Pada hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat pengaruh persepsi tentang kompetensi profesional matematika terhadap self efficacy matematika siswa, sehingga dengan hasil tersebut dapat dijadikan gambaran bagi guru untuk dapat selalu mengoptimalkan kompetensi profesional yang dimiliki.
2. Bagi Peneliti selanjutnya
Penelitian selanjutnya diharapkan dapat meneliti lebih detail mengenai faktor-faktor lain yang lebih berpengaruh terhadap self efficacy matematika siswa, sehingga kemudian hasilnya dapat diketahui sebagai bentuk faktor yang paling mendominasi siswa untuk memiliki self efficacy matematika yang tinggi.
DAFTAR PUSTAKA
Bandura, A. (1986). Social foundations of thought and action: A social cognitive theory. Englewood Cliffs, NJ: Prentice Hall.
166 _________. (1997). Self efficacy: The exercise of control. USA: W.H.
Freemensan Company Stressor.
Handayani, F & Nurwidawati, D. (2013). Hubungan self efficacy dengan prestasi belajar siswa akselerasi. Character, Vol.01, No.02. P S. Psikologi Fakultas Ilmu Pedidikan, Universitas Negeri Surabaya.
Majid, F. (2013). Kualitas pendidikan Indonesia.
http://edukasi.kompasiana.con/2013/04/07/kualitas-pendidikan-indonesia 548733.html [30 April 2013].
Moskowitz, G. B. (2005). Social cognition: Understanding self and others. New York: The Guildford Press.
Purwanto, N. (2000). Psikologi pendidikan. Bandung: Penerbit PT Remaja Rosdakarya.
Rangkuti, A. F & Anggraeni, F. D. (2005). Hubungan persepsi tentang kompetensi profesional guru matematika dengan motivasi belajar matematika pada siswa SMA. Psikologia, Vol.1, No.2. P S. Psikologi Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.
Toha, M. (2003). Perilaku organisasi, konsep dasar dan aplikasi. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Walgito, B. (2004). Bimbingan dan penyuluhan di sekolah. Yogyakarta: Psikologi UGM.
167 FAKTOR-FAKTOR YANG MENDORONG PRIA MENIKAH
MELALUI TRADISI NYOLONG LARE
Etika Rahmah, Panca Kursistin Handayani [email protected]
Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Jember
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor apa saja yang mendorong seseorang untuk menikah melalui tradisi nyolong lare di Desa Glagah Kabupaten Banyuwangi. Nyolong lare adalah salah satu prosesi adat perkawinan yang mengharuskan si pemuda nyolong atau mencuri kekasihnya untuk menikah karena tidak mendapatkan restu dari salah satu pihak orangtua.
Metode penelitian yang digunakan adalah kualitatif-studi kasus.
Penelitian ini menggunakan dua subjek untuk mengungkap fenomena nyolong lare. Teknik wawancara digunakan untuk memperoleh data informasi dari penelitian dengan panduan guide interview.Metode analisis data yang digunakan adalah thematic analysis, dimana menentukan tema kemudian dimasukkan dalam subtema penelitian.
Hasil dari penelitian ini adalah seseorang melakukan nyolong lare karena dorongan dari emosi yang dirasakan akibat ketidakmatangan emosi dari pelaku dan mendakapat dukungan sosial yang digunakan sebagai emosional focus coping bagi pelaku. Diharapkan tradisi ini ditinggalkan oleh masyarakat karena tidak sesuai dengan kesopanan dan keramahan warga Indonesia serta tidak sesuai dengan ajaran Islam.
Kata kunci: Nyolong lare, faktor yang mendorong nyolong lare A. PENDAHULUAN
Pernikahan merupakan sesuatu yang didambakan dalam kehidupan manusia. Dasar yang digunakan sebagai acuan untuk memasuki kehidupan pernikahan sangatlah subyektif, seperti ingin memiliki teman yang selalu ada untuk mencurahkan segala isi hati, kebutuhan untuk menerima dan mencurahkan kasih sayang selain kepada orangtua serta saudara, bahkan mendapat kesenangan tersendiri ketika berkumpul dengan keluarga kecilnya.
Indonesia merupakan negara majemuk, yang terdiri dari berbagai suku bangsa. Tiap suku bangsa memiliki adat yang berbeda atau memiliki ciri yang hampir sama. Pernikahan juga tidak lepas dari pengaruh adat. Susanto (2010)
168 menyatakan bahwa sistem pernikahan menurut hukum adat ada tiga, pertama exogami, yaitu seorang pria dilarang menikah dengan wanita yang semarga atau sesuku, tetapi harus menikahi wanita diluar marganya (klen-patrilineal). Kedua endogomi, yaitu seorang pria diharuskan menikahi wanita dalam lingkungan kerabat. Ketiga eleutherogami, yaitu seorang pria tidak lagi diharuskan atau dilarang untuk menikahi wanita diluar ataupun didalam lingkungan kerabat atau suku melainkan dalam batas-batas yang telah ditentukan hukum Islam dan hukum perundang-undangan.
Seseorang memutuskan untuk menikah karena memiliki tujuan tersendiri.
Menurut Prawirihamidjoyo (1986), tujuan pernikahan secara tidak langsung akan disesuaikan dengan ketentuan hukum Islam, yaitu menegakkan agama, mencegah maksiat, menjalankan sunnah nabi, meneruskan garis keturunan dan mempererat tali silaturahmi antara dua keluarga. Sedangkan Bachtiar (2004) membagi tujuan pertkawinan menjadi lima, yaitu memperoleh keturunan yang sah dalam masyarakat, mengatur potensi kelamin, menjaga diri dari perbuatan yang dilarang agama, menimbulkan rasa cinta antara suami-istri dan membersihkan keturunan.
Menurut Kartono (1992) seseorang menikah karena dipengaruhi beberapa hal, yaitu perasaan cinta, keinginan untuk meningkatkan status sosial, mendapatkan kepuasan seks, mendapatkan jaminan hidup dimasa tua, melepaskan diri dari kungkungan keluarga atau orangtua, dororngan cinta terhadap anak, ingin memiliki keturunan, tuntutan norma sosial dan motif-motif tradisional lainnya.
Pada kenyataan yang terjadi di masyarakat, tidak semua pernikahan berjalan dengan apa yang tujuan dan fungsi pernikahan tersebut. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain mitos yang berkembang di masyarakat, misalnya di daerah Trenggalek. Masyarakat Trenggalek memiliki mitos penghalang pernikahan yang dikenal dengan mlumah murep yaitu larangan menikah ketika calon pengantin mempunyai saudara yang sudah menikah dengan orang yang sedesa dengan calon pasangannya (Mas’udah, 2010). Selain mitos, ada faktor lain yang ikut berperan yaitu pihak-pihak yang tidak menyetujui dengan hubungan sepasang insan tersebut.
169 Menyikapi penolakan tersebut, masyarakat Indonesia juga memiliki pranata sosial tradisional yang kurang lazim sebagai alternatif untuk menikah ketika pranata sosial lainnya tidak mampu memecahkan permasalahan yang dihadapi. Pranata sosial tersebut adalah kawin lari. Kawin lari memiliki sebutan yang berbeda disetiap daerah, seperti bergubalan, merariq dan melayokaken atau nyolong lare. Bergubalan adalah pranata sosial yang berasal dari masyarakat Muara Enim, Sumatra Selatan. Menurut Hindi (2010), bergubalan adalah peminang tidak menemui orangtua atau wali dari perempuan yang diinginkan, melainkan hanya mengutarakan keinginannya kepada si perempuan, ketika keduanya saling cocok maka mereka akan pulang ke rumah salah satu perangkat agar segera dinikahkan. Sedangkan merariq (Kaharudin, 2006) merupakan tradisi kawin lari yang berasal dari Nusa Tenggara Barat. melayokaken atau nyolong lare merupakan pranata sosial di daerah Banyuwangi.
Kebudayaan suku Osing merupakan khasanah budaya warisan Kerajaan Blambangan yang dimiliki kelompok suku Osing yang tinggal di desa-desa wilayah Banyuwangi (Saputra, 2001). Saputra (2007) juga berpendapat secara sosiologis budaya Osing erat kaitannya dengan kontak budaya antarvariasi regional budaya di Jawa Timur. Dalam perkembangannya budaya Osing telah mewarnai tradisi pencarian jodoh hingga tradisi pernikahan. Pernikahan dalam hukum adat Osing menurut Rato (2011) terbagi menjadi tiga, antara lain pernikahan angkat-angkatan, pernikahan colongan dan pernikahan ngleboni.
Perkawinan colong berarti mencuri, colok berarti utusan atau duta. Bentuk perkawinan ini adalah sebuah perkawinan yang didahului dengan proses pencurian seorang gadis oleh seorang pemuda. Pernikahan colong dilakukan melalui proses dan prosedur tertentu yang telah menjadi hukum adat masyarakat Osing.
B. METODE PENELITIAN
Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif studi kasus dengan menggunakan subjek berjumlah dua orang dan telah memenuhi kriteria subjek penelitian. Metode wawancara digunakan untuk mengumpulkan data. Wawancara
170 adalah suatu proses interaksi untuk mendapatkan informasi secara langsung dari informan (Arikunto, 2002). Wawancara yang digunakan adalah wawancara tidat terstruktur. Peneliti memberikan pertanyaan tidak sesuai dengan urutan guide interview.
Metode analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif yang bersifat tematik (thematic analysis). Thematic analysis adalah analisis yang berusaha menemukan hubungan-hubungan yang terdapat pada domain yang dianalisis, sehingga akan membentuk satu kesatuan yang holistik, yang akhirnya menampakkan tema yang dominan dan mana yang kurang dominan.