• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III. PENGATURAN SANKSI DALAM UNDANG-UNDANG

B. Perumusan Sanksi Terhadap AnakYang Berkonfik Dengan Hukum

3. Perumusan Sanksi Tindakan

Berdasarkan ketentuan Pasal 82 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak tindakan yang dapat dijatuhkan kepada anak yang berkonflik dengan hokum ialah:

a. pengembalian kepada orang tua/Wali; b. penyerahan kepada seseorang;

c. perawatan di rumah sakit jiwa; d. perawatan di LPKS;

e. kewajiban mengikuti pendidikan formal dan/atau pelatihan yang diadakan oleh pemerintah atau badan swasta;

f. pencabutan surat izin mengemudi; g. perbaikan akibat tindak pidana.

Selain tindakan di atas, Hakim dapat memberikan teguran dan menetapkan syarat tambahan. Teguran adalah peringatan dari hakim baik secara langsung terhadap anak yang dijatuhi tindakan maupun secara tidak langsung melalui orang

tua, wali atau orang tua asuhnya agar anak tersebut tidak mengulangi perbuatannya. Syarat tambahan itu misalnya kewajiban untuk melapor secara periodik kepada pembimbing kemasyarakatan didasarkan pada penjelasan Pasal 73 Ayat (7) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Penjatuhan tindakan yang dilakukan oleh hakim dilakukan kepada anak yang melakukan perbuatan yang dinyatakan terlarang bagi anak menurut peraturan perundang-undangan. Namun, terhadap anak yang melakukan tindak pidana, hakim menjatuhkan pidana pokok dan atau pidana tambahan atau tindakan.

Pada segi usia, pengenaan tindakan terutama bagi anak yang masih berusia 12 (dua belas) tahun. Terhadap anak yang telah melampaui umur diatas 12 (dua belas) tahun sampai 18 (delapan belas) tahun dijatuhkan pidana. Hal ini dilakukan mengingat pertumbuhan dan perkembanagn fisik, mental dan sosial anak.129

a. Pengembalian kepada orang tua, wali atau pengasuhnya

Jenis tindakan yang dapat dijatuhkan kepada anak yang berkonflik dengan hukum berdasarkan Pasal 82 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak ternyata sedikit lebih luas dibandingkan dengan rumusan Konsep KUHP Tahun 2012. Rumusan pengenaan tindakan terhadap anak (Pasal 132 Konsep KUHP Tahun 2012) adalah:

b. Pengembalian kepada pemerintah atau seseorang

c. Keharusan mengikuti suatu latihan yang diadakan oleh pemerintah atau badan swasta

129 Bambang Mulyono, 1986, Kenakalan remaja dalam persfektif pendekatan sosiologi

d. Pencabutan surat izin mengemudi e. Rehabilitasi

Bentuk–bentuk tindakan yang dapat dikenakan kepada anak Nakal berdasarkan Pasal 24 Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 adalah sebagai berikut:

a. Dikembalikan Kepada Orang Tua Wali Atau Orang Tua Asuh

Anak yang berkonflik dengan hukum dijatuhi tindakan dikembalikan kepada orang tua/wali/orang tua asuh, apabila melalui penilaian hakim, si anak masih dapat dibina di lingkungan orang tuanya/wali/orang tua asuhnya. Namun demikian si anak tersebut tetap di bawah pengawasan dan bimbingan dari Pembimbing Kemasyarakatan, seperti untuk mengikuti kegiatan kepramukaan, dan lain-lain.

b. Diserahkan Kepada Negara

Dalam hal menurut penilaian hakim, pendidikan dan pembinaan terhadap anak yang berkonflik dengan hukum tidak dapat lagi dilakukan di lingkungan keluarga (Pasal 24 ayat (1) huruf b Undang-Undang No. 3 Tahun 1997), maka anak itu diserahkan kepada Negara dan disebut sebagai Anak Negara. Untuk itu, si anak ditempatkan di Lembaga Pemasyarakatan Anak dan wajib mengikuti pendidikan, pembinaan, dan latihan kerja. Tujuannya untuk memberi bekal keterampilan kepada anak dengan memberikan keterampilan mengenai pertukangan, pertanian, perbengkelan, tatarias, dan lain sebagainya. Selesai menjalani tindakan itu, si anak diharapkan mampu hidup mandiri.

