• Tidak ada hasil yang ditemukan

Peranan gabungan politik Indonesia dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia tahun 1939-1941.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Peranan gabungan politik Indonesia dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia tahun 1939-1941."

Copied!
102
0
0

Teks penuh

(1)

ABSTRAK

PERANAN GABUNGAN POLITIK INDONESIA DALAM PERJUANGAN KEMERDEKAAN INDONESIA TAHUN 1939-1941

Natalia Kartika Dewi Rudiyanto Universitas Sanata Dharma

2013

Penulisan tugas akhir ini bertujuan untuk mendeskripsikan dan menganalisis 1) Faktor apa yang melatarbelakangi dibentuknya Gabungan Politik Indonesia pada tahun 1939, 2) Peranan Gabungan Politik Indonesia dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia pada tahun 1939-1941, 3) Kontribusi Gabungan Politik Indonesia dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia pada tahun 1939-1941. Penulisan tugas akhir ini disusun dengan berdasarkan metode penelitian sejarah yang mencakup lima tahapan yaitu, perumusan judul, pengumpulan sumber, verifikasi (kritik sumber), interpretasi, dan historiografi dengan pendekatan sosial-politik yang ditulis secara deskriptif analitis.

(2)

ABSTRACT

THE ROLE OF GABUNGAN POLITIK INDONESIAN IN INDONESIA’S STRUGGLE FOR INDEPENDENCE IN 1939-1941

Natalia Kartika Dewi Rudiyanto Universitas Sanata Dharma Yogyakarta

2013

This final assignment is aimed to describe and analyze: 1) The factor that helped establish Gabungan Politik Indonesia in 1939, 2) The role of Gabungan Politik Indonesia in Indonesia’s struggle for independence in 1939-1941, 3) The contribution of Gabungan Politik Indonesia in Indonesia’s struggle for independence in 1939-1941.

The method of the study includes observation which comprise of five phases: Topic Selection, Heuristic, Verification, Interpretation, and Historiography. Using socio-political approach, the result is presented in analytical descriptive writing.

(3)

PERANAN GABUNGAN POLITIK INDONESIA

DALAM PERJUANGAN KEMERDEKAAN

INDONESIA TAHUN 1939-1941

MAKALAH

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan

Program Studi Pendidikan Sejarah

Oleh:

Natalia Kartika Dewi Rudiyanto NIM : 071314031

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SEJARAH

JURUSAN PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA

(4)

PERANAN GABUNGAN POLITIK INDONESIA

DALAM PERJUANGAN KEMERDEKAAN

INDONESIA TAHUN 1939-1941

MAKALAH

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan

Program Studi Pendidikan Sejarah

Oleh:

Natalia Kartika Dewi Rudiyanto NIM : 071314031

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SEJARAH

JURUSAN PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA

2013

(5)

MAKALAH

PERANAN GABUNGAN POLITIK INDONESIA DALAM PERJUANGAN KEMERDEKAAN INDONESIA TAHUN 1939-1941

Oleh:

Natalia Kartika Dewi Rudiyanto NIM : 071314031

Telah Disetujui Oleh:

Pembimbing

Dr. Anton Haryono, M. Hum. Tanggal 18 Juli 2013

(6)

MAKALAH

PERANAN GABUNGAN POLITIK INDONESIA DALAM PERJUANGAN KEMERDEKAAN INDONESIATAHUN 1939-1941

Dipersiapkan dan ditulis oleh : Natalia Kartika Dewi Rudiyanto

NIM : 071314031

Telah dipertahankan di depan Panitia Penguji Pada tanggal 13 November 2013 Dan dinyatakan telah memenuhi syarat

Susunan Panitia Penguji

Nama Lengkap Tanda Tangan

Ketua : Indra Darmawan, S.E.,M.Si. ... Sekertaris : Dra. Theresia Sumini, M.Pd. ... Anggota : Dr. Anton Haryono, M.Hum. ... Anggota : Drs. B. Musidi, M.Pd. ...

Yogyakarta, 13 November 2013

Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sanata Dharma

Dekan,

Rohandi, Ph.D.

(7)

PERSEMBAHAN

Tugas Akhir Makalah ini saya persembahkan kepada:

1. Kedua orang tua saya, April Rudiyanto dan Yudi Wardani yang telah memberikan dukungan dan doa kepada saya selama mengerjakan tugas akhir ini.

2. Tante saya, Ibu Yudi Warnani yang telah memberikan dukungan dan doa kepada saya selama mengerjakan tugas akhir ini.

3. Adik-adik saya Yulia Permatasari Rudiyanto, Antariksa Doni Rudiyanto, Purbaningtyas Sitaresmi Rudiyanto, Widyo Adi Baskoro, dan Ella Widya Nugrahaeni yang telah memberikan dukungan dan doa.

4. Teman-teman saya di Program Pendidikan Sejarah Angkatan 2007 yang telah banyak memberikan masukan, bantuan, dukungan, serta doa kepada saya.

(8)

MOTTO

“Cara kamu menilai diri kamu adalah cara orang lain menilai kamu”

(Paul Arden)

“Mulailah berpikir dan bertindak layaknya seorang pemenang”

(Paul Arden)

“Kepercayaan dan ketekunan menghasilkan proses peningkatan pengetahuan, tanggung jawab, inisiatif, dan kreativitas”

(Daniel Tumiwa)

(9)

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA

Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa makalah yang saya tulis ini tidak memuat karya atau bagian karya orang lain, kecuali yang telah disebutkan dalam kutipan atau daftar pustaka, sebagaimana layaknya karya ilmiah.

Yogyakarta, 13 November 2013 Penulis,

Natalia Kartika Dewi Rudiyanto

(10)

LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN

PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Yang bertanda tangan di bawah ini, saya mahasiswa Universitas Sanata Dharma: Nama : Natalia Kartika Dewi Rudiyanto

Nomor Mahasiswa : 071314031

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma karya ilmiah saya yang berjudul:

“Peranan Gabungan Politik Indonesia Dalam Perjuangan Kemerdekaan Indonesia Tahun 1939-1941”

beserta perangkat yang diperlukan (bila ada). Dengan demikian saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma hak untuk menyimpan, mengalihkan dalam bentuk media lain, mengelolanya dalam bentuk pangkalan data, mendistribusikan secara terbatas, dan mempublikasikannya di Internet atau media lain untuk kepentingan akademis tanpa perlu meminta ijin dari saya maupun memberikan royalti kepada saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis.

Demikian pernyataan ini yang saya buat dengan sebenarnya.

Dibuat di Yogyakarta, 13 November 2013

Yang menyatakan

Natalia Kartika Dewi Rudiyanto

(11)

ABSTRAK

PERANAN GABUNGAN POLITIK INDONESIA DALAM PERJUANGAN KEMERDEKAAN INDONESIA TAHUN 1939-1941

Natalia Kartika Dewi Rudiyanto Universitas Sanata Dharma

2013

Penulisan tugas akhir ini bertujuan untuk mendeskripsikan dan menganalisis 1) Faktor apa yang melatarbelakangi dibentuknya Gabungan Politik Indonesia pada tahun 1939, 2) Peranan Gabungan Politik Indonesia dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia pada tahun 1939-1941, 3) Kontribusi Gabungan Politik Indonesia dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia pada tahun 1939-1941. Penulisan tugas akhir ini disusun dengan berdasarkan metode penelitian sejarah yang mencakup lima tahapan yaitu, perumusan judul, pengumpulan sumber, verifikasi (kritik sumber), interpretasi, dan historiografi dengan pendekatan sosial-politik yang ditulis secara deskriptif analitis.

Hasil dari penulisan tugas akhir ini adalah: 1) Faktor yang melatarbelakangi dibentuknya Gabungan Politik Indonesia pada tanggal 21 Mei 1939 adalah ditolaknya Petisi Soetardjo oleh pemerintah Belanda. 2) Peranan Gabungan Politik Indonesia dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia adalah, menggagas program aksi “Indonesia Berparlemen” pada tanggal 4 Juli 1939, meyelenggarakan Kongres Rakyat Indonesia pada tanggal 23-25 Desember 1939, dan mengeluarkan resolusi perubahan ketatanegaraan (Nood Staatsrecht). 3) Kontribusi Gabungan Politik Indonesia dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia adalah disusunnya rancangan bentuk dan susunan negara Indonesia pada tanggal 31 Januari 1941, dan menyelenggarakan kembali Kongres Rakyat Indonesia tanggal 13 hingga 14 April 1941 di Yogyakarta yang menghasilkan pembentukan Majelis Rakyat Indonesia.

(12)

ABSTRACT

THE ROLE OF GABUNGAN POLITIK INDONESIAN IN INDONESIA’S STRUGGLE FOR INDEPENDENCE IN 1939-1941

Natalia Kartika Dewi Rudiyanto Universitas Sanata Dharma Yogyakarta

2013

This final assignment is aimed to describe and analyze: 1) The factor that helped establish Gabungan Politik Indonesia in 1939, 2) The role of Gabungan Politik Indonesia in Indonesia’s struggle for independence in 1939-1941, 3) The contribution of Gabungan Politik Indonesia in Indonesia’s struggle for independence in 1939-1941.

The method of the study includes observation which comprise of five phases: Topic Selection, Heuristic, Verification, Interpretation, and Historiography. Using socio-political approach, the result is presented in analytical descriptive writing.

