PERANAN PAJAK EMISI GAS CO
2BAHAN BAKAR FOSIL
DALAM MENGURANGI DAMPAK LINGKUNGAN.
”SUATU PERSPEKTIF UNTUK INDONESIA”
KEMAS FACHRUDDIN
SEKOLAH PASCA SARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
KEMAS FACHRUDDIN. Peranan Pajak Emisi Gas CO2 Bahan Bakar Fosil Dalam Mengurangi Dampak Lingkungan. ”Suatu Perspektif Untuk Indonesia”. AKHMAD FAUZI sebagai ketua; AHMAD BEY, dan SURJONO H.SURTJAHJO, sebagai anggota komisi pembimbing
Pada tahun 2001 Indonesia termasuk peringkat ke 21 sebagai negara penghasil emisi gas CO2 terbesar. Pada tahun 1990 total emisi gas CO2 yang dihasilkan dari pembakaran bahan bakar fosil adalah sebesar lebih kurang 83,8 juta ton dan diperkirakan pada akhir tahun 2020 total emisi tersebut menjadi 368,3 juta ton. Pada saat ini belum ada peraturan baik dalam bentuk undang-undang maupun peraturan pemerintah yang mengatur secara khusus untuk mengatasi laju pertumbuhan emisi tersebut.
Ada beberapa pendekatan didalam mengatasi masalah emisi gas CO2 yaitu melalui instrumen regulasi (command and control) atau melalui instrumen ekonomi (market based instrument). Berdasarkan pengalaman dari beberapa negara maju instrumen ekonomi dalam bentuk pajak karbon atau pajak emisi lebih banyak disukai dibandingkan dengan pendekatan regulasi.
Penelitian empiris ini bertujuan untuk menganalisis peran instrumen ekonomi dalam bentuk pajak karbon atau pajak emisi terhadap bahan bakar yang berbasis fossil melalui model DICE yang telah dimodifikasi. Model DICE disebut juga ”Three Box Model” atau yang dikenal dengan ”Two Folded” model.
Hasil output model dengan menggunakan berbagai nilai rate of social preference (R) menunjukkan bahwa pajak optimal untuk bahan bakar minyak dan batubara yang sesuai adalah dengan menggunakan nilai R sebesar 5%. Besarnya pajak karbon per ton dalam kondisi optimal untuk periode 1990-2019 adalah sebesar 3,90-40,35 dolar Amerika atau sebesar 1,06 -11,00 dolar Amerika per ton untuk emisi gas CO2. Harga tersebut ekivalen dengan 0,002 -0,024 dolar Amerika per liter bahan bakar minyak dan untuk batubara berada pada kisar 1,95 -20,25 dolar Amerika per ton.
Output model menunjukkan bahwa pajak karbon atau emisi dengan skenario optimal tidak berpengaruh secara signifikan terhadap pendapatan masyarakat relatif terhadap skenario ”Base Case”, justru menunjukkan sebaliknya. Pada skenario optimal abatement cost berkisar antara 0,1-6,7 % GDP untuk periode 1990-2019. Jika pemerintah menggunakan kebijakan instrumen pajak dengan skenario optimal, maka penerimaan pajak emisi diperkirakan berkisar antara 457,6 – 2.362,8 juta dolar Amerika untuk periode 1990 -2019. Penerimaan tersebut terdiri dari penerimaan yang berasal dari bahan bakar minyak sebesar 376,1-1.585,6 juta dolar Amerika dan dari batubara berkisar 81,4 – 777,2 juta dolar Amerika.
ABSTRACT
KEMAS FACHRUDDIN. Role of CO2 Gas Emission Tax On Fossil Fuel In Reducing Environmental Impact. “A Perspective for Indonesia”. AKHMAD FAUZI as Chairman; AHMAD BEY, and SURJONO H.SURTJAHJO, as Members of the advisory Committee.
In the year 2001, Indonesia was ranked 21 st in producing CO2 emission. In 1990 total emission of CO2 from the burning of fossil fuel was estimated 83.8 million tones and at the end of year 2020 the total emission will be 368.3 million tones. Currently, Indonesia has no specific regulation for controlling CO2 emission either in form of act or government regulation.
Some approaches in controlling such emissions are through command and control and or market based instrument (sometimes this term is called economic instrument). Based on experience from developed countries, economic instrument in the form of carbon tax or emission tax is preferred due to it’s effectiveness compared with the common and control instrument.
This empirical study is intended to analyze role of economic instrument in forms of a carbon or emission tax on the energy of fossil fuel through modified DICE model. DICE model is also called a “Three –Box Model” or “Two Folded Model”
By using some of rate of social preference (R), model outcome suggests that appropriate optimal taxes for petrol and coal are if model using value of R5%. Value of carbon tax per ton in optimal condition for period of 1990-2019 having range $US3.90 – 40.35 or $US1.06 -11.00 USD CO2 emission per ton. The price is equivalent to $US 0.002 – 0.024 per liter petrol and $US 1.95 -20.25 per ton coal.
Based on the output model its indicated that carbon or emission tax with optimal scenario has no significant impact on income per capita relative to “Base Case”. Shall the government apply tax instruments with optimal scenario, revenue of emission taxes will fall between $US 457.6 – $US 2,362.8 million for period 1990-2019. The revenue consists of $US 376.1 – US$ 1,585.6 million generated from petrol and $US 81.4 – $US 777.2 million from coal.
© Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2007 Hak cipta dilindungi
Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apapun, baik
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN
SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi dengan judul “ Peranan Pajak Emisi Gas CO2 Bahan Bakar Fosil Dalam Mengurangi Dampak Lingkungan: “Suatu Perspektif Untuk Indonesia “ adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka dibagian akhir disertasi ini.
Bogor, Agustus 2007
PERANAN PAJAK EMISI GAS CO
2BAHAN BAKAR FOSIL
DALAM MENGURANGI DAMPAK LINGKUNGAN.
”SUATU PERSPEKTIF UNTUK INDONESIA”
KEMAS FACHRUDDIN
Disertasi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada
Bidang Pengelolaan Lingkungan dan Sumberdaya Alam
SEKOLAH PASCA SARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Judul Disertasi : Peranan Pajak Emisi Gas CO2 Bahan Bakar Fosil Dalam Mengurangi Dampak Lingkungan. ”Suatu
Perspektif Untuk Indonesia”
Nama Mahasiswa : Kemas Fachruddin Nomor Pokok : P 062034254
Program Studi : Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan
Disetujui Komisi Pembimbing
Prof.Dr.Ir Akhmad Fauzi Syam, M.Sc Ketua
Prof.Dr.Ir Ahmad Bey,M.Sc Dr.Ir Surjono H.Sutjahjo,M.S Anggota Anggota
Plh.Ketua Program Studi Pengelolaan Dekan Sekolah Pascasarjana Sumberdaya Alam dan Lingkungan
Dr.Ir Etty Riani,MS Prof.Dr.Ir Khairil Anwar Notodiputro,MS
Penulis lahir pada tanggal 04 Juli 1958 di Palembang,Sumatera Selatan, dari pasangan Kemas Dencik dan Tapsiah. Penulis beristrikan Nurachmi Suryani dan memiliki putra Fari Fatullah dan Kemas Hadid serta putri Nyimas Faradilla
Penulis berhasil menyelesaikan pendidikan di Universitas Ahmad Yani Bandung sampai tingkat sarjana dan memperoleh sarjana muda teknik industri pada tanggal 5 Oktober tahun 1981. Melanjutkan pendidikan pada Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia Program Extension dan berhasil memperoleh sarjana ekonomi pada tahun 1995. Pada tahun 1997 melanjutkan pendidikan S-2 pada program studi Magister Management Teknologi di Institut Teknologi Sepuluh November Surabaya, dan sarjana Magister Management Teknologi diperoleh pada tahun 2001. Penelitian yang dilakukan dalam rangka menyelesaikan pendidikan S-2 di ITS adalah ” Reducing Weld Defects By Using Six Sigma Methodogy ” dengan melakukan riset experimental yang pendanaannya dibantu oleh General Electric Power System Amerika. Pada tahun 2003 menempuh pendidikan S-3 di Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor pada program studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan dan perkuliahan diselesaikan pada tahun 2004.
Pernah mengikuti berbagai pelatihan manajemen dan teknik baik didalam maupun diluar negeri untuk berbagai disiplin ilmu seperti Welding Technology, Inspection, Financial Management, Material Management, Procurement dan Advance Procurement dan Fabrication untuk Steam Turbine dan Gas Turbine di Schenectady - New York, South Carolina Amerika Serikat, Shanghai-China, Bangkok dan Malaysia.
Tahun 1989 sampai dengan tahun 1994 bekerja pada perusahaan multi nasional – Bechtel International yang bergerak dibidang Design Engineering, Procurement dan Construction. Posisi sebagai Chief Engineer dan pernah terlibat dalam pembangunan beberapa proyek seperti Well Dehydration Project Mobil Oil di Aceh dan beberapa proyek Petro Kimia di Jawa Barat, dan selama lebih kurang dua tahun bekerja pada PT Freeport Indonesia di bagian logistik sebagai Chief Materials dan Quality di Jakarta.
Penulis pernah bekerja pada perusahaan multi nasional – General Electric (GE) selama enam tahun pada bisnis unit Power System sebagai senior Global Sourcing Manager. Bertanggung jawab terhadap pembelian Global dan transfer teknologi kepada pihak pemasok, termasuk yang ada di Indonesia untuk komponen – komponen dari Power System baik untuk Gas Turbine maupun Steam Turbine.
