• Tidak ada hasil yang ditemukan

I. PENDAHULUAN

1.2. Perumusan Masalah

Provinsi Maluku dikenal dengan sebutan daerah “seribu pulau”, atau “The Spice Islands” memiliki kapasitas atau potensi lokal (local spesific) wilayah berbasis maritim/bahari melimpah dan beraneka ragam. Kekayaan sumberdaya

ini terdapat di berbagai sektor perekonomian, baik yang telah dikelola maupun

yang belum dikelola secara ekonomi. Selain itu secara geografis, ekonomi

sebagai modal dasar penggerak utama (prime mover) pembangunan terhadap

sektor pendukung lainnya.

Sumberdaya alam yang melimpah dan beraneka ragam hayati serta

didukung dengan jumlah penduduk yang cukup beragam kepadatannya,

membuat potensi wilayah di provinsi ini belum mampu tergarap secara optimal.

Kota Ambon sebagai pusat pemerintahan ibukota Provinsi Maluku memiliki

jumlah penduduk yang cukup padat, berbagai aktivitas ekonomi yang cukup

besar menjadikannya sebagai pusat pemasaran, perbankan, pendidikan dan

lainnya. Dengan berbagai aktivitas ekonomi tersebut menjadikan Kota Ambon

sebagai pusat pertumbuhan (growth pole) atau daerah inti (core region)

satu-satunya di Provinsi Maluku.

Bila dilihat dari sisi daya pemancaran (spread effect) maupun daya

dorong (backwash effect) maka kondisi seperti di atas membuat teraglomerasinya

kegiatan ekonomi di Kota Ambon. Sebagai wilayah pusat pertumbuhan (growth

pole) daya dorong (polarisasi) aktivitas ekonomi wilayah, Kota Ambon belum

mampu atau lambat dalam memacu percepatan pembangunan ekonomi wilayah

di sekitarnya (periphery) yakni kabupaten lainnya.

Walaupun UU otonomi memberikan kewenangan pada setiap daerah untuk

mengatur wilayahnya sendiri-sendiri tidak menjadikan kabupaten lainnya sebagai

pusat pertumbuhan yang sama dengan Kota Ambon. Hal tersebut tidak terlepas

dari pengaruh Kota Ambon sebagai ibukota provinsi dan besarnya aktivitas

ekonomi yang terpusat di kota ini. Oleh karena itu Kota Ambon harus berperan

menjadi pusat pertumbuhan wilayah (growth pole) atau daerah inti (core region)

ekonomi wilayah disekitarnya maka akan menciptakan pusat-pusat pertumbuhan

wilayah baru (new growth poles) selain Kota Ambon dan satu-satunya pusat

pertumbuhan (growth pole) di Provinsi Maluku (saluran distribusi).

Pengaruh lain yang cukup mempengaruhi terlambatnya pembangunan di

wilayah kabupaten lain adalah adanya pengertian yang salah dari masing-masing

wilayah setelah otonomi. Dimana setiap wilayah mengembangkan konsep

pengembangan sektor ekonomi yang sama dengan wilayah lainnya tanpa

mengidentifikasi/menentukan sektor unggulan wilayahnya. Selain itu keegoisan

masing-masing wilayah masih sering diperlihatkan tanpa memperhatikan

kebutuhan (needs) atau keterkaiatan (linkages) antarsektor maupun antarwilayah.

Dengan demikian pembangunan di era otonomi menjadi tidak terkendali atau

ketidak terpaduan pembangunan antarwilayah bahkan secara nasional.

Masing-masing daerah atau wilayah lebih mengutamakan kepentingan wilayahnya

sendiri-sendiri.

Semua faktor-faktor di atas mengakibatkan rendahnya pengelolaan

perekonomian wilayah yang berdampak pada pertumbuhan atau kegiatan ekonomi

yang tidak optimal dan menurunnya penerimaan Produk Domestik Regional

Bruto, lambatnya produktivitas sektor-sektor strategis, rendahnya fungsi dan

peran infrastruktur, tingkat pengangguran tinggi sehingga pendapatan perkapita

masyarakat menjadi rendah dan berpengaruh buruk terhadap berbagai kegiatan

ekonomi masyarakat di daerah. Hal ini juga turut mempengaruhi peringkat daya

saing Provinsi Maluku secara nasional yang berada pada posisi lima terbawah

Sebagai wilayah kepulauan Provinsi Maluku perlu memperbaiki peringkat

daya saing wilayahnya. Lemahnya daya saing dari provinsi ini sering disebabkan

oleh belum mampunya mengidentifikasi/menentukan sektor-sektor unggulan (key

sectors) dari wilayahnya. Hal ini terbukti sejak Tahun 1999 persentase investasi

domestik (% terhadap PDRB) Provinsi Maluku menduduki peringkat ke-26

sebelum pemekaran provinsi dan berada pada peringkat ke-30 setelah adanya

penambahan provinsi baru yaitu sebesar 2.17 persen. Laju pertumbuhan PDRB

hanya sekitar 0.20 persen, laju pertumbuhan PMA sekitar 0.39 persen. Sebagai

wilayah kepulauan penggunaan angkutan laut untuk barang (arus bongkar-muat)

berada pada peringkat 23 dari 33 provinsi yakni hanya sekitar 2 046 juta

ton/tahun. Laju pertumbuhan produktivitas sektor jasa dari Tahun 1999 berada di

peringkat 28 yaitu sebesar 21.92 persen dari total laju pertumbuhan sektor jasa di

seluruh provinsi di Indonesia (Bank Indonesia, 2002).

