• Tidak ada hasil yang ditemukan

E. Tinjauan Kepustakaan

2. Pidana Dan Tujuan Pemidanaan

Pidana berasal dari kata Straf (Belanda), yang pada dasarnya dapat dikatakan sebagai suatu penderitaan (nestapa) yang dikenakan kepada seseorang yang terbukti bersalah melakukan suatu tindak pidana. Menurut Moeljatno dalam Muladi dan Barda Nawawi Arief, istilah hukuman yang berasal dari kata Straf,

merupakan istilah yang konvensional. Moeljatno menggunakan istilah yang

inkonvensional yaitu pidana.12

Ahli hukum Indonesia membedakan istilah hukuman dengan pidana, yang dalam bahasa belanda dikenal dengan istilah straf. Istilah hukuman adalah istilah umum yang dipergunakan untuk semua sanksi baik dalam ranah hukum perdata, administratif, disiplin dan pidana, sedangkan istilah pidana diartikan secara sempit yaitu hanya sanksi yang berkaitan dengan hukum pidana.13 Hukum pidana menentukan sanksi terhadap setiap pelanggaran hukum yang dilakukan. Sanksi itu pada pinsipnya merupakan penambahan penderitaan dengan sengaja. Penambahan penderitaan dengan sengaja ini pulalah yang menjadi pembeda terpenting antara hukum pidana dengan hukum yang lainnya.14

1. Van Hamel

Pengertian pidana menurut doktrin dapat diketahui dari pendapat para ahli diantaranya adalah sebagai berikut:

“Een bijzonder leed, tegen den overtreder van een door den staat gehandhaafd rechtsvoorschrift, op den enklen grond van die over treding, van wege den staat als handhaver der openbare rechtsorde, door met met de rechtsbedeeling belaste gezag uit te spreken.” (Suatu penderitaan yang bersifat khusus, yang telah dijatuhkan oleh kekuasaan yang berwenang untuk menjatuhkan pidana atas nama Negara sebagai penanggung jawab dari ketertiban hukum umum bagi seorang pelanggar, yakni semata-mata karena orang tersebut telah melanggar suatu peraturan hukum yang harus ditegakkan Negara).15

12 Muladi Dan Barda Nawawi Arief, 2005, Teori-Teori Dan Kebijakan Pidana, Jakarta,

Sinar Grafika, hlm.8-9

13

Andi Hamzah. 2008, Asas-Asas Hukum Pidana, Jakarta, Rineka Cipta, hlm.27

14 J.M.Van Bemmelen, 1987, Hukum Pidana 1, Hukum Pidana Materil Bagian Umum,

Bandung, Binacipta, hlm.17

2. Simons

“Het leed, door de strafwet als gevolg aan de overtrading van de norm verboden, data an den schuldige bij rechterlijk vonnis wordt opgelegd.” (suatu penderitaan yang oleh undang-undang pidana telah dikaitkan dengan pelanggaran suatu norma, yang dengan suatu putusan Hakim telah dijatuhkan bagi seseorang yang bersaah).16

3. Rooeslan Saleh

Pidana adalah reaksi atas delik dan ini berwujud suatu nestapa yang sengaja ditimpakan Negara pada pembuat delik itu.17

4. Sudarto

Pidana adalah penderitaan yang sengaja dibebankan kepada orang yang melakukan perbuatan yang memenihi syarat-syarat tertentu.18

5. H.L.A. Hart

Pidana merupakan salah satu unsur yang esensial didalam hukum pidana. Pidana itu harus:

a. Mengandung penderitaan atau konsekuensi-konsekuensi lain yang tidak menyenangkan

b. Dikenakan kepada seseorang yang benar-benar atau disangka benar melakukan tindak pidana

c. Dikenakan berhubung suatu tindak pidana yang melanggar ketentuan hukum

d. Dilakukan dengan sengaja oleh orang selain pelaku tindak pidana e.

