• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II. DESKRIPSI FILM ”PERTARUHAN”

Bagan 1. Pesan dan Makna

Pesan dan Makna

Sumber: Fiske, 2010:11

Dalam penelitian ini film Pertaruhan merupakan suatu teks yang dibuat oleh produser film yang didalamnya mengandung makna. Penulis diposisikan sebagai pembaca teks atau produser pesan yang memaknai pesan dari film Pertaruhan. Pemaknaan film Pertaruhan yang dihasilkan oleh peneliti dipengaruhi oleh referensi yang berupa pengalaman-pengalaman dan budaya dari penulis. Dalam pemaknaan pesan ini komunikator tidak terlihat karena

commit to user

xl dalam bagan pemaknaan pesan karena pesan teks yang berupa film tersebut dianggap sudah ada di depan mata, penonton hanya bertindak untuk memaknai pesan dari teks film tersebut tanpa memperdulikan siapa pembuatnya dan untuk apa film tersebut dibuat. Pemaknaan film antara penonton (pembaca teks) satu dengan yang lainnya akan berbeda karena dipengaruhi oleh referansi masing-masing individu, semakin banyaknya kesamaan referensi yang dimiliki satu penonton dengan penonton yang lain maka makna yang diterima juga akan semakin mendekati.

2. Film

Film adalah penemuan tekhnologi yang muncul pada akhir abad kesembilan belas. Pada masa itu film berperan sebagai sarana baru yang digunakan untuk menyebarkan hiburan yang sudah menjadi kebiasaan terdahulu, serta menyajikan cerita, peristiwa, musik, drama, lawak, dan sajian tekhnis lainnya kepada masyarakat umum (McQuail,1996 :13).

Marselli Sumarno memaknai film sebagai medium komunikasi massa, yaitu alat penyampai berbagai jenis pesan dalam peradaban modern ini. Dalam penggunaan lain, film film menjadi medium ekspresi artistik, yaitu menjadi alat bagi seniman film untuk mengutarakan gagasan, ide, lewat suatu wawasan keindahan (Sumarno, 1997:27).

Sementara Sutradara ternama Garin Nugroho menyebutkan film adalah penemuan komunal dari menemuan-penemuan sebelumnya (fotografi, perekaman gambar, perekaman suara, dll), dan ia bertumbuh seiring

commit to user

xli pencapaian penemuan-penemuan selanjutnya seperti penemuan perekaman suara stereo, dan lain-lain (Nogroho 1998:77).

Dalam perspektif komunikasi massa, film dimaknai sebagai pesan- pesan yang disampaikan dalam komunikasi filmis yang memahami hakikat, fungsi, dan efeknya (Irawanto,1999:11). Perspektif ini memperlihatkan pendekatan yang terfokus pada film sebagai proses komunikasi. Dengan meletakkan film dalam konteks sosial, politik, dan budaya dimana proses komunikasi itu berlangsung, sama artinya dengan memahami preferensi penonton yang pada akhirnya menciptakan citra penonton film. Pendeknya, akan lebih bisa ditangkap hakikat dari proses menonton dan bagaimana film berperan sebagai sistem komunikasi simbolis.

Film bukan hanya sebagai media hiburan, namun kini film merupakan media komuniasi yang efektif dalam menyampaikan suatu pesan kepada penontonnya. Dengan tampilannya yang menggabungkan audio dan visual dan dikemas secara dramatis dengan menggabungkan beberapa unsur seni penonton dibuat terlena saat menonton film, tanpa menyadari jika saat itu ia sedang menerima pesan-pesan atau terpengaruh oleh ideologi dari film yang dilihatnya.

Film merupakan potret dari masyarakat dan selalu merekam realitas yang ada dalam masyarakat tersebut. Selain itu, film sebagai refleksi dari masyarakatnya tampaknya menjadi perspektif yang secara umum lebih mudah disepakati. Karakteristik film sebagai media massa juga mampu membentuk

commit to user

xlii semacam konsensus publik secara visual ( visual public consensus), karena film selalu bertautan dengan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat dan selera publik (Irawanto,1999: 14).

Memahami media komunikasi visual seperti halnya film lebih sederhana dan efektif karena dapat diterima oleh semua orang dengan mengabaikan tingkat pendidikan, usia, dan kecerdasan tanpa membeda- bedakan latar belakang sosial budaya. Berbeda dengan media auditif (radio) dan media cetak (buku, koran) yang menggunakan kata-kata sehingga untuk memahami isi pernyataan harus melalui proses penafsiran atas kata-kata itu.

“Film merupakan karya seni yang lahir dari suatu kreativitas orang- orang yang terlibat dalam penciptaan film. Sebagai karya seni, film mempunyai kemampuan kreatif. Ia mempunyai kesanggupan untuk menciptakan realitas rekaan sebagai bandingan terhadap realitas. Realitas imajiner itu dapat menawarkan rasa keindahan, renungan, atau sekadar hiburan” (Sumarno, 1996:26-29).