The results of this final assignment are, 1) The factor that established Gabungan Politik Indonesia in 21 May 1939 was the rejection of Soetardjo’s Petition by the Dutch government. 2) The role of Gabungan Politik Indonesia in Indonesia’s struggle for independence was to form established parliament using action program “Indonesian Parliament” since 4 July 1939 by Indonesian People Congress in 23-25 December 1939 , and consider state structure changed that was state structure’s law for critical situation. 3) The contribution of Gabungan Politik Indonesia in Indonesia’s struggle for independence in 1939-1941 was to arrange Indonesian form and polity of Indonesian state in 31 January 1941, and holding the Indonesian People Congress in 13 until 14 April 1941 in Yogyakarta, which resulted in the formation of the Indonesian People Council.

(13)

KATA PENGANTAR

Puji syukur saya panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, yang telah melimpahkan segala rakmat dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan Tugas Akhir Makalah yang berjudul “Peranan Gabungan Politik Indonesia Dalam Perjuangan Kemerdekaan Indonesia Tahun 1939-1941”.

Penulisan Tugas Akhir ini disusun untuk memenuhi salah satu syarat dalam memperoleh gelar Sarjana Pendidikan (S.Pd.) di Universitas Sanata Dharma, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Jurusan Ilmu Pengetahuan Sosial, Program Studi Pendidikan Sejarah. Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan Tugas Akhir Makalah ini tidak lepas dari bantuan berbagai pihak, oleh karena itu maka penulis menyampaikan terima kasih kepada:

1. Bapak Rohandi, Ph.D., selaku Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sanata Dharma.

2. Bapak Indra Darmawan SE., M.Si., selaku Ketua Jurusan Ilmu Pengetahuan Sosial.

3. Ibu Dra. Th. Sumini, M.Pd, selaku Ketua Program Studi Pendidikan Sejarah. 4. Bapak Dr. Anton Haryono, M.Hum., selaku dosen pembimbing yang telah

memberikan waktu, dukungannya dalam membimbing penulisan Tugas Akhir Makalah ini.

5. Seluruh Dosen dan karyawan sekretariat program studi Pendidikan Sejarah atas saran dan bantuannya selama penyusunan Tugas Akhir Makalah ini. 6. Kedua orang tua saya yang telah mendukung saya baik dalam bentuk moril

dan materil selama penyusunan Tugas Akhir Makalah ini.

7. Semua pihak yang telah membantu saya dalam penyusunan makalah ini yang tidak dapat saya sebut satu per satu.

Penulis menyadari bahwa dalam penulisan dan penyusunan Tugas Akhir Makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh karenanya penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun demi sempurnanya makalah ini.

(14)

Demikian Tugas Akhir Makalah ini disusun, semoga dapat memberikan manfaat bagi yang membacanya. Dan penulis mohon maaf apabila ada kesalahan dalam kata-kata yang kurang berkenan.

Yogyakarta, 15 Juli 2013

Natalia Kartika Dewi Rudiyanto

(15)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

HALAMAN PERSEMBAHAN ... iv

HALAMAN MOTTO ... v

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... vi

LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS ... vii

ABSTRAK ... viii

ABSTRACT ... ix

KATA PENGANTAR ... x

DAFTAR ISI ... xii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiv

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 7

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan ... 7

1. Tujuan Penulisan ... 7

2. Manfaat Penulisan ... 8

D. Sistematika Penulisan ... 9

BAB II LAHIRNYA GABUNGAN POLITIK INDONESIA TAHUN 1939 ... 11

A. Petisi Soetardjo ... 13

B. Lahirnya Gabungan Politik Indonesia ... 21

(16)

BAB III PERANAN GABUNGAN POLITIK INDONESIA

DALAM PERJUANGAN KEMERDEKAAN INDONESIA

TAHUN 1939-1941 ... 26

A. Menggagas Manifesto Pembentukan Parlemen ... 27

B. Menyelenggarakan Kongres Rakyat Indonesia ... 30

C. Mengeluarkan Resolusi Perubahan Ketatanegaraan ... 39

BAB IV KONTRIBUSI GABUNGAN POLITIK INDONESIA DALAM PERJUANGAN KEMERDEKAAN INDONESIA TAHUN 1939-1941 ... 44

A. Terbentuknya Rancangan Susunan Parlemen Bentukan GAPI ... 44

B. Terbentuknya Majelis Rakyat Indonesia ... 49

BAB V KESIMPULAN ... 59

DAFTAR PUSTAKA ... 63

LAMPIRAN ... 65

(17)

DAFTAR LAMPIRAN

SILABUS ... 66 RPP ... 70

(18)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pendudukan wilayah Indonesia oleh pemerintah Belanda sejak masa VOC hingga masa Politik Kolonial Liberal menyebabkan keterbelakangan bangsa Indonesia yang lahir atas penindasan yang dilakukan oleh pemerintah kolonial Belanda. Inilah yang menyebabkan mulai tumbuh dan berkembangnya kesadaran untuk mengangkat harkat dan martabat Indonesia dari keterpurukan yang muncul akibat dari kolonialisme yang berkepanjangan di bumi pertiwi. Memasuki abad ke 20, Indonesia masuk dalam periode Kebangkitan Nasional, yang mana pada periode ini mulai muncul dan tumbuhnya kesadaran di benak bangsa Indonesia, terutama dari kaum cendekiawan dan terpelajar Indonesia, baik yang menuntut ilmu di Indonesia, maupun yang berada di luar negeri, terutama di negeri Belanda.

Pertumbuhan dan kesadaran yang menjiwai proses itu menurut bentuk manifestasinya telah melalui langkah-langkah yang wajar, yaitu mulai dengan lahirnya ide-ide seperti emansipasi dan liberalisme dari status serba terbelakang, baik yang berakar dari tradisi maupun yang tercipta oleh situasi kolonial1. Dengan adanya diskriminasi di dalam masyarakat, maka rakyat menjadi sadar akan ketidaksamaan hak-hak yang dimilikinya dan akan

1

Sartono Kartodirdjo, Pengantar Sejarah Indonesia Baru: Sejarah Pergerakan Nasional, Jakarta, 1990, hlm.120.

(19)

keadaannya yang terjajah itu2. Dari dasar itulah maka akhirnya muncul keinginan atau cita-cita yang luhur demi terangkatnya taraf hidup dan meningkatnya kesadaran akan pendidikan bagi bangsa Indonesia, yang selama hampir tiga setengah abad ditindas oleh pemerintahan kolonial Hindia Belanda.

Pergerakan nasional di Indonesia erat hubungannya dengan keberhasilan negara-negara Asia lainnya, yaitu seperti kemenangan Jepang atas Rusia pada tahun 1905, Gerakan Turki Muda, Revolusi Cina, juga dengan pergerakan-pergerakan nasional lainnya di negara-negara tetangga, yakni di India dan Filipina yang pada saat itu juga sedang mengalami gejolak kebangkitan nasional. Inilah yang mempengaruhi perjuangan kaum nasionalis di Indonesia. Pengaruh lainnya yang menyebabkan berkembangnya gerakan-gerakan tersebut adalah adanya ekspansi pendidikan modern yang pada saat itu tumbuh dengan pesatnya, sehingga memunculkan para cendekiawan pribumi Indonesia

Memasuki tahun 1920 pergerakan nasional Indonesia telah mengalami perkembangan, terutama dalam kesadaran bidang politik. Awalnya beberapa organisasi belum menjadikan politik sebagai fokus utamanya, tetapi menjelang Perang Dunia I pada awal dekade abad 20, organisasi-organisasi pergerakan mulai mengubah haluannya ke arah politik, termasuk pula Budi Oetomo dan Sarekat Islam, yang awalnya berfokus pada pendidikan dan ekonomi. Indie Werbaar (Aksi Hindia Bertahan) yang digagas oleh pemerintah kolonial

2

(20)

Belanda mendapatkan tanggapan positif dari kaum pergerakan, yang kemudian dilanjutkan dengan dibentuknya Dewan Rakyat (Volksraad) pada tanggal 16 Desember 1916 dan baru diresmikan pada tanggal 18 Mei 1918. Dewan Rakyat ini merupakan badan penasehat yang bertugas memberikan nasehat dan masukan kepada Gubernur Jendral, dengan harapan nantinya mampu menyalurkan aspirasi politik rakyat Indonesia kepada pemerintah kolonial Belanda.

Organisasi-organisasi pergerakan nasional yang awalnya bersikap lunak dan kooperatif terhadap pemerintah kolonial tersebut pada tahun 1920an mulai bersikap radikal terhadap pemerintah, terutama terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah yang dinilai tidak adil. Kecenderungan perubahan sikap ini disebabkan oleh masuknya pengaruh paham sosialis dan komunis dengan gagasan yang diusung, yakni Marxisme-Revolusioner yang berhasil menggeser sikap perjuangan nasional ke arah antikolonialisme dan antikapitalisme dengan ekstrem-revolusionernya. Baik SI maupun BO tidak dapat terhindar dari proses radikalisasi, setengahnya karena politik kolonial yang reaksioner, setengahnya karena terpengaruh agitasi pemimpin-pemimpin sosialis-komunis tersebut di atas3.

Salah satu bentuk sikap yang dianggap radikal oleh pemerintah kolonial Belanda adalah ketika menjelang dibentuknya Dewan Rakyat (Volksraad), Budi Oetomo membuat program sebagai bentuk tuntutan mereka, yaitu:

1. Segera dibentuknya sistem pemerintahan parlementer.

3

(21)

2. Segera dibuatnya undang-undang yang menjamin persamaan bagi semua warga masyarakat.

3. Dibukanya kesempatan terbuka bagi perkembangan semua golongan masyarakat.

Program politik yang disampaikan oleh Budi Oetomo ini menyebabkan organisasi ini tergabung dalam Radicale Concentratie (Konsentrasi Radikal), yaitu badan yang mempersatukan aliran-aliran kiri yang ada di dalam Volksraad. Bersama-sama dengan SI, ISDV, dan Insulinde, Radicale

Concentratie yang terbentuk pada tanggal 16 November 1918 menuntut

dibentuknya pemerintahan parlementer. Radicale Concentratie dapat dikatakan sebagai badan konsentrasi nasional pertama pada awal pergerakan nasional Indonesia.

