• Tidak ada hasil yang ditemukan

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Tinjauan Teoritis

2.1.1. Perwilayahan Pembangunan dan Pembangunan Wilayah

Tinjauan pustaka dalam penelitian ini dimaksudkan sebagai pendekatan

secara komprehensif, mendalam dan terperinci, sehingga dapat menghasilkan

suatu rangkuman penelitian yang terukur dan terarah. Kemudian dikembangkan

menjadi proposisi-proposisi untuk mengarahkan penelitian ini menjawab

permasalahan penelitian dimaksud. Bertolak dari maksud tersebut, tinjauan

pustaka diarahkan pada beberapa tinjauan yaitu: pertama) tinjauan terhadap

pandangan-pandangan pemikiran teoritis yang digunakan sebagai landasan teori

pada penelitian ini. kedua) mengemukakan beberapa studi atau penelitian sejenis

yang dapat menunjukkan berbagai fenomena dan rujukan analisis terhadap

pengembangan kawasan sentra produksi pada wilayah kepulauan. Dengan

demikian pembangunan yang seimbang atas dasar kapasitas dan potensi lokal

(local spesific) wilayah dalam bingkai negara kepulauan (archipelagic state)

dapat mewujudkan azas pemerataan berdasarkan kekuatan potensi ekonomi lokal

yang berbasis local spesific wilayah.

Pembangunan adalah suatu proses dinamis untuk mencapai kesejahteraan

masyarakat pada tingkat yang lebih tinggi dan dapat memenuhi taraf

kesejahteraan masyarakat, dimana pembangunan itu sendiri tidak hanya terbatas

pada pemenuhan kebutuhan pokok saja tetapi juga mempunyai kebutuhan lainnya

yang sangat banyak jumlahnya (Adisasmita, 2005). Sementara pembangunan

ilmu sosial ekonomi terhadap rendahnya perhatian dan analisis ekonomi yang

berdimensi spasial.

Menurut Misra (1977), pembangunan wilayah merupakan ilmu

pengatahuan yang bukan hanya merupakan pendisagregasian pembangunan

nasional tetapi pembangunan wilayah terletak pada perlakuan terhadap dimensi

spasial. Perlakuan tersebut menyebabkan keterbelakangan suatu wilayah yang

dipengaruhi oleh rendahnya tingkat aktivitas perekonomian wilayah, misalnya

daya tarik wilayah, kondisi sumberdaya alam maupun manusia serta rendahnya

insentif yang ditawarkan. Insentif dapat bervariasi dari infrastruktur sampai pada

persoalan kenyamanan dan keamanan wilayah yang bersangkutan. Sedangkan

menurut Abustan (1998), pembangunan dan pengembangan wilayah merupakan

usaha yang luas cakupannya serta tidak terbatas pada pengembangan daerah pusat

(growth) saja tetapi pengembangan tersebut harus meliputi daerah belakangnya

(hinterland).

Di sisi lain menurut Azis (1994), daya tarik suatu wilayah dapat dilihat

dari berbagai keuntungan yang bersumber dari gejala spasial (

spatial-juxtaposition), seperti sejauh mana suatu kebijakan dapat mempengaruhi atau

menciptakan berbagai kebijakan serta insentif yang ditawarkan untuk

mengembangkan wilayah-wilayah terbelakang. Jenis insentif yang paling tepat

untuk suatu wilayah ditentukan oleh sifat kegiatan ekonomi yang ingin dibuatnya.

Meskipun kadang-kadang kebijakan tersebut merupakan kebijakan yang telah

ditentukan oleh pemerintah pusat dan kadang-kadang insentif tersebut tidak

diciptakan tetapi insentif tersebut sangat perlu untuk diciptakan dan infrastruktur

unsur keterkaitan antarwilayah (interregional linkages) dan pengembangan sektor

unggulan (key sector) wilayah tersebut.

Bila ditinjau dari aspek lokasi (location) maka pembangunan yang tidak

didasarkan pada kapasitas dan potensi lokal (local spesific) wilayah serta

keterkaitan antarwilayah (interregional linkages) akan sulit untuk memacu atau

mendorong setiap wilayah meningkatkan perekonomian atau aktivitas

produktivitas ekonomi wilayahnya. Keterkaitan antarwilayah (interregional

linkages) maupun potensi lokal (local spesific) wilayah merupakan faktor positif,

baik ditinjau secara politis maupun dari segi kepentingan integrasi ekonomi

wilayah (daerah) maupun nasional serta turut mempengaruhi wilayah (periphery)

di sekitar wilayah pusat pertumbuhan (growth pole) yang lambat perkembangan

perekonomiannya.

