• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perwujudan Faktor-faktor Nyolong Lare Dalam Suatu Tindakan

C. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

2. Perwujudan Faktor-faktor Nyolong Lare Dalam Suatu Tindakan

Nyolong lare dapat terjadi ketika masyarakat tersebut membolehkan untuk melakukannya. Masyarakat Desa Glagah memaklumi tradisi nyolong lare dilakukan karena hal tersebut telah menjadi tradisi dalam pernikahan. Selain itu si pelaku harus memiliki motivasi yang kuat dalam mewujudkan keinginan menikah dengan gadis yang dicintai. Salah satu yang mendorong terwujudnya tradisi

173 nyolong lare adalah adanya keinginan membuktikan cintanya pada pasangan dan mendapat dukungan dari orangtua serta orang-orang terdekat dari pelaku.

Selain itu, adanya penolakan orangtua terhadap pasangan yang dipilih anaknya juga menjadi salah satu penyebab tradisi nyolong lare dapat terwujud.

Pelaku mewujudkan keinginannya karena mendapat dukungan dari keluarga terdekat dan masyarakat sekitar tempat tinggalnya. Pemaparan tersebut diatas didukung oleh Sudarmawan (2009) bahwa seseorang melakukan kawin lari sebagai alternatif menerobos ketidak setujuan orangtua dan keluarga. Sehingga kawin lari digunakan sebagai alternatif terakhir yang terpaksa dilakukan karena hubungannya tidak mendapat restu dari orangtua dan keluarga.

Berdasarkan pemaparan tersebut, terwujudnya tradisi nyolong lare kurang hormatnya anak terhadap peran orangtua karena tidak direstui hubungan asmara dengan kekasihnya (Saputra, 2007). Hal tersebut dapat terlihat pada kasus para pelaku tradisi nyolong lare. Para pelaku kurang menghormati orang yang lebih tua seperti orangtua dari pihak pria maupun pihak perempuan, bahkan berani mengancam orangtua jika keinginannya tidak dipenuhi.

Tindakan tersebut didukung dengan karakteristik orang Osing yang bersifat aclak, ladak dan bingkak. Aclak berarti sok tahu, sok ingin memudahkan orang lain dan tidak takut merepotkan diri sendiri walaupun tidak sanggup melakukannya. Pelaku nyolong lare tidak peduli bahwa tindakannya akan merepotkan diri sendiri walaupun saat melakukan tradisi tersebut mereka tidak melakukan sendiri tetapi meminta bantuan dari orang-orang terdekat, seperti orangtua, saudara, maupun tetangga. Bingkak berarti acuh tak acuh tak mau tahu urusan orang lain (Saputra, 2007). Pelaku nyolong lare menunjukkan sikap bingkak yaitu dengan tidak memperdulikan kepentingan orang lain, dalam hal ini kesepatan yang dibuat dengan calon mertua mengenai pernikahan dan kepentingan orangtua pelaku sendiri.

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah dilakukan maka dapat disimpulkan bahwa tradisi nyolong lare dilakukan karena emosi-emosi yang dirasakan pada pasangannya yang diakibatkan oleh ketidakmatangan emosi dari para pria pelaku tradisi nyolong lare. Coping yang dilakukan oleh pelaku nyolong

174 lare mengarah pada emosional focus coping, sehingga tidak memikirkan akibat yang ditimbulkan pada orangtua setelah melakukan nyolong lare. Akibat dari keputusannya menikah melalui tradisi ini, pasangan muda tersebut berusaha menyelesaikan masalah yang muncul bersama dengan pasangannya.

Tindakan ini menunjukan bahwa tradisi warisan leluhur masih terlaksana sampai saat ini. namun tradisi ini berlawan dengan perilaku seorang warga Indonesia yang terkenal dengan sikap sopan dan hormat pada yang lebih tua, oleh karena itu muncul harapan pada masyarakat agar tetap terjaga kesopanan dalam ha ini melakukan pernikahan dengan cara meninggalkan tradisi nyolong lare.

Terlebih tradisi nyolong lare ini tidak sesuai dengan aturan pernikahan dalam ajaran Islam. Islam merupakan agama yang diyakini oleh mayoritas suku Osing di Banyuwangi.

Penelitian ini lebih banyak mengungkapkan faktor internal terjadinya tradisi nyolong lare, namun pada faktor-faktor eksternal yang mendorong pria melakukan tradisi nyolong lare belum terungkap secara mendetail. Ini dapat terjadi karena data yang diperoleh peneliti lebih mengarah pada faktor internal dengan sedikit informasi mengenai faktor eksternal dari tradisi nyolong lare.

D. KESIMPULAN

Faktor-faktor yang mengakibatkan pria melakukan nyolong lare terdiri dari faktor internal yaitu emosi yang dirasakan pada pasangan dan ketidak matangan emosi dari para pelaku, sedangkan faktor eksternal lebih karena mendapatkan dukungan dari orang-orang terdekat dan pengaruh sejarah dari tradisi yang telah dilakukan sejak zaman kerajaan di Banyuwangi.

Terdapat harapan dari masyarakat terhadap tradisi nyolong lare ini, yaitu tetap menjaga kesopanan dan rasa hormat pada yang lebih tua, selain itu warga negara Indonesia terkenal dengan perilaku sopan santunnya. Selain itu ulama juga berharap agar meninggalkan tradisi ini karena tidak sesuai dengan ajaran Islam.

Islam merupakan agama yang diyakini oleh mayoritas suku Osing di Banyuwangi.

175 E. SARAN

1. Bagi subjek

Bagi subjek, untuk belajar mengontrol emosi agar keputusan yang diambil bukan hanya tindakan emosional belaka melainkan berfokus pada permasalahan yang dihadapi.

2. Bagi orangtua

Sebagai orangtua, berikan ruang bagi anak untuk mengutarakan pendapatnya dengan cara berdiskusi. Sehingga muncul rasa nyaman bagi anak untuk bercerita pada orangtua tentang permasalahan yang dihadapi.

3. Bagi pasangan muda mudi

Bagi pasangan muda yang berada pada tahap pencarian pasangan hidup. Hendaknya melakukan pendekatan yang lebih baik terhadap orangtua ketika muncul perbedaan pendapat mengenai jodoh yang dipilih.

4. Bagi masyarakat

Diharapkan mengkaji ulang tradisi-tradisi yang ada, sesuaikah dengan ajaran agama, agar tercipta hubungan yang harmonis dalam bertetangga dan bersosial.

5. Bagi peneliti selanjutnya

Bagi peneliti selanjutnya dapat melakukan penelitian yang lebih mendalam pada faktor eksternal nyolong lare yang baru sedikit terbahas pada penelitian ini dan menggunakan penelitian etnografi.

6. Bagi lembaga terkait

Bagi lembaga terkait seperti BKKBN dan KUA hendaknya memberikan pelayanan informasi pada pasangan muda dalam bentuk musyawarah atau seminar seputar kehidupan perkembangan psikologis pada kalangan remaja dan dewasa awal serta mengenalkan visi-misi dalam pernikahan.

DAFTAR PUSTAKA

Adhim, M.F. (2002). Indahnya pernikahan dini. Jakarta: Gema Insani Press Arikunto, S. (2002). Prosedur penelitian suatu pendekatan. Jakarta: Rineke Cipta Bachtiar, A. (2004). Menikahlah, maka engkau akan bahagia!. Yogyakarta:

Saujana.

176 Chaplin, J.P. (1999). Kamus lengkap psikologi. Cetakan 4. Alih bahasa: Kartini

Kartono. Jakarta: PT. Raja Grafindo Perkasa.

Hindi, A. (2010). Tradisi bergubalan dalam perkawinan masyarakat muara enim sumatra selatan menurut perpektif Islam. Jurnal Hukum Dan Syariah, voleme 1 hal. 01-120.

http://www.library.upnvj.ac.id/pdf/s1keperawatan09/207314043 (diakses pada 18 Februari 2014)

Kaharudin. (2006). Adat merariq (kawin lari) masyarakat sasak dalam perspektif hukum perkawinan islam di nusa tenggara barat. Tesis (tidak diterbitkan). Yogyakarta: Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada.

Kartono, K (1992). Psikologi wanita. Bandung: Mandar Maju

Mas’udah, R. (2010). Fenomena mistis penghalang perkawinan dalam masyarakat adat Trenggalek. Jurnal Hukum Dan Syariah, volume 1, hal.01-120.

Prawirihamidjojo, R.S. (1989). Hukum orang dan keluarga. Alumni: Bandung.

Saputra, H.S.P. (2001). Tradisi mantra kelompok etnik Using di Banyuwangi.