Dalam penyapaian pesannya film menggunakan unsur gambar dan suara yang ditampilkan secara bersamaan sehingga memudahkan penonton untuk dapat memahami. Penonton film tidak perlu berimajinasi layaknya media lainnya seperti radio yang hanya menampilkan suara ataupun media cetak yang hanya menampilkan tulisan dan gambar.

Himawan Pratista mengklasifikasikan lagi film berdasarkan genre. Dalam film, genre dapat didefinisikan sebagai jenis atau klasifikasi dari

commit to user

xliii sekelompok film yang memiliki karakter atau pola yang sama (khas) seperti setting, isi dan subyek cerita, tema, struktur cerita, aksi atau peristiwa, periode, gaya, situasi, ikon, mood, serta karakter. Klasifikasi tersebut menghasilkan genre-genre populer seperti aksi, petualangan, drama, komedi, horor, western, thriller, film noir, roman, dan sebagainya. Fungsi dari genre adalah untuk memudahkan klasifikasi dalam film (Pratista 2008:10)

Dalam penelitian ini penulis memilih film “Pertaruhan” yang merupakan film dokumenter bergenre feminis. Film feminis atau film perempuan adalah film yang mengangkat permasalahan perempuan atas kelas yang berkuasa.

a. Film Dokumenter

Film dokumenter adalah film yang merekam adegan-adegan nyata dan faktual tidak boleh ada rekayasa di dalamnya. Semua unsur yang ada di dalam film dokumenter mulai dari tokoh, lokasi, dan peristiwa bukanlah rekayasa. Peristiwa nyata ini dikemas oleh film marker menjadi sebuah cerita menarik yang mengangkat sebuah tema didalamnya.

Kunci utama film dokumenter adalah penyajian fakta. Film dokumenter berhubungan dengan orang-orang, tokoh, peristiwa, dan lokasi yang nyata. Film dokumenter tidak menciptakan suatu peristiwa atau kejadian, namun merekam peristiwa yang sungguh-sungguh terjadi atau otentik (Pratista 2008 : 4).

commit to user

xliv Film dokumenter, selain mengandung fakta, ia juga mengandung subyektivitas pembuat. Subyektivitas diartikan sebagai sikap atau opini terhadap peristiwa. Jadi ketika faktor manusia ikut berperan, persepsi tentang kenyataan akan sangat bergantung pada manusia pembuat film dokumenter itu. Film dokumenter bukan cerminan pasif dari kenyataan, melainkan ada proses penafsiran atas kenyataan yang dilakukan oleh si pembuat film dokumenter (Sumarno, 1996:14). Dalam film dokumenter tidak memiliki plot, namun memiliki struktur yang umumnya didasarkan oleh tema atau argumen dari sineasnya. Film dokumenter juga tidak memiliki tokoh protagonis dan antagonis, konflik serta penyelesaian seperti halnya film fiksi. Struktur bertutur film dokumenter umumnya sederhana dengan tujuan agar memudahkan penonton untuk memahami dan mempercayai fakta-fakta yang disajikan (Pratista 2008 : 4).

Walau film dokumenter menyajikan fakta, namun fakta-fakta tersebut diolah dan disusun berdasarkan ideologi pembuatnya. Sang sutradara film dokumenter akan membuat penonton memandang suatu permasalahan dalam film sesuai dengan sudut pandangnya, ia memasukkan pesan-pesan tersirat ataupun tersurat melalui fakta-fakta yang disajikan dalam film tersebut.

Film dokumenter memiliki beberapa karakter teknis yang khas yang tujuan utamanya untuk mendapatkan kemudahan, kecepatan, fleksibilitas, efektifitas, serta otentitas peristiwa yang akan direkam. Umumnya film dokumenter memiliki bentuk sederhana dan jarang sekali menggunakan efek

commit to user

xlv visual. Teknik-teknik produksi yang digunakan sama dengan film fiksi. Namun terdapat perbedaan yang mendasar yakni, para sineas fiksi umumnya meggunakan teknik tersebut sebagai pendekatan estetik (gaya), sementara sineas dokumenter lebih terfokus untuk mendukung subyeknya (isi atau tema). (Pratista 2008 : 4-5). Disini dapat dilihat jika film dokumenter bukanlah film yang menarik penonton dengan keindahan gambarnya entah itu dengan memberikan efek atau gambar atau dengan menggunakan pemain- pemain yang tampan atau cantik. Film dokumenter lebih mengutamakan bagaimana penonton tertarik dengan tema atau isi yang diangkat dari sebuah film dokumenter tersebut kerena tujuan dari film dokumenter yang bukan untuk menghibur namun untuk mencerdaskan penontonnya.