Mulai tahun 2001 sampai dengan tahun 2005 bekerja pada perusahaan multi nasional yang bergerak pada sektor perminyakan. ExxonMobil Indonesia selama satu tahun dan sampai sekarang bekerja pada ConocoPhillips Indonesia pada bagian proyek infra struktur di Jakarta.
Hanya berkat rachmat dan hidayahNya lah penulisan disertasi ini dapat terlaksana. Hidayah sehat dan kemampuan berpikir yang terus-menerus diberikan oleh Allah swt kepada penulis adalah merupakan kontribusi yang sangat besar dalam menyelesaikan studi yang diakhiri dengan penyelesaian penulisan penelitian.
Suatu kegiatan selalu akan menimbulkan eksternalitas baik negatip mapun positip. Permasalahan akan timbul bila eksternalitas tersebut menimbulkan dampak negatip bagi masyarakat. Dampak eksternalitas yang merugikan masyarakat tersebut tidak serta merta dapat dikoreksi oleh masyarakat itu sendiri. Oleh karenanya perlu campur tangan pihak pemerintah selaku pembuat kebijakan agar dampak eksternalitas tersebut dapat diminimalisasi dan jika memungkinkan dihilangkan.
Salah satu masalah eksternalitas yang ditimbulkan oleh hasil pembakaran dari bahan bakar berbasis fosil seperti minyak bumi dan batubara yang terjadi pada saat ini sangat berdampak kepada masyarakat baik secara langsung maupun tidak langsung. Gas CO2 merupakan gas rumah kaca langsung. Sebanyak 50% emisi gas CO2 secara global yang ada pada saat ini yaitu sebesar 2,3 triliun ton adalah dihasilkan dalam periode 1974 – 2004. Peningkatan secara absolut dari emisi gas CO2 yangterbesar terjadi pada tahun 2004 dengan jumlah 28 milyar ton. Penyebab utamanya adalah pembakaran bahan bakar fosil. Sebesar 1,5% dari total emisi tersebut adalah kontribusi dari negara Indonesia. Gas rumah kaca akan berimplikasi pada perubahan iklim global dengan meningkatnya suhu rata-rata permukaan bumi.
(EI) yaitu Instrumen Pajak adalah lebih baik dibandingkan dengan menggunakan Instrumen Regulasi (CAC) yang bersifat top-down. Instrumen Ekonomi ini biasanya juga disebut dengan Market Based Instrumen (MBI). Kebijakan Command andControl (CAC) tidak begitu fleksibel dalam pendekatan pengurangan emisi gas, karena cenderung untuk memaksa pihak-pihak yang mengeluarkan emisi dengan perlakuan yang sama dan mengabaikan aspek biaya yang ditimbulkan.
Dengan pendekatan instrumen pajak atau instrumen yang menggunakan pendekatan pasar (Market Based Instrument) harga bahan bakar akan berubah sesuai dengan kekuatan pasar, dan dalam jangka panjang kebijakan ini dapat merubah tingkah laku konsumen dan produsen dalam melihat masalah lingkungan.
Ucapan terima kasih dan penghargaan penulis sampaikan kepada ketua komisi pembimbing yaitu: Prof.Dr.Ir Akhmad Fauzi,MSc yang sangat banyak membantu, baik didalam memberikan referensi dan bimbingannya serta membantu dalam penyelesaian modeling yang digunakan dalam penelitian ini, kepada Prof.Dr. Ir Ahmad Bey,MSc dan Dr.Ir Surjono H.Sutjahjo,MS masing-masing sebagai komisi pembimbing yang banyak memberikan masukan dan perbaikan arah penelitian serta terus mendorong penulis dalam menyelesaikan studi di PSL .
Penghargaan juga saya sampaikan kepada Dr.Ir Surjono H.Sutjahjo selaku ketua program studi Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan dan Prof.Dr Bibiana W.S.Lay,MSc yang selalu memberikan konsultasi mengenai studi di PSL; Dekan Sekolah Pascasarjana Prof.Dr.Ir Sjafrida Manuwoto,MSc yang sering memberikan pencerahan dibidang keilmuan.
Indonesia yang telah meluangkan waktunya dalam menjelaskan data-data mengenai energi yang dikeluarkan oleh PEUI.
Kepada Prof.William D.Nordhaus dari Yale University, Prof.Rob Dellink dari Wergeningan University, Prof.Brian O’NEILL dari International Institute for Applied Systems Analysis dan Prof Christian Azar dari Chalmers Environmental Initiative yang banyak membantu dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan dan klarifikasi dalam permodelan melalui email.
Ucapan terima kasih juga saya sampaikan kepada rekan-rekan satu kelas yang biasa kita sebut dengan kelas Kimpraswil, terutama kepada saudari Rinidan Lina Warlina yang banyak membantu dalam memberikan informasi administrasi perkuliahan; Ririn dan Suli keduanya staf administrasi program PSL yang selalu memberikan informasi mengenai jalannya perkuliahan di PSL.
Secara khusus, penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada istri (Nurachmi Suryani) dan anak ( Nyimas Faradilla ) yang selama lebih kurang tiga tahun bersedia mengerti dan mengorbankan waktu liburnya untuk kepentingan studi dan penyelesaikan disertasi ini.
Kepada pihak-pihak dan rekan-rekan yang selama ini membantu dalam menyelesaikan penelitian dan disertasi, penulis menyampaikan rasa hormat dan terima kasih atas bantuan yang telah diberikan secara ikhlas, semoga Allah membalas kebaikan saudara.
Hasil penelitian ini tidak akan bermanfaat jika kita sebagai insyan yang diciptakan oleh Allah swt tidak berbuat sesuatu untuk memperbaiki situasi yang ada. Melakukan penelitian dan menulis hanyalah sebuah perbuatan kecil kita sebagai tanggung jawab dari daya fikir yang dikaruniai oleh Allah swt, tetapi berbuat sesuatu akan jauh lebih baik buat kehidupan masa depan kita semua.
Pada akhirnya jika ada kesalahan didalam penulisan disertasi ini, penulis mohon maaf dan selalu ada ruang untuk memperbaiki kesalahan.
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL ... xvii
DAFTAR GAMBAR ... xviii
DAFTAR LAMPIRAN ... xxiv
I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang... 1
1.2 Tujuan Penelitian ... 7
1.3 Kerangka Pemikiran... 7
1.4 Perumusan Masalah ... 8
1.5 Manfaat Penelitian ... 12
1.6 Ruang Lingkup Penelitian ... 12
1.7 Novelty Penelitian ... 13
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Eksternalitas Dan Pajak Lingkungan ... 14
2.2 Pajak Karbon Dan Energi ... 17
2.3 Emisi Per Kapita, Energi dan Karbon Intensitas ... 22
2.4 Emisi Dan Pertumbuhan Emisi Gas CO2 ... 25
2.5 Elastisitas ... 30
2.6 Model Ekonomi Pemanasan Global ... 32
2.6.1 Model DICE ... 34
2.6.2 Deskripsi Dari Model DICE ... 36
2.6.3 Discounting ... 41
2.6.4 Perubahan Teknologi ... 43
2.6.5 Investasi Dan Interest Rate ... 45
2.6.6 Variabel Dan Parameter Dalam Model DICE ... 47
2.6.7 Sekenario Kebijakan Model DICE ... 48
2.7 Kebijakan Terhadap Emisi ... 51
2.7.1 Instrumen Regulasi (CAC) VS Ekonomi (EI) ... 55
2.7.2 Pajak Emisi Optimal ... 56
III. METODE PENELITIAN 3.1 Kerangka dan Pelaksanaan Penelitian ... 59
3.2 Jenis dan Sumber Data ... 60
3.3 Perhitungan Jumlah Dan Tren Emisi Gas CO2 ... 61
3.4 Energi Dan Karbon Intensitas... 65
3.5 Elastisitas Dan Kalibrasi ... 67
3.5.1 Perhitungan Elastisitas ... 67
3.5.2 Kalibrasi ... 68
3.6 Deskripsi Model ... 68
3.6.1 Horizon Waktu ... 71
3.6.2 Kesejahteraan ( Walfare) …... 71
3.6.3 Dicount Rate Dan Pure Rate of Social Preference …… 72
3.6.4 Populasi …... 74
3.6.5 Perubahan Teknologi …... 74
3.6.6 Investasi Dan Interest Rate …... 77
3.6.7 Emisi Gas CO2 ... 78
3.6.8 Dampak Kerusakan …... 78
3.6.9 Faktor Pengurang …... 80
3.6.10 Siklus Karbon (Konsentrasi Emisi Gas CO2)... 81
3.6.11 Perubahan Iklim... 82
3.6.12 Radiative Forcing... 83
3.6.13 Pajak Emisi Gas CO2 ... 84
3.7 Persamaan Model ... 86
3.8 Variabel Dan Parameter Dalam Model Penelitian ... 87
IV. BASELINE ANALISIS 4.1 Analisis Emisi Dan Intensitas Energi ... 91
4.2.1 Elastisitas Konsumsi Energi Terhadap GDP ... 95
4.2.2 Elastisitas harga Terhadap GDP ... 96
4.3 Analisis Dampak Emisi Gas CO2... 97
V. ANALISIS DAN SKENARIO KEBIJAKAN PAJAK EMISI 5.1 Kalibrasi Model... 102
5.2 Skenario ... 103
5.3 Pajak Emisi Gas CO2 Yang Optimal ... 104
5.4 Dampak Dari Pajak Emisi Gas CO2... 110
5.5 Analisis Sensitivitas... 114
5.6 Skenario Kebijakan... 118
5.7 Penerimaan Pajak Emisi Gas CO2 ... 119
VI. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN ... 121
6.1 Kesimpulan ... 121
6.2 Implikasi Kebijakan ... 123
DAFTAR PUSTAKA ... 128
DAFTAR TABEL
Nomor Halaman
1. Pajak karbon pada beberapa negara Eropa Utara ... 20
2. Presentase pajak lingkungan dan pajak energi terhadap GDP... 21
3. Instrumen pajak yang telah diimplementasi dan direncanakan dibeberapa negara Eropa Utara ... 22
4. Faktor yang berkontribusi terhadap pertumbuhan emisi gas CO2 ... 28
5. Baseline emisi gas CO2 menurut tipe energi ... 29
6. Tipikal elastisitas harga permintaan pada negara OECD... 31
7. Model pemanasan global yang berhubungan dengan proyeksi populasi 33 8. Pajak dan fiskal untuk tujuan efisiensi energi sektor industri... 33
9. Tingkat penurunan tingkat discount jangka panjang... 42
10. Alternatif kebijakan dalam model DICE ... 48
11. Parameter model DICE... 68
12. Hubungan strp, dfg dan nilai yang akan datang... 73
13. Nilai g untuk Indonesia ………... 73
14. Discount rate yang disarankan ……….. 73
15. Discount rate yang akan dipakai dalam analisis…... 74
16. Estimasi pertumbuhan TFP Indonesia ……….. 76
17. Persen kerusakan terhadap GDP ..………….…... 79
18. Data dan proyeksi pertumbuhan rata-rata tahunan (p.1%)...……..…... 92
19. Data dan proyeksi pertumbuhan rata-rata tahunan (p.1,2%) ... 92
20. Perubahan emisi gas CO2 Indonesia terhadap negara OECD dan non-OECD dari tahun 1990-2020 ... 94
22.
Nilai abcost untuk beberap nilai MIU ...
102
23.
Nilai tecost …... 103
24.
Pajak karbon dan emisi gas CO
2Indonesia periode 1990 -2019
untuk R3%... 112
25.
Pajak emisi gas CO
2per liter BBM (Petrol) Indonesia periode 1990 -2019
untuk R3% …...
113
DAFTAR GAMBAR
Nomor
Halaman
1.
Peningkatan emisi gas CO
2berdasarkan asal sumber fosil ……... 3
2.
Peningkatan jumlah energi listrik berdasarkan bahan bakar ...
3
3.
Peningkatan konsumsi minyak Indonesia ...
4
4.
Kerangka pemikiran ...
7
5.
Opsi kebijakan pajak lingkungan ...
11
6.
Intensitas energi dan karbon 25 negara European Union. ...
24
7.
Tren intensitas energi dan karbon untuk 15 negara European Union...
25
8.
Emisi gas CO
2global dari pembakaran BBF ...
26
9.
Pertumbuhan emisi gas rumah kaca 1990 -2002 …...
27
10.
Persentase emisi gas rumah kaca global menurut sektor …...
27
11.
Kontribusi agregat gas rumah kaca utama ...
28
12.
Tipe fungsi permintaan ...
30
13.
Inelastis suplai ...
31
14.
Inelastis permintaan ...
31
15.
Struktur model DICE…………...
35
16.
DICE discounting dan utilitas ...
36
17.
DICE akumulasi kapital dan depresiasi ...
37
18.
Variabel eksogen model DICE ...
38
19.
Siklus karbon model DICE . ...
39
21.
Pengaruh discounting untuk beberapa nilai pure time preference ...
43
22.
Perubahan suhu pada tahun 2100 untuk perbedaan tingkat stabilitas...
43
23.
Biaya untuk stabilisasi konsentrasi emisi gas CO
2... 45
24.
Hubungan investasi, suku bunga dan output ...
45
25.
Present value aliran dana $1 untuk periode 100 tahun ...
46
26.
Diagram sektor bonderi dari model FREE ...
49
27.
Proses umpan balik antar sektor dari model FREE ...
50
28.
Tingkat pencemaran yang efisien ...
53
29.
Dampak pajak emisi terhadap MAC dan emisi yang dikeluarkan ...
53
30.
Penawaran dan permintaan TDP ...
54
31.
Pajak emisi optimal ...
56
32.
Kurva MAC terhadap jumlah emisi ...
57
33.
Perubahan kurva MAC ...
57
34.
Kerangka pelaksanaan penelitian ...
59
35.
Tahapan dalam melakukan pemodelan ...
60
36.
Tren total emisi gas CO
2Indonesia menurut sektor ...
62
37.
Persentase pertumbuhan emisi gas CO
2Indonesia ...
62
38.
Emisi gas CO
2menurut sektor …...
63
39.
Tren emisi gas CO
2menurut tipe dari BBF ...
63
40.
Presentase pertumbuhan emisi CO
2sektor listrik ...
64
41.
Emisi gas CO
2Indonesia dari sumber BBF …...
64
42.
Tren GDP/penduduk Indonesia ……...
65
44.
Tren intensitas emisi CO
2Indonesia ..…...
66
45.
Tren intensitas konsumsi energi Indonesia ...
66
46.
Elastisitas konsumsi energi terhadap GDP ...
67
47.
Hubungan antar sektor dari model ...
69
48.
Bonderi sistem energi ...
70
49.
Sistem referensi energi ...
71
50.
Hubungan investasi dan interest rate . …...
77
51.
Intensitas emisi Indonesia …... 78
52.
Tren fuel mix Indonesia 1990 -2020 …... 91
53.
Tren intensitas energi Indonesia 1990 -2020 ... 93
54.
Presentase perubahan konsumsi energi menurut sektor...
94
55.
Elastisitas konsumsi energi terhadap GDP ... 95
56.
Tren konsentrasi emisi gas CO
2di atmosfir dan emisi antropogenik ... 97
57.
Proyeksi suhu rata-rata dan skenario setelah tahun 1990 ...
98
58.
Prakiraan kenaikan suhu seratus tahun yang akan datang ... 98
59.
Pridiksi kenaikan permukaan laut (dalam meter ) dalam seratus
tahun yang akan datang ... 99
60.
GDP/kapita Indonesia dan proyeksi dalam kondisi BAU ... 100
61.
Pertumbuhan GDP dan populasi Indonesia dengan beberapa asumsi
terhadap baseline ...
100
62.
Pertumbuhan emisi gas CO
2Indonesia dan GDP/kapita ...
100
63.
Pajak karbon Indonesia untuk periode 1990 – 2019 ...
105
65.
Presentase perubahan pendapatan per kapita dan GDP untuk ”Base Scenario”
dan ”Optimal Scenario” ... 105
66.
Tren konsumsi dan pendapatan per kapita periode 1990 -2019
”Optimal Scenario” terhadap ”Base Scenario” ...
106
67.
Presentase abcost terhadap GDP untuk beberapa skenario (R3%)...
107
68.
Presentase abcost terhadap GDP untuk beberapa skenario ...
107
69.
Pendapatan per kapita untuk beberapa skenario setelah adanya
pajak emisi gas CO
2... 108
70.
GDP Indonesia untuk beberapa skenario setelah adanya pajak emisi
gas CO
2... 109
71.
Besar pajak karbon/ton untuk beberapa skenario periode 1990 -2019 ...
109
72.
Kenaikan suhu rata-rata permukaan bumi jika Indonesia melakukan
beberapa skenario dengan R3% ...
110
73.
Kenaikan suhu rata-rata permukaan bumi jika Indonesia melakukan
beberapa skenario dengan R2% ...
110
74.
Pendapatan per kapita untuk beberapa skenario periode 1990 -2019 ...
111
75.
Tren pendapatan per kapita Indonesia untuk periode 1990 -2019 ...
112
76.
Besar kenaikan harga BBM per liter dengan adanya pajak emisi
gas CO
2untuk periode 1990 -2019 ... 113
77.
Besarnya kenaikan harga batubara per ton dengan adanya pajak
emisi gas CO
2untuk periode 1990 -2019 ...
114
78.
Perubahan GDP akibat perubahan nilai R ...
115
79.
Perubahan pendapatan per kapita akibat perbedaan nilai R ...
115
80.
Pajak karbon optimal dengan nilai R2% - 6% ...
115
81.
Kenaikan suhu rata-rata permukaan bumi jika Indonesia melakukan pilihan
pada skenario optimal R2%-R6% ...
116
82.
Nilai MIU dalam kondisi optimal dengan R2% -6% ...
116
84.
Pendapatan per kapita untuk beberapa skenario terhadap ”Base Case”...
117
85.
Level pengendalian emisi untuk nilai R5% dan R6% ...
118
86.
Besarnya kenaikan harga BBM per liter dalam kondisi optimal ...
118
87.
Besarnya kenaikan harga batubara per ton dalam kondisi optimal ...
119
88.
Estimasi penerimaan dari pajak emisi gas CO
2dalam kondisi
optimal- R5% periode 1990 -2019 ...
119
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor
Halaman
1.
Program GAMS dari model ...
136
2.
GAMS output untuk skenario optimal...
142
3.
Hasil simulasi model -GAMS output untuk R=3% ……... 153
4.
Hasil simulasi sensitivitas model GAMS output …...
154
5.
“Reduction Scenario” dan “Base Case”...
156
6.
Pajak karbon dan emisi gas CO
2untuk BBM dan batubara ...
157
7.
Skenario untuk rate of time preference R5% ...
158
8. Pajak
karbon
dan emisi gas CO
2untuk BBM dan batubara-R5%...
159
9. Estimasi penerimaan pajak emisi gas CO
2dari BBM dan batubara
untuk periode 1990 -2019 ...
160
10. Hasil perhitungan elastisitas……...
161
11. Jumlah penduduk dan proyeksi...
165
12. Produk domestik bruto dan proyeksi ...
166
13. Konsumsi BBF menurut sektor ……...
167
14. Konsumsi energi menurut tipe…...
168
15. Jumlah emisi CO
2menurut tipe ……...
169
16. Emisi gas CO
2menurut sektor …...
170
17.
Perhitungan emisi gas CO
2menurut sektor ...
171
18.
Perhitungan emisi gas CO
2menurut tipe...
172
19.
Emisi gas CO
2sektor residen ...
173
21. Intensitas energi dan intensitas emisi …...
175
22. Intensitas energi dan fuel mix …...
176
23. Persentase perubahan konsumsi energi menurut sektor ...
177
24. Data perhitungan elastisitas ...
178
25. Emisi karbon dioksida dunia menurut region periode 1990-2030...
179
26. Intensitas emisi menurut region 1990 – 2030 ...
180
27.
Indikator intensitas dan tren 2002...
181
28.
Elastisitas konsumsi energi terhadap GDP...
182
29.
Ekonomi makro Indonesia ...
183
30.
Gross fixed capital formation in Indonesia ...
184
31.
Parameter for three general circulation model(GCM) …...
185
32.
Rasio GDP/CO
2untuk negara-negara didunia...
187
33.
Data intensitas karbon 1980 dan 1996 …...
188
34.
GDP, konsumsi energi dan emisi karbon ...
189
35.
Batas emisi negara annex I dan annex B -1990 ... 190
36.
Tren emisi gas rumah kaca global 1970-2005... 192
37.
Tren suhu rata-rata permukaan global ……... 193
38.
Data global radiative forcing dan GHG Index ... 194
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Antara tahun 1980 dan 2004 pertumbuhan penduduk Indonesia meningkat sebesar 47,6%, dari 147 juta jiwa menjadi 215 juta jiwa dan laju pertumbuhan penduduk rata-rata sebesar 1,9 %. Dengan jumlah penduduk tersebut, maka Indonesia merupakan negara dengan penduduk terbesar keempat terbesar didunia setelah Cina, India dan Amerika Serikat.
Meningkatnya jumlah penduduk akan mengakibatkan bertambahnya permintaan sektor konsumsi rumah tangga dan meningkatnya produksi domestik. Sektor produksi memerlukan energi ( fossil fuel ) seperti bensin, solar, fuel oil, diesel oil, natural gas dan batubara sebagai faktor produksi untuk menghasilkan barang-barang produksi tersebut.
Berdasarkan data yang dikeluarkan oleh Petroleum Report Indonesia 2003, konsumsi bahan bakar domestik untuk produk olahan (Refinery Products) meningkat sebesar 1,9% dari total konsumsi 54.824 juta liter tahun 2000 menjadi 55.891 juta liter pada tahun 2001 dan kenaikan sebesar 3,4 % dari tahun 2001 ke 2002 yaitu sebesar 57.797 juta liter. Selama dua tahun terjadi peningkatan konsumsi sebesar 5,4 %, yaitu sebesar 54.824 juta liter pada tahun 2000 menjadi 57.797 juta liter pada tahun 2002. Data dari PEUI menunjukkan konsumsi energi naik sebesar 7,06% dari 618 juta boe pada tahun 1999 menjadi 666 juta boe pada tahun 2000, naik sebesar 5,33% yaitu sebesar 713 juta boe pada tahun 2001 dan sebesar 4,94% pada tahun 2002 yaitu sebesar 751 juta boe. Konsumsi bahan bakar fosil (petroleum fuel) naik sebesar 13,5% yaitu dari 307 juta boe pada tahun 2000 menjadi 348,52 juta boe pada tahun 2003 ( 307 juta boe tahun 2000, 334,06 pada tahun 2001, 338,64 pada tahun 2002 dan 348,52 pada tahun 2003). Berdasarkan sektor, maka pada tahun 2000 sektor transportasi mengkonsumsi sebesar 48,8%, industri sebesar 27,3%, rumah tangga sebesar 16,3% dan sisanya 7,6% oleh sektor komersial. Pada tahun 2003 porsi tersebut meningkat menjadi 46,7% transportasi, 30,07% industri, 15,6% rumah tangga dan 7,4% sektor komersial.
tahun 2005 terdapat 41.341.808 kendaraan bermotor pada tahun 2004 di Indonesia, terjadi kenaikan sebesar 121% dibandingkan dengan tahun 2000 yaitu sebesar 18.695.844. Mobil niaga naik sebesar 146% yaitu dari 1.707.634 unit tahun 2000 menjadi 4.202.545 tahun 2004, mobil penumpang dan sepeda motor menagalami kenaikan cukup signifikan yaitu sebesar 119% atau 3.038.913 unit pada tahun 2000 menjadi 6.676.815 tahun 2004 dan sepeda motor mengalami kanaikan sebesar 109% yaitu dari 13.563.017 unit tahun 2000 menjadi 28.469.819 tahun 2004. Meningkatnya konsumsi akan berdampak pada peningkatan emisi gas diantaranya adalah emisi gas CO2 (karbon dioksida). Sekitar 75% dampak lingkungan berasal dari gas buangan hasil pembakaran bahan bakar fosil dan prosentase komponen pencemar udara yang keluar dari hasil pembakaran tersebut tergantung dari sumber bahan bakarnya ( Arya Wardhana,W.,1995 ).
Pada tahun 2001 Indonesia berada pada peringkat 21 didalam polusi CO2 yaitu sebesar 74 juta metrik ton dan 59% dari emisi tersebut dihasilkan dari bahan bakar berbasis karbon cair, 19 % dari bahan bakar padat dan 15% dari bahan bakar gas. 1) Berdasarkan laporan dari World Resources Institutes (2005), Indonesia merupakan negara ke 15 terbesar dalam mengeluarkan gas emisi rumah kaca dengan jumlah 503 MtCO2 equivalent atau sebesar 1,5% dari jumlah total gas rumah kaca dunia. 2) Jumlah kenaikan polusi CO2 secara total dapat dilihat pada gambar 1.
Gambar 1. Peningkatan emisi gas CO2 berdasarkan asal sumber fosil
Sumber : Gregg Marland, http://cdiac.esd.ornl.gov/trends/emis/ido.htm . Tanggal : 28/1/2005
Pada gambar 2 dapat dilihat bahwa peningkatan jumlah energi listrik setiap tahunnya masih dinominasi oleh bahan bakar batubara, minyak dan gas.
Gambar 2. Peningkatan jumlah energi listrik berdasarkan bahan bakar
Gambar 3. Peningkatan konsumsi minyak Indonesia
Dari semua sumber emisi gas rumah kaca seperti CO2, metan (CH4), CFC-12, dan nitrous oxide (N2O), maka CO2 adalah gas rumah kaca terbesar yang dilepaskan ke atmosfir ( sekitar 50% ). Dari jumlah sebesar 50% tersebut maka lebih kurang 73% berasal dari pembakaran fosil
Negara berkembang termasuk Indonesia yang masuk dalam kelompok G77+Cina tidak memiliki kewajiban menurunkan emisi seperti yang telah ditetapkan untuk negara maju yang diuraikan dalam Bab 4, pasal 10 Protokol Kyoto, tetapi hanya mengatur kewajiban negara berkembang untuk melaporkan emisinya melalui kegiatan inventarisasi dengan metode yang telah ditentukan. Untuk mengantisipasi perubahan iklim, Indonesia dapat berpartisipasi melalui CDM ( Clean Development Mechanism ). Menurut laporan National Strategy Study (NSS) on Clean Development Mechanism yang dikeluarkan oleh Kementrian Lingkungan Hidup (2001) permintaan pasar karbon global adalah sekitar 800 juta ton CO2 per tahun dan 125 juta diantaranya dapat dilakukan melalui CDM. Peluang Indonesia dalam pasar karbon global hanya 2% atau sekitar 25 juta tCO2/tahun (Daniel Mudiyarso, Mei 2003 ).
( penghematan ). Pada saat ini kebijakan subsidi tersebut membuahkan banyak permasalahan dan akan memperparah konstelasi energi kita dimasa depan. Salah satu persoalan itu adalah menghambat program konservasi dan diversifikasi energi. Studi dari UNEP ( Energy Subsidies: “Lesson Learned in Assessing their Impact and Designing Policy Reforms” ) menunjukkan bahwa pada dua dekade terakhir subsidi energi di Negara OECD telah dikurangi untuk menghilangkan intervensi pemerintah dalam pasar energi ( termasuk memangkas bantuan atau grant dan pembayaran terhadap konsumen dan produsen secara tidak langsung). Subsidi yang diberikan kepada produsen dan konsumen dari bahan bakar fosil dengan cara menurunkan harga dan diganti dengan pajak, sehingga net-subsidi yang diberikan secara umum menjadi sangat kecil bahkan negatif. Mengurangi subsidi akan berdampak mengurangi emisi gas yang membahayakan lingkungan.
Emisi gas hasil pembakaran bahan bakar fosil akan menimbulkan masalah eksternalitas negatif, dan untuk mengatasinya dapat dilakukan dengan menggunakan beberapa instrumen kebijakan yaitu Kebijakan regulasi yang umumnya disebut ”Command and Control” (CAC), kebijakan dengan menggunakan Instrumen Ekonomi (Economic Instrumen) disingkat ”EI” dan dengan Suasive Instrument ( SI ) atau dapat juga dengan menggunakan kombinasi antara instrumen-instrumen tersebut. Setiap instrumen kebijakan tersebut memiliki kelebihan dan kekurangan, hal ini tergantung dari permasalahan yang ada, tetapi pada umumnya instrumen tersebut mengatur masalah penggunaan yang berlebihan (overuse) dari sumberdaya alam atau emisi dari polutan yang merusak. 4)
Menurut Fullerton,Don (2004) untuk kasus tertentu kebijakan CAC dapat digunakan dalam bentuk (a) batasan emisi yang sering yang disebut dengan ”performance standard” atau (b) batasan teknologi yang sering disebut dengan ”design standard”. Kebijakan CAC dapat diganti dengan menggunakan kebijakan EI dengan cara menggunakan sistem insentif yang berupa pajak, subsidi atau
permit. Seperti yang disarankan oleh Arthur Cecil Pigou (1932), masalah polusi dapat diatasi dengan (a) pajak polusi atau (b) subsidi untuk abatemen.
Kebijakan ”Command and Control” dalam banyak hal tidak efektif untuk melindungi masalah lingkungan karena lemahnya dan terbatasnya pengawasan, denda yang terlalu kecil dan pegawai yang korup . Pengalaman dari negara OECD ( Organization for Economic Co-operation and Development) menunjukkan bahwa keberhasilan penerapan CAC pada negara – negara OECD dikarenakan adanya pengawasan dan monitoring yang ketat, namun demikian pada saat ini negara-negara OECD mulai menggunakan kebijakan instrument yang berbasis pasar ( Market-Based Instrument-MBI). Bentuk instrument ekonomi yang paling banyak dipakai adalah pajak lingkungan dan pajak emisi. Berdasarkan studi mengenai aplikasi pajak lingkungan pada Negara Eropa ( EU ) ada empat alasan utama mengapa pajak lingkungan diperlukan 5) yaitu : (1) karena merupakan instrument yang efektif untuk menginternalkan eksternalitas (2) memberikan insentif untuk merubah pola tingkah laku konsumen (3) meningkatnkan pendapatan dan (4) sebagai alat yang efektif untuk menangani sumber polusi yang tersebar. Jadi pada dasarnya ada dua tujuan yang hendak dicapai melalui mekanisme pajak lingkungan, pertama adalah untuk meningkatkan pendapatan dan kedua adalah mengkoreksi eksternalitas ( Williem K.Jaeger, 2003 ). Melalui mekanisme pajak maka pihak pencemar akan diberikan pilihan, apakah akan dikenakan denda sebagai akibat dari polusi yang ditimbulkannya atau mengeluarkan biaya investasi ( abatement cost ) untuk mengurangi polusi seperti yang disyaratkan. Pilihan-pilihan ini tidak terdapat dalam kebijakan CAC 6)
5) Laporan disiapkan oleh Mette Nedergaard untuk Sustainable Energy & Climate Change Partnership . The application of Economic Instruments in Energy and Climate Change Policies. Denmark
6) Economic Instruments for Environmental Protection and Conservation : Lessons for Canada. Negara-negara Eropa menggunakan instrument ekonomi untuk masalah polusi air, polusi udara, perubahan cuaca, kontaminasi tanah, manajemen limbah, manajemen sumberdaya alam, suara. Negara Eropa juga telah berhasil dalam menggunakan kebijakan fiskal untuk mempromosikan masalah lingkungan. Sedangkan Amerika Serikat kurang sistimatis dibandingkan Eropa dalam menggunakan Instrumen Ekonomi. EI di Amerika ditujukan untuk konservasi, issu perlindungan lingkungan atau manajemen sumberdaya alam dari pada digunakan sebagai strategi yang
1.2 Tujuan Penelitian
Secara umum penelitian ini bertujuan untuk melihat peranan pajak emisi terhadap emisi CO2 yang berasal dari bahan bakar fosil dalam mengurangi dampak lingkungan.
Secara spesifik tujuan penelitian adalah :
1. Menentukan besarnya pajak emisi yang optimal
2. Menetapkan dampak pajak emisi gas CO2, terhadap pendapatan nasional dan tingkat kesejahteraan masyarakat
3. Menentukan total biaya yang timbul dalam usaha untuk mengurangi dampak emisi gas CO2
4. Menentukan pendapatan dari pajak emisi
1.3 Kerangka Pemikiran
[image:31.612.99.511.360.673.2]Kerangka pemikiran yang digunakan dalam penelitian ini dapat dilihat pada gambar 4
Gambar 4. Kerangka pemikiran
Terhadap pendapatan masyarakat Konsumsi Energi (BBF)
Minyak, Batubara dan Gas
Emisi gas CO2 Perubahan
Iklim
Kebijakan pajak emisi dengan menggunakan instrument ekonomi
Inovasi teknologi dan energi terbarukan Terhadap biaya total
untuk mengurangi emisi gas CO2,
Dampak Kebijakan
Output Nasional
Industri Komersial Rumah tangga Transportasi
Jumlah pendapatan dari
pajak emisi
1.4 Perumusan Masalah
Undang-undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi secara eksplisit tidak mengatur bagaimana kebijakan penggunaan energi, promosi energi terbarukan dan efisiensi energi secara konkrit. Undang-Undang No 18 Tahun 1997 mengenai tentang pajak daerah dan distribusi daerah mengatur mengenai besarnya pajak terhadap bahan bakar sebesar 5% tetapi pendapatan pajak bukan dimaksudkan untuk tujuan efisiensi energi dan lingkungan, melainkan untuk tujuan pendapatan negara. Peraturan Presiden yang dikeluarkan tentang harga jual eceran bahan bakar minyak dalam negeri secara umum hanya mengatur mekanisme subsisi dan harga jual berdasarkan harga jual tertinggi dan terendah. Instruksi Presiden No 10 Tahun 2005 mengenai penghematan energi masih perlu ditindak lanjuti dengan peraturan ataupun undang-undang dalam rangka konservasi energi secara nasional. Jadi masalah pungutan pajak, subsidi, kebijakan harga, insentif ekonomi untuk tujuan efisiensi energi dan mengurangi masalah emisi untuk mengurangi dampak lingkungan masih belum diatur secara komprehensif dalam suatu undang-undang. Polusi yang disebabkan oleh emisi gas akibat pembakaran bahan bakar fosil sangat terkait dengan kebijakan energi nasional.
Undang-undang Nomor 23 tahun 1997 tentang pengelolaan lingkungan hidup yang ada saat ini masih menggunakan pendekatan instrumen regulasi didalam mengatur masalah pengelolaan dan pengawasan lingkungan. Peraturan menteri yang berhubungan dengan masalah pencemaran udara yang ada saat ini yaitu Keputusan Menteri No 129-2003 tentang ”Baku Mutu Emisi Dan Atau Kegiatan Minyak Dan gas Bumi” untuk sumber yang tidak bergerak, PERMEN No 141-2003 tentang ” Ambang Batas Emsisi Gas Buang Kendaraan Tipe Baru dan Yang Sedang Diproduksi”, Peraturan Pemerintah No.41 Tahun1999 tentang ”Pengendalian Pencemaran Udara” semuanya masih menggunakan pendekatan kebijakan regulasi yaitu menggunakan pendekatan standar emisi.
pendekatan kinerja ( performance- based ) yaitu mensyaratkan batasan polusi yang harus dipenuhi oleh semua pencemar. Keuntungan dari menggunakan technology – based adalah pihak pemerintah dapat memberikan kesempatan kepada pencemar untuk menggunakan teknologi terbaik yang tersedia dalam mengurangi polusi, contohnya pencemar/industri boleh menggunakan tipe tertentu dari ketel–uap/boiler, mensyaratkan industri kendaraan untuk menggunakan tipe tertentu dari alat pengendali polusi dan perusahaan minyak untuk menawarkan energi alternatif. Kerugiannya adalah pemerintah tidak mendorong pihak industri/pencemar untuk mengurangi polusi karena tidak adanya insentip yang diberikan, selain itu juga tidak menciptakan insentip bagi lembaga penelitian dan pengembangan untuk mendorong teknologi bersih. Dengan pendekatan kinerja ( performance-based ), pemerintah dapat menerapkan standar yang berbeda untuk setiap industri atau pencemar, sesuai dengan umur dari peralatan, artinya akan sulit pemain baru untuk masuk kedalam industri tersebut. Dalam kasus kendaraan akan ada kesulitan pemain baru atau tipe baru dari kendaraan yang akan masuk kedalam pasar. Pemilik kendaraan diharuskan oleh peraturan untuk melakukan pengecekan kendaraannya setiap periode tertentu. Secara umum pendekatan kinerja masih lebih efektip dibandingkan dengan pendekatan teknologi, karena pencemar dapat memilih metoda yang sesuai dengan keinginannya dalam mengurangi polusi sesuai dengan biaya yang paling kecil.
Pendekatan regulasi ( command and control ) mengharuskan pencemar mengikuti standar emisi yang telah dibuat, hal ini akan membuat pemborosan sumber daya yang ada karena pencemar dengan biaya yang besar dalam mengurangi polusi dipaksa untuk mengurangi polusinya sama besarnya dengan pencemar dengan biaya yang kecil. Dalam menetapkan standar emisi pemerintah juga dituntut bekerja dengan informasi yang tidak sempurna untuk menentukan
biaya dan benefit dari suatu usaha dalam mengurangi polusi tersebut. Hal ini dapat mengakibatkan biaya untuk menetapkan suatu standar bisa jadi lebih
tetapi sebaiknya tidak dilakukan berdasarkan output, melainkan berdasarkan input seperti teknologi kendaraan dan sifat bahan bakar yang dipakai.
Menurut publikasi dari UNEP(2004) bahwa studi empiris di Amerika menunjukkan bahwa terjadi efisiensi yang sangat signifikan dengan menggunakan EI dari pada CAC. Tietenberg menyarankan menggunakan EI untuk mengendalikan polusi udara karena biaya menggunakan CAC adalah 22 kali lebih mahal dari pada menggunakan EI. Untuk sebelas aplikasi yang diamati maka menggunakan CAC rata-rata 6 kali lebih mahal dari menggunakan EI. Penelitian yang dilakukan oleh OECD pada tahun 1992 menunjukkan terjadi peningkatan menggunakan EI berupa pajak dan charge untuk bermacam-macam barang dan polutan.
Keberhasilan dari negara -negara yang menggunakan kebijakan EI karena beberapa faktor yaitu (1) sifatnya yang fleksibel, (2) mengajak industri melakukan inovasi dalam menggunakan teknologi untuk mengurangi polusi, (3) menggunakan kesadaran sendiri dengan cara menyamakan kepentingan publik dan kepentingan pribadi, (4) meningkatkan transparansi, (5) mengalokasikan sumberdaya alam kepada pihak yang memberikan nilai untuk sumber daya alam tersebut.
Gambar 5 menunjukkan beberapa kebijakan yang dapat dilakukan, dimulai dengan tidak adanya kebijakan dalam mengendalikan polusi, dengan standar emisi atau teknologi dan dengan kebijakan instrumen ekonomi. Pada gambar 5 dapat dilihat bahwa, saat ini Indonesia hanya memiliki kebijakan CAC yang berupa standar emisi dan standar teknologi. Dengan menggunakan instrumen pajak maka kebijakan pengawasan yang baru akan berubah dengan menggunakan pajak input, output atau pajak emisi. Pajak dapat menjadi sub-optimal ataupun optimal. Pajak Sub-optimal disebabkan karena sulit bahkan mustahil untuk menilai kerusakan lingkungan untuk masa yang akan datang yang disebabkan oleh polutan, sedangkan pajak optimal berarti kerusakan dapat diperkirakan dan polusi dapat dikendalikan ( lingkungan menerima cukup bantuan untuk diadakan perbaikan).7)
Gambar 5. Opsi kebijakan pajak lingkungan
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, maka perlu diadakan suatu penelitian terhadap peran pajak emisi gas CO2 yang berasal dari bahan bakar fosil dalam perspektif Indonesia agar (a) biaya eksternalitas dapat diinternalkan dengan cara memasukkannya kedalam harga barang/pelayanan yang dihasilkan dari suatu kegiatan ekonomi (b) menciptakan insentif bagi produser dan konsumer karena tindakannya yang merusak lingkungan (c) membuat biaya menjadi efektif dengan cara memberikan pilihan terhadap pencemar yaitu dengan cara membayar pajak, mengurangi produksi atau menggunakan teknologi pencegah polusi (d) menciptakan inovasi-inovasi baru dalam teknologi untuk menggunakan energi substitusi atau energi terbarukan dan (e) meningkatkan pendapatan yang dapat digunakan kembali untuk memperbaiki kerusakan lingkungan.
1.5 Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi :
1. Pembuat kebijakan dalam mempertimbangkan menggunakan instrumen ekonomi khususnya pajak emisi yang disebabkan oleh penggunaan bahan bakar fosil.
Belum ada kontrol Kebijakan Sekarang
melalui EI
Standar Teknologi Standar Emisi
Sub-optimal Taxation Optimal Taxation
Kebijakan Baru
2. Pembuat kebijakan untuk menentukan besarnya pajak emisi yang optimal yang akan dikenakan kepada pencemar
3. Pembuat kebijakan untuk menentukan kebijakan berupa insentip ekonomi kepada pihak industri atau produsen yang mengembangkan dan menggunakan teknologi bersih untuk mengurangi dampak emisi.
4. Untuk melihat besarnya tingkat pendapatan pemerintah dari sektor pajak emisi yang dapat dikembalikan kepada masyarakat sebagai bentuk eksternalitas yang diterima dan besarnya insentif yang dapat dialokasikan kepada pihak yang ikut berkontribusi dalam teknologi bersih.
5. Pemerintah dalam mengurangi emisi gas rumah kaca khususnya CO2 melalui efisiensi penggunaan bahan bakar fosil.
6. Ilmu pengetahuan khususnya dalam bidang ilmu ekonomi lingkungan.
1.6 Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini dilakukan terhadap gas emisi CO2 yang dihasilkan oleh bahan bakar fosil seperti premium (gasoline), minyak solar ( Diesel Oil), minyak diesel industri (Industrial Diesel Oil ), minyak tanah ( Kerosene), minyak bakar (Fuel Oil ) dan batubara ( Coal ). Emisi gas CO2 yang ditimbulkan oleh bahan bakar berbasis karbon akan dianalisis dengan menggunakan model DICE yang dimodifikasi, dimana variabel endogen dan eksogen dalam model akan disesuaikan dalam perspektif Indonesia. Penelitian ini masih belum bersifat operasional karena masih diperlukan tambahan berupa petunjuk dan pelaksanaan secara lebih rinci agar kebijakan dapat diimplementasi.
1.7 Novelty Penelitian
Hal yang baru dalam penelitian ini adalah :
1. Penelitian dampak emisi gas CO2 dengan menggunakan pendekatan model DICE ( Dynamic Integrated Climate Change and Economic ) dalam perspektif Indonesia belum pernah dilakukan
dalam penelitian ini model DICE akan disesuaikan untuk kebutuhan nasional didalam menentukan besarnya pajak emisi CO2 yang optimal. 3. Belum ada penelitian dalam mengurangi dampak emisi gas CO2 dengan
2.1 Eksternalitas dan Pajak Lingkungan
Masalah lingkungan sangat beragam, tetapi pada umumnya disebabkan
karena penggunaan yang berlebihan (overuse) dari sumber daya alam atau karena
adanya emisi dari polutan yang membahayakan. Tujuan kebijakan lingkungan
adalah untuk memodifikasi, memperlambat ataupun menghentikan ekstraksi dari
sumberdaya alam tersebut termasuk mengurangi atau mengelimasi emisi,
mengubah pola konsumsi dan produksi kearah yang berkelanjutan. Hal ini perlu
dilakukan karena adanya eksternalitas yang ditimbulkan dari penggunaan
sumberdaya alam tersebut. Externalitas dapat positip atau disebut ”external
economies” dapat juga berupa eksternalitas negatip atau disebut ”external
diseconomies”. Eksternalitas lingkungan pada umumnya adalah negatif
( detrimental externalities) yaitu dimana suatu kegiatan yang dilakukan akan
mengakibatkan kerugian biaya kepada pihak lain, sedangkan biaya kerusakan itu
sendiri tidak dibayar oleh pencemar. Groosman,Britt (1999) menyatakan bahwa
eksternalitas terjadi apabila produksi dan konsumsi dari suatu produk langsung
mempengaruhi bisnis ataupun konsumen yang tidak ikut didalam proses pembelian
dan penjualan tersebut . Selain itu juga karena pengaruh limpahan (spillover) yang
tidak ter-refleksikan didalam harga pasar. Hartwick dan Olewiler dalam
Fauzi,Akhmad (2004) menggunakan terminologi lain dalam menggambarkan
eksternalitas. Keduanya membedakan antara eksternalitas privat dan eksternalitas
publik. Eksternalitas privat hanya melibatkan beberapa individu dan tidak
menimbulkan limpahan (spillover) kepada pihak lain, sementara eksternalitas
publik terjadi manakala barang publik dikonsumsi tanpa pembayaran yang tepat.
Eksternalitas yang telah disebutkan diatas adalah merupakan konsep eksternalitas
statis, karena tidak ada keterlibatan variabel waktu didalamnya.
Masalah eksternalitas tersebut oleh pemerintah dapat diatasi melalui
instrumen kebijakan dalam bentuk peraturan atau disebut regulasi (command and
control ) atau dapat juga diatasi melalui kebijakan yang berorientasi pasar yaitu
Adanya fenomena pemanasan global dan kerusakan lingkungan yang
disertai kelangkaan sumberdaya alam pada saat ini memerlukan perhatian dimana
kita perlu melihat kembali kebijakan yang berorientase ekonomi (fiskal atau pajak)
tersebut agar biaya lingkungan yang disebabkan oleh eksternalitas negatif dapat
dimasukkan kedalam sistem ekonomi, kemudian meyakinkan kebijakan yang
dibuat bergerak kearah pengendalian dan perlindungan yang kita kehendaki. Dan
yang tidak kalah penting adalah mengurangi ketergantungan terhadap sumberdaya
yang tak terbaharui. Fauzi,Akhmad ( 2004) dari persepektif ekonomi, menjelaskan
bahwa pencemaran bukan saja dilihat dari hilangnya nilai ekonomis sumberdaya
akibat berkurangnya kemampuan sumberdaya secara kualitas dan kuantitas untuk
menyuplai barang dan jasa, namun juga dari dampak pencemaran tersebut terhadap
kesejahteraan masyarakat. Pencemaran akan tetap ada sebagai hasil dari aktivitas
ekonomi, tetapi jalan terbaik adalah mengendalikan pencemaran tersebut ketingkat
yang paling efisien.8)
Pajak lingkungan khususnya pajak emisi sebagai salah satu dari instrument
ekonomi dapat memainkan peran penting untuk mengurangi kerusakan lingkungan
tersebut. Menurut Japan Centre for a Sustainable and Society (JACSES) pajak
lingkungan adalah : Perjanjian umum yang dibuat berdasarkan tujuan dan fungsi
sebagai berikut :
sebagai suatu insentif untuk mengurangi beban lingkungan dan menjaga
lingkungan itu sendiri. Dengan mentranslasikan biaya kerusakan lingkungan
atau kelangkaan sumber daya alam kedalam biaya yang sesuai. Pajak
lingkungan membantu untuk melakukan tekanan ekonomi kepada pihak-pihak
yang merusak lingkungan dan dengan cara yang sama dapat mengurangi beban
ekonomi kepada pihak-pihak yang ikut berkontribusi dalam menjaga
lingkungan.
8)
Sebagai alat untuk menjaga lingkungan melalui pendapatan pajak. Pendapatan
pajak tersebut dapat digunakan kembali untuk mengurangi pembayaran tenaga
kerja dalam bentuk pajak pendapatan maupun pajak perusahaan.
Objek dari pajak lingkungan adalah biaya eksternalitas lingkungan yang
terdapat dalam harga, sehingga konsumen dan produsen memiliki insentif untuk
membatasi/mengurangi polusi dan memperlakukan sumberdaya alam dengan cara
lebih bertanggung jawab. Harga setiap unit produk seharusnya mereflesikan biaya
sebenarnya dari penggunaan sumberdaya alam tersebut dan harga barang juga
sekaligus akan memotivasi masyarakat untuk menggunakan sumberdaya alam
dengan cara yang bijaksana dan kesadaran yang tinggi.
Menurut seri lingkungan No 1, mengenai pajak lingkungan (Implementation and
Environmental Efectiveness, (Copenhagen.1996), alasan utama untuk
menggunakan pajak lingkungan adalah :
▪ Karena pajak lingkungan adalah instrumen yang efektif untuk
menginternalisasikan eksternalitas, karena biaya kerusakan dan pelayanan
lingkungan langsung dimasukkan kedalam harga produk
▪ Memberikan insentif kepada konsumen dan produsen untuk mengubah perilaku
kearah eco-efficient dalam menggunakan sumberdaya alam, memberikan
stimulus untuk berinovasi, perubahan struktural dan patuh terhadap peraturan
▪ Dapat menaikkan pendapatan yang dipakai untuk memperbaiki pengeluaran
lingkungan, mengurangi pajak pendapatan tenaga kerja, kapital dan
penghematan
▪ Merupakan alat kebijakan yang efektif untuk mengatasi masalah prioritas
lingkungan seperti emisi kendaraan, limbah, bahan kimia yang dipakai dalam
sektor pertanian.
Corpuz,Catherine (2003) menyatakan bahwa pajak lingkungan adalah bagian
penting dari Market Based Instrument (MBI) dan pajak emisi adalah salah satu
dari pajak lingkungan tersebut. 9)
Pajak emisi adalah pembayaran secara langsung yang berhubungan dengan adanya
emisi. Pajak emisi ini ditujukan langsung pada pihak pencemar yang mengeluarkan
emisinya kedalam lingkungan, umumny terhadap sumber tetap. 10)
2.2 Pajak Karbon Dan Energi
Pajak energi berbeda dengan pajak emisi. Perbedaan tersebut dapat dilihat
dari tujuan dan cara bagaimana pajak tersebut diberlakukan. Pajak energi ( Zhang,
Z Xiang dan Baranzini,Andrea, 2003 ) adalah jenis pajak yang besarnya secara
absolut tetap misalnya rupiah per ton, rupiah per kilowatt-hour, rupiah per British
thermal unit. Jadi pajak energi dikenakan terhadap bahan bakar fosil ataupun
sumber energi yang bebas emisi ataupun sumber bahan bakar yang memenuhi
batas emisi yang ditetapkan. Pajak energi tidak terkait dengan tingkat emisi yang
dikeluarkan. Jika tujuannya adalah untuk mengurangi emisi gas CO2, maka yang
efektif adalah mengenakan pajak karbon. Pajak karbon dapat ditransformasi ke
pajak CO2 karena satu ton karbon ekivalen dengan 3,67 ton CO2. Walaupun pajak
energi itu sendiri dapat mengurangi tingkat emisi, tetapi dalam implementasinya
pajak energi tidak tepat untuk tujuan mengurangi emisi CO2
(Kageson,1991;Cline,1992; Jorgenson and Wilcoxen,1993; dikutip dari Zhang,Z
Xiang dan Baranzini,Andrea,2003).
9) Menurut EEA ( Europen Environment Agency, Copenhagen (1996), pajak lingkungan terdiri dari
cost-recovering charges, incentive taxes dan fiscal environmental tax. Fiscal environmental tax inilah disebut “green Tax Reform” yang terdiri dari pajak energi dan pajak bukan energi termasuk pajak CO2
10) Corpuz,Catherine (2003 ). Pollution Tax for Controlling Emssion From The Manufacturing and
Pajak emisi atau pajak karbon dapat mengurangi emisi melalui pengaruh
mekanisme harga dari bahan bakar yang dikonsumsi. Oleh sebab itu pajak emisi
merupakan instrumen kebijakan yang baik dalam mengurangi emisi (emisi CO2).
Dilihat dari segi produksi, maka pajak energi secara umum berorientasi input
bukan output, sedangkan pajak emisi berorientasi bisa input atau output.
Pajak emisi pada dasarnya bukan untuk menciptakan pendapatan (fiscal objective)
bagi pemerintah, tetapi di-disain dengan tujuan untuk pengendalian lingkungan
seperti pengurangan emisi, mengubah perilaku pencemar akan tindakannya dalam
merusak lingkungan. Studi yang dilakukan oleh Scrimgeour et.al ( 2005 ) untuk
kasus New Zealand menunjukkan bahwa pajak karbon lebih efektif dibandingkan
dengan pajak energi ataupun pajak petroleum. 11) Secara umum pajak energi dapat
dikenakan sebagai pajak yang didasarkan pada output ( contohnya pemanasan atau
listrik) sebagai pajak yang didasarkan pada input atau sebagai emission charged
dari pembakaran bahan bakar fosil. 12)
Pajak karbon merupakan pajak emisi dan merupakan jenis dari pajak
lingkungan yang dikenakan pada konsumsi yang mengkonsumsi bahan bakar
seperti batubara, minyak dan gas. Kadar kandungan karbon dari setiap bahan bakar
tersebut menentukan besarnya nilai pajak. Bila suatu produk dikenakan pajak
karbon, maka harga dari produk tersebut akan mengalami kenaikan.
11) Hasil studi dari Scrimgeour,Frank et.al ;”Reducing Carbon Emission ? The Relative
effectiveness of Different Types of Environmental Tax: The Case of New Zealand” dengan CGE untuk kasus New Zealand menunjukkan bahwa dampak dari pajak karbon dan pajak energi hampir sama. Pajak energi akan mengurangi konsumsi sebesar 13 persen dibandingkan dengan 14% unuk pajak karbon. Emisi CO2 berkurang sebesar 16% untuk pajak energi dan 18% untuk pajak karbon.
Sementara pajak petroleum kurang efektif. Pajak karbon dan pajak energi keduanya memberikan dampak makro dalam bentuk mengurangi GDP kira-kira sebesar 0,385% sedangkan pajak petroleum akan mengurangi GDP sebesar 0,29%
12) Menurut ESCAP Virtual Conference: Charge atau pajak adalah pembayaran yang dikenakan
Kenaikan harga akan mengurangi permintaan dan pada akhirnya akan mengurangi
emisi CO2. 13) Karena pajak karbon ditentukan berdasarkan kadar karbon yang ada
dalam masing-masing bahan bakar, maka harga dari bahan bakar akan bervariasi
sesuai dengan besarnya nilai pajak yang dikenakan untuk masing-masing bahan
bakar. Oleh sebab itu konsumen akan melakukan pilihan dengan kesadaran akan
segala konsekuensi dari pilihan yang dibuatnya.
Menurut PEANZ ( Petroleum Exploration Association of New Zealand ),
dokumen implementasi pajak karbon yang dikeluarkan pada bulan Juli 2005, ada
dua prinsip dasar dalam mekanisme pajak karbon :
▪ Tujuan utama dari pajak adalah untuk menginformasikan kepada pemakai akhir dari energi yang digunakannya agar dapat membuat keputusan yang akan
memberikan benefit terhadap atmosfir. Untuk penyederhanaan, maka pajak
haruslah dikenakan pada pihak sejauh mungkin dari rantai distribusi dan
disampaikan kepada pemakai akhir sepenuhnya agar informasi tersebut dapat
dipakai untuk membuat keputusan.
▪ Karena pajak merupakan mekanisme fiskal, sebagai konsekuensi, setiap
pendapatan dari pajak karbon akan di ”recycle” kedalam sistem ekonomi
melalui pengurangan pajak yang lain.
Hasil studi mengenai interaksi antara pajak yang berlaku sekarang terhadap
energi dan penggunaan pajak karbon untuk mengurangi emisi gas CO2 ( Peter
Hoeller and Jonathan Coppel,1992 ) terhadap 20 negara termasuk negara OECD,
menunjukkan bahwa ada hubungan antara besarnya pajak karbon per ton dengan
persentase pengurangan emisi.14)
13) Laporan yang dikeluarkan oleh .The Royal Society (Nov 2002).”Economic Instruments for the
Reduction of Carbon Dioxide Emission”. Pajak karbon akan menaikkan biaya bahan bakar dan harus mengurangi permintaan akan bahan bakar tersebut dan konsumen akan berpindah ke bahan bakar dengan sumber karbon rendah. Halk ini akan tergantung dari elastisitas permintaan. Elastisitas jangka pendek (short-run) negara OECD untuk gasoline pada kisar -0,15 sampai -0,38 dan jangka panjang -1,05 sampai -1,40 )
14) Adalah hasil studi dari Hoe Hoeller,P and Coppel,J (Paris, 1992). Energy Taxation and Price
Nedergaard,Mette ( 2005 ) dalam suatu survey dari aplikasi penggunaan instrument
ekonomi untuk kebijakan energi dan perubahan iklim untuk beberapa negara
Eropa memberikan empat alasan penggunaan pajak lingkungan, (1) karena pajak
lingkungan adalah instrument yang efektif untuk menginternalkan eksternalitas,(2)
memberikan insentif untuk mengubah perilaku,(3) meningkatkan
pendapatan dan (4) alat yang efektif dalam mengurangi sumber polusi dalam
jangka panjang. 15)
Pada tabel 1 dapat dilihat tujuan dan objek dari pajak karbon, pajak energi
dan pajak emisi yang diterapkan pada negara Eropa Utara.