c. Diserahkan Kepada Departemen Sosial Atau Organisasi Sosial Kemasyarakatan

Tindakan lain yang mungkin dijatuhkan hakim kepada anak yang berkonflik dengan hukum adalah menyerahkannya kepada Departemen Sosial atau Organisasi Sosial Kemasyarakatan yang bergerak di bidang pendidikan, pembinaan dan latihan kerja untuk dididik dan dibina. Walaupun pada prinsipnya pendidikan, pembinaan dan latihan kerja itu diselenggarakan oleh Pemerintah di Lembaga Pemasyarakatan Anak atau oleh Departemen Sosial, akan tetapi dalam hal kepentingan si anak menghendaki, maka hakim dapat menetapkan bahwa anak tersebut diserahkan kepada Organisasi Sosial Kemasyarakatan, seperti pesantren, panti sosial dan lembaga sosial lainnya (Pasal 24 ayat (1) huruf c Undang-Undang No. 3 Tahun 1997). Apabila anak diserahkan kepada Organisasi Sosial Kemasyarakatan, maka harus diperhatikan agama dari anak yang bersangkutan.

Di samping tindakan yang dikenakan kepada anak yang berkonflik dengan hukum, juga disertai dengan teguran dan syarat-syarat tambahan yang ditetapkan

oleh hakim sesuai Pasal 24 ayat (2) huruf c Undang-Undang No. 3 Tahun 1997. Teguran itu berupa peringatan dari hakim baik secara langsung terhadap anak,

atau tidak langsung melalui orang tuanya, walinya atau orang tua asuhnya. Maksud dari teguran ini adalah agar anak yang berkonflik dengan hukum tersebut

tidak lagi mengulangi perbuatan yang mengakibatkan ia dijatuhi tindakan. Sementara syarat tambahan, misalnya kewajiban untuk melapor secara periodik kepada Pembimbing Kemasyarakatan, umpama seminggu sekali, sebulan sekali,

BAB IV

PENJATUHAN PIDANA BERSYARAT TERHADAP ANAK YANG BERKONFLIK DENGAN HUKUM DALAM PUTUSAN PENGADILAN

NEGERI NO.02/PID.SUS-ANAK/2014/PN.BNJ DAN PENGADILAN TINGGINO.10/PID.SUS-ANAK/2014/PT MDN. DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM

PERADILAN PIDANA ANAK

C. Pidana Bersyarat Sebagai Salah Satu Bentuk Sanksi Pidana Menurut Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak

R.Soesilo memberikan pengertian pidana bersyarat yang biasa disebut peraturan-peraturan tentang “hukuman dengan perjanjian” atau “hukuman dengan bersyarat” atau “hukuman jenggalan” artinya adalah : orang dijatuhi hukuman. Tetapi hukuman itu tidak usah dijalankan, kecuali jika dikemudian ternyata bahwa terhukum sebelum habis tempo percobaan berbuat peristiwa pidana atau melanggar perjanjian yang diadakan oleh hakim kepadanya jadi keputusan hakim tetap ada.130

Pidana bersyarat tidak termasuk dalam jenis pidana pokok maupun pidana tambahan sebagaimana yang tercantum pada Pasal 10 KUHP, tetapi pidana

Pengaturan mengenai pidana bersyarat (voorwaardelijke veroordeling) secara umum terdapat pada Pasal 14 KUHP. Pidana bersyarat adalah Suatu pemidanaan yang pelaksanaannya oleh Hakim digantungkan pada syarat-syarat tertentu yang telah ditetapkan dalam putusan Hakim.