(22)

Indonesia dengan kekuatan sendiri, oleh karenanya maka diperlukanlah persatuan bangsa.

PNI menjalankan aksinya dengan gencar, seperti menyelenggarakan kongres-kongres PNI pada tanggal 27-30 Mei 1928 dan pada tanggal 18-20 Mei 1928. Rupanya aksi-aksi yang digencarkan oleh PNI ini mendapatkan simpati dari seluruh lapisan masyarakat, dan PNI juga mengalami kemajuan-kemajuan dalam menjalankan usahanya untuk memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Sepak terjang PNI ini membuat resah kaum reaksioner Belanda, sehingga pada tahun 1929 dibentuklah Vaderlandsche Club yang tujuan utamanya adalah mendesak pemerintah kolonial Belanda untuk segera menindak tegas PNI, karena kegiatan yang dilakukan oleh partai politik tersebut dinilai sudah membahayakan. Desakan-desakan yang dikeluarkan oleh badan tersebut mendapatkan respon dari pemerintah kolonial Belanda, Gubernur Jendral De Jonge, yang menjalankan pemerintahnya dengan tangan besi, tidak segan-segan menangkap kaum nasionalis dan membuangnya ke luar pulau Jawa, seperti yang dilakukannya kepada Ir. Soekarno ke Ende, Flores. Begitu juga dengan menangkap serta membuang para petinggi PNI yang lain, meskipun mereka sudah memecahkan diri dari PNI dan membuat organisasi-organisasi sendiri, seperti Partindo dan PNI-Baru (Partai Pendidikan Indonesia).

(23)

radikal dan non kooperatif terhadap pemerintah mulai merubah haluannya menjadi lebih lunak dan kooperatif, salah satunya adalah dibentuknya Fraksi Nasional oleh M.H. Thamrin yang juga merupakan anggota dari Volksraad, Parindra (Partai Indonesia Raya). Salah satu tujuan dari pembentukan organisasi tersebut adalah, memperjuangkan kemerdekaan Indonesia dengan cara kooperatif, yaitu dengan bekerjasama dengan pihak pemerintah kolonial Belanda. Salah satunya adalah terobosan yang dilakukan oleh Soetardjo Kartohadikoesoemo dengan menggagas petisi Soetardjo, meskipun pada akhirnya petisi tersebut ditolak oleh pemerintah.

(24)

(GAPI) pada tanggal 21 Mei 19394. Adapun salah satu tujuan GAPI adalah untuk melanjutkan gagasan dari Petisi Soetardjo yang ditolak oleh pemerintah kolonial Belanda.

B. Rumusan Masalah

Dari latar belakang di atas, maka rumusan masalah pada makalah yang berjudul “Peranan Gabungan Politik Indonesia dalam Perjuangan

Kemerdekaan Indonesia Tahun 1939-1941”, adalah:

1. Faktor apa yang melatarbelakangi dibentuknya Gabungan Politik Indonesia (GAPI) pada tahun 1939?

2. Bagaimana peranan Gabungan Politik Indonesia (GAPI) dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia pada tahun 1939-1941?

3. Apa kontribusi Gabungan Politik Indonesia (GAPI) dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia pada tahun 1939-1941?

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan 1. Tujuan Penulisan

Adapun tujuan dari penulisan makalah yang berjudul Peranan Gabungan Politik Indonesia Dalam Perjuangan Kemerdekaan Indonesia tahun 1939-1941 ini adalah sebagai berikut:

4

(25)

a. Untuk mendeskripsikan dan menganalisa faktor-faktor penting yang melatarbelakangi dibentuknya Gabungan Politik Indonesia pada tahun 1939.

b. Untuk mendeskripsikan dan menganalisa peranan Gabungan Politik Indonesia dalam dunia perpolitikan di Indonesia pada tahun 1939 hingga tahun 1941.

c. Untuk mendeskripsikan dan menganalisa kontribusi Gabungan Politik Indonesia dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia pada tahun 1939 hingga tahun 1941.

2. Manfaat Penulisan

Adapun manfaat dari penulisan makalah berjudul Peranan Gabungan Politik Indonesia dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia pada tahun 1939-1941, adalah sebagai berikut:

a. Bagi Universitas Sanata Dharma

Dari penulisan ini dharapkan dapat menambah koleksi bahan bacaan yang dapat memperkaya khasanah dunia pustaka khususnya pada karya tulis yang nantinya dapat dimanfaatkan sebagai bahan referensi bagi mahasiswa. Terutama mengenai penulisan tentang peranan Gabungan Politik Indonesia (GAPI) dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia pada tahun 1939 hingga tahun 1941.

b. Bagi Ilmu Pengetahuan

(26)

sejarah mengenai organisasi perpolitikan Indonesia sebelum masa kemerdekaan Indonesia, yaitu mengenai peranan Gabungan Politik Indonesia (GAPI) dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia pada tahun 1939 hingga 1941.

c. Bagi Penulis

Penulisan tugas akhir makalah ini akan menambah pengetahuan serta pengalaman baru bagi penulis, serta menjadi sarana untuk menerapkan teori-teori yang telah penulis dapatkan selama duduk di bangku kuliah untuk dipraktikkan di dunia nyata, sehingga dapat dijadikan sebagai bekal berharga penulis untuk menjadi calon guru sejarah yang kompeten dan profesional.

D. Sistematika Penulisan

Adapun sistematika penulisan makalah yang berjudul “Peranan Gabungan Politik Indonesia Dalam Perjuangan Kemerdekaan Indonesia Tahun 1939-1941”, adalah sebagai berikut:

BAB I Bab ini berisi bagian pendahuluan yang memuat latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan dan manfaat penulisan, serta sistematika penulisan.

(27)

BAB III Bab ini berisi uraian mengenai peranan Gabungan Politik Indonesia dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia dalam rentang waktu 1939 hingga tahun 1941.

BAB IV Bab ini berisi uraian mengenai kontribusi Gabungan Politik Indonesia dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia, pada tahun 1939 hingga tahun 1941.

(28)

BAB II

LAHIRNYA GABUNGAN POLITIK INDONESIA TAHUN 1939

Pasca ditangkap dan dibuangnya para pemimpin gerakan-gerakan nasionalis yang dianggap oleh pemerintah kolonial Belanda radikal, seperti Ir. Soekarno ke luar Jawa, para pendukung gerakan nasionalis mulai mendirikan partai-partai lainnya, seperti Mr. Sartono, mendirikan Partai Indonesia (Partindo), Moh. Hatta dan Sutan Sjahrir mendirikan Pendidikan Nasional Indonesia (PNI-Baru). Tujuan dari didirikannya kedua partai tersebut adalah memperjuangkan kemerdekaan politik Indonesia dengan menggunakan taktik non kooperasi. Dalam sistemnya, PNI lebih mengutamakan kepada pendidikan politik dan sosial, sedangkan Partindo sendiri lebih mengutamakan kepada aksi massa, karena menurut partai ini aksi massa dianggap sebagai senjata paling cocok untuk memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Dalam perkembangannya, kedua organiasasi ini tidak berhasil dalam usahanya memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Ini dikarenakan sikap pemerintah kolonial Belanda yang sangat keras mengawasi gerak-gerik kaum nasionalis Indonesia, terutama pada saat dipimpin oleh Gubernur Jendral De Jonge yang dengan segera menindak gerakan-gerakan tersebut dengan menangkap dan membuang pemimpin-pemimpin nasionalis, seperti Partindo dan PNI-Baru ke luar Jawa, seperti ke Digul ataupun ke Ende, Flores.

(29)

Akibat dari sikap pemerintah kolonial Belanda yang sangat keras dalam menindak kaum nasionalis yang berusaha dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia, maka munculah ide untuk membentuk Fraksi Nasional dalam tubuh Volksraad. Gagasan ini diangkat oleh M.H. Thamrin yang merupakan seorang

anggota Dewan Rakyat yang juga ketua perkumpulan kaum Betawi. Fraksi Nasional ini dibentuk pada tanggal 27 Januari 1930 di Jakarta dengan anggota berjumlah 10 orang yang terdiri dari perwakilan daerah-daerah di seluruh Indonesia, seperti Jawa, Sumatra, Sulawesi, dan Kalimantan. Fraksi ini mengangkat M.H. Thamrin sebagai ketuanya. Dalam tindakannya Fraksi Nasional lebih memusatkan usahanya di dalam lingkungan Volksraad5. Tujuan dari dibentuknya Fraksi Nasional ini adalah menjamin adanya kemerdekaan dalam waktu yang singkat, melalui usaha merubah ketatanegaraan, penghapusan perbedaan politik, ekonomi, dan intelektual, dan menjalankan usaha tanpa harus melanggar hukum.

