• Tidak ada hasil yang ditemukan

I. PENDAHULUAN

1.4 Perumusan Masalah

Undang-undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi secara eksplisit tidak mengatur bagaimana kebijakan penggunaan energi, promosi energi terbarukan dan efisiensi energi secara konkrit. Undang-Undang No 18 Tahun 1997 mengenai tentang pajak daerah dan distribusi daerah mengatur mengenai besarnya pajak terhadap bahan bakar sebesar 5% tetapi pendapatan pajak bukan dimaksudkan untuk tujuan efisiensi energi dan lingkungan, melainkan untuk tujuan pendapatan negara. Peraturan Presiden yang dikeluarkan tentang harga jual eceran bahan bakar minyak dalam negeri secara umum hanya mengatur mekanisme subsisi dan harga jual berdasarkan harga jual tertinggi dan terendah. Instruksi Presiden No 10 Tahun 2005 mengenai penghematan energi masih perlu ditindak lanjuti dengan peraturan ataupun undang-undang dalam rangka konservasi energi secara nasional. Jadi masalah pungutan pajak, subsidi, kebijakan harga, insentif ekonomi untuk tujuan efisiensi energi dan mengurangi masalah emisi untuk mengurangi dampak lingkungan masih belum diatur secara komprehensif dalam suatu undang-undang. Polusi yang disebabkan oleh emisi gas akibat pembakaran bahan bakar fosil sangat terkait dengan kebijakan energi nasional.

Undang-undang Nomor 23 tahun 1997 tentang pengelolaan lingkungan hidup yang ada saat ini masih menggunakan pendekatan instrumen regulasi didalam mengatur masalah pengelolaan dan pengawasan lingkungan. Peraturan menteri yang berhubungan dengan masalah pencemaran udara yang ada saat ini yaitu Keputusan Menteri No 129-2003 tentang ”Baku Mutu Emisi Dan Atau Kegiatan Minyak Dan gas Bumi” untuk sumber yang tidak bergerak, PERMEN No 141-2003 tentang ” Ambang Batas Emsisi Gas Buang Kendaraan Tipe Baru dan Yang Sedang Diproduksi”, Peraturan Pemerintah No.41 Tahun1999 tentang ”Pengendalian Pencemaran Udara” semuanya masih menggunakan pendekatan kebijakan regulasi yaitu menggunakan pendekatan standar emisi.

Suatu hal yang perlu dipertimbangkan bahwa standar emisi dapat dibuat berdasarkan pendekatan teknologi ( technology – based ) yaitu mensyaratkan teknologi khusus yang harus digunakan oleh pencemar, dan dapat juga berupa

pendekatan kinerja ( performance- based ) yaitu mensyaratkan batasan polusi yang harus dipenuhi oleh semua pencemar. Keuntungan dari menggunakan technology – based adalah pihak pemerintah dapat memberikan kesempatan kepada pencemar untuk menggunakan teknologi terbaik yang tersedia dalam mengurangi polusi, contohnya pencemar/industri boleh menggunakan tipe tertentu dari ketel–uap/boiler, mensyaratkan industri kendaraan untuk menggunakan tipe tertentu dari alat pengendali polusi dan perusahaan minyak untuk menawarkan energi alternatif. Kerugiannya adalah pemerintah tidak mendorong pihak industri/pencemar untuk mengurangi polusi karena tidak adanya insentip yang diberikan, selain itu juga tidak menciptakan insentip bagi lembaga penelitian dan pengembangan untuk mendorong teknologi bersih. Dengan pendekatan kinerja ( performance-based ), pemerintah dapat menerapkan standar yang berbeda untuk setiap industri atau pencemar, sesuai dengan umur dari peralatan, artinya akan sulit pemain baru untuk masuk kedalam industri tersebut. Dalam kasus kendaraan akan ada kesulitan pemain baru atau tipe baru dari kendaraan yang akan masuk kedalam pasar. Pemilik kendaraan diharuskan oleh peraturan untuk melakukan pengecekan kendaraannya setiap periode tertentu. Secara umum pendekatan kinerja masih lebih efektip dibandingkan dengan pendekatan teknologi, karena pencemar dapat memilih metoda yang sesuai dengan keinginannya dalam mengurangi polusi sesuai dengan biaya yang paling kecil.

Pendekatan regulasi ( command and control ) mengharuskan pencemar mengikuti standar emisi yang telah dibuat, hal ini akan membuat pemborosan sumber daya yang ada karena pencemar dengan biaya yang besar dalam mengurangi polusi dipaksa untuk mengurangi polusinya sama besarnya dengan pencemar dengan biaya yang kecil. Dalam menetapkan standar emisi pemerintah juga dituntut bekerja dengan informasi yang tidak sempurna untuk menentukan

biaya dan benefit dari suatu usaha dalam mengurangi polusi tersebut. Hal ini dapat mengakibatkan biaya untuk menetapkan suatu standar bisa jadi lebih

besar dari benefit yang diterima. Hal lain yang menjadi kendala adalah terhadap sumber polusi yang bergerak (kendaraan). Walaupun program inspeksi dan pemeliharaan dilakukan secara berkala sesuai dengan jadwal pemeriksaan emisi,

tetapi sebaiknya tidak dilakukan berdasarkan output, melainkan berdasarkan input seperti teknologi kendaraan dan sifat bahan bakar yang dipakai.

Menurut publikasi dari UNEP(2004) bahwa studi empiris di Amerika menunjukkan bahwa terjadi efisiensi yang sangat signifikan dengan menggunakan EI dari pada CAC. Tietenberg menyarankan menggunakan EI untuk mengendalikan polusi udara karena biaya menggunakan CAC adalah 22 kali lebih mahal dari pada menggunakan EI. Untuk sebelas aplikasi yang diamati maka menggunakan CAC rata-rata 6 kali lebih mahal dari menggunakan EI. Penelitian yang dilakukan oleh OECD pada tahun 1992 menunjukkan terjadi peningkatan menggunakan EI berupa pajak dan charge untuk bermacam-macam barang dan polutan.

Keberhasilan dari negara -negara yang menggunakan kebijakan EI karena beberapa faktor yaitu (1) sifatnya yang fleksibel, (2) mengajak industri melakukan inovasi dalam menggunakan teknologi untuk mengurangi polusi, (3) menggunakan kesadaran sendiri dengan cara menyamakan kepentingan publik dan kepentingan pribadi, (4) meningkatkan transparansi, (5) mengalokasikan sumberdaya alam kepada pihak yang memberikan nilai untuk sumber daya alam tersebut.

Gambar 5 menunjukkan beberapa kebijakan yang dapat dilakukan, dimulai dengan tidak adanya kebijakan dalam mengendalikan polusi, dengan standar emisi atau teknologi dan dengan kebijakan instrumen ekonomi. Pada gambar 5 dapat dilihat bahwa, saat ini Indonesia hanya memiliki kebijakan CAC yang berupa standar emisi dan standar teknologi. Dengan menggunakan instrumen pajak maka kebijakan pengawasan yang baru akan berubah dengan menggunakan pajak input, output atau pajak emisi. Pajak dapat menjadi sub-optimal ataupun optimal. Pajak Sub-optimal disebabkan karena sulit bahkan mustahil untuk menilai kerusakan lingkungan untuk masa yang akan datang yang disebabkan oleh polutan, sedangkan pajak optimal berarti kerusakan dapat diperkirakan dan polusi dapat dikendalikan ( lingkungan menerima cukup bantuan untuk diadakan perbaikan).7)

7) Gambar diadopsi dari paper yang ditulis oleh Dr Vinish Kathuria mengenai Eco-taxes yang diambil dari website : http://coe.mse.ac.in/cbecotex.asp dicetak tanggal 21 Maret 2005

Gambar 5. Opsi kebijakan pajak lingkungan

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, maka perlu diadakan suatu penelitian terhadap peran pajak emisi gas CO2 yang berasal dari bahan bakar fosil dalam perspektif Indonesia agar (a) biaya eksternalitas dapat diinternalkan dengan cara memasukkannya kedalam harga barang/pelayanan yang dihasilkan dari suatu kegiatan ekonomi (b) menciptakan insentif bagi produser dan konsumer karena tindakannya yang merusak lingkungan (c) membuat biaya menjadi efektif dengan cara memberikan pilihan terhadap pencemar yaitu dengan cara membayar pajak, mengurangi produksi atau menggunakan teknologi pencegah polusi (d) menciptakan inovasi-inovasi baru dalam teknologi untuk menggunakan energi substitusi atau energi terbarukan dan (e) meningkatkan pendapatan yang dapat digunakan kembali untuk memperbaiki kerusakan lingkungan.

Dokumen terkait