Dijatuhkan dan dilaksanakan oleh penguasa sesuai dengan ketentuan suatu sistem hukum yang dilanggar oleh tindak pidana tersebut. 19

Berdasarkan berbagai pandangan para ahli tentang arti pidana, tidak dapat dipungkiri bahwa nestapa atau penderitaan itu merupakan suatu unsur yang memang ada dalam suatu pidana.20

16 Ibid, hlm. 35

17 Muladi dan Barda Nawawi Arief, 2010, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana, Bandung,

Alumni, hlm. 2

18 Ibid.

19 Muladi, 1992, Lembaga Pidana Bersyarat, Bandung, Alumni, hlm. 22

20 Abul Khair dan Mohammad Ekaputra, 2011, Pemidanaan, Medan, USUpress, hlm. 6 Menurut Sahetapy, bahwa dalam pengertian

pidana terkandung unsur penderitaan tidaklah disangkal. Penderitaan dalam konteks membebaskan harus dilihat sebagai obat untuk dibebaskan dari dosa dan kesalahan. Jadi penderitaan sebagai akibat pidana merupakan kunci jalan keluar yang membebaskan dan yang memberi kemungkinan bertobat dengan penuh keyakinan.21

Sudarto menyatakan, bahwa masalah penetapan/pemberian pidana (straftoemeting) bukanlah masalah yang mudah. Perkiraan ini dapat dimengerti, karena Hakim mempunyai kebebasan untuk menetapkan jenis pidana, cara pelaksanaan pidana dan tinggi rendahnya pidana. Mengenai tinggi rendahnya pidana ini, Hakim dapat bergerak antara minimum pidana yang umum yang berlaku untuk semua delik dan maksimum pidana yang khusus untuk tiap-tiap delik. Namun kebebasan ini tidak berarti bahwa Hakim boleh menjatuhkan pidana menurut seleranya sendiri,tanpa ukuran tertentu. Dalam keputusan Hakim harus terbaca proses pemikiran yang dapat diikuti oleh orang lain, sehingga wajar apabila diharapkan bahwa dalam pemberian pidana ini pun proses pemikirannya harus dapat diikuti oleh orang lain pula, khususnya oleh terdakwa.22

Pemidanaan adalah suatu upaya terakhir dalam penyelasaian masalah. Penggunaan pidana pun harus dibatasi dan harus diupayakan untuk terlebih dahulu menerapkan sanksi-sanksi lain yang tidak bersifat pidana. Pemidanaan seharusnya diadakan hanya jika suatu norma begitu penting bagi kehidupan dan kemerdekaan anggota masyarakat atau bagi berfungsinya secara wajar kehidupan

21 Muhati Agus Santoso, 2002, Paradigma Baru Hukum Pidana, Malang, Averroes Press,

hlm. 25

masyarakat itu. Suatu hal yang lebih penting, bahwa pelanggaran terhadap norma itu tidak dapat dilawan dengan cara yang lain, kecuali dengan pemidanaan.23

Teori-teori pemidanaan berkembang mengikuti dinamika kehidupan masyarakat sebagai reaksi dari timbul dan berkembangnya kejahatan itu sendiri yang senantiasa mewarnai kehidupan sosial masyarakat dari masa ke masa. Dalam dunia ilmu hukum pidana itu sendiri, berkembang beberapa teori tentang tujuan pemidanaan, yaitu teori absolut (retributif), teori relatif (deterrence/utilitarian), teori penggabungan (integratif), teori treatment dan teori perlindungan sosial (social defence). Teori-teori pemidanaan mempertimbangkan berbagai aspek sasaran yang hendak dicapai di dalam penjatuhan pidana.24

1. Teori Absolut (Teori Retributif)

Teori absolut (teori retributif), memandang bahwa pemidanaan merupakan pembalasan atas kesalahan yang telah dilakukan, jadi berorientasi pada perbuatan dan terletak pada kejahatan itu sendiri. Pemidanaan diberikan karena si pelaku harus menerima sanksi itu demi kesalahannya. Menurut teori ini, dasar hukuman harus dicari dari kejahatan itu sendiri, karena kejahatan itu telah menimbulkan penderitaan bagi orang lain, sebagai imbalannya (vergelding) si pelaku harus diberi penderitaan.25

Setiap kejahatan harus diikuti dengan pidana, tidak boleh tidak, tanpa tawar menawar. Seseorang mendapat pidana oleh karena melakukan kejahatan.

23 Ibid, hlm. 53 24

Dwidja Priyanto, 2009, Sistem Pelaksanaan Pidana Penjara Di Indonesia, Bandung, PT. Rafika Aditama, hlm. 22.