Pembentukan Fraksi Nasional ini muncul akibat dari politik tangan besi yang dijalankan oleh Gubernur Jendral De Jonge yang sukses melumpuhkan gerakan-gerakan nasional yang dijalankan oleh kaum nasionalis Indonesia yang bersikap radikal. Oleh karenanya akibat ditangkapnya kaum non kooperator oleh pihak Belanda, maka munculah kaum nasionalis Indonesia yang kooperator dengan pemerintah kolonial Belanda, seperti halnya anggota-anggota Fraksi Nasional ini. Di luar Fraksi Nasional sendiri bermunculan pula partai-partai dan organisasi-organisasi bentukan kaum nasionalis yang awalnya memang sudah

5

(30)

bersikap kooperatif maupun yang berubah haluan dari yang non kooperatif menjadi kooperatif. Partai dan organisasi tersebut seperti, Parindra, PBI, Budi Oetomo, PSII, dan Gerindo. Perubahan haluan dalam usaha memperjuangkan kemerdekaan Indonesia ini karena sudah tertutupnya pintu non kooperatif akibat dari sikap pemerintah kolonial Belanda dalam membungkam aksi-aksi kaum nasionalis Indonesia yang bersikap radikal. Oleh karenanya salah satu usaha yang dilakukan oleh kaum nasionalis Indonesia dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia, adalah seperti yang dilakukan oleh Soetardjo Kartohadikusumo dengan gagasannya yaitu Petisi Soetardjo.

A. Petisi Soetardjo

Soetardjo Kartohadikusumo merupakan wakil dari Perhimpunan Pegawai Bestuur6 Bumiputera (PPBB), yang merupakan sebuah perhimpunan pangreh praja bumi putera. Soetardjo bersama I.J. Kasimo, Dr. Sam Ratulangie, Datuk Tumenggung, Kwo Kat Tiong, dan Alatas, menandatangani usulan mengenai hubungan kerjasama antara Indonesia dengan Belanda di masa depan kepada pemerintah Hindia Belanda melalui Volksraad. Usul yang disampaikan oleh Soetardjo Kartodirdjo pada tanggal 15 Juli 1936 ini dikenal dengan nama Petisi Soetardjo. Adapun tujuan dari dicetuskannya petisi ini adalah, usulan agar diselenggarakan suatu konferensi oleh Kerajaan Belanda yang mana konferensi tersebut membahas mengenai hubungan kerjasama yang baik antara pihak Indonesia dengan pihak Belanda juga dalam status politik pemerintah kolonial Belanda, yaitu status otonomi dalam usaha untuk

6

(31)

menentukan nasib atas kedudukan Indonesia sebagai negara yang merdeka dalam jangka waktu 10 tahun mendatang yang didasarkan dalam batasan artikel 1 dari UUD Negeri Belanda Tahun 1922. Ini didasarkan atas pengalaman di tahun-tahun sebelumnya yang banyak menimbulkan kekecewaan, kegelisahan, dan sikap acuh tak acuh, yang kesemuannya itu tidak mendorong sikap semangat rakyat untuk turut serta membangun negeri7. Oleh karena itu didasarkan atas pengalaman di masa lalu dan dengan keinginan untuk memupuk semangat yang mulai redup tersebut agar hidup kembali, maka disusunlah suatu rencana yang matang untuk memperbaiki hubungan antara Kerajaan Belanda dengan Indonesia dalam bidang ekonomi, sosial, kultural, dan politik yang disesuaikan atas kebutuhan masing-masing pihak. Adapun isi dari petisi Soetardjo tersebut adalah, memohon kepada Volksraad agar mendesak pemerintah tertinggi Kerajaan Belanda dan Staten

Generaal untuk segera mengadakan konferensi yang nantinya dihadiri oleh

wakil-wakil Kerajaan dan wakil-wakil dari Indonesia dalam usaha untuk merencanakan persiapan kemerdekaan Indonesia dalam jangka waktu 10 tahun atau dalam waktu yang ditentukan. Perubahan-perubahan yang disampaikan dalam petisi ini antara lain adalah:

1. Pulau Jawa dijadikan satu propinsi, dan daerah-daerah lain luar pulau Jawa dijadikan sebagai kelompok-kelompok daerah (groeps gemeenschappen) yang otonom.

2. Sifat dualisme pemerintah daerah harus dihapus.

7

(32)

3. Gubernur Jendral yang diangkat oleh Raja mempunyai hak kekebalan (onschendbaar).

4. Direktur tiap departemen bertanggungjawab atas instansinya.

5. Volksraad dibentuk menjadi parlemen sesungguhnya. Dan ketua, wakil ketua, dan anggota mempunyai hak suara.

6. Pada Raad van Indie, anggota dan wakil presidennya diangkat oleh Raja. 7. Dibentuknya Dewan Kerajaan (Rijksraad), sebagai badan tertinggi yang

menghubungkan antara Kerajaan Belanda dan Indonesia.

8. Penduduk Indonesia merupakan orang yang dilahirkan di Indonesia, sedangkan untuk orang asing yang dilahirkan di Indonesia diharuskan mengikuti seleksi.8

Dari isi yang disampaikan petisi tersebut sudah terlihat bahwa rumusan dari isi petisi ini bersifat moderat, berjiwa kooperatif, dan juga mempunyai sikap hati-hati, karena tidak keluar dari kerangka konstitusional yang berlaku dan melalui cara yang legal pula. Sehingga petisi Soetardjo ini dinilai tidak bersifat revolusioner, dan apabila diprediksi hasilnya tidak kongkret atau nyata, akan tetapi konferensi tersebut mempunyai manfaat untuk mempertahankan pendirian dari masing-masing pihak.

Petisi tersebut mendapat tanggapan beragam dari berbagai pihak, baik yang positif (setuju dengan isi petisi), ataupun yang negatif (menolak isi petisi). Perbedaan tanggapan ini menunjukkan keanekaragaman corak partai dan sudut pandang politik. Adapun pihak-pihak yang tidak menyetujui isi

8

(33)

petisi tersebut dari pihak Indonesia adalah Suroso, Goesti M. Noor, Wiwoho, Soekardjo Wirjopranoto. Alasan-alasan penolakan terhadap petisi tersebut, seperti yang disampaikan oleh Goesti M. Noor, bukan karena isi petisi, melainkan karena cara penyampaian pengajuan petisi, yaitu dengan cara menengadahkan kedua tangan atau dengan cara meminta atau memohon kepada pihak Kerajaan Belanda. Selain dari Goesti M. Noor, pihak lain yang juga menolak petisi ini adalah dari Fraksi Nasional yang bersikap skeptis atau meragukan hasil yang akan didapat dari pengajuan petisi Soetardjo tersebut, Selain itu, menurut pandangan dari Fraksi Nasional, petisi itu juga dapat melemahkan usaha-usaha lain yang juga memperjuangkan otonomi Indonesia dari Kerajaan Belanda. Pendapat tersebut disampaikan berdasarkan atas hal-hal sebagai berikut:

1. Usul yang tercantum dalam petisi tidak menggambarkan cita-cita yang diimpikan oleh bangsa Indonesia, yaitu impian untuk Indonesia merdeka. 2. Pengajuan petisi untuk memperoleh perubahan kedudukan negara dinilai

sangat rendah, karena menginginkan perubahan dengan cara meminta-minta.

Dari pihak Belanda hampir semua tidak menyetujui petisi ini, kecuali dari pihak IEV (Indo-Europees Verbond), yang berpendapat bahwa ide Dewan Kerajaan sesuai dengan ide Negeri Belanda Raya yang mencakup bagian daerah-daerahnya9. Sementara itu pihak Belanda yang menolak petisi tersebut, seperti VC (Vederlandse Club), mempunyai pandangan bahwa isi dari petisi

9

(34)

tersebut masih terlalu prematur atau terlalu awal, serta dinilai tidak sesuai dengan situasi, karena menurut VC, kondisi di bidang ekonomi dan sosial Indonesia tidak stabil, sehingga belum cukup berkembang untuk dapat berdiri sendiri. Disamping VC, pihak lain yang menolak ide dari Petisi Soetardjo ini adalah dari partai-partai Kristen, seperti IKP (Indische Katholieke Partij) dan CSP (Christelijke Staatkundige Partij). Kedua partai yang seharusnya bersikap tidak terlalu konservatif terhadap nasionalisme ini berpendapat bahwa petisi Soetardjo ini diajukan di waktu yang tidak tepat, karena menurut IKP dan CSP, ada masalah-masalah yang lebih besar yang masih harus dihadapi, ditambah lagi dengan persoalan akan kesatuan yang ada dalam lingkungan Pax Neederlandica masih bisa dipertahankan dikarenakan perkembangan

politiknya masih belum stabil.

Untuk menindaklanjuti petisi tersebut, Volksraad pada tanggal 29 September 1936 mengadakan pemungutan suara, yang nantinya hasil pemungutan suara akan diajukan kepada Pemerintah Tertinggi dan Staten Generaal10 di negeri Belanda. Pemungutan suara tersebut menghasilkan 26 setuju dan 20 tidak setuju. Lalu hasil dari pemungutan suara di Dewan Rakyat diteruskan ke Negeri Belanda. Dari hasil pemungutan suara yang didapat hampir dapat disimpulkan bahwa petisi yang diajukan pada tanggal 15 Juli 1936 sangat tipis kemungkinannya untuk diterima oleh Pemerintah Tertinggi dan Staten Generaal. Hasil tersebut disimpulkan karena didasarkan atas faktor-faktor yang mempengaruhi seperti berikut:

10

(35)

1. Berdasarkan tingkat perkembangan politik di Indonesia petisi sangat prematur dalam hubungan itu.

2. Dipersoalkan bagaimana kedudukan minoritas di dalam struktur politik baru.

3. Siapakah yang akan memegang kekuasaan nanti.

4. Tuntutan otonomi dipandang sebagai hal yang tidak wajar alamiah, karena pertumbuhan ekonomi, sosial, dan politik belum memadai11.