130

R. Soesilo, 1991, Pokok-pokok Hukum Pidana, Peraturan Umum dan Delik-delik Khusus, Bogor, Politea, hlm.53

bersyarat merupakan cara penerapan pidana yang dalam pengawasan dan pelaksanaanya dilakukan diluar penjara. Menjatuhkan pidana bersyarat bukan berarti membebaskan terpidana, secara fisik terpidana memang bebas dalam arti tidak diasingkan dari masyarakat dengan memasukkan terpidana dalam suatu penjara atau lembaga pemasyarakatan, tetapi secara formal statusnya tetap terpidana karena ia telah dijatuhi pidana, hanya saja dengan pertimbangan tertentu pidana itu tidak perlu dijalani. Pidana akan tetap dijalani apabila ternyata terpidana telah melanggar syarat yang diberikan kepada terdakwa sebagaimana yang terdapat dalam Pasal 14 c ayat (1) KUHP. Ketentuan tentang pidana bersyarat masih tetap terikat pada Pasal 10 KUHP, namun jangka waktu pidana tersebut tidak akan lebih satu tahun penjara atau kurungan.

Pasal 14 a ayat (1) KUHP menyatakan : Apabila hakim menjatuhkan pidana penjara paling lama satu tahun atau kurungan, tidak termasuk kurungan pengganti, maka dalam putusannya dapat memerintahkan pula bahwa pidana tidak usah dijalani, kecuali jika dikemudian hari ada putusan hakim yang menentukan lain, disebabkan karena terpidana melakukan suatu perbuatan pidana sebelum masa percobaan yang ditentukan dalam perintah tersebut di atas habis, atau karena terpidana selama masa percobaan tidak memenuhi syarat khusus yang mungkin ditentukan dalam perintah itu. Pidana bersyarat juga dapat diberikan karena pidana denda apabila Hakim yakin bahwa pembayaran denda betul-betul dirasakan berat oleh terpidana.

Berdasarkan Pasal 14 a ayat (1) KUHP, pidana bersyarat dapat dijatuhkan apabila :

1. Hakim menjatuhkan pidana kepada terdakwa paling lama 1 tahun/pidana kurungan. Jadi yang menentukan bukanlah pidana penjara yang diancamkan melainkan pidana penjara yang dijatuhkan pada terdakwa.

2. Terdakwa dijatuhi pidana kurungan, tidak termasuk pidana kurungan pengganti.

3. Terdakwa dijatuhi pidana denda yang akan sangat memberatkan terpidana.131 Pidana bersyarat yang dijatuhkan kepada terdakwa sesuai dengan ketentuan Pasal 14 a ayat (1) KUHP memiliki syarat umum dan syarat khusus yang diatur dalam Pasal 14 c ayat (1) KUHP. Pasal 14 c ayat (1) KUHP tersebut berbunyi:

“Dalam perintah yang di maksud dalam pasal 14 a kecuali jika di jatuhkan denda, selain menetapkan syarat umum bahwa terpidana tidak akan melakukan perbuatan pidana, Hakim dapat menetapkan syarat khusus bahwa terpidana dalam waktu tertentu, yang lebih pendek dari pada masa percobaannya harus mengganti segala atau sebagian kerugian yang di timbulkan oleh perbuatan pidana tadi”.

Pasal 14 c ayat (1) tersebut telah menjelaskan bahwa pidana bersyarat yang dijatuhkan kepada terdakwa memiliki syarat-syarat tertentu, yaitu :

a. Syarat umum

Terpidana bersyarat tidak akan melakukan delik apa pun dalam waktu yang ditentukan.

131 Tina Asmarawati, 2015, Pidana dan Pemidanaan dalam Sistem Hukum di Indonesia (Hukum Penitensier), Yogyakarta, Deepublish, hlm.128

b. Syarat khusus

Ditentukan oleh Hakim. Disamping itu juga dapat ditentukan syarat khusus lainnya mengenai tingkah laku terpidana yang harus dipenuhi dimana masa percobaan/selama sebagian masa percobaan.