Tabel 1. Pajak karbon pada beberapa negara Eropa Utara
Negara Jenis Nilai pajak (Rate) Tahun Obyek Tujuan Aliran Dana
Finlandia Pajak Karbon Mulai dari 26 Mk/tC s/d 260 Mk/tC
Diperkenalkan mulai tahun 1990
Gasoline,light fuel oil,heavy fuel oil,diesel oil,natural gas, coal dan peat (kecuali BBF untuk Listrik)
Efek insentif:penghematan BBF untuk mengurangi CO2,promosi investasi-hemat energi dan substitusi produk karbon rendah
Pajak masuk ke general fund
Denmark Pajak CO2
100 Dkr/tCO2 meningkat s/d 200 Dkr/tCO2 tahun 1996 dan s/d 6000 Dkr/tCO2 tahun 2000
Sejak 1993
Light fuel oil, heavy oil,diesel oil,LPG,coal dan residual fuel(kecuali untuk gasoline, natural gas dan bio diesel)
Efek insentif:penghematan BBF untuk mengurangi CO2,promosi investasi-hemat energi dan substitusi produk karbon rendah
Pajak bukan untuk meningkatan pendapatan
Nederland Pajak karbon dan energi
50% pajak energi dan 50% pajak karbon : 5,16 DGL/tCO2 dan 0,3906 DGL/Gj untuk energi
Sejak 1992
Gasoline, light fuel oil, heavy fuel oil, diesel oil, natural gas atau residual oil
Pengendalian emisi CO2
Pajak masuk ke spesial fund untuk lingkungan
Norwegia Pajak karbon 676 NKr/tC s/d 1350
NKr/tC Sejak 1991
Gasoline, light fuel oil, heavy oil, diesel oil, natural gas dan gas yg dibakar dari lapangan minyak di laut
Efek insentif : untuk mengurangi emisi CO2
Pajak untuk general account
Swedia Pajak karbon 370 SKr/tCO2 -1996 s/d
380 SKr/tCO2 1997 Sejak 1991
Gasoline, light fuel oil, heavy oil, diesel oil, LPG,natural gas,coal (kecuali untuk listrik)
Efek insentif : untuk mengurangi emisi CO2
Pajak berhubungan dgn general account
Sumber: Diolah dari data research panel on economic instrument such as taxion and charges in environmental policies. Chapter 1: Situation of Environmental Taxes of Foreigh Countries. Dari website :
http://www.env.go.jp/en/rep/tax/ch1.html. 14Juli 2005.
15) Baumert,Kevin ( 1998 ), Carbon Taxes vs Emission Trading: What the difference, and Which is
[image:44.612.116.529.311.516.2]Pada tabel 2 dapat dilihat persentase pendapatan pajak lingkungan
termasuk pajak transportasi terhadap GDP dan persentase pajak energi terhadap
GDP . Menurut laporan dari OECD dan IEA (2003) instrumen pajak sering
digunakan oleh pembuat kebijakan untuk mempromosikan pengembangan energi
terbarukan dan teknologi untuk efisiensi energi dari pada bertujuan untuk
mengurangi emisi gas rumah kaca.
.Tabel 2. Persentase pajak lingkungan ( tidak termasuk energi) dan pajak energi terhadap GDP
Negara
% GDP % Pendapatan Pajak % GDP % Pendapatan Pajak
Austria 0,7 1,6 1,4 3,2
Belgium 0,5 1,1 1,6 3,4
Denmark 2,2 4,3 2,2 4,3
Jerman 0,6 1,4 2,1 4,8
Yunani 0,4 1,2 1,5 4,6
Finlandia 0,1 0,2 2,2 4,7
Perancis 0,5 1,1 2 4,5
Irlandia 1,4 4 1,8 5,2
Itali 0,5 1,2 3,1 7,7
Luxemberg 0,2 0,5 3,1 7
Netherland 2,6 5,9 1,5 3,4
Portugal 0,1 0,3 3 8,4
Spanyol 1 2,7 1,9 5,2
Swedia 0,4 0,8 2,6 5,1
UK 0,6 1,7 2,2 6,3
EU 15* 0,7 1,7 2,2 5,2
* terdiri dari 15 anggota negara Uni Eropa (EU)
Lingkungan Energi
Sumber : Final report : Study on the economic and environmental implications of the use of environmental taxes and charges in the Europw Union and its member states. ECOTEC, research & consulting. April 2001
Pada tabel 3 dapat dilihat instrumen kebijakan pajak yang telah
diimplementasi ataupun direncanakan oleh beberapa negara di Eropa. Pada table
tersebut dapat dilihat pendekatan implementasinya, pajak energi atau CO2 dan
Tabel 3. Instrumen pajak yang telah diimplementasikan dan direncanakan dibeberapa negara Eropa.
Energi Industri Emisi Energi terbarukan
Australia x x* x
Austria x x x
Belgia x x x
Kanada x x
Check Republik x x
Denmark x x x x
Estonia x x
Finlandia x x
Perancis x x** x
Jerman x x x
Itali x x x
Jepang x
Belanda x x x x
Selandia Baru x
Norwegia x x x x
Slovakia x
Swedia x x x
Swiss x x x
UK x x x x
USA x x* x*
* pada level negara bagian
** rencana saat ini dihentikan
Pajak Trading
Pendekatan sukarela (Voluntary Approach) Negara
Sumber: OECD and IEA information paper (2003) OECD environment directorate and international energy agency. Policies to reduce greenhouse gas emission in industry-successful approaches and lessen learned:workshop report.
2.3 Emisi Per Kapita, Energi dan Karbon Intensitas
Berdasarkan studi yang pernah dilakukan maka ada hubungan kuat antara
emisi, populasi dan GDP dimana pertumbuhan ekonomi dan populasi sebagai
pemicu emisi. Model ekonomi perubahan iklim global banyak menggunakan
pendekatan keseimbangan makro ekonomi dimana GDP berhubungan dengan
masalah investasi dan konsumsi melalui model produksi Cobb Douglas.
Distribusi emisi per kapita pada setiap negara tergantung dari faktor yang
mempengaruhinya dari waktu ke waktu. Menurut identifikasi dari Kaya besarnya
karbon yang dikeluarkan sebagai emisi CO2 tergantung pada :
M = Nx (GDP/N) x (E/GDP) x (C/E)
dimana M adalah emisi CO2 ( dalam kg karbon), N adalah populasi (dalam orang),
per orang per tahun), E dalam watt, E/GDP adalah intensitas energi ( Watt tahun
per rupiah ), C/E adalah intensitas karbon (dalam kgC/W tahun)
McKibbin,Warwick dan Stegman,Alison (2005) menyatakan bahwa
hubungan emisi, GDP dan intensitas emisi dapat dilihat melalui persamaa berikut :
Emisi = Populasi x GDP/kapita x Emisi/GDP
Atau E = P x GDPPC x I
Dimana GDPPC adalah GDP per kapita, P adalah populasi dan I adalah intensitas
emisi. Kalau populasi, pendapatan per kapita dan intensitas emisi adalah faktor
yang tidak saling ketergantungan, maka laju emisi akan terjadi jika ada perubahan
terhadap ketiga variabel tersebut.
Hubungan dari faktor tersebut menurut Beumart,Kevin et.al 2005 dapat
dilihat dari model yang sederhana dengan menggunakan empat faktor yaitu level
kegiatan, struktur, intensitas energi dan fuel mix.
A. CO2 = Populasi x GDP/orang x Energi/GDP x CO2/Energi
Energi/GDP adalah intensitas energi dan CO2/Energi adalah fuel mix
Intensitas emisi CO2 adalah fungsi dari dua variabel. Variabel pertama adalah
intensitas energi dan variabel kedua adalah fuel mix.
B. CO2/GDP = Energi/GDP x CO2/Energi
CO2/GDP disebut intensitas karbon dan merupakan perkalian antara intensitas
energi dengan fuel mix. Intensitas energi adalah jumlah energi yang dikonsumsi
per unit dari GDP. Intensitas energi mereflesikan level efisiensi energi dan struktur
ekonomi secara keseluruhan termasuk kadar kandungan karbon dari produk yang
diimpor dan diekspor. Faktor yang tidak terwakili dalam persamaan A adalah
struktur. Sebagai contoh jika sebuah kendaraan yang mengkonsumsi jumlah bahan
bakar yang besar jika diganti dengan jenis kendaraan hemat energi akan
menurunkan emisi. Level dari intensitas energi tidak berhubungan langsung
dengan pembangunan ekonomi. Intensitas energi pada negara berkembang
cenderung lebih tinggi dari negara industri karena secara umum pada negara
energi intensif sedangkan pada negara industri GDP yang tinggi berasal dari
sektor pelayanan yang memiliki karbon rendah. Komponen kedua dari intensitas
emisi adalah fuel mix atau secara spesifik adalah kadar karbon dari energi yang
dikonsumsi pada suatu negara.16)
.
Gambar 6. Intensitas energi dan karbon 25 negara European Union
Sumber : European union energy & transportation in figures, edisi 2004, Part 2 : Energy