Sebagai bentuk usaha supaya Petisi Soetardjo disetujui oleh Pemerintah Kerajaan Belanda, maka pada tanggal 5 Oktober 1937 dibentuklah Centraal Comite Petitie Soetardjo (Panitia Pusat Petisi Soetardjo). Tujuan dari

dibentuknya komite ini adalah untuk mengumpulkan dukungan dari organisasi-organisasi politik demi disetujuinya Petisi Soetardjo ini dengan cara segera membentuk sub-sub komite di daerah-daerah untuk memperjuangkan petisi tersebut. Adapun susunan dari anggota Panitia Pusat Petisi Soetardjo ini adalah:

a. Soetardjo Kartohadikusumo b. Hendromartono

c. Atik Suardi

d. Otto Iskandar Dinata e. Agus Salim

f. I.J. Kasimo g. Sinsu

11

(36)

h. Datuk Tumenggung i. Sartono

j. Alatas

k. Kwo Kwat Tiong

Pada tanggal 21 November 1937 komite ini mengadakan konferensi di Batavia yang dihadiri oleh wakil-wakil dari berbagai perkumpulan politik. Para wakil perkumpulan politik yang hadir antara lain, Moh. Husni Thamrin, Gani, Amir Syariffudin, Juanda, Bajasut (PAI:Perkumpulan Arab Indonesia), dan Tumbulaka (dari PM:Persatuan Minahasa)12. Kemudian pada tanggal 28 November 1937 atau seminggu setelah konferensi yang pertama berlangsung diadakan sebuah rapat besar yang dilaksanakan di Gang Kenari, Jakarta. Dalam kesempatan tersebut M. Soetardjo Kartohadikusumo menerangkan bahwa dia sebagai ambtenar BB yang mengajukan petisi tersebut memandang BB sebagai suatu jembatan di antara pemerintah dan rakyat13. Dari rapat tersebut hampir semua partai-partai politik memberikan dukungannya untuk Petisi Soetardjo, kecuali dua partai politik, yaitu PSII dan PNI Baru yang secara terang-terangan menolak petisi tersebut. Alasan kedua partai tersebut menolak petisi Soetardjo adalah bahwa petisi seperti itu membunuh semangat perjuangan bangsa14. Sementara itu Gerindo dan Parindra bersikap setengah-setengah, dengan kata lain kedua partai politik tersebut tidak setuju dengan tujuan dari petisi ini, akan tetapi setuju dengan diselenggarakannya Imperiale

12

Sri Sutjianingsih, Oto Iskandar Dinata, Jakarta, 1983, hlm. 36.

13

Idem.

14

(37)

Conferentie (Konferensi Kerajaan), yang dihadiri oleh wakil-wakil dari

Belanda dan Indonesia untuk merundingkan kedudukan Indonesia di masa depan.

Petisi Soetardjo merupakan sebuah petisi yang diajukan oleh pihak kaum kooperator, sehingga seharusnya pemerintah Kerajaan Belanda dapat menggunakannya sebagai patokan untuk menjajaki dan memperhatikan keinginan bangsa Indonesia untuk mengurus negaranya sendiri di masa depan. Meskipun lingkup dari pemerintahan Indonesia masih masuk dalam lingkungan Kerajaan Belanda, akan tetapi hal itu tetap tidak membuat pihak Belanda mengabulkan petisi tersebut. Penolakan petisi diputuskan pada tanggal 16 November 1938 satu tahun setelah diajukan atas nama Ratu Belanda. Adapun yang menjadi dasar penolakan petisi adalah bahwa bangsa Indonesia belum matang untuk memikul tanggung jawab sendiri15. Petisi Soetardjo ditolak oleh sebagian besar anggota Parlemen Belanda, sedang yang menyokong hanyalah Van Galderen dari golongan Sosialis dan Rustam Effendi dari golongan Komunis.

Akibat dari penolakan petisi tersebut adalah munculnya kekecewaan di kalangan kaum nasionalis dan semakin berkurangnya kepercayaan mereka terhadap Pemerintahan Belanda. Akan tetapi kekecewaan tersebut tidak berlangsung lama, karena perjuangan untuk memperoleh kemerdekaan Indonesia harus dilanjutkan dan tidak boleh terhenti hanya karena ditolaknya Petisi Soetardjo oleh pemerintah Belanda. Perjuangan kaum nasionalis

15

(38)

Indonesia semakin giat dan gencar terutama menggunakan jalur yang legal dan dengan melakukan hubungan kerjasama dengan Pemerintah Belanda. Hal ini didasarkan atas situasi internasional yang sedang genting dan tidak kondusif akibat dari kekuasaan Nazi di Eropa yang mengancam negara-negara lain terutama di wilayah Eropa, tidak terkecuali Belanda. Atas dasar hal tersebut maka para kaum nasionalis semakin memperkuat persatuan dengan menggalang kekuatan barisan. Langkah pertama yang dilakukan adalah membubarkan Panitia Pusat Petisi Soetardjo pada tanggal 11 Mei 1939, kemudian setelah itu dibentuklah lagi sebuah badan politik baru Fraksi Nasional oleh salah satu anggotanya, yaitu M.H. Thamrin. Pembentukan badan politik baru itu merupakan jawaban spontan kaum nasionalis Indonesia terhadap penolakan Petisi Soetardjo16. Dengan dibentuknya badan politik ini pula diharapkan kaum nasionalis Indonesia menjadi semakin semangat untuk memperjuangkan kemerdekaan Indonesia dan semakin bersikap lebih tegas terhadap pemerintahan Belanda.

B. Lahirnya Gabungan Politik Indonesia

Gagalnya Petisi Soetardjo akibat dari penolakan Pemerintah Belanda, menyebabkan para nasionalis semakin cepat dalam bertindak demi memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Salah satu cara untuk semakin memperkokoh kesatuan antar kaum nasionalis dengan organisasi politik yang mereka usung adalah dengan membentuk suatu badan sebagai wadah atau tempat yang menaungi berbagai macam organisasi atau partai politik tersebut,

16 Slamet Muljana, Kesadaran Nasional: Dari Kolonialisme Sampai Kemerdekaan 2, 1986,

(39)

untuk saling menghargai serta kerjasama untuk membela kepentingan rakyat17. Dalam usaha menggalang persatuan politik demi terciptanya pembentukan badan konsentrasi nasional itu, maka pada tanggal 19 Maret 1939 dalam rapat besar pengurus Parindra, M.H. Thamrin selaku ketua Departemen Politik Parindra mengungkapkan gagasannya mengenai ide pembentukan badan konsentrasi nasional dan gagasan itu disetujui oleh semua anggota Parindra. Dengan disetujuinya gagasan tersebut maka Thamrin menghubungi pimpinan-pimpinan dari organisasi-organisasi nasional lainnya untuk membicarakan gagasannya tersebut. Organisasi lain di luar Parindra menyambut baik dan menyetujui ide Thamrin tersebut, seperti yang diungkapkan oleh Otto Iskandar Dinata, selaku ketua Paguyuban Pasundan, yang menilai bahwa dengan pembentukan badan konsentrasi nasional tersebut hubungan baik antara partai politik yang ada dalam badan itu akan terjaga tetap dengan sebaik-baiknya. Ia juga berharap bahwa badan ini akan mampu mendesak Belanda untuk mengubah sikapnya terhadap tanah jajahannya, yaitu Indonesia. Organisasi politik lainnya yang juga menyambut baik gagasan ini adalah Partai Islam Indonesia (PSII), yaitu Sukiman, akan tetapi ada pula yang menolak gagasan tersebut, yaitu Abikoesno, sedangkan Gerindo masih bersikap menunggu.

Pasca dicetuskannya ide pembentukan badan konsentrasi nasional ini, pada tanggal 21 Mei 1939 atas dasar inisiatif dari Parindra, diadakanlah rapat resmi Panitia Persiapan Pembentukan Badan Konsentrasi untuk membahas mengenai tindak lanjut dari gagasan pembentukan badan konsentrasi nasional

17

(40)

tersebut. Rapat yang diselenggarakan di Gedung Permufakatan yang beralamat di Gang Kenari no. 15 Jakarta ini dihadiri oleh M.H. Thamrin, Soekarjo Wiryopranoto (Parindra), Atik Soeardi, S. Soeradiredja, Ukar Bratakoesoema, Otto Iskandar Dinata (Paguyuban Pasundan), Senduk, Sam Ratulangi (Persatuan Minahasa), R. Abikoesno Tjokrosujoso, Sjahbuddin Latif, Moh. Sjafei (PSII), A.K. Gani, Amir Sjarifuddin, Sanusi Pane, Wilopo (Gerindo), K.H. Mas Mansur, Wiwoho (PII).

Dalam rapat tersebut, M. H. Thamrin menyampaikan bahwa, situasi internasional yang semakin kacau dan tidak menentu mendorong untuk segera membentuk badan konsentrasi nasional, yang bertujuan untuk membentuk suatu badan persatuan yang akan memperjuangkan kepentingan rakyat Indonesia, selain itu anggota yang terdiri dari berbagai organisasi politik dalam badan ini dapat menjalankan program tiap-tiap organisasi masing-masing. Dari rapat tersebut lahirlah badan konsentrasi nasional yang bernama Gabungan Politik Indonesia (GAPI). Adapun tujuan dari dibentuknya GAPI ini adalah:

a. Menganjurkan kepada semua partai politik nasional Indonesia untuk mengadakan kerjasama

b. Menyelenggarakan kongres Indonesia18.

Gabungan Politik Indonesia ini berdasarkan atas asas: a. Hak mengatur nasib sendiri

18

(41)

b. Persatuan bangsa Indonesia atas dasar demokrasi dalam politik, ekonomi, dan sosial

c. Kesatuan dalam aksi19.