Bilamana syarat umum dan khusus tidak dipenuhi maka berdasarkan Pasal 14 f ayat (1) KUHP, Hakim atas usul pejabat yang berwenang menyuruh menjalankan putusan dapat diperintahkan supaya putusan pidana dapat dijalankan/ memerintahkan supaya atas namanya diberikan peringatan kepada terpidana.

Masa percobaan dimulai sejak putusan tersebut mulai ditetapkan dan telah diberitahukan kepada terpidana menurut tata cara yang ditentukan oleh UU. Berdasarkan Pasal 14 b (3) KUHP : Masa percobaan tidak dihitung selama terpidana berada pada tahanan sementara.

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak juga memberikan pengaturan terkait pidana bersyarat, bahwa didalam undang-undang ini pidana bersyarat tergolong dalam salah satu pidana pokok yang dapat di jatuhkan terhadap anak yang berkonflik dengan hukum, sebagai mana yang terdapat pada Pasal 71 ayat (1) UU SPPA, yaitu:

Pidana pokok bagi Anak terdiri atas: a. pidana peringatan;

b. pidana dengan syarat:

1) pembinaan di luar lembaga; 2) pelayanan masyarakat; atau 3) pengawasan.

c. pelatihan kerja;

d. pembinaan dalam lembaga; dan e. penjara.

Susunan jenis sanksi yang terdapat pada Pasal 71 ayat (1) UU SPPA tersebut memiliki perbedaan dengan ketentuan jenis sanksi yang terdapat dalam KUHP. Hal tersebut dapat dilihat berdasarkan pengaturan jenis sanksi yang terdapat pada Pasal 10 KUHP, yaitu:

Pidana terdiri atas: a. pidana pokok: 1. pidana mati; 2. pidana penjara; 3. pidana kurungan; 4. pidana denda; 5. pidana tutupan. b. pidana tambahan:

1. pencabutan hak-hak tertentu; 2. perampasan barang-barang tertentu; 3. pengumuman putusan hakim.

Dari Pasal 10 KUHP tersebut selain memiliki susunan jenis sanksinya yang berbeda dengan Pasal 71 ayat (1) UU SPPA, juga dapat dilihat tidak terdapat jenis sanksi pidana dengan syarat pada jenis sanksi pidana pokok dalam Pasal 10 KUHP tersebut tetapi pidana dengan syarat dalam KUHP diatur dalam Pasal 14 a

KUHP dan bukan bagian dari jenis pidana pokok. Hal tersebut sangat berbeda dengan jenis sanksi yang terdapat dalam Pasal 71 ayat (1) UU SPPA, dimana sanksi pidana dengan syarat merupakan jenis pidana tersendiri yang merupakan salah satu jenis sanksi pidana pokok.

Perlu diketahui bahwa dalam Pasal 73 ayat (1) UU SPPA menyatakan bahwa pidana dengan syarat dapat dijatuhkan oleh Hakim dalam hal pidana penjara yang dijatuhkan paling lama 2 (dua) tahun. Oleh karena itu, perlu dilihat kembali berapa lama pidana penjara yang dijatuhkan Hakim. Selain itu terdapat syarat umum dan syarat khusus yang diatur dalam pasal Pasal 73 ayat (3) dan (4) UU SPPA yang harus dipenuhi oleh terdakwa anak jika Hakim menjatuhkan pidana dengan syarat.

1. Syarat umum adalah anak tidak akan melakukan tindak pidana lagi

selama menjalani masa pidana dengan syarat.

2. Syarat khusus adalah untuk melakukan atau tidak melakukan hal

tertentu yang ditetapkan dalam putusan Hakim dengan tetap memperhatikan kebebasan Anak.

Di samping itu, selama menjalani masa pidana dengan syarat, Penuntut Umum melakukan pengawasan dan Pembimbing Kemasyarakatan melakukan pembimbingan agar anak menepati persyaratan yang telah ditetapkan dan anak harus mengikuti wajib belajar 9 (sembilan) tahun, hal ini telah diatur dalam Pasal 73 ayat (7) dan (8) UU SPPA.