25 Leden Marpaung, 2009, Asas-Teori-Praktek Hukum Pidana, Jakarta, Sinar Grafika,

Tidak dilihat akibat-akibat apapun yang timbul dengan dijatuhkannya pidana, tidak peduli apakah masyarakat mungkin akan dirugikan. Pembalasan sebagai alasan untuk memidana suatu kejahatan.26 Penjatuhan pidana pada dasarnya penderitaan pada penjahat dibenarkan karena penjahat telah membuat penderitaan bagi orang lain.27 Menurut Hegel bahwa, pidana merupakan keharusan logis sebagai konsekuensi dari adanya kejahatan.28

Ciri pokok atau karakteristik teori retributif, yaitu :29 1. Tujuan pidana adalah semata-mata untuk pembalasan;

2. Pembalasan adalah tujuan utama dan di dalamnya tidak mengandung sarana-sarana untuk tujuan lain misalnya untuk kesejahteraan masyarakat;

3. Kesalahan merupakan satu-satunya syarat untuk adanya pidana; 4. Pidana harus disesuaikan dengan kesalahan si pelanggar;

5. Pidana melihat ke belakang, ia merupakan pencelaan yang murni dan tujuannya tidak untuk memperbaiki, mendidik atau memasyarakatkan kembali si pelanggar.

2. Teori Relatif (Deterrence),

Teori relatif (deterrence), teori ini memandang pemidanaan bukan sebagai pembalasan atas kesalahan si pelaku, tetapi sebagai sarana mencapai tujuan bermanfaat untuk melindungi masyarakat menuju kesejahteraan. Dari teori ini

26 Dwidja Priyanto, Op.Cit.,hlm. 24. 27

Teguh Prasetyo dan Abdul Halim Barkatullah, 2005, Politik Hukum Pidana (Kajian

Kebijakan Kriminalisasi dan Dekriminalisasi), Jakarta, Pustaka Pelajar, hlm. 90.

28 Muladi dan Barda Nawawi, Op. Cit., hlm.12.

muncul tujuan pemidanaan sebagai sarana pencegahan, yaitu pencegahan umum yang ditujukan pada masyarakat. Berdasarkan teori ini, hukuman yang dijatuhkan untuk melaksanakan maksud atau tujuan dari hukuman itu, yakni memperbaiki ketidakpuasan masyarakat sebagai akibat kejahatan itu. Tujuan hukuman harus dipandang secara ideal, selain dari itu, tujuan hukuman adalah untuk mencegah (prevensi) kejahatan.30

Menurut Leonard, teori relatif pemidanaan bertujuan mencegah dan mengurangi kejahatan. Pidana harus dimaksudkan untuk mengubah tingkah laku penjahat dan orang lain yang berpotensi atau cederung melakukan kejahatan. Tujuan pidana adalah tertib masyarakat, dan untuk menegakan tata tertib masyarakat itu diperlukan pidana.

31

Pidana bukanlah sekedar untuk melakukan pembalasan atau pengimbalan kepada orang yang telah melakukan suatu tindak pidana, tetapi mempunyai tujuan-tujuan tertentu yang bermanfaat. Pembalasan itu sendiri tidak mempunyai nilai, tetapi hanya sebagai sarana untuk melindungi kepentingan masyarakat. Dasar pembenaran pidana terletak pada tujuannya adalah untuk mengurangi frekuensi kejahatan. Pidana dijatuhkan bukan karena orang membuat kejahatan, melainkan supaya orang jangan melakukan kejahatan. Sehingga teori ini sering juga disebut teori tujuan (utilitarian theory).32

Adapun ciri pokok atau karakteristik teori relatif (utilitarian), yaitu :

33 1. Tujuan pidana adalah pencegahan (prevention);

30

Leden Marpaung, Op. Cit., hlm. 106.