Menurut Budiharsono (2001), pembangunan wilayah tidak hanya

terletak pada perlakuan dimensi spatial, tetapi setidaknya perlu ditopang oleh

enam pilar analisis yaitu: analisis biogeofisik, sosiobudaya, kelembagaan,

Lingkungan, lokasi, dan ekonomi seperti Gambar 1.

Sumber: Budiharsono, 2001

Analisis ekonomi merupakan salah satu pilar pembangunan ekonomi wilayah

sehingga perlu dilakukan sebagai upaya pemanfaatan tata ruang wilayah yang

berbasis pada potensi lokal (local spesific).

Bila dianalisis secara mendalam sebenarnya pertimbangan-pertimbangan

dalam membuat konsep perwilayahan seperti yang dikemukakan oleh Nijkamp

(1979), yaitu dengan menggabungkan konsep perwilayahan seperti:

1. Homogenous Region, yaitu pengelompokan wilayah yang didasarkan pada

unsur kedekatan dengan karakteristik yang sama atau hampir bersamaan

seperti pertanian, peternakan dan perikanan sehingga didalam pembangunan

wilayah dapat dirumuskan dengan kebijakan atau pola program yang sesuai

dengan potensi wilayah-wilayah yang bersangkutan.

2. Konsep Nodal Region atau Kosep Polarized Region, yaitu konsep yang lebih

banyak menekankan pada aspek distribusi dan transportasi atau lebih tegasnya

konsep ini lebih banyak diterapkan dengan memperhatikan tingkat keterkaitan

antar masing-masing sub wilayah.

3. Administration Region, yaitu konsep perwilyahan yang lebih difokuskan pada

wilayah administrasi. Pada saat wilayah yang telah didasarkan sesuai pada

otonomisasi daerah.

McCann (2001), mengartikan wilayah sesuai dengan konsep poles de

croisance atau konsep Growth Poles seperti yang dikemukakan oleh Perroux

(1950), yaitu wilayah sebagai kutub pertumbuhan atau pusat pertumbuhan.

Penekanan wilayah oleh McCann lebih pada pengertian kutub pertumbuhan dalam

ruang ekonomi. Dimana ruang ekonomi sebagai unit yang paling dominan atau

Adanya kecenderungan terkonsentrasinya aktivitas pembangunan karena

fasilitas pelayanan yang lebih lengkap pada wilayah tertentu untuk sektor-sektor

tertentu seperti perdagangan, perindustrian, jasa, transportasi dan komunikasi di

wilayah pusat pertumbuhan sehingga menyebabkan terjadinya kesenjangan

antarwilayah (regional disparity) yang semakin melebar di wilayah tersebut. Bila

perwilayahan pembangunan didasarkan pada prinsip pemusatan (agglomerasi)

maka pusat perekonomian wilayah atau aktivitas ekonomi seluruhnya

terkonsentrasi di pusat wilayahnya sendiri. Sedangkan wilayah pinggiran

(periphery) aktivitas ekonomi wilayahnya akan berada pada wilayah yang lebih

kecil dengan aktivitas ekonomi yang sangat rendah di wilayahnya juga.

Menurut Christaller (1933), dan Reksohadiprodjo (2001), perwilayahan

pembangunan pada wilayah pusat (kota/growth centres) lebih cepat mengalami

kemajuan karena didukung oleh ketersediaan tanah yang produktif. Dengan

demikian apa yang disebut dengan tempat sentral (central palace) pada

hakikatnya adalah pusat wilayah (kota). Sehingga muncul berberapa anggapan

yang disampaikan oleh Christaller dan Losch (1940), seperti:

1. Hanya ada dua kegiatan yaitu kegiatan di wilayah central/pusat/kota dan di

wilayah pheryperi/pinggiran/desa.

2. Kegiatan di wilayah pinggiran yaitu pemakaian ekstensif tanah untuk

pertanian serta tidak ada ekonomi aglomerasi

3. Kegiatan tempat central/pusat merupakan pemakaian intensif tanah dan

sifatnya ekonomi aglomerasi

4. Masyarakat yang melakukan kegiatan-kegiatan tersebut saling membutuhkan

5. Kualitas tanah sama dan ongkos transport proposional dengan jarak

6. Kegiatan pada wilayah pinggiran dan permintaan terhadap hasil pusat/kota

berdistribusi yang sama

Berbagai aktivitas kegiatan pembangunan suatu wilayah seperti di atas

harus didasarkan pada berbagai perencanaan pembangunan wilayah. Menurut

Sukirno (1976), perlu dilakukan beberapa pendekatan yang lebih dikenal dengan

pendekatan perwilayahan berdasarkan administrasi seperti:

1. Perencanaan dan pembangunan ekonomi wilayah lebih mudah dilaksanakan

karena berbagai kebijakan dan rencana pembangunan wilayah diperlukan

tindakan-tindakan dari suatu wilayah administrasi tersebut.

2. Wilayah yang batasnya ditentukan dengan berdasarkan pada satuan

administrasi lebih mudah untuk diamati atau dianalisis, hal ini berkaitan

dengan berbagai data yang telah lama dilakukan.

Berkaitan dengan Sukirno maka dalam era globalisasi dewasa ini,

prinsip efisiensi dalam alokasi sumberdaya (resources alocation) yang optimal

akan berkembang menjadi berbagai alokasi produk (product alocation) yang

menjangkau pasar secara luas seperti yang dikemukakan oleh Porter (1990),

sebagai berikut:

1. Memasuki pasar global maka tidak ada lagi pembatas dalam alokasi

sumberdaya dan alokasi pasar

2. Kegiatan ekonomi menjadi Stateless, tidak ada batas negara artinya yang

menggunakan tidak harus yang menghasilkan.

3. Adanya pemahaman tentang Resources Basedless artinya perencanaan dan

Menurut Hidayat (2000), ada beberapa alasan pokok mengapa

pembagunan daerah atau wilayah pada era otonomi perlu dilakukan yaitu :

1. Political equlity

2. local accountability

3. local responsiveness

Ketiga unsur di atas sangat penting bagi upaya peningkatan

pembangunan dan peningkatan kesejahteraan sosial di daerah. Namun dari ke tiga

alasan pokok diatas sering yang menjadi perhatian utama adalah political equity

karena ingin menyenangkan masyarakat setempat tanpa memperhatikan alasan

pokok lainnya.

Pembangunan wilayah pada era otonomi daerah seharusnya dapat

mengembangkan dan mempercepat daya serta laju pertumbuhan yang kuat dalam

lingkungan wilayahnya dan dapat mendorong perkembangan wilayah disekitar

yang relatif lebih terbelakang (Adisasmita, 2005). Sedangkan menurut Ariani dan

Saliem (2002), dalam era globalisasi dan perdagangan bebas yang sangat

kompetitif, Indonesia akan menghadapi tantangan berat dalam merumuskan

kebijakan pangan yang mampu memenuhi kebutuhan pangan penduduknya.

Untuk itu dalam kondisi demikian, ketersediaan pangan ditingkat wilayah baik

nasional maupun regional harus dapat dipacu serta lebih berorientasi pada pasar

internasional dengan mendahulukan kepentingan nasional melalui percepatan

pembangunan wilayah dengan local spesific yang dimiliki wilayah tersebut.

Wacana-wacana tentang konsep pembangunan wilayah atau

pengembangan wilayah bukan merupakan hal baru, namun implementasi model

di Indonesia. Secara umum konsep dasar pembangunan ini telah diperkenalkan

oleh Tiebout (1956), Isard (1960), dan Rusastra (2004), dimana konsep dasar

paradigmanya sebagai berikut:

1. Sinergisme hubungan antar wilayah pusat maupun wilayah belakang

(hinterland), membutuhkan dukungan kelembagaan (pemerintah daerah)

sehingga terjadi re-distribusi sumberdaya dan komoditas berdasarkan prinsip

ekonomi.

2. Akumulasi modal dapat diatasi melalui mekanisme pasar sehingga terjadi

realokasi modal dengan sasaran manfaat sosial yang lebih optimal.

3. Terjadinya kemunduran (diminishing return) di pusat pertumbuhan (growth

pole) pada suatu waktu tertentu akan menjadi kenyataan, sebagai akibat dari

berkembangnya wilayah-wilayah terbelakang (hinterland).

Harun (2005), mengemukakan bahwa pembangunan wilayah sebaiknya

tidak dipengaruhi oleh batasan-batasan wilayah yang didasarkan atau dipengaruhi

oleh batasan administratif pemerintahan, tetapi oleh economic of scale dan

economic of scope dari kawasan pengembangan yang dirancang. Pengembangan

wilayah yang diharapkan adalah dengan memperhatikan karakteristik, realitas dan

eksistensi perkembangan kawasan pengembangan di daerah tersebut.

Ohlin (1933), dan Sjafrizal (1998), mengatakan bahwa pembangunan

wilayah bila didasarkan pada sudut pandang Teori Lokasi (Export-Base Models)

maka pertumbuhan ekonomi suatu wilayah (region) akan lebih banyak ditentukan

oleh keuntungan lokasi yang selanjutnya dapat digunakan oleh wilayah tersebut

Menurut Hikam (1997), wilayah yang memiliki keuntungan lokasi dapat

menentukan wilayahnya sebagai kawasan produksi yang didasarkan pada

beberapa pertimbangan seperti:

1. Wilayah tersebut merupakan pusat kegiatan industri dan perdagangan.

2. Wilayah tersebut memiliki kekuatan dalam mendorong (push) kegiatan

ekonomi daerah belakangnya (hinterland).

3. Wilayah tersebut memiliki kualitas infrastruktur yang memadai untuk

mendukung kegiatan ekonomi.

Adam (1994), mengemukakan secara konseptual masalah-masalah yang

dihadapi setiap wilayah bersumber dari perbedaan karakteristik ekonomi yang

dimiliki oleh masing-masing wilayah. Dengan membiarkan setiap wilayah

membangun wilayahnya sendiri-sendiri maka keseimbangan pembangunan yang

diharapkan akan sangat mengandung resiko yang cukup besar dibandingkan

dengan keuntungan yang diperoleh. Untuk itu pembangunan wilayah memerlukan

intervensi dengan menyusun pola pembangunan terpadu baik ditingkat daerah

maupun pusat.

Menurut Ursula (1957), bahwa pembangunan ekonomi wilayah sangat

berkaitan dengan kemampuan atau kapasitas potensi lokal yang dimiliki oleh

wilayah tersebut baik di wilayah pusat (pole/core) maupun wilayah belakangnya

(periphery). Sedangkan Jhingan (1975), menyatakan perkembangan ekonomi

wilayah sebagai suatu perubahan yang terjadi pada faktor-faktor ekonomi yang

menentukan pertumbuhan wilayah. Faktor-faktor ekonomi tersebut dapat

Harmon dan Mayer (1986), Mustopadidjaja (1996), berpendapat bahwa

pembangunan wilayah harus berpatokan pada beberapa hal yaitu:

1. Prakarsa dan pengambilan keputusan harus dilakukan secara bertahap dan

memenuhi kebutuhan yang diletakkan pada masyarakat itu sendiri

(partisipatoris).

2. Adanya kemampuan dari masyarkat wilayah itu untuk mengelola dan

memobilisasi sumber-sumber yang ada (local spesific).

3. Karakteristik wilayah.

4. Penekanan pada social learning antara birokrat dengan masyarakat.

5. Adanya jaringan (networking) antara birokrat dengan masyarakat atau dengan

lembaga swadaya masyarakat.

Menurut Lincolin (1999), perbedaan karakteristik atau kondisi wilayah

membawa implikasi pada corak pembangunan yang diterapkan berbeda pada

wilayah-wilayah tersebut. Peniruan pola kebijakan yang diadopsi mentah-mentah

dari keberhasilan pembangunan wilayah lain belum tentu berhasil pada wilayah

lainnya. Pola kebijakan seperti ini biasanya tidak berhasil bila diterapkan pada

wilayah kepulauan seperti Indonesia (archipelagic state/archipelago). Oleh sebab

itu kebijakan pembangunan yang diterapkan pada suatu wilayah harus sesuai

dengan kondisi potensi, kebutuhan dan masalah wilayah yang bersangkutan.

Untuk itu berbagai penelitian yang mendalam tentang potensi atau kapasitas

wilayah harus dilakukan sesegera mungkin sehingga berguna dalam menentukan

pola kebijakan perencanaan pembangunan wilayah tersebut khususnya wilayah

Sampai saat ini belum banyak penelitian tentang proses perkembangan

pembangunan ekonomi wilayah ditinjau dari aspek kapasitas dan potensi lokal

(local spesific) wilayah sehingga sulit memberikan gambaran tentang pola

perkembangan pembangunan wilayah di suatu negara. Namun secara global dapat

dikatakan bahwa regionalisasi kegiatan ekonomi suatu wilayah berhubungan erat

dengan pola perkembangan peranan berbagai kegiatan ekonomi masyarakat dalam

keseluruhan kegiatan ekonomi disetiap wilayahnya.

Menurut Streeten (1981), kurangnya perhatian masyarakat dan bahkan

mungkin tidak mau menerima perubahan kegiatan ekonomi yang dianjurkan

pemerintah, seolah-olah mereka menolak niat baik pemerintah untuk meningkat

taraf hidup mereka. Streeten melihat penolakan masyarakat terhadap perubahan

yang diingini pemerintah karena masyarakat memandang dari sisi lain. Hal ini

menurutnya berkaitan dengan modal yang harus dikeluarkan oleh masyarakat

yang bila pada suatu waktu pada kenyataannya hasil yang diperoleh tidak dapat

diharapkan sehingga pada akhirnya masyarakat harus mengorbankan harga diri

mereka dengan terpaksa harus menjual harta benda mereka, karena adanya

kesalahan mengidentifikasi masalah oleh pemerintah atau pembuat kebijakan.

Dengan demikian pembangunan wilayah tidak hanya untuk memenuhi

kebutuhan masyarakat tetapi bagaimana keikutsertaan masyarakat dalam

penentuan proses pelaksanaan pembangunan di wilayahnya sehingga apa yang

masih menjadi keraguan di kalangan masyarakat menjadi suatu kepastian dapat

dapat meningkatkan taraf hidup serta tidak mengkuatirkan kelangsungan hidup