Dalam menyelesaikan perkara anak yang berkonflik dengan hukum, terdapat hal yang tidak boleh dilupakan, yaitu asas “Lex specialis derogat legi

generali”, yang merupakan asas penafsiran hukum yang menyatakan bahwa hukum yang bersifat khusus (lex specialis) mengesampingkan hukum yang bersifat umum (lex generalis). Dengan demikian pengaturan mengenai sanksi terhadap anak yang berkonflik dengan hokum harus mengacu kepada Undang- Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA). Sehingga dalam menjatuhkan sanksi terhadap anak, Hakim yang menangani perkara anak yang berkonflik dengan hukum di pengadilan anak, harus menggunakan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak sebagai landasan atau pedoman dalam menentukan sanksi terhadap anak yang berkonflik dengan hukum dalam putusannya.

D. Penjatuhan Pidana Bersayarat Terhadap Anak Yang Berkonflik Dengan

Hukum Dalam Putusan Pengadilan Negeri No.02/Pid.Sus-

Anak/2014/PN.Bnj Dan Dalam Putusan Pengadilan TinggiNo.10/Pid.Sus- Anak/2014/PT.Mdn.

1. Kasus Dalam Putusan Pengadilan Negeri No.02/Pid.Sus-

Anak/2014/PN.Bnj Dan Dalam Putusan Pengadilan

TinggiNo.10/Pid.Sus-Anak/2014/PT.Mdn B.1.1 Konologis

Terdakwa :

Nama : Muhammad Riva’i

Tempat Lahir : Meulaboh

Umur/Tgl. Lahir : 17 Tahun / 20 Oktober 1997 Jenis Kelamin : Laki-laki

Kebangsaan : Indonesia

Tempat Tinggal : Jl.Gunung Karang, Pasar III Kel. Tanah Merah Kec. Binjai Selatan, Kota Binjai

Pekerjaan : Pelajar

Pendidikan : SMK kelas 3

Berawal pada hari Rabu tanggal 17 September 2014, sekitar pukul 13.00 WIB. sewaktu saksi korban pulang sekolah terdakwa datang menjemput saksi korban dari sekolah saksi korban yang beralamatkan Binjai dengan menggunakan sepeda motor, yang sebelumnya terdakwa telah berjanji ingin menjemput saksi korban lewat SMS melalui Hp. Kemudian saksi korban pergi bersama terdakwa dengan berboncengan mengendarai sepeda motor lalu pada saat itu terdakwa mengajak saksi untuk pergi kerumah terdakwa dengan tujuan untuk melakukan perbuatan mesumnya, namun saksi korban menolak untuk menuruti ajakan dari terdakwa.

Setelah itu terdakwa terus membujuk rayu saksi korban dengan mempertanyakan mengenai perasaan sayang saksi korban kepada terdakwa lalu terdakwa terus merayu saksi korban dengan mengucapkan terdakwa cinta sekali kepada saksi korban dan bila terjadi apa-apa terdakwa siap bertanggungjawab akan menikahi saksi korban.

Selanjutnya terdakwa membawa saksi ke rumah terdakwa beralamatkan di Kota Binjai. Sesampainya di rumah terdakwa langsung melakukan aksinya untuk menyetubuhi saksi korban dan pada saat itu tidak ada orang lain yang berada di dalam rumah selain terdakwa dengan saksi korban. Pada mulanya saksi korban menolak untuk menuruti permintaan terdakwa namun terdakwa memaksa saksi korban dengan menarik tangan kanan saksi korban dengan menggunakan kedua tangan terdakwa ke dalam kamar tidur, kemudian terdakwa mencoba untuk membuka pakaian saksi korban namun saksi korban kembali menolak permintaan

terdakwa dengan menepis tangan terdakwa, sehingga terdakwa kembali memaksa saksi korban dengan membuka pakaian yang digunakan oleh saksi korban, karena tenaga terdakwa lebih kuat dari saksi korban maka terbukalah pakaian yang dipakai saksi korban. Kemudian terdakwa melakukan aksinya dengan menyetubuhi saksi korban dan setelah terdakwa selesai melakukan aksinya, terdakwa mengantarkan saksi korban pulang ke rumah saksi korban.