Jurnal Humonaria Vol.1

______________ . (2007). Memuja mantra. Yogyakarta: LkiS Yogyakarta.

Sudarmawan. (2009). Pelaksanaan kawin lari sebagai alternatif menerobos ketidaksetujuan orangtua setelah berlakunya undang-undang nomor : 1 tahun 1974 tentang perkawinan. Semarang. Tesis (Tidak Diterbitkan). Semarang: Program Studi Magister Kenotariatan Universitas Diponegoro.

Susanto, G. (2010). Konsep pemberian palaku (mahar) dalam adat perkawinan di desa pangkalan dewa kabupaten kota waringin barat kalimantan tengah (perspektif hukum Islam). Skripsi (tidak diterbitkan).

Yogyakarta: Fakultas Syari’ah Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga.

177 GAMBARAN STRATEGI COPING PADA ORANG TUA

YANG MEMILIKI ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS (ABK)

Twining Presta Mintari, Nurlaela Widyarini [email protected]

Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Jember

ABSTRAK

Penelitian bertujuan mengetahui gambaran strategi coping orang tua yang memiliki ABK ditinjau dari usia, jenis kelamin, status sosial sosial, dan tingkat pendidikan orang tua di sentra ABK Cahaya Nurani Jember. Penelitian ini merupakan penelitian populasi yang berjumlah 24 subyek dengan karakteristik orangtua dengan anak autis, down syndrom, ADHD, retardasi mental, lambat perkembangan, slow learner, dan tuna rungu.

Alat ukur yang digunakan berupa skala strategi coping yang terdiri dari 20 aitem (α = 0.856). Hasil penelitian menunjukkan orang tua yang melakukan problem focused coping kategori tinggi sebanyak 10 orang (41,7%), kategori rendah sebanyak 14 orang (58,4%). Orang tua yang melakukan emotion focused coping kategori tinggi sebanyak 18 orang (75%), kategori rendah sebanyak 6 orang (25%).

Selanjutnya tidak ada perbedaan jenis strategi coping ditinjau dari usia (F=1,347;>p0,05), jenis kelamin (F=2,163;>p0,05), status sosial ekonomi dilihat dari pekerjaan (F=1,363;>p0,05) dan pendapatan (F=1,063;>p0,05). Ada perbedaan jenis strategi coping ditinjau dari tingkat pendidikan orang tua (F=3,385;<p0,05).

Kata kunci: Strategi coping, anak berkebutuhan khusus A. PENDAHULUAN

Istilah ABK memiliki cakupan yang sangat luas, setiap anak memiliki latar belakang kehidupan budaya dan perkembangan yang berbeda-beda, dan oleh karena itu setiap anak dimungkinkan akan memiliki kebutuhan khusus serta hambatan belajar yang berbeda beda pula, sehingga setiap anak sesungguhnya memerlukan layanan pendidikan yang disesuaikan sejalan dengan hambatan belajar dan kebutuhan masing-masing anak. ABK dapat diartikan sebagai seorang anak yang memerlukan pendidikan yang disesuaikan dengan hambatan belajar dan kebutuhan masing-masing anak secara individual. Menurut UU Sisdiknas No.20/2003, Pasal 32 ayat 1 dijelaskan gifted merupakan anak yang dikategorikan

178 ABK yang perlu pendidikan fisik yang perlu dilayani dengan pendidikan khusus (PK), gifted merupakan potensi kecerdasan istimewa (IQ > 130); talented yaitu potensi bakat istimewa (multiple intelligences: language, logico-mathematic, visuo-spatial, bodily-kinesthetic, musical, interpersonal, natural, intrapersonal, spiritual); dan indigo.

Kehidupan anak berkebutuhan khusus (ABK) di Indonesia masih tergolong sangat dikesampingkan. Hal ini telihat dari banyaknya kendala dan kesulitan yang mereka hadapi untuk bisa hidup layak. Selain aksesbilitas dan kehidupan sosial, nasib pendidikan mereka pun belum memiliki kejelasan. Itulah sebabnya, hampir setiap negara di seluruh dunia menerapkan sistem pendidikan khusus untuk ABK, seperti sekolah inklusif. UU Nomor 20 tahun 2003 dijelaskan bahwa setiap anak yang memiliki gangguan perkembangan fisik atau mental, namun cerdas dan memiliki bakat istimewa, berhak memperoleh pendidikan seperti layaknya anak normal, dalam lingkungan yang sama dengan keberagaman yang ada di dalamnya. Selain itu, negara juga dikatakan memiliki tanggung jawab dalam memenuhi pendidikan dasar para ABK dan menjamin mereka tidak mendapatkan diskriminasi dari pihak manapun. Menurut pasal 15 UU No. 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas, bahwa jenis pendidikan bagi anak berkebutuan khusus adalah pendidikan khusus. Pasal 32 (1) UU No. 20 tahun 2003 memberikan batasan bahwa pendidikan khusus merupakan pendidikan bagi peserta didik yang memiliki tingkat kesulitan dalam mengikuti proses pembelajaran karena kelainan fisik, emosional, mental, sosial, dan atau memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa.