Seorang pembuat film dokumenter yaitu DA. Peransi mengatakan bahwa film dokumenter yang baik adalah yang mencerdaskan penonton. Sehingga kemudian film dokumenter menjadi wahana yang tepat untuk mengungkap realitas, menstimulasi perubahan. Jadi yang terpenting adalah menunjukkan realitas kepada masyarakat yang secara normal tidak terlihat realitas itu (Sumarno, 1996:15)

Gerzon R. Ayawaila dalam bukunya Dokumenter dari ide sampai produksi menyebutkan jika film dokumenter merupakan film non-fiksi yang memiliki empat kriteria (Ayawaila 2008:22):

- Pertama : setiap adegan dalam film dokumenter merupakan rekaman kejadian sebenarnya, tanpa interpretasi imajinatif seperti halnya dalam film

commit to user

xlvi fiksi. Bila pada film fiksi latarbelakang (setting) adegan dirancang, pada dokumenter latar belakang harus spontan otentik dengan situasi dan kondisi asli (apa adanya)

- Kedua: yang dituturkan dalam film dokumenter berdasarkan peristiwa nyata (realita), sedangkan pada film fiksi isi cerita berdasarkan karangan (imajinatif). Bila film dokumenter memiliki intepretasi kreatif, maka dalam film fiksi yang dimiliki adalah interpretasi imajinatif.

- Ketiga: sebagai sebuah film non fiksi, sutradara melakukan observasi pada suatu peristiwa nyata, lalu melakukan perekaman gambar sesuai apa adanya, dan

- Keempat: apabila struktur cerita pada film fiksi mengacu pada alur cerita atau plot, dalam dokumenter konsentrasinya lebih pada isi dan pemaparan.

Dari keempat kriteria diatas diketahui jika film dokumenter merupakan film yang berdasarkan kisah nyata, seluruh adegan dan isinya tidak ada yang direkayasa, semua sesuai dengan kejadian yang dialami pada saat itu. Berbeda dengan film fiksi yang semua dibuat imajinatif untuk membuat film itu menarik penonton untuk mengikuti kisahnya.

b. Film Perempuan

Seperti yang telah diungkapkan diatas jika film merupakan suatu alat komunikasi yang efektif untuk menyampaikan pesan-pesan dan informasi kepada masyarakat termasuk juga kritik sosial.

commit to user

xlvii Ashadi Siregar dalam Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UGM mengungkapkan jika film dipandang sebagai proses ideologi, sehingga konstruksi sosial yang membentuk masyarakat dapat dilihat melalui film. Dalam konteks gender konstruksi sosial muncul dalam penampilan perempuan dan laki-laki dan peran-peran sosial, masalah seksual dan reproduksi, pekerja perempuan, gambaran tentang feminitas dan stereotip perempuan (Siregar 2004:374).

Dengan kekuatannya untuk bisa mempengaruhi masyarakat para pembuat film menggunakan film sebagai sarana untuk memperjuangkan hak- hak perempuan. Selama ini film yang disajikan menggunakan sudut pandang laki-laki dengan menampilkan kekuasaan laki-laki atas perempuan. Perempuan yang selalu dicitrakan sebagai makhluk yang lemah lembut dan penurut. Pecitraan dari media ini ikut membentuk dan memperkuat adanya budaya paktriarki dalam masyakat. Untuk itu para pembuat film kini membuat trobosan baru dengan membuat film bergenre perempuan atau film feminis sebagai wujud untuk menciptakan kesetaraan gender dalam film.

Salah satu tokoh pelopor film perempuan dan teori tentang film perempuan adalah Laura Mulvey. Ia mengkritik sinema naratif klasik sebagai ekspresi dari cara ketidaksadaran masyarakat patriarkal telah menstrukturkan bentuk film. Melihat kenyataan seperti itu akhirnya Mulvey membuat Film Feminis dan teori film feminis dengan tujuan untuk menghancurkan bentuk- bentuk kenikmatan yang diasosiasikan dengan sinema Hollywood klasik

commit to user

xlviii (Mulvey 1989:14 dalam Brooks 1997:247). Dalam film Hollywood klasik perempuan selalu dijadikan obyek seksualitas dan eksploitasi. Perempuan juga dipandang sebagai makhluk yang lemah yang dikuasai oleh laki-laki. Tujuan utama Mulvey tidak hanya untuk menantang bentuk-bentuk dominan laki-laki dan eksploitasi tubuh perempuan namun juga mengubah cara pandang orang tentang perempuan dalam sebuah film. “Mulvey berusaha untuk membuat bagaimana film merefleksikan dan mengkultivasi interpretasi tentang perbedaan seksual yang sudah ‘dinormalisasi’ dan yang mengontrol representasi serta ‘cara pandang erotis’.”

Film perempuan adalah film yang dibuat oleh perempuan, untuk perempuan dan berhubungan perempuan atau kombinasi dari ketiganya. Film perempuan mengulