• Tidak ada hasil yang ditemukan

DAFTAR TABEL

DAFTAR LAMPIRAN

1.2. Perumusan Masalah

Indonesia pada saat ini masih mengalami kekurangan pasokan sapi potong karena pertambahan populasi sapi potong tidak seimbang dengan kebutuhan konsumsi daging nasional. Di lain pihak, kebutuhan masyarakat terhadap daging sapi cenderung semakin meningkat. Jika impor daging dan sapi potong terus meningkat dikhawatirkan Indonesia menjadi negara yang sangat ketergantungan terhadap produk dari luar negeri. Kebijakan impor sapi bakalan ataupun daging terpaksa dilakukan karena tanpa impor daging atau sapi bakalan dimungkinkan terjadi pengurasan sapi lokal yang berakibat buruk bagi ketahanan pangan nasional dan peternakan sapi rakyat.

Salah satu upaya peningkatan produksi daging sapi potong dalam negeri yaitu dengan upaya perbaikan mutu genetik sapi potong melalui pengembangan sapi murni (pemurnian) melalui usaha pembibitan sapi potong. Bertambah banyaknya pembibitan sapi potong maka akan sangat mungkin menambah jumlah populasi ternak yang ada di Indonesia. Inseminasi Buatan (IB) merupakan salah satu teknik dalam pengembangbiakkan sapi potong yang dapat memperbaiki mutu genetik ternak serta merupakan salah satu cara yang dapat ditempuh dalam peningkatan populasi ternak.

Pengembangan sapi potong untuk mendukung program kecukupan daging 2010 diperlukan dukungan inovasi untuk meningkatkan produktivitas ternak. Peran pemerintah serta adanya kerjasama yang saling mendukung antara

peternakan rakyat dan swasta harus digalakkan. Tidak teraturnya program perkawinan, kurangnya perhatian pada pemberian metode pakan, pemotongan yang tidak sesuai aturan, dan mutasi ternak dari suatu wilayah ke wilayah lain yang tidak terkontrol merupakan beberapa penyebab rendahnya populasi sapi potong.

Pembibitan bertujuan meningkatkan mutu genetik dan nilai ekonomis sapi potong serta menghasilkan bibit sapi yang memiliki kualitas unggul. Saat ini masih sedikit yang mengusahakan pembibitan sapi potong di Indonesia. Selama ini pihak swasta lebih tertarik menanamkan modalnya pada usaha penggemukkan dari pada usaha pembibitan. Hal ini disebabkan antara lain usaha penggemukkan memiliki resiko yang lebih kecil, perputaran modal lebih cepat, dan waktu pengembalian modal (payback period) lebih singkat dibanding usaha pembibitan, dimana breeding sapi potong baru dapat dijual setelah anak sapi yang baru lahir berumur tiga bulan.

Hal ini berbeda dengan usaha penggemukkan dimana sapi potong dapat dijual setelah mengalami penggemukkan selama tiga bulan. Para investor beranggapan bahwa dalam usaha breeding dibutuhkan lahan secara ekstensif dengan modal yang besar, padahal usaha pembibitan dapat dilakukan dengan memanfaatkan lahan sebaik mungkin dengan sistem semi intensif serta manajemen pakan yang baik yaitu memanfaatkan hasil produk sampingan pertanian (byproduct) sebagai bahan baku pakan yang bernutrisi.

Di samping itu, proses pengurusan penggunaan lahan dan izin usaha biasanya membutuhkan waktu yang cukup lama. Tidak adanya kepastian dalam

7

penguasaan lahan ini akan menghambat investor untuk menanamkan modalnya dalam usaha pembibitan sapi potong (Hadi dan Ilham, 2002).

PT Lembu Jantan Perkasa (LJP) adalah salah satu perusahaan swasta nasional di Indonesia yang yang berskala usaha besar, dan bergerak di dua bidang usaha yaitu pembibitan sapi potong (breeding) dan penggemukkan (fattening) sapi secara intensif. Sejak awal tahun 1990 PT LJP bergerak di bidang penggemukan sapi potong dengan menggunakan input utama yaitu bakalan sapi potong yang diimpor dari negara Australia. Berdasarkan pengalaman perusahaan, input bakalan yang diimpor tersebut sebesar 15 persen dari seluruh populasi sapi potong yang diimpor, telah dalam keadaan bunting. Keadaan tersebut merupakan peluang yang dapat dimanfaatkan oleh perusahaan untuk mulai mengembangkan usaha pembibitan (breeding). Sehingga bakalan impor yang baru datang sebelum dimasukkan ke dalam unit usaha pembibitan dan unit usaha penggemukkan terlebih dahulu dilakukan seleksi.

Sapi betina yang diimpor, setelah melalui karantina yang ketat, diseleksi untuk menentukan keadaan dan potensi reproduksinya. Seleksi dilakukan meliputi Pemeriksaan Alat Reproduksi (PAR) dan Pemeriksaan Alat Kebuntingan (PKB). Apabila berada dalam keadaan bunting atau layak untuk bereproduksi, sapi-sapi betina tersebut dimasukkan ke dalam suatu program pembudidayaan pembibitan untuk dikembangkan lebih lanjut menggunakan teknologi IB.

Ternak yang tidak produktif langsung disalurkan ke lokasi feedlot untuk masuk ke program penggemukkan. Menurut pengalaman PT LJP, dari seluruh populasi bakalan yang telah diseleksi alat reproduksinya, sebesar 45 persen digunakan dalam program breeding sebagai calon bibit (cabit) karena memiliki

alat reproduksi yang bagus, sedangkan sisanya 55 persen untuk usaha penggemukkan. Penggunaan bakalan impor ini dilakukan karena tidak tersedianya jumlah sapi bakalan di dalam negeri serta bibit ternak lokal yang kurang berkualitas.

