1945.17
1. Nasionalisasi Perusahaan Swasta Belanda
Seluruh perusahaan swasta Belanda terutama perusahaan kereta api
tergabung dalam perkumpulan yang disebut dengan Verenigde
Spoorwegbedrijdf (VS) didalamnya termasuk SDS. Secara de facto sejak
tanggal 1 Januari 1950 semua aset VS telah diambil oleh Djawatan Kereta Api
DKA namun secara de Jure belum menjadi kekayaan negara. Berbeda dengan
status kepemilikan bekas kereta api pemerintah kolonial Belanda Staats
Sporweg (SS) seluruh asetnya dimiliki baik secara de facto dan de Jure adalah
milik DKA.
Berdasarkan Undang-undang nomor 86 Tahun 1958 tentang
“Nasionalisasi Perusahaan-perusahaan Milik Belanda Yang Berada di
Wilayah Republik Indonesia” dinyatakan semua perusahaan Belanda yang ada
di Indonesia dinasionalisasi dengan membayar ganti kerugian kepada pihak
kerajaan Belanda.18Alasan utama dari nasionalisasi ini adalah penegasan
kepada dunia internasional bahwa negara Indonesia telah merdeka dari
penjajahan negara asing sepenuhnya.Hal ini yang selalu dikobarkan oleh
Presiden Soekarno dalam memandu jalannya Revolusi Indonesia yang sedang
berlangsung.
Pelaksanaan nasionalisasi tersebut diatur dalam peraturan pemerintah
Republik Indonesia nomer 2 Tahun 1959 tentang “Pokok-pokok Pelaksanaan
Undang-undang Nasionalisasi Perusahaan Belanda”.Setelah dilakukan ganti
rugi kepada pihak kerajaan Belanda maka seluruh aset perusahaan swasta
Belanda menjadi aset dibawah kekuasaan negara Indonesia.
Meskipun pada awal kemerdekaan sering terjadi krisis dalam bidang
ekonomi namun pemerintah berusaha untuk mengatasi hal tersebut dengan
berbagai cara.Keinginan Soekarno untuk melenyapkan semua pengaruh asing
disadari betul sebagai sebuah proses ungkapan nasionalisme anak bangsa.
Tindakan pertama yang dilakukan oleh Soekarno yang berkaitan dengan jalur
kereta api adalah penghapusan seluruh jalur trem yang ada ibukota Jakarta.
2. Perubahan Nama Perusahaan
Setelah pengambil alihan kereta api dari Jepang pengelolaan kereta api
di Indonesia dipegang oleh Djawatan Kereta Api Republik Indonesia
(DKARI) berdasarkan maklumat Kementrian Perhubungan Indonesia nomor
1/KA tanggal 23 Oktober 1946.19
Pada masa Kedatangan Sekutu yang diboncengi Netherlands Indies
Civil Administratin (NICA) yang bermasksud mengembalikan tawanan
perang serta melucuti senjata tentara Jepang pada 29 September 1945.20
Pengelolaan kereta api di Jawa terbagi menjadi dua. Daerah yang dikuasai
oleh Republiken kereta api dikelola oleh DKARI, sedangkan di daerah yang
berhasil dikuasai kembali Belanda pengelolaan dibawah SS dan VS.
Setelah terjadi kembali pengakuan kedaulatan terhadap pemerintah
Indonesia kekuasaan kereta api kembali dikuasai pemerintah Indonesia.
berdasarkan Surat Keputusan Menteri Perhubungan Tenaga dan Pekerjaan
Umum Republik Indonesia tanggal 6 Januari 1950, DKARI, SS dan VS
digabung dalam satu jawatan baru yang benama Djawatan Kereta Api (DKA).
yang berkedudukan di Bandung.
19Ibid, hlm.16
Pada tahun 1963 berdasarkan Peraturan Pemerintah Repub;lik
Indonesia nomor 22 Tahun 1963 DKA diubah namanya menjadi Perusahaan
Negara Kereta Api (PNKA). Kemudian Peraturan Pemerintah Republik
Indonesia nomor 61 Tahun 1971 PNKA kembali diubah namanya menjadi
Perusahaan Jawatan Kereta Api (PJKA).
Seiring berjalannya waktu PJKA kemudian membagi wilayah kerja
kereta api di Indonesia termasuk bekas perusahaan bekas perusahaan kereta
api NV. SDS ini masuk dalam wilayah-wilayah Inspeksi 5 dibawah Ekploitasi
jalur tengah yang berpusat di Semarang. Eksploitasi jalur tengah ini menaungi
beberapa wilayah inspeksi antara lain inspeksi 6 Yogyakarta, dan inspeksi 4
Semarang. Pada kemudian hari nama inspeksi diganti dengan Daerah Operasi
(DAOP). Daerah operasi pada perkembangan selanjutnya bersifat lebih
otonom, dengan diberi kewenangan mengurusi wilayah operasional yang
menjadi tanggung jawab masing-masing DAOP.
Untuk wilayah kerja eksploitasi tengah jalur yang menghubungkan
seluruh daerah di karesidenan Banyumas-Wonosobo merupakan jalur yang
keramaiannya masih kalah dengan daerah lain seperti DAOP 6 Yogyakarta,
dan DAOP 4 Semarang dikarenakan ketidakadaan jalan melingkar, dengan
kata lain rangkaian panjang kereta api berhenti sampai di Wonosobo sebagai
tempat terakhir singgah di pedalaman sungai Serayu. Sebab lain dari kedua
DAOP 4 dan 6 aneka barang yang dikirim menggunakan jasa kereta api lebih
penupang, dan alat angkutan pengriman tembakau, gula aren (gula Jawa),
kulit pohon akasia, dan beberapa macam sayuran.
“Kereta api SDS ini selain digunakan untuk mengangkut barang-barang kebutuhan masyarakat yang dibawa dari wilayah Banyumas atau sebaliknya. Tahun 1970-an ada beberapa anak sekolah memakai jasa kereta api ini naik dari stasiun Klampok dan turun di Banjarnegara. Selain itu banyak anak-anak dari Klampok bersekolah di Purbalingga”.21
Sepanjang Tahun 1970-an
Stasiun sepanjang jalur yang dilalui oleh bekas SDS yang diturunkan tingkatannnya22
Stasiun Dari kelas Menjadi Purwokerto Timur
2 4
Purworejo (Banjarnegera)
3 4
Wonosobo
4 5
Purbalingga
4 5
Penuruanan kelas stasiun ini didasarkan pada tingkat keramaian penggunaan
kereta api dan jumlah pemberangkatan kereta api dalam sehari. Penurunan ini
disebabkan oleh pembangunan jalan raya dari Wonosobo sampai Purwokerto yang
melalui Banjarnegara, dan Purbalingga semakin pesat menjelang tahun 1970.Dengan
berkembangnya jaringan jalan raya diikuti dengan bertambahnya jumlah kendaraan
darat yang ada sebagian masyarakat yang ada beralih menggunakan bus maupun
transportasi darat lainnya.
21Soedjono, op. cit. Wawancara tanggal 6 Desember 2013
Tahun anggaran 1976 Dalam prosentase
Sumber: (Arsip Laporan Evaluasi Kerja PJKA Eksploitasi Tengah Tahun 1977, Buku I)
Tahun 1963 pihak DKA menjalin kerjasama dengan sebuah perusahaan dari
Inggris Beyer Peacock & co. Manchesteruntuk pengadaan kereta api disel. Karena
pihak perusahaan merasa bahwa jenis kereta api uap sudah mulai tergerus dengan
tuntutan zaman. Beberapa lasan penggantian kereta api uap dengan disel ialah 1)
Jenis bahan bakar batubara/Kayu bakar yang diperuntukan untuk operasional kereta
api uap pada tahun-tahun tersebut mulai suli didapatkan, 2) Kereta api uap yang
usianya sudah cukup tua sering mengalami kerusakan yang tidak bisa diperediksi,
sehingga keadaan semacam ini cukup mengganggu pengangkutan, 3) Perusahaan
kereta api membutuhkan kereta yang dapat berjalan dengan cepat agar mampu
bersaing dengan transportasi darat lainnya. Atas pertimbangan-pertimbangan itu
maka perusahaan kereta api miliki pemerintah Indonesia yang pada saat itu masih
bernama Djawatan Kereta Api (DKA) mendatangkan kereta api jenis disel.