Pada hari Rabu tanggal 15 Oktober 2014 pada saat saksi korban pulang sekolah selesai ujian Mid Semester, terdakwa menjemput saksi korban dengan menggunakan sepeda motor milik terdakwa, sebelumnya terdakwa telah berjanjian dulu lewat SMS melalui HP. Namu pada saat dijemput saksi korban berkata kepada terdakwa untuk meminta izin dulu kepada orang tua saksi korban, karena saksi korban takut orang tua saksi korban akan kecaria atas dirinya, namun terdakwa mengatakan tidak perlu mengabari orang tua saksi korban dan terdakwa memerintahkan saksi korban untuk mencari alasan lain jika orang tua saksi korban bertanya. Setelah itu terdakwa membawa saksi korban ke tempat Jualan Es Kelapa di Kec. Binjai Selatan. Merekapun duduk-duduk, lalu terdakwa mengajak saksi korban untuk pergi kerumah terdakwa dengan tujuan berbuat mesum, akan tetapi saksi korban menolak, sehingga terdakwa terus melontarkan kalimat rayuan untuk membujuk saksi korban namun saksi korban tetap tidak ingin memenuhi keinginan terdakwa. Lalu terdakwa terus merayu saksi korban dengan mengucapkan terdakwa cinta sekali kepada saksi korban dan bila terjadi apa-apa terdakwa siap bertanggungjawab akan menikahi saksi korban, sehingga saksi korbanpun telah termakan bujuk rayu dari terdakwa.

Sesampainya di rumah terdakwa, saksi korban diajak ke kamar tidur di salah satu yang ada di rumah terdakwa dimana pada saat itu posisi keadaan rumah terdakwa dalam keadaan sepi tidak ada orang satupun hanya saksi korban dengan terdakwa yang ada di rumahnya. Karena saksi korban tidak mau masuk ke dalam kamar tidur, terdakwa memaksa saksi korban dengan menarik tangan kanan saksi korban sehingga saksi korban masuk ke dalam kamar tidur tersebut. Selanjutnya terdakwa menutup dan mengunci pintu kamar. Lalu terdakwa mencoba membuka kancing baju sekolah yang saksi korban kenakan namun saksi korban mencoba melepaskan tangan terdakwa sewaktu terdakwa ingin membuka kancing baju yang saksi korban kenakan tersebut. Kemudian terdakwa terus memaksa saksi korban hingga akhirnya baju saksi korban terbuka dikarenakan tenaga terdakwa lebih kuat dari tenaga saksi korban. Setelah itu terdakwa merebahkan tubuh saksi korban ke atas tempat tidur dan melakukan aksinya dengan mencumbui saksi korban hingga akhirnya saksi korban mulai terangsang. Lalu terdakwa menindih tubuh saksi korba.

Setelah itu tiba-tiba ada suara orang yang membuka jendela rumah terdakwa, mendengar hal tersebut cepat-cepat terdakwa dan saksi korban mengenakan pakaian mereka masing-masing kembali. Kemudian terdakwa keluar dari kamar untuk menemui orang tersebut sementara saksi korban tinggal di dalam kamar. Lalu orang yang membuka jendela tersebut bernama (saksi) I masuk ke dalam kamar dan (saksi) I pun bertemu dengan saksi korban namun (saksi) I tidak berkata apa-apa kepada saksi korban, hanya saja (saksi) I mengambil rok saksi korban yang belum sempat saksi korban kenakan. Selanjutnya (saksi) I keluar dari