Hal utama yang melatarbelakangi PT LJP mendirikan usaha pembibitan sapi potong yaitu melihat kondisi pertumbuhan populasi sapi potong yang cenderung statis sedangkan kebutuhan akan daging sapi di dalam negeri makin meningkat setiap tahunnya, sehingga terjadi ketidakseimbangan antara permintaan daging sapi dengan populasi sapi potong. Hal ini menyebabkan tingkat ketergantungan impor sapi potong semakin tinggi. Melihat kenyataan tersebut, potensi untuk pengembangan sapi potong di dalam negeri masih cukup besar, namun belum diberdayakan secara optimal.

Masalah yang dihadapi perusahaan selama ini adalah dalam pengadaan bakalan yang sangat ditentukan oleh nilai tukar Rupiah terhadap Dollar yang sangat berfluktuasi. Menurut perusahaan permintaan akan breeding sapi potong semakin meningkat setiap tahunnya dimana tahun 2006 penjualan PT LJP yaitu sebesar 1860 ekor sapi dan pada tahun 2007 penjualan sapi breeding meningkat menjadi 2331 ekor sapi. Meningkatnya permintaan akan bibit sapi potong merupakan peluang bagi perusahaan, sehingga untuk memenuhi peluang tersebut PT LJP berencana akan mengembangkan usaha dengan menambah skala usaha pembibitan sapi potong. Tabel 4 menjelaskan penjualan sapi breeding PT LJP tahun 2006 dan 2007.

9

Tabel 4. Penjualan Sapi Breeding PT LJP Tahun 2006-2007 Tahun Keterangan

2006 (ekor) 2007 (ekor) 1. Penjualan anak

Sale calf male 12 48

Sale calf female 1 31

Sale weaner male 392 198

Sale weaner female 76 301

Total penjualan anak 481 578

2. Penjualan bunting

Bunting muda 3- 6 bulan 1080 1432

Bunting ≥ 7 bulan 299 321

Total penjualan bunting 1379 1753

Total Penjualan 1860 2331

Sumber : Departemen Livestock PT LJP, 2008

PT LJP mulai merintis usaha pembibitan sapi potong pada bulan Oktober tahun 2005. Populasi breeding sapi potong pada awalnya berjumlah 200 ekor sapi, dengan kapasitas kandang lebih kurang 3000 ekor sapi. Melihat adanya potensi permintaan konsumen terhadap daging sapi potong yang semakin meningkat, serta adanya peningkatan penjualan sapi breeding, maka PT LJP berencana akan menambah fasilitas dan kandang yang dapat menampung 7500 ekor ternak pada tahun 2008. Jumlah sapi breeding yang ada di PT LJP saat ini yaitu untuk anak sapi 657 ekor dan jumlah sapi bunting yaitu 2287 ekor. PT LJP memiliki luas areal 159.000 m2.

Lahan tersebut telah dimanfaatkan seluas 3.1473,5 m2 untuk bangunan unit feedmill, kebun hijauan, 11 kandang sapi breeding dan hospital pen, kolam penampungan limbah (holding pond), mess karyawan dan staff, serta guest house, cattle yard, laboratorium, dan holding fasilitas untuk IB serta kantor. Investasi yang digunakan dalam usaha pembibitan tidaklah sedikit selain itu dibutuhkan waktu yang lama dalam mengembalikan modal karena breeding sapi potong baru bisa dijual setelah anak sapi berumur tiga bulan, sehingga untuk

pengembangan pembibitan selanjutnya oleh peternak-peternak lain perlu dilakukan analisis kelayakan usaha breeding sapi potong. Aspek-aspek yang akan dikaji dalam pengembangan usaha breeding sapi potong meliputi aspek teknis, aspek institusioanal-organisasi-manejerial, aspek pasar, aspek sosial dan aspek finansial.

Keberhasilan breeding sapi potong dipengaruhi oleh manajemen breeding

itu sendiri yaitu : 1) manajemen ternak pra-breeding, 2) kesehatan hewan, 3) pakan, 4) manajemen ternak saat IB, 5) waktu IB dan, 6) Pemeriksaan Kebuntingan (PKB). Jika ada suatu perubahan dalam dasar perhitungan biaya dan

benefit maka perlu dilakukan analisis sensitivitas untuk melihat apa yang akan terjadi dengan hasil analisis proyek. Perubahan-perubahan tersebut yaitu kenaikkan biaya variabel terutama harga bakalan yang akan digunakan sebagai calon bibit, karena harga bakalan sangat dipengaruhi oleh nilai tukar Rupiah terhadap Dollar yang sangat berfluktuasi. Penurunan volume produksi sapi potong, dan penurunan harga output.

Jika jumlah populasi sapi yang dibudidayakan untuk pembibitan semakin besar sedangkan jumlah lahan dan fasilitas yang digunakan sama, maka keuntungan yang diperoleh akan besar dan sebaliknya, mengingat usaha breeding

di PT LJP adalah usaha peternakan insentif. Apabila populasi sedikit, dan jumlah fasilitas dan lahan yang digunakan sama, maka profit yang diperoleh kecil. Meningkatnya skala usaha akan menghemat biaya. Usaha pembibitan sapi potong mampu menghasilkan keuntungan yang memadai, jika skala usaha diperbesar dengan menambah populasi sapi breeding. Berdasarkan uraian di atas maka dapat dirumuskan permasalahan apakah dengan pengembangan skala usaha

11

pembibitan (breeding) sapi potong pada PT Lembu Jantan Perkasa (LJP) akan layak untuk dilakukan ?

Dokumen terkait