• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERWAKILAN DAERAH

Dalam dokumen Buku Ajar HUBUNGAN PEMERINTAH PUSAT & DAERAH (Halaman 112-120)

(Kajian Hukum Berdasarkan Perubahan Pasal 22D UUD 1945)

Indonesia adalah sebuah negara yang wilayahnya terbagi atas daerah-daerah Provinsi. Daerah provinsi itu dibagi lagi atas daerah-daerah Kabupaten dan daerah Kota. Setiap daerah provinsi, daerah kabupaten, dan daerah kota mempunyai pemerintahan daerah yang diatur dengan undang-undang.

Pemerintahan Daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh Pemerintah Daerah dan DPRD menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam UUD 1945.

Pemerintahan daerah provinsi, kabupaten, dan kota memiliki Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang anggota-anggotanya dipilih melalui pemilihan umum. Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai Kepala Pemerintah Daerah Provinsi, Kabupaten dan Kota dipilih secara demokratis.

Hubungan wewenang antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan kota atau antara provinsi dan kabupaten dan kota, diatur dengan undang-undang dengan memperhatikan kekhususan dan keragaman daerah. Hubungan keuangan, pelayanan umum, pemanfatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah diatur dan dilaksanakan secara adil dan selaras berdasarkan undang-undang.

Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang. Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan

masyarakat hukum adat serta hak-hak tradisonalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.

Dewan Perwakilan Daerah sejak awal perubahan UUD 1945 memang tidak dimaksudkan sebagai unsur utama dalam pembuatan undang-undang, namun menjadi lembaga yang terkait dengan kelembagaan MPR.

Adanya usulan atau pendapat untuk menguatkan kelembagaan DPD dalam pembuatan undang-undang, yang berarti akan memberi voting right yaitu hak untuk menolak atau menyetujui rancangan undang-undang tentunya harus dikaji secara komprehensif.

Apabila DPD diberi kewenangan voting right dalam pembuatan UU, haruslah dibedakan keterlibatannya, apakah anggota DPD yang diberi hak voting right, ataukah kelembagaan DPD yang diberi hak voting right tersebut. Apabila voting right tersebut diberikan kepada anggota DPD, maka tidak akan diperlukan forum pengambilan putusan yang terpisah antara DPR dan DPD, karena pada hakekatnya ada hak suara yang sama dalam memberikan sikap terhadap sebuah rancangan undang-undang antara anggota DPR dan DPD. Forum yang dihadiri oleh anggota DPD dan DPR menjadi forum dalam mekanisme pengambilan putusan pembuatan undang-undang. Apabila voting right diberikan kepada lembaga DPD dalam proses pembuatan UU, maka forum pengambilan keputusan haruslah terpisah antara DPR dan DPD. Mekanisme ini sesuai dengan model bicameral. Hal yang masih harus dipertimbangkan adalah posisi Presiden dalam pembuatan undang-undang. Apakah Presiden masih terlibat dalam pembuatan undang-undang sebagaimana dinyatakan dalam pasal 20 ayat (2) UUD 1945 setelah perubahan. Apabila campurtangan Presiden dalam pembuatan undang-undang dihapuskan, maka sistem pemisahan kekuasaan memang benar-benar terciptakan, artinya pembuatan undang-undang semata-mata urusan DPD dan DPR.

Apabila Presiden masih terlibat dalam proses pembuatan undang-undang sehingga ketentuan Pasal 20 ayat (2) masih dipertahankan maka dalam pembuatan undang-undang akan melibatkan secara langsung tiga lembaga negara, yaitu DPR, DPD dan Presiden.

Disamping hal-hal sebagaimana diuraikan tersebut di atas, pertimbangan kesisteman perlu diperhatikan. Apabila dalam pembuatan

undang-undang kepada DPD diberi hak voting, maka harus juga dipertimbangkan adanya lembaga MPR yang masih tetap eksis dalam UUD 1945 setelah perubahan. Keterlibatan DPD dalam pembuatan undang-undang akan berarti bahwa untuk membuat undang-undang ada tiga lembaga negara yang aktif, yaitu DPR, DPD dan Presiden. Sementara itu menurut ketentuan Pasal 3 ayat (1) UUD setelah perubahan, MPR berwenang untuk mengubah dan menetapkan UUD, sedangkan MPR terdiri atas anggota DPR dan anggota DPD. Kedudukan sebuah UUD adalah lebih tinggi dibandingkan kedudukan sebuah undang-undang, sehingga terhadap sebuah undang-undang yang bertentangan dengan UUD dapat dilakukan pengujian materiil. Kesisteman dari UUD akan terganggu dan ketidaklogisan muncul karena untuk mengubah dan menetapkan UUD yang kedudukannya lebih tinggi dari UU cukup dilakukan oleh MPR yang keanggotaannya terdiri atas anggota DPR dan anggota DPD, sedangkan untuk membentuk undang-undang yang kedudukannya lebih rendah dari UUD akan melibatkan tiga lembaga negara, Presiden, DPD dan DPR.

Sehingga dari sudut pandang sebuah sistem konstitusi dengan mempertimbangkan hubungan antara kewenangan lembagaan negara yang diatur didalamnya, pemberian voting right kepada DPD dalam pembuatan undang-undang akan menimbulkan implikasi yang sangat luas, dan tidak dapat dilakukan hanya dengan mengubah pasal-pasal yang mengatur kewenangan DPD saja, bahkan harus dilakukan strukturisasi ulang terhadap sistem UUD 1945 yang berhubungan dengan eksistensi lembaga negara yang lain.