Dalam menentukan calon anggota yang akan masuk dalam GAPI, yang diterima hanya dari partai nasional saja, dan keputusan ini diambil atas jumlah pengumpulan suara terbanyak. Dalam penyusunan program yang akan dijalankan harus disetujui dulu oleh semua anggota. Dalam susunan organisasinya pimpinan harian GAPI dipegang oleh satu sekretariat, yang mana terdiri atas, sekretaris umum, bendahara, dan sekretaris pembantu. Awalnya yang memegang jabatan tersebut adalah M.H. Thamrin (Parindra), R. Abikoesno Tjokrosujono (PSII), dan Amir Sjarifudin (Gerindo). Sedangkan yang menjadi anggota GAPI adalah, Parindra, Gerindo, Paguyuban Pasundan, PSII, PII, kemudian PPPKI menyusul menjadi anggota.

Dibentuknya GAPI mendapatkan sambutan yang sangat baik dari rakyat Indonesia, terutama dari kaum nasionalis. Akan tetapi ada pula pihak yang tidak senang dan meragukan pembentukan GAPI ini, salah satunya adalah H. Agus Salim, pimpinan Pergerakan Penyedar, yang menilai bahwa partai-partai politik yang menjadi anggota GAPI tersebut hanya mampu melakukan perjuangan dalam perebutan kursi di dewan rakyat saja, sehingga kecil kemungkinan partai-partai tersebut memperjuangkan kehidupan rakyat. Oleh karena itu Pergerakan Penyedar menolak bergabung dalam badan konsentrasi nasional ini, dan lebih memilih bekerjasama langsung dengan rakyat.

19

(42)

Lahirnya Gabungan Politik Indonesia (GAPI) juga hampir bersamaan dengan pembentukan badan konsentrasi nasional lainnya, seperti badan yang diprakarsai oleh Moh. Yamin, Abdul Rasjid, Tadjuddin Noor, dan Soangkupon, yang mereka beri nama Golongan Nasional Indonesia (GNI) atau di lingkungan Dewan Rakyat disebut dengan Indonesische Nationalistische Groep. Latar belakang dibentuknya GNI ini adalah adanya

perpecahan yang ada dalam tubuh Fraksi Nasional di Volksraad, sehingga membuat Moh. Yamin menyarankan kepada Fraksi Nasional untuk menyusun suatu program, yang nantinya program tersebut disebarluaskan di seluruh Indonesia. Adapun alasan di balik gagasan tersebut adalah karena mulai munculnya pemikiran-pemikiran yang menganggap bahwa Fraksi Nasional hanya mementingkan kepentingan Jawa saja dibandingkan dengan kepentingan daerah lainnya di luar pulau Jawa. Akan tetapi gagasan yang disampaikan oleh Moh. Yamin ini tidak mendapatkan persetujuan dari M.H. Thamrin, sehingga pada akhirnya dibentuklah GNI pada tanggal 10 Juli 193920.

20

(43)

BAB III

PERANAN GABUNGAN POLITIK INDONESIA DALAM PERJUANGAN KEMERDEKAAN INDONESIA PADA TAHUN 1939-1941

Lahirnya Gabungan Politik Indonesia pada tanggal 21 Mei 1939 telah memberikan angin segar kepada kaum nasionalis Indonesia untuk semakin gencar dalam memperjuangkan status Indonesia menjadi negara yang berdiri sendiri. Terutama saat GAPI meningkatkan perjuangannya dengan meluncurkan program “Indonesia Berparlemen”, yang mana program aksi politik ini ditetapkan pada saat

rapat umum GAPI pada tanggal 4 Juli 1939. Dengan diluncurkannya program tersebut, bisa ditebak apabila program aksi “Indonesia Berparlemen” langsung

diterima oleh rakyat Indonesia dan mendapatkan sambutan yang baik, terutama oleh kalangan nasionalis. Mereka sangat mendukung dengan langkah yang dilakukan oleh GAPI, yang dinilai cukup berani dan tegas dibandingkan dengan langkah yang dilakukan sebelumnya, yaitu diluncurkannya Petisi Soetardjo. Bagi GAPI sendiri dengan dipopulerkannya program aksi “Indonesia Berparlemen” diharapkan mampu meningkatkan dan mengobarkan semangat seluruh rakyat Indonesia, karena menurut GAPI dalam usahanya untuk merealisasikan program ini dibutuhkan dukungan dan dorongan sepenuhnya dari seluruh rakyat Indonesia. Salah satu cara mengambil hati rakyat tersebut adalah dengan meyakinkan bahwa Volksraad yang ada sama sekali tidak dapat memenuhi hasrat rakyat dan harus diganti dengan parlemen yang wajar dan memiliki wewenang yang

(44)

sempurna21. Oleh karena itu rakyat Indonesia harus menuntut pembentukan parlemen yang sesuai dengan apa yang diharapkan oleh rakyat Indonesia, yaitu bahwa parlemen ini anggota-anggotanya terdiri dari wakil rakyat yang jumlahnya harus sesuai dengan perbandingan jumlah rakyat yang diwakili, karena menurut GAPI hanya melalui parlemen ini, suara-suara serta harapan rakyat Indonesia dapat diperjuangkan.

A. Menggagas Manifesto Pembentukan Parlemen

Pecahnya Perang Dunia II pada bulan September 1939, membuat kaum nasionalis Indonesia semakin gencar dengan tuntutannya. Mereka mulai mendesak pemerintah Hindia Belanda untuk segera mengabulkan apa yang mereka inginkan, yaitu pembentukan parlemen. Hal ini harus segera dilakukan karena melihat adanya kesempatan yang muncul dari posisi Belanda yang mulai terdesak. Pada waktu itu pihak Nazi mulai mengancam kedudukan Belanda di Eropa, dan hal inilah yang dijadikan pijakan oleh para nasionalis untuk meminta kepada pemerintah Belanda memberikan izin kepada Indonesia untuk membentuk parlemen, sehingga Indonesia dapat mulai berdiri sendiri dan mengadakan persiapan pertahanan untuk menanggulangi bahaya yang mungkin mengancam22. Harapannya dengan dikabulkannya tuntutan tersebut maka hubungan antara Belanda dan Indonesia akan semakin erat.

Melihat kesempatan tersebut maka GAPI pada tanggal 19 September 1939 mengeluarkan manifesto23 mengenai pembentukan parlemen. Adapun

21

Slamet Muljana, op. cit, hlm. 67.

22

Ibid., hlm. 67-68.

23

(45)

maksud dari dikeluarkannya manifesto tersebut didasarkan kondisi saat itu yang penuh bahaya, dan dalam posisi genting ini maka diperlukanlah hubungan yang baik antara Belanda dan Indonesia. Selain itu Belanda juga diharapkan mendengarkan aspirasi rakyat Indonesia yang menginginkan pemerintahan sendiri dengan jalan dibentuknya parlemen sebagai wadah untuk menyalurkan aspirasi mereka. Apabila Belanda menyetujui serta mengabulkan langkah tersebut, maka GAPI akan mengerahkan rakyat untuk memberi bantuan kepada Belanda24, dan dalam menjalankan manifesto tersebut, anggota-anggota GAPI tidak diperbolehkan untuk bertindak sendiri-sendiri, akan tetapi hanya boleh menjalankan dalam ikatan GAPI saja.

Manifesto tersebut bisa dikatakan memiliki dua sisi yang berbeda. Di satu sisi manifesto tersebut menunjukkan sifat loyal kaum nasionalis Indonesia terhadap pemerintah Belanda yang sedang menghadapi kendala akibat dari pecahnya Perang Dunia II. Di sisi lain adalah adanya unsur pemaksaan kepada pemerintah Belanda yang dalam kondisi sulit untuk segera mengabulkan keinginan rakyat Indonesia. Dengan dikeluarkannya manifesto tersebut muncul berbagai macam tanggapan dari berbagai pihak, seperti dari golongan progresif Belanda (Kritiek en Opbouw) yang menyerukan kepada pemerintah Belanda agar loyalitas yang tertera dalam pernyataan GAPI ditanggapi secara positif dengan memenuhi keinginannya25, tetapi ada pula pihak lain yang justru menanggapi negatif dengan mengatakan bahwa GAPI memanfaatkan kesempatan ketika Belanda sedang mengalami kesulitan dengan melakukan

24

Sartono Kartodirdjo, op. cit, hlm 188.

25

(46)

chantage (pemerasan) dengan memaksa pemerintah untuk segera mengabulkan tuntutannya tersebut.

Pada tanggal 1 Oktober 1939 GAPI mengadakan rapat umum di Jakarta, dan dalam rapat tersebut banyak pihak menyambut baik manifesto yang diajukan GAPI. Pihak-pihak tersebut banyak yang mengirimkan surat pernyataan mendukung penuh aksi “Indonesia Berparlemen”. Selain berbagai

macam perkumpulan Indonesia, rupanya ada pula perkumpulan dari penduduk Indonesia asing, yaitu Persatuan Arab Indonesia (PAI) yang mendukung aksi ini. Ini membuktikan bahwa, selain rakyat Indonesia asli yang sangat menginginkan Indonesia untuk segera membentuk parlemen, rupanya ada pula orang Indonesia keturunan yang juga mendambakan hal tersebut sebagai bentuk rasa cinta mereka terhadap tanah air ini. Ditambah lagi pada tanggal 23 Oktober 1939 di Sala diselenggarakan Konferensi PVPN (Persatuan Vakbonden Pegawai Negeri) yang bertujuan mendukung aksi “Indonesia Berparlemen”.