Faktanya, masih banyak sekolah inklusif di Indonesia yang belum memberikan pelayanan secara maksimal. Menurut ibu Adi D. Adinugroho Ph.D, pakar pendidikan khusus di Psycho Educational Assesment Center of Excellent (PEACE), pemahaman tentang standar layanan, pengetahuan, serta kemampuan tenaga pendidik dalam menangani ABK sangat minim.

Harapan setiap orang tua menginginkan anak yang dilahirkan normal dan tumbuh menjadi anak yang sehat, baik secara jasmani maupun rohani, menyenangkan, terampil dan pintar yang nantinya akan menjadi penerus dalam

179 keluarga tersebut (www.bkkbn.go.id). Kenyataanya, tidak semua harapan orang tua memiliki anak yang sehat dan normal dapat terwujud, bagi beberapa orang tua yang memiliki ABK tidak mudah untuk menghadapi kenyataan bahwa anak mereka lahir tidak normal. Awalnya orang tua akan bingung karena tidak memiliki pemahaman dan pengetahuan tentang ABK, ada juga yang shock, mengalami goncangan batin. Kedua, orang tua merasa kecewa, sedih dan mungkin merasa marah ketika mereka mengetahui realita yang harus mereka hadapi. Ketiga, biasanya terjadi tahap penerimaan ketidaksempurnaan anaknya dan mulai dapat menyesuaikan diri dengan keadaan tersebut. Seiring dengan bertambahnya usia anak yang bertambah besar, orang tua mulai memikirkan pendidikan yang tepat untuk anaknya. Ketika mengetahui anaknya didiagnosis ABK sejak dini, orang tua berusaha menyekolahkan anaknya pada Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) dan sentra anak berkebutuhan khusus. Melihat kemajuan perkembangan anaknya yang banyak kemajuan, orang tua bingung lagi mencari tempat pendidikan jenjang selanjutnya dan terapi pada ABK. Selain itu yang juga menjadi pertimbangan orang tua dalam hal pendidikan berhubungan dengan biaya pendidikan dan terapi ABK yang tidak murah. Tuntutan-tuntutan orang tua yang memiliki ABK harus diimbangi dengan pekerjaan yang mapan, pendapatan yang cukup untuk memenuhi kebutuhan pendidikan ABK, karena pekerjaan dan pendapatan orang tua yang memiliki ABK berpengaruh dengan pendidikan ABK, jika pekerjaan dan pendapatan kurang mapan, ABK kurang maksimal mendapatkan pendidikan dan hal ini yang membuat orang tua harus bekerja sampingan untuk anaknya demi mendapatkan pendidikan yang maksimal.

Menurut hasil dari wawancara dengan orang tua yang memiliki ABK menyatakan bahwa bentuk stres yang mereka alami yaitu tidak adanya persiapan, kurangnya informasi dan arahan dari orang tua lain yang pernah mengalaminya dan seiring dengan kemajuan perkembangan anaknya setelah diterapi membuat orang tua mulai memikirkan pendidikan jenjang selanjutnya untuk ABK dengan biaya yang tidak sedikit. Kondisi inilah yang berpotensi menimbulkan stressor pada orang tua yang memiliki ABK. Meskipun berada dalam situasi yang menimbulkan stres, orang tua yang memiliki ABK sebenarnya masih memiliki

180 kekuatan dari dalam diri yang dapat membantunya beradaptasi dengan pemicu stres terhadap permasalahan yang terjadi yaitu pada awalnya perilaku maladaptive anaknya yang hiperaktif dan agresif, sukar beradaptasi dengan lingkungan sekitar, namun seiring dengan terapi yang sudah dilakukan, perlahan-lahan perilaku anaknya mulai berubah. Orang tua yang memiliki ABK sebenarnya masih dapat memaknai hidupnya walaupun berada dalam situasi yang dapat menimbulkan stres. Orang tua yang memiliki ABK dapat memaknai hidupnya dengan cara melakukan hal-hal positif terhadap perkembangan anaknya seperti mencari bantuan medis, mengikuti seminar mengenai ABK, dan yang menjadi alasan orang tua bertahan dalam kondisi seperti ini karena orang tua yakin dibalik setiap kekurangan pasti ada kelebihan yang dimiliki anaknya, dan terutama mendapat dukungan dari keluarga, teman, dan sesama orang tua yang memiliki ABK.