Kegiatan ekonomi yang terkonsentrasi (agglomerasi) di Kota Ambon

menjadikannya sebagai pusat pertumbuhan (growth pole) yang tidak mampu

mendorong/memacu/menciptakan pusat pertumbuhan baru di wilayah lain.

Dengan demikian hal ini menciptakan ketimpangan (disparitas) pembangunan

ekonomi wilayah, sehingga menimbulkan keinginan pengembangan wilayah

(outer island) seperti pemekaran wilayah-wilayah baru lainnya. Adanya proses

pembangunan yang bersifat eksploitasi dimasa lalu dan lebih menitikberatkan

pada pengembangan wilayah daratan (continental) daripada wilayah kepulauan

(archipelago) lebih didasarkan pada kepentingan politis dari pemerintahan pusat

Guna percepatan pembangunan wilayah dan pertumbuhan sektor-sektor

unggulan ekonomi wilayah kepulauan diperlukan penciptaan pusat-pusat

pengembangan atau pertumbuhan baru (new growth poles) di Provinsi Maluku.

Hal ini dapat dilihat dari lemahnya daya pemancaran (spread effect) dan daya

dorong (backwash effect) baik dari pusat pertumbuhan Kota Ambon ke wilayah

lainnya hal ini terlihat dari kemampuan penyediaan fasilitas pelayanan yang

berbeda dari pusat-pusat pengembangan di Provinsi Maluku.

Berdasarkan latar belakang penelitian memperlihatkan Provinsi Maluku

belum mampu memberdayakan keunggulan sektoralnya yang berbasis

maritim/bahari sesuai kapasitas atau potensi lokal (local spesific) wilayahnya.

Salah satu lemahnya daya saing sektor unggulan wilayah di Provinsi Maluku

disebabkan juga karena lemah atau kurang tersedianya fasilitas pelayanan pusat

pengembangan. Kurangnya kemampuan penyediaan fasilitas pelayanan pusat

pengembangan wilayah di Maluku dengan provinsi lain di Indonesia seharusnya

menjadi rangsangan di dalam mempercepat arah dan strategi kebijakan daerah.

Dengan kemampuan fasilitas pelayanan pusat pengembangan wilayah yang baik

dan di dukung dengan kemampuan potensi lokal bahari/maritim akan

mempercepat peningkatan pengembangan sektor-sektor unggulan wilayah di masa

depan. Oleh karena itu pemerintah daerah perlu menentukan arah dan strategi

kebijakan pengembangan sektor-sektor unggulan wilayah yang terpadu

antarwilayah, sesuai dengan pengembangan kawasan sentra produksi secara

keseluruhan dan menyentuh aspek potensi lokal wilayah serta aspek ekonomi

Berdasarkan latar belakang, maka pokok permasalahan dari penelitian ini

adalah :

1. Sektor-sektor apa saja yang menjadi sektor unggulan (key sector) berdasarkan

kriteria analisis struktur output, nilai tambah bruto, multiplier effect dan

intersectoral linkages terhadap pengembangan ekonomi wilayah kepulauan

berbasis local spesific di Provinsi Maluku?

2. Bagaimana konektivitas sektor-sektor ekonomi yang merupakan sektor

unggulan (key sector) dan sektor pendukung (leading sector) dalam

pengembangan kegiatan ekonomi wilayah kepulauan di Provinsi Maluku?

3. Bagaimana dampak peningkatan permintaan akhir output (output final demand

impacts) dari sektor-sektor berbasis wilayah kepulauan terhadap sektor

lainnya dan total output Provinsi Maluku sebagai wilayah kepulauan

(archipelago)?

4. Apakah pusat-pusat pengembangan wilayah telah berperan atau berfungsi

sesuai dengan kemampuan fasilitas pelayanan wilayahnya terhadap

peningkatan sektor-sektor unggulan (key sector) yang berbasis local spesific

wilayah kepulauan di Provinsi Maluku?

5. Apakah terjadi pergeseran pusat-pusat pengembangan wilayah sesuai dengan

hirarki tingkat perkembangan wilayah di Provinsi Maluku?

6. Bagaimana arah dan strategi kebijakan pembangunan struktur ekonomi

wilayah kepulauan terhadap pengembangan sektor-sektor ekonomi unggulan

kawasan sentra produksi dalam suatu aktivitas perekonomian wilayah