Setelah melihat berbagai macam tanggapan positif dari berbagai pihak mengenai aksi “Indonesia Berparlemen”, maka disusunlah rencana untuk

(47)

tersebut didukung oleh hampir semua organisasi dan partai politik pergerakan, kecuali Pendidikan Nasional Indonesia, yang menilai bahwa apa yang dilakukan oleh GAPI tersebut sama saja dengan mengemis atau meminta-minta kepada pihak Belanda.

Dengan dibentuknya Komite Parlemen Indonesia di daerah-daerah di Indonesia, baik di Jawa maupun di luar Jawa maka terbentuklah panitia-panitia lokal di bawah naungan GAPI. Tujuan dari dibentuknya panitia-panitia-panitia-panitia lokal adalah untuk mempersiapkan Konggres Rakyat Indonesia yang akan berlangsung pada tanggal 23 hingga 25 Desember 1945. Pada tanggal 17 Desember diadakan rapat panitia sebagai bentuk persiapan terakhir untuk menyambut diselenggarakannya konferensi tersebut.

B. Menyelenggarakan Kongres Rakyat Indonesia

Pada tanggal 23-25 Desember 1939 diselenggarakanlah Kongres Rakyat Indonesia di Gedung Permufakatan, Gang Kenari, Jakarta, dihadiri oleh 99 utusan dari organisasi nasional, termasuk organisasi-organisasi non politik (organisasi-organisasi-organisasi-organisasi sosial, perkumpulan sekerja). Tujuan dari diselenggarakannya Kongres ini adalah menjaga keselamatan dan kesejahteraan rakyat Indonesia. Langkah awal yang dilakukan adalah harus segera dibentuknya parlemen, sebagai salah satu realisasi dalam aksi “Indonesia Berparlemen”. Dalam kongres ini pula dihasilkan beberapa

keputusan penting, seperti berikut:

(48)

Persatuan Jurnalis Indonesia, dan Istri Indonesia. Dalam penyusunannya GAPI akan bertindak sebagai badan pelaksana.

b. Yang menjadi anggota Kongres Rakyat Indonesia itu ialah perkumpulan-perkumpulan dan partai-partai, yang cukup pentingnya, sedang sebagai badan pekerja dari Kongres Rakyat Indonesia itu, ditunjuk GAPI federasi dari partai-partai politik26.

c. Aksi “Indonesia Berparlemen” tetap diteruskan, dan Kongres Rakyat Indonesia menetapkan GAPI sebagai pelaksananya.

d. Ditetapkannya bendera Indonesia “Merah Putih”, sebagai bendera persatuan, bahasa Indonesia sebagai bahasa kesatuan, dan lagu Indonesia Raya sebagai lagu kebangsaan.

Saat Kongres tersebut berlangsung disinggung pula mengenai sikap apa yang harus dilakukan apabila pemerintah Belanda menolak gagasan mengenai pembentukan parlemen tersebut. Pernyataan ini disampaikan oleh PPPI (Perhimpunan Pelajar-Pelajar Indonesia). Perhimpunan ini juga menyarankan apabila memang pada akhirnya manifesto ini ditolak, ada baiknya para anggota dewan yang berjuang di bawah bendera kongres memilih mundur, sebagai bentuk protes dari penolakan tersebut. Akan tetapi saran yang disampaikan oleh PPPI yang dinilai tegas ini justru ditolak oleh GAPI. GAPI malah memberi label bahwa PPPI merupakan perkumpulan kaum ekstremis, sehingga akhirnya PPPI memilih mundur dari kongres. Usul PPPI ini pada hakikatnya dilontarkan untuk menjajaki, sampai mana para pemimpin nasional

26

(49)

yang tergabung dalam GAPI khususnya dan dalam kongres umumnya sanggup memikul konsekuensi dari aksi “Indonesia Berparlemen”27

. Bentuk penolakan yang dilakukan oleh GAPI terhadap usulan PPPI ini justru memperlihatkan bahwa GAPI masih memiliki rasa takut kepada pemerintah Belanda. Namun apabila saran yang disampaikan oleh PPPI itu dijalankan, GAPI bisa terperangkap ke dalam situasi yang gawat, karena ada kemungkinan pihak pemerintah akan melakukan pengawasan ketat melalui peningkatan militer untuk menindak organisasi-organisasi nasional, yang dapat berakibat buruk bagi semua.

Pasca diselenggarakannya Kongres Rakyat Indonesia yang berlangsung pada bulan Desember 1939 tersebut, oleh GAPI dibentuklah badan-badan yaitu Komite Parlemen Indonesia di seluruh wilayah, yang tujuannya adalah untuk memudahkan usaha meningkatkan program dari aksi “Indonesia Berparlemen” di daerah-daerah. Panitia-panitia di daerah dianjurkan

mengadakan kursus-kursus dan rapat-rapat bersifat tertutup dan umum28. Untuk menguatkan aksi tersebut, GAPI berusaha meyakinkan rakyat akan kewajibannya untuk bersama-sama mewujudkan cita-cita bangsa29.

Ketika GAPI sedang memperjuangkan realisasi atas aksi “Indonesia

Berparlemen”, tiba-tiba muncul kabar mengenai telah dikirimkannya surat

permohonan pembentukan parlemen kepada Staten Generaal pada tanggal 16 Oktober 1939. Adapun yang bertindak demikian bukanlah GAPI melainkan

27

Slamet Muljana, op. cit, hlm 70.

28

Marwati Djoened Poesponegoro, op. cit, hlm. 233.

29

(50)

Golongan Nasional Indonesia yang dipimpin oleh Moh. Yamin dan disokong oleh Parpindo, partainya. Hal yang dilakukan secara sepihak oleh GNI ini memberikan gambaran tentang kesan bahwa, Moh. Yamin yang tidak diajak dalam pembentukan GAPI, sebagai bentuk kekecewaannya, segera membentuk GNI sebagai tandingannya. Ini dapat dilihat ketika GAPI mengeluarkan manifesto mengenai aksi “Indonesia Berparlemen”, dengan

cepat GNI segera membuat permohonan kepada pemerintah Belanda. Hal inilah yang menyebabkan terjadinya ketegangan antara kubu GAPI dengan kubu GNI yang jelas sekali sangat ditunggu oleh pemerintah Belanda. Pemerintah Belanda atas insiden tersebut justru memanfaatkannya sebagai alat untuk menunda aksi “Indonesia Berparlemen”, serta melumpuhkan organisasi -organisasi nasionalis tersebut.

Selain memanfaatkan ketegangan hubungan antara GAPI dan GNI, pihak Belanda mulai melakukan tindakan-tindakan yang dinilai mengganggu dominasi pemerintahan mereka, sehingga mulailah diberlakukan pengawasan terhadap gerakan-gerakan kaum nasionalis, seperti yang dilakukan oleh Procureur Generaal, H. Marcella yang telah memberikan instruksi rahasia

kepada polisi PID untuk mengawasi gerak-gerik Gerindo mulai tanggal 1 Februari 193930, atau beberapa bulan sebelum dibentuknya GAPI dan dicetuskannya aksi “Indonesia Berparlemen”, begitu pula dengan partai-partai

lain seperti PSII dan Parindra, yang juga diawasi oleh polisi PID. Adapun bentuk-bentuk dari pengawasan ini adalah dengan peringatan keras serta

30

(51)

tindakan-tindakan yang dilakukan oleh polisi terhadap kegiatan yang dilakukan oleh partai-partai tersebut, seperti rapat-rapat yang diselenggarakan oleh partai politik, misalnya yang dilaksanakan Parindra di Medan pada bulan Desember 1939 dengan sepihak dibubarkan oleh polisi. Rapat-rapat yang dilaksanakan di Bengkulu dan Cirebon pada bulan Januari-Februari juga mengalami kesulitan masalah berkenaan dengan perizinan oleh pihak polisi.

Sikap reaktif yang dilakukan oleh pemerintah kolonial Belanda terhadap GAPI, mendapat tanggapan beragam, tak terkecuali oleh G.F. Pijper, seorang Penasehat Urusan Dalam Negeri pemerintah kolonial Belanda. Pijper mengemukakan bahwa pihak Belanda tidaklah perlu bertindak terlalu keras terhadap program yang sedang digalakkan oleh GAPI, terutama terhadap program aksi “Indonesia Berparlemen”, karena menurutnya berhasil atau

tidaknya program tersebut tergantung dari keputusan yang dilakukan oleh pemerintah Belanda, apakah mereka menyetujui program tersebut, ataukah mereka justru menolaknya, sehingga dapat dikatakan bahwa program yang tengah diperjuangkan oleh GAPI tersebut gagal.

Pada awal Februari datanglah jawaban dari Menteri Welter, selaku menteri jajahan mengenai masalah aksi “Indonesia Berparlemen”31

. Menurut pendapat Welter, diakui bahwa adalah hal yang wajar dan sah apabila menurut perkembangan masyarakat, baik dalam bidang materiel maupun spiritual, akan muncul kecakapan dan kegairahan dalam masyarakat itu untuk memegang

31

(52)

peranan dalam kerangka kelembagaan politik yang pada saat itu ada32. Ditambahkan pula bahwa aksi “Indonesia Berparlemen” tidaklah perlu, karena

selama Belanda masih memegang penuh tanggung jawab kebijakan politik dan ketatanegaraan di Indonesia, maka selama itu pula tidak diperbolehkannya pembentukan parlemen di Indonesia. Dengan ditolaknya program aksi “Indonesia Berparlemen” oleh pemerintah Belanda, jelas menimbulkan

kekecewaan yang dirasakan oleh rakyat Indonesia di mana-mana. Ditambah lagi dengan alasan yang mendasari penolakan terhadap program aksi tersebut yang menyatakan bahwa bangsa Indonesia belumlah sanggup dalam mengatur dirinya dan wilayahnya sendiri. Penolakan yang dikeluarkan pemerintah Belanda ini dilakukan pada tanggal 10 Februari 1940.