31 Teguh Prasetyo dan Abdul Halim Barkatullah, Op. Cit., hlm. 96-97. 32 Dwidja Priyanto, Op. Cit., hlm. 26.

2. Pencegahan bukan tujuan akhir tetapi hanya sebagai sarana untuk mencapai tujuan yang lebih tinggi yaitu kesejahteraan masyarakat ; 3. Hanya pelanggaran-pelanggaran hukum yang dapat dipersalahkan

kepada si pelaku saja (misal karena sengaja atau culpa) yang memenuhi syarat untuk adanya pidana ;

4. Pidana harus ditetapkan berdasar tujuannya sebagai alat untuk pencegahan kejahatan ;

5. Pidana melihat ke muka (bersifat prospektif), pidana dapat mengandung unsur pencelaan, tetapi unsur pembalasan tidak dapat diterima apabila tidak membantu pencegahan kejahatan untuk kepentingan kesejahteraan masyarakat.

3. Teori Gabungan (Integratif)

Teori gabungan (integratif) mendasarkan pidana pada asas pembalasan dan asas tertib pertahanan tata tertib masyarakat, dengan kata lain dua alasan itu menjadi dasar dari penjatuhan pidana. Pada dasarnya teori gabungan adalah gabungan teori absolut dan teori relatif. Gabungan kedua teori itu mengajarkan bahwa penjatuhan hukuman adalah untuk mempertahankan tata tertib hukum dalam masyarakat dan memperbaiki pribadi si penjahat.34

Teori gabungan ini dapat dibedakan menjadi dua golongan besar, yaitu : 35

34 Leden Marpaung, Op.Cit., hlm.. 107.

35 Adami Chazawi, 2010, Pelajaran Hukum Pidana I, Jakarta : PT. Raja Grafindo,

1. Teori gabungan yang mengutamakan pembalasan, tetapi pembalasan itu tidak boleh melampaui batas dari apa yang pelu dan cukup untuk dapatnya dipertahankannya tata tertib masyarakat;

2. Teori gabungan yang mengutamakan perlindungan tata tertib masyarakat, tetapi penderitaan atas dijatuhinya pidana tidak boleh lebih berat daripada perbuatan yang dilakukan terpidana.

4. Teori Treatment

Teori treatment, mengemukakan bahwa pemidanaan sangat pantas diarahkan kepada pelaku kejahatan, bukan kepada perbuatannya. Teori ini memiliki keistimewaan dari segi proses re-sosialisasi pelaku sehingga diharapkan mampu memulihkan kualitas sosial dan moral masyarakat agar dapat berintegrasi lagi ke dalam masyarakat. Menurut Albert Camus, pelaku kejahatan tetap human offender, namun demikian sebagai manusia, seorang pelaku kejahatan tetap bebas pula mempelajari nilai-nilai baru dan adaptasi baru. Oleh karena itu, pengenaan sanksi harus mendidik pula, dalam hal ini seorang pelaku kejahatan membutuhkan sanksi yang bersifat treatment.36

Treatment sebagai tujuan pemidanaan dikemukakan oleh aliran positif. Aliran ini beralaskan paham determinasi yang menyatakan bahwa orang tidak mempunyai kehendak bebas dalam melakukan suatu perbuatan karena dipengaruhi oleh watak pribadinya, faktor-faktor lingkungan maupun kemasyarakatannya.37

36 Teguh Prasetyo dan Abdul Halim Barkatullah, Op. Cit, hlm.96-97. 37 Muladi dan Barda Nawawi, Op. Cit, hlm. 12.

keadaan jiwa seorang yang abnormal. Oleh karena itu si pelaku kejahatan tidak dapat dipersalahkan atas perbuatannya dan tidak dapat dikenakan pidana, melainkan harus diberikan perawatan (treatment) untuk rekonsialisasi pelaku.

5. Teori Perlindungan Sosial (Social Defence)

Teori perlindungan sosial (social defence) merupakan perkembangan lebih lanjut dari aliran modern dengan tokoh terkenalnya Filippo Gramatica, tujuan utama dari teori ini adalah mengintegrasikan individu ke dalam tertib sosial dan bukan pemidanaan terhadap perbuatannya. Hukum perlindungan sosial

mensyaratkan penghapusan pertanggungjawaban pidana (kesalahan) digantikan tempatnya oleh pandangan tentang perbuatan anti sosial, yaitu adanya seperangkat peraturan-peraturan yang tidak hanya sesuai dengan kebutuhan untuk kehidupan bersama tapi sesuai dengan aspirasi-aspirasi masyarakat pada umumnya.38