Kewenangan yang diberikan oleh UUD kepada DPD akan menghasilkan suatu produk yang sangat penting apabila dapat dilakukan secara lebih profesional, dan proaktif. Hak DPD untuk ikut membahas rancangan undang-undang sebagaimana dinyatakan oleh Pasal 22D tidaklah menjadikan DPD hanya bersifat pasif menunggu adanya rancangan undang-undang dari Presiden atau DPR yang akan dibahas, tetapi secara proaktif dapat mengkaji materi-materi yang seharusnya ada dalam sebuah undang, atau yang telah ada dalam sebuah undang-undang. Hasil kajian tersebut dapat diajukan kepada DPR dalam bentuk rancangan undang-undang, atau dapat dijadikan bahan dalam membahas

rancangan undang-undang. DPD dapat menyusun sebuah "blue print"substansi undang-undang yang akan ditawarkan kepada DPR, baik dalam RUU versi DPD, maupun dalam pembahasan RUU. DPD cukup punya waktu untuk melakukan hal tersebut karena tidak terganggu oleh tugas-tugas lain, dan dalam melaksanakan fungsinya seharusnya DPD dapat lebih independent terhindarkan diri dari kepentingan politik. Nilai karya DPD bukan karena otoritas politiknya tetapi kualitas produknya yang semestinya lebih objektif, dimana fungsi konstitusional tersebut diperlukan dalam kesisteman UUD.

Kewenangan Dewan Perwakilan Daerah

Kewenangan Dewan Perwakilan Daerah (DPRD) menurut pasal 22D Undang-undang Dasar 1945 Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 22D UUD 1945 (Perubahan), kewenangan DPD dapat dibedakan dalam beberapa bidang, yaitu:

1. Bidang legislasi (pembentukan undang-undang).

Dalam bidang legislasi DPD mempunyai wewenang untuk mengajukan suatu rancangan undang-undang kepada DPR serta ikut membahas rancangan undang-undang yang berkaitan dengan:

a. otonomi daerah,

b. hubungan pusat dan daerah,

c. pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah,

d. pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta

e. perimbangan keuangan pusat dan daerah 2. Bidang konsultasi (pemberian pertimbangan)

Dalam bidang konsultasi atau pemberian pertimbangan, DPD mempunyai kewenangan untuk memberikan pertimbangan kepada DPR atas rancangan undang-undang tentang anggaran pendapatan dan belanja negara, dan rancangan undang-undang yang berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan agama. Termasuk pula dalam fungsi konsultatif DPD adalah terkait dengan dimilikinya wewenang untuk ikut memberikan pertimbangan kepada DPR dalam pemilihan anggota Badan Pemeriksa Keuangan [Pasal 23F ayat (1) UUD 1945].

3. Bidang kontrol (pengawasan).

Dalam bidang kontrol (pengawasan), DPD mempunyai kewenangan untuk melakukan pengawasan atas pelaksanaan undang-undang mengenai:

a. otonomi daerah,

b. pembentukan, pemekaran dan penggabungan daerah, c. hubungan pusat dan daerah,

d. pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya,

e. pelaksanaan anggaran pendapatan dan belanja negara, pajak, pendidikan, dan agama.

Hasil pengawasan terhadap hal-hal tersebut kemudian disampaikan kepada DPR sebagai bahan pertimbangan untuk ditindaklanjuti.

Dari ketiga bidang tersebut, kewenangan DPD yang berhubungan erat dengan pembentukan undang-undang adalah bidang legislasi dan bidang konsultasi. Namun demikian, oleh karena rumusan dalam Pasal 22D tersebut masih terlalu umum, maka pelaksanaan kewenangan DPD dalam pembentukan undang-undang perlu ditinjau dari undang-undang yang merupakan pelaksanaan lebih lanjut dari UUD 1945.

Hak Dewan Perwakilan Daerah (DPD) DPD mempunyai hak:

a. Mengajukan rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah;

b. Ikut membahas rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah;

c. Memberikan pertimbangan kepada DPR dalam pembahasan rancangan undang-undang tentang anggaran pendapatan dan belanja

negara dan rancangan undang-undang yang berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan agama;

d. Melakukan pengawasan atas pelaksanaan undang-undang mengenai otonomi daerah, pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah, hubungan pusat dan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, pelaksanaan APBN, pajak, pendidikan, dan agama.

Hak Anggota DPD menurut Pasal 232 UUMD3 Anggota DPD mempunyai hak:

a. bertanya;

b. menyampaikan usul dan pendapat;

c. memilih dan dipilih;

d. membela diri;

e. imunitas;

f. protokoler; dan dan

g. keuangan dan administratif.

Untuk lebih jelas dapat dilihat gambar dibawah ini:

SISTEM PEMERINTAHAN REPUBLIK INDONESIA

Sumber Referensi:

- Pasal 23F ayat (1) UUD 1945;

- Undang-undang No. 32 Tahun2003;

- Mendagri dalam acara Rakernas Pembangunan Kependudukan & KB di Jakarta (12:02:2014).

BAB VI

Dalam dokumen Buku Ajar HUBUNGAN PEMERINTAH PUSAT & DAERAH (Halaman 112-120)