Penolakan aksi “Indonesia Berparlemen” oleh pemerintah Belanda

justru semakin membuat GAPI menjadi tak gentar, dan badan konsentrasi nasional ini semakin gencar dalam menjalankan aksinya. Ini dibuktikan oleh GAPI pada tanggal 23 Februari 1940 dengan meneruskan program aksi “Indonesia Berparlemen” dengan segera mendirikan Panitia Parlemen

Indonesia. Pembentukan badan kepanitiaan ini mendapatkan dukungan dari Paguyuban Pasundan, Parindra, PSII, dan anggota GAPI lainnya. Segera dibentuknya badan kepanitiaan ini didasarkan atas posisi Belanda yang semakin gawat.

Gagasan yang diusung oleh GAPI tersebut, tetap dibahas dalam Tweede Kamer ketika membahas mengenai anggaran belanja Hindia Belanda yang

32

(53)

dilakukan pada tanggal 26 Februari hingga tanggal 6 Maret 1940. Dalam pembahasan tersebut, sayangnya tuntutan yang diusung oleh GAPI ini hanya mendapat dukungan dari Social Demokratische Arbeiders Partij (SDAP) dan Stokvis, sedangkan partai lainnya menolak, begitu juga dengan pers Belanda yang pada umumnya juga menolak tuntutan yang diusung oleh GAPI. Alasan yang melatarbelakangi penolakan mereka adalah sama dengan yang dikemukan oleh pemerintah Belanda. Namun partai-partai dan pers Belanda yang menolak tersebut juga menambahkan perlunya pemerintah Belanda segera melakukan perubahan sistem pemerintahan Belanda di Indonesia, mengingat situasi internasional terutama di wilayah Eropa yang semakin genting dan gawat. Adapun mosi yang diajukan oleh kedua partai pendukung GAPI, yaitu SDAP dan Stokvis adalah permohonan kepada pemerintah Belanda untuk meninjau kembali keputusan sebelumnya untuk memberikan Indonesia kewenangan politik, akan tetapi pada akhirnya mosi tersebut tetap ditolak oleh Menteri Jajahan Welter. Selain itu dalam pengambilan suara, mosi yang diusung oleh kedua partai ini mengalami kekalahan dalam pengumpulan suara, sehingga dapat dikatakan bahwa gagasan “Indonesia

Berparlemen” ditolak oleh pemerintah tertinggi Belanda.

Ditolaknya gagasan aksi “Indonesia Berparlemen” yang dilakukan oleh

pemerintah Belanda pada tanggal 10 Februari 1940 dan kekalahan dalam pemungutan suara dalam Twedee Kamer, membuat GAPI pada tanggal 5 Maret 1940 melancarkan manifesto yang menyatakan bahwa aksi “Indonesia

(54)

kehormatan segenap bangsa Indonesia, oleh karenanya maka aksi ini perlu ditingkatkan dan bagaimanapun parlemen harus diteruskan sampai berhasil. Manifesto ini didukung sepenuhnya oleh Parindra dan Paguyuban Pasundan. Setelah dibentuknya Panitia Parlemen Indonesia pada tanggal 23 Februari 1940, aksi “Indonesia Berparlemen” segera dilanjutkan sebagai bentuk keseriusan bahwa bangsa Indonesia ingin merdeka dan mandiri dalam mengatur negaranya sendiri tanpa ada campur tangan dari pemerintah Belanda. Meskipun aksi ini mendapatkan penolakan dari pemerintah Belanda, yang secara tidak langsung memperlihatkan kesan bahwa sebenarnya pemerintah Belanda memang tidak ada keinginan sama sekali untuk memberikan kepercayaan dan wewenang politik kepada Indonesia untuk menjadi negara yang merdeka dan dapat mengatur pemerintahannya sendiri, karena Belanda sendiri memang ingin menguasai mutlak Indonesia agar tetap menjadi tanah jajahannya. Penolakan yang dilakukan oleh Belanda ini juga menyebabkan perubahan sikap dari pihak kooperatif yang awalnya bersikap baik dan cenderung lunak kepada Belanda justru berubah sikap menjadi mulai tidak mempercayai pemerintah Belanda.

(55)

harus berperan aktif dalam membantu Belanda, agar Indonesia mendapatkan kepercayaan yang lebih besar dari Belanda, sehingga bangsa Indonesia dapat memperjuangkan tuntutannya untuk merdeka dan segera dibentuknya parlemen.

(56)

Penolakan pemerintah Belanda terhadap tuntutan tersebut membuat rakyat Indonesia termasuk kaum nasionalis menjadi bosan dengan sikap Belanda, karena sudah bisa ditebak apapun gagasan yang mereka usung demi masa depan Indonesia yang merdeka hasilnya akan sama saja, pemerintah Belanda akan selalu menolaknya. Sikap Belanda tersebut juga semakin membuat jurang pemisah yang amat dalam antara pemerintah Belanda dengan rakyat Indonesia. Kepercayaan rakyat Indonesia terhadap pemerintahan Belanda makin menipis, sehingga muncul pandangan baru bahwa tak ada gunanya memohon dan menaruh harapan besar terhadap pemerintah kolonial, karena sampai kapanpun Belanda tak akan pernah mau menerima dan mengabulkan tuntutan rakyat Indonesia.

Sikap konservatif Belanda terhadap aspirasi-aspirasi nasional bangsa Indonesia semakin menumbuhkan kesadaran akan solidaritas nasional dalam diri rakyat Indonesia. Hal ini jugalah yang membuat fokus utama dari kaum nasionalis dalam menjalankan usahanya untuk memperjuangkan Indonesia menjadi negara yang merdeka yang awalnya ditujukan kepada pemerintah Belanda, kini lebih difokuskan kepada rakyat Indonesia, yang tentu sangat mendukung gagasan mulia itu, karena rakyat Indonesia sangat menginginkan Indonesia menjadi negara yang merdeka dan berdaulat penuh.

C. Mengeluarkan Resolusi Perubahan Ketatanegaraan

Sikap penolakan pemerintah Belanda dalam menanggapi program aksi “Indonesia Berparlemen” yang diajukan oleh GAPI, memperlihatkan

(57)

dilakukan oleh GAPI dan kaum nasionalis Indonesia. Hal inilah yang dilihat oleh Gabungan Politik Indonesia sehingga pada bulan Agustus, akhirnya GAPI mengeluarkan sebuah resolusi yang bertujuan untuk mengadakan perubahan ketatanegaraan dengan didasarkan atas hukum tatanegara dalam masa genting (Nood Staatsrecht). Adapun isi dari resolusi ini adalah:

1. Mendesak pemerintah, supaya membentuk parlemen dengan jalan mengubah Dewan Rakyat (Volksraad) yang ada sekarang, dengan melakukan pemilihan anggota-anggotanya berdasarkan atas suatu aturan dan pemilihan tersebut dipilih langsung oleh rakyat, sehingga semua golongan dalam negeri ini memiliki perwakilan yang sepantasnya.

2. Juga supaya mengubah kedudukan kepala-kepala departemen, sehingga mereka itu menjadi menteri-menteri yang bertanggungjawab pada parlemen itu33.

Dan kepada rakyat serta organisasi-organisasi politik, sosial, dan ekonomi yang tidak tergabung dalam GAPI supaya membantu dan menyokong usaha GAPI dalam menjalankan usahanya tersebut. Resolusi yang dibuat oleh GAPI ini kemudian dikirimkan kepada Gubernur Jendral, Volksraad, Ratu Wihelmina, dan Kabinet Belanda yang berada di London.

Keseriusan GAPI dalam menjalankan aksi demi tercapainya tuntutan yang diusung akhirnya mendapatkan respon dari Volksraad, yang mendapatkan usulan dari beberapa anggotanya yang merupakan bangsa Indonesia. Adapun tanggapan Volksraad adalah menyatakan bahwa

33

Referensi

Dokumen terkait

[r]

dinyatakan bahwa varaibel gaya.. kepemimpinan mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap kinerja guru di SMA Negeri 7 Palu. Dengan demikian maka hipotesis ketiga

Jenis penelitian ini menggunakan pendekatan explanatory research, dengan maksud untuk menganalisis hubungan dan pengaruh komunikasi dan lingkungan kerja terhadap

Hal serupa juga didapati pada penelitian ini dimana ikan M.praecox pada kisaran pH 4-5 memiliki jumlah skor warna yang relatif lebih besar dibandingkan perlakuan lain.. Hal

1, 1, 2, 3, 5, 8, 13, 21, 34, .... Ibu Tini memiliki 2 buah deposito. Deposito pertama sebesar Rp. Dan deposito kedua sebesar Rp. Hitunglah tingkat bunga yang diperoleh Ibu

Di Dinas lain yang juga di Kabupaten Simalungun, Personil yang memiliki SKA Pelaksana Struktur atau SKT Pelaksana Bangunan Gedung/Pekerjaan Gedung yang digunakan

Semakin besar free cash flow yang tersedia dalam suatu perusahaan, maka semakin sehat perusahaan tersebut, karena memiliki kas yang tersedia untuk pertumbuhan, pembayaran hutang

Tujuan penelitian ini adalah Untuk mengetahui hubungan antara umur dan paritas dengan kejadian Abortus di Ruangan kebidanan di RSUD Rokan Hulu tahun