Dalam kerjasama itu pihak DKA memesan lokomotif disel yang berjumlah
kurang lebih 3 unit untuk melayani jalur Purwokerto sampai Wonosobo. Sejak saat
itu kedudukan kereta api uap di Banyumas sampai Wonosobo mulai digeser dengan
lokomotif disel.23Dengan adanya lokomotif disel diharapkan transportasi angkutan
barang maupun penumpang di wilayah ini akan semakin lancar dan mampu bersaing
dengan transportasi darat lainnya.24
Alasan utama penggantian lokomotif uap ini karena pada saat itu ada beberapa
kendala yang dialami lokomotif uap antara lain 1) Lokomotif uap sering macet ketika
beroperasi, 2) Bahan bakar yang dibutuhkan oleh lokomotif uap mulai sulit
didapatkan sehingga sering mengganggu operasional, 3) Jadwal dari lokomotif uap
ini sering tidak teratur karena kerusakan yang dialami beberapa lokomotif yang ada.
Ketika jalan darat sudah semakin berkembang pada saat itu langkah cepat dari
pengelola jalur kereta api ini begitu jeli. Keengganan kehilangan penumpang,
kemudian pihak pengelola mendatangkan jenis lokomotif disel untuk tetap
mengoperasikan jalur kereta api jalur ini. Seakan langkah untuk mendatangkan
lokomotif disel menjadi sesuatu yang mendesak bagi pengelola kereta api. Namun
usaha ini tetap saja tidak mampu menghadapi derasnya persaingan dengan kendaraan
darat lainnya.
39
BAB IV
DAMPAK KEBERADAAN KERETA API JALUR BANYUMAS-WONOSOBO
Wilayah Bnyumas dan Wonosobo dianggap memiliki potensi alam yang besar
untuk dimanfaatkan pemerintah kolonial Belanda. Akhirnya Belanda mulai
memetakan wilayah Wonosobo dan Banyumas sebagai penghasil tanaman yang laku
di Eropa seperti teh, tembakau, kina dan kayu manis. Sedangkan karesidenan
Banyumas sebagai lahan yang potensial bagi tebu dan beberapa tanaman lain dengan
jumlah yang relatif sedikit semacam kopi, kayu-kayuan, kina, kapas dan kayu manis.
Setelah industri gula berkembang cukup pesat di Banyumas terjadi masalah
baru bagaimana agar pendistribusian barang produksi dapat dilakukan dengan cepat,
untuk itu pengusaha gula di Klampok mengajukan ijin pembangunan jalan kereta api
di Banyumas. Jalan kereta api difungsikan sebagai sarana pengangkutan hasil
produksi untuk dikirim melalui pelabuhan Cilacap. Perkembangan sarana transportasi
kereta api lambat laun tidak hanya digunakan untuk pengangkutan barang namun
dalam perkembangan selanjutnya juga difungsikan sebagai sarana pengangkutan
penumpang.
A. Dampak di Bidang Ekonomi
Kehidupan kota tentu saja didukung dengan aktivitas yang ada didalamnnya.
kemajuan suatu kota. Untuk menghidupkan kota tentu saja banyak cara yang
dilakukan oleh masyarakat baik itu aktivitas ekonomi, sosial dan budaya. Kehidupan
kota terjadi karena bertemunya interaksi sesama masyarakat dari lain daerah untuk
menjalin komunikasi satu sama lain.
Perkembangan kota-kota kolonial atau kota-kota Indis pada tahun
1900-1940-an meningkat deng1900-1940-an cepat. Sejal1900-1940-an deng1900-1940-an meningkatnya perekonomi1900-1940-an pada
sektor-sektor tertentu, misalnya pertambangan, perkebunan, perdagangan dan
perindustrian. Pesatnya proses modernisasi industrialisasi, komersialisasi dan
pendidikan yang terpusat di kota telah menjadi faktor penggerak perubahan dan
penarik arus urbanisasi dan migrasi penduduk di daerah Indonesia.1
Setelah beroperasi beberapa waktu di Banyumas akhirnya kereta api SDS
dapat membangun perpanjangan jalur sampai Wonosobo. Wilayah ini merupakan
jalur sulit karena daerah dataran tinggi yang perlu teknik khusus untuk melintasinya.
Alasan pembangunan jalur kereta api jalur ini tentu saja untuk kepentingan strategis
ekonomi pengusaha perkebunan dan pemerintah kolonial Belanda. Beberapa tahun
beroerasi jalur ini banyak mendapat respon yang cukup bagus dari masyarakat.
Sehingga terjadi hubungan simbiosis mutualisme antara pengguna jasa kereta api
yang kebanyakan adalah pengusaha perkebunan, dan penumpang umum dengan
pemilik pengelola kereta api SDS.
1Djoko Suryo, “Pendudukan dan Perkembangan Kota Yogyakarta 1900-1990”, Dalam Kota Lama