kamar dan menemui terdakwa dan memerintahkan terdakwa untuk keluar dari pintu saming rumahnya”. Setelah itu mengeluarkan saksi korban dari rumah kemudian menjemput saksi korban di jalan dekat rumah terdakwa selanjutnya mengantarkan saksi korban pulang ke rumah saksi korban dengan berboncengan mengendarai sepeda motor terdakwa. Terdakwa pun menyuruh saksi korban mengambil baju di rumah saksi korban. Sesampainya di rumah, saksi korban masuk ke dalam rumah mengambil baju saksi korban yang pada saat itu orang tua saksi korban sedang berada di dalam kamar. Kemudian saksi korban mengambil bajunya dengan menggunakan tas. Kemudian saat saksi korban keluar dari rumah, saksi korban berkata kepada orang tua saksi korban dari luar kamar bahwa saksi korban akan pergi kerumah teman untuk kerja. Setelah itu saksi korban pun keluar dari rumah dan pergi berboncengan naik sepeda motor dengan terdakwa, lalu terdakwa membawa saksi korban ke kota Medan untuk mencari rumah kontrakan. Namun tidak ketemu hingga akhirnya terdakwa membawa saksi korban ke rumah (saksi II) teman terdakwa yang beralamatkan di Medan. Sesampainya disana, terdakwa dan saksi korban tinggal di rumah (saksi II) selama 4 (empat) hari lamanya hingga akhirnya pada hari Minggu tanggal 19 Oktober 2014 sekitar pukul 15.00 WIB kedua orang tua saksi korban dan keluarga terdakwa menemui terdakwa dan meminta kepada terdakwa kembali pulang dan untuk mengantarkan saksi korban pulang ke rumah saksi korban. Terdakwa dan saksi korban pun bertemu dengan orang tua saksi korban dan keluarga hingga akhirnya orang tua saksi korban merasa tidak senang karena terdakwa telah membawa saksi korban tanpa izin terlebih dahulu kepada orang tua saksi korban. Terdakwa pun dibawa

keluarga saksi korban ke Polres Binjai untuk diproses lebih lanjut.

Bahwa berdasarkan hasil Visum Et Repertum Nomor : 357-10386 yang dibuat dan ditanda tangani oleh Dr. Eka Handayani, Sp.OG dokter pada Rumah Sakit Umum Daerah Dr. R. M. Djoelham tanggal 20 Oktober 2014 dengan hasil pemeriksaan dijumpai robekan lama pada selaput dara arah jam satu, jam lima, jam tujuh, dan jam Sembilan tidak sampai ke dasar saksi korban dengan kesimpulan dijumpai robekan lama pada selaput dara arah jam satu, jam lima, jam tujuh, dan jam Sembilan tidak sampai ke dasar, dengan kata lain selaput dara sudah tidak utuh.

B.1.2 Dakwaan

Dalam dakwaannya Jaksa Penuntut Umum (JPU) menyusun dakwaan secara Alternatif, yaitu :

Kesatu

Primair : Pasal 81 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Yo Pasal 64 ayat (1) KUHP;

Subsidair : Pasal 81 ayat (2) Undang-Undang Republik Indonesia No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Yo Pasal 64 ayat (1) KUHP;

Lebih Subsidair : Pasal 82 Undang-Undang Reublik Indonesia No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Yo Pasal 64 ayat (1) KUHP;

Atau

Kedua : Pasal 332 ayat (1) e KUHP.

B.1.3 Tuntutan Pidana

Jaksa Penuntut Umum (JPU) yang menangani kasus tersebut menguraikan tuntutannya yaitu yang pada pokoknya menuntut supaya Hakim Pengadilan Negeri yang memeriksa dan mengadili perkara ini memutuskan:

1. Menyatakan terdakwa Muhammad Riva’I telah terbukti bersalah melakukan tindak pidana. Jika beberapa perbuatan berhubungan, sehingga dengan demikian harus dipandang sebagai suatu perbuatan yang berkelanjutan,

Dokumen terkait