Tujuan pemidanaan merupakan persoalan yang penting dan sulit, terutama dalam menentukan apakah pemidanaan ditujukan untuk melakukan pembalasan ataukah pemidanaan itu mempunyai suatu tujuan tertentu, misanya untuk

Berdasarkan teori-teori pemidanaan yang dikemukakan di atas, dapat diketahui bahwa tujuan pemidanaan itu sendiri merumuskan perpaduan antara kebijakan penal dan non-penal dalam hal untuk menanggulangi kejahatan. Di sinilah peran negara melindungi masyarakat dengan menegakan hukum. Aparat penegak hukum diharapkan dapat menanggulangi kejahatan melalui wadah Sistem Peradilan Pidana (Criminal Justice System).

mencegah terjadinya tindak pidana.39

1. Untuk memperbaiki pribadi dari penjahatnya itu sendiri

Persoalan tujuan yang ingin dicapai dengan pemidanaan, ternyata tidak terdapat suatu kesamaan pendapat diantara para ahli, khususnya ahli hukum pidana dan kriminologi. Namun menurut P.A.F. Lamintang secara umum pada dasarnya terdapat tiga pokok pemikiran tentang tujuan yang ingin dicapai dengan suatu pemidanaan, yaitu :

2. Untuk membuat orang menjadi jera untuk melakukan kejahatan- kejahatan

3. Untuk membuat penjahat-penjahat tertentu menjadi tidak mampu untuk melakukan kejahatan-kejahatan lainnya, yakni penjahat- penjahat dengan cara-cara lain sudah tidak dapat diperbaiki lagi

Perbedaaan tujuan pemidanaan sudah terjadi sejak lama. Muladi menyebutkan, bahwa perbedaan tujuan pemidanaan, sudah terjadi sejak dulu kala, yakni antara mereka yang berpandangan pidana sebagai sarana retributif (retributivism) dan mereka yang menyatakan bahwa pidana mempunyai tujuan yang positif lebih lanjut (teleological theoris). Selain itu muncul pula pandangan integratif di dalam tujuan pemidanaan (teleological retributivist) yang beranggapan bahwa pemidanaan mempunyai tujuan yang plural, yang merupakan gabungan antara pandangan utilitarian yang menyatakan bahwa tujuan pemidanaan harus menimbulkan konsikuensi bermanfaat yang dapat dibuktikan, keadilan tidak diperoleh melalui pembebanan penderitaan yang patut diterima untuk tujuan penderitaan itu sendiri, dan pandangan retributivist yang menyatakan

bahwa keadilan data tercapai apabila tujuan yang teleological tersebut dilakukan dengan menggunakan ukuran-ukuran berdasarkan prinsip-prinsip keadilan, misalnya bahwa penderitaan pidana itu tidak boleh melebihi ganjaran yang selayaknya diperoleh pelaku tindak pidana. 40

a. Segi prevensi, yaitu suatu upaya untuk dapat mempertahankan kelestarian hidup bersama dengan melakukan pencegahan kejahatan Pandangan dari para sarjana hukum pidana di Indonesia sendiri, tentang apa yang menjadi tujuan pemidanaan sangat variatif. Hal tersebut dapat dikaji dari uraian-uraian beberapa sarjana, seperti Roeslan Saleh, Sahetapy, Bismar Siregar, dan Muladi.

Roeslan Saleh, dalam bukunya yang berjudul “Suatu Orientasi dalam Hukum Pidana”, mengemukakan bahwa pada hakikatnya ada dua poros yang menentukan garis-garis hukum pidana, yaitu:

b. Segi pembalasan, merupakan koreksi atas reaksi dari sesuatu yang bersifat melawan hukum41

Begitu juga Sahetapy dalam disertasinya yang berjudul “Ancaman Pidana Mati Terhadap Pembunuh Berencana” mengemukakan, bahwa pemidanaan bertujuan pembebasan. Pidana harus mampu untuk membebaskan si pelaku dari cara atau jalan yang keliru yang sudah ditempuhnya. Makna membebaskan tidak identik dengan pengertian rehabilitasi atau reformasi. Makna membebaskan menghendaki agar si pelaku bukan hanya dibebaskan dari alam pikiran yang jahat,

40 Ibid, hlm. 53-55

yang keliru, melainkan ia harus pula dibebaskan dari kenyataan sosial dari tempat ia terbelenggu. Menurut Sahetapy, tidak dapat disangkal bahwa dalam pengertian pidana tersimpul unsur penderitaan, tetapi penderitaan dalam tujuan membebaskan bukanlah semata-mata untuk penderitaan si pelaku menjadi takut atau merasa menderita akibat suatu pembalasan dendam, melainkan derita itu harus dilihat sebagai obat atau kunci jalan keluar yang membebaskan dan yang memberi kemungkinan bertobat dengan penuh keyakinan.42

Bismar Siregar antara lain menyatakan bahwa” yang pertama-tama patut diperhatikan dalam pemberian pidana, bagaimana caranya agar hukuman badaniah mencapai sasaran, mengembalikan keseimbangan yang telah terganggu akibat perbuatan si tertuduh, karena tujuan penghukuman tiada lain mewujudkan kedamaian dalam kehidupan manusia.43

Muladi, sebagai mana diuraikan Dwidja Priyatno, telah memperkenalkan teori tujuan pidana baru yang disebut dengan tujuan pemidanaan yang integrative (kemanusiaan dalam sistem Pancasila) yang tepat untuk diterapkan di Indonesia. Beliau mengatakan bahwa dewasa ini masalah pemidanaan menjadi sangat komplek sebagai akibat dari usaha untuk lebih memperhatikan factor-faktor yang menyangkut hak asasi manusia (HAM), serta menjadikan pidana bersifat oprasional dan fungsional. Untuk itu diperlukan pendekatan multidimensional yang bersifat mendasar terhadap dampak pemidanaan, baik yang menyangkut dampak yang bersifat individual maupun dampak yang bersifat sosial. Pendekatan semacam ini mengakibatkan adanya keharusan untuk memilih teori integrative

42 Sahetapy, 1982, Ancaman Pidana Mati Terhadap Pembunuhan Berencana, Jakarrta,

Radjawali, hlm.195

tentang tujuan pemidanaan yang dapat mempengaruhi fungsinya dalam rangka mengatasi kerusakan-kerusakan yang diakibatkan oleh tindak pidana (individual and social damages). Pemilihan teori integrative tentang tujuan pemidanaan didasarkan atas alasan-alasan baik yang bersifat sosiologis, yuridis, maupun ideologis.44

Selanjutnya Muladi menjelaskan bahwa dari sekian banyak pendapat para sarjana yang menganut teori integrative tentang tujuan pemidanaan, beliau cenderung untuk mengadakan kombinasi tujuan pemidanaan yang cocok dengan pendekatan sosiologis, ideologis dan yuridis filosofis, dilandasi oleh asumsi dasar bahwa tindak pidana merupakan gangguan terhadap keseimbangan, keselarasan, dan keserasian dalam kehidupan masyarakat yang mengakibatkan kerusakan individual ataupun masyarakat. Dengan demikian, tujuan pemidanaan adalah untuk memperbaiki kerusakan individual dan sosial (individual and social damages) yang diakibatkan oleh tindak pidana. Hal ini terdiri atas seperangkat tujuan pemidanaan yang harus dipenuhi dengan catatan, bahwa tujuan manakah yang merupakan titik berat sifatnya kasuistis.45

1. Pemidanaan bertujuan untuk:

Dalam konsep KUHP buku I tahun 2002, tujuan pemberian pidana dirumuskan sebagai berikut:

a. mencegah dilakukannya tindak pidana dengan mengenakan norma hukum demi pengayoman masyarakat.

44 Ibid, hlm. 18-19 45 Ibid, hlm. 19-20

b. memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan sehingga menjadi orang yang baik dan berguna.

c. menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana, memulihkan keseimbangan dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat.

d. membebaskan rasa bersalah pada terpidana.

2. Pemidanaan tidak dimaksudkan untuk menderitakan dan merendahkan martabat manusia. Ringannya perbuatan, keadaan pribadi pembuat atau keadaan pada waktu dilakukan perbuatan atau yang terjadi kemudian, dapat dijadikan dasar pertimbangan untuk tidak menjatuhkan pidana atau mengenakan tindakan dengan mempertimbangkan segi keadilan dan kemanusiaan.46

Dokumen terkait