Penelitian yang dilakukan Glidden (2006) menjelaskan bahwa orang tua yang memilih strategi problem focused coping memiliki hasil positif dalam menanggulangi stresnya. Hal ini didukung oleh Frey, Greenberg dan Fewell (dalam Cynthia, 2012) yang menyatakan bahwa orang tua yang melakukan suatu perencanaan dan mencari dukungan sosial berhasil mengurangi stres secara psikologis. Berdasarkan hasil wawancara dengan subjek, strategi yang dilakukan setiap orang tua berbeda-beda karena pemilihan strategi copingorang tua sangat penting untuk menentukan perkembangan anaknya. Orang tua yang menggunakan problem focus coping melakukan upaya yang memungkinkan anaknya terus berkembang seperti memasukkan anaknya ke sekolah inklusi, sedangkan orang tua yang menggunakan emotion focused coping beranggapan bahwa setelah memasukkan anaknya ke sekolah inklusi tidak ada perubahan dalam perkembangan anaknya.

Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi perencanaan strategi coping pada orang tua yang memiliki ABK yaitu usia. Usia merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi terjadinya coping. Hal ini berhubungan dengan kemampuan individu untuk memperhatikan tuntutan hidup yang semakin bertambah sesuai dengan tingkat usia tersebut. Menurut Lazarus (Biren dan Schale, 1996) bahwa struktur psikologis berubah sesuai dengan tingkat umurnya, sehingga akan

181 menghasilkan reaksi yang berbeda-beda dalam menghadapi stres. Sarafino (2006) mengatakan bahwa perilaku coping yang lebih sering digunakan oleh orang yang dewasa adalah yang berpusat pada pemecahan masalah (problem focused coping).

Salah satu faktor yang mempengaruhi coping stres pada individu yaitujenis kelamin (Smet, 1994). Pria dan wanita cenderung memiki cara yang berbeda dalammenghadapi masalah. Pria cenderung lebih tenang, rasional dan cuek (acuh), bila mengalami masalah iacenderung diam dan menyelesaikannya dengan cara yang praktis atau rasional. Wanita lebihmengutamakan perasaan, ingin dimanja, dan penuh perhatian. Bila wanita mengalamimasalah, maka ia akan menangis, mengadu, dan menyesali diri (Santrock, 2002). Status sosial ekonomi dan tingkat pendidikan dapat mempengaruhi pemilihan jenis strategi coping.

Individu dengan status sosial sosial ekonomi tinggi cenderung menggunakan strategi copingyang adaptif (Haan dalam Holahan & Moos, 1987). Begitu pula pada individu dengan pendidikan yang tinggi cenderung menggunakan strategi problem-focused coping (Billing & Moos dalam Holahan & Moos, 1987).

B. METODE PENELITIAN

Populasi dalam penelitian ini adalah orang tua dengananak berkebutuhan khusus di sentra ABK Cahaya Nurani Jember yang berjumlah 24orang yaitu pasangan orang tua yang terdiri dari ayah dan ibu.Karakteristik populasi dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

Jenis ABK di Cahaya Nurani

Autis, Down Syndrom, ADHD, Retardasi Mental, Lambat Perkembangan, Slow Learner, Tunarungu

Usia Orang Tua ± 20 hingga 50 tahun

Pekerjaan Orang Tua PNS, Non PNS/Wiraswasta, ibu rumah tangga (tidak bekerja)

Pendapatan Orang Tua ± Rp 1.000.000,- hingga Rp 6.000.000,- Tingkat Pendidikan Orang Tua SMP, SMA, Diploma, Sarjana

Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan skala psikologi. Penyusunan skala psikologi dalam penelitian ini menggunakan Skala Semantic Defferensial. Pengolahan analisa data dalam penelitian ini menggunakan analisa deskriptif yang dilakukan melalui

182 prosentase. Analisis selanjutnya yang digunakan dalam penelitian ini adalah one way anova.

C. HASIL PENELITIAN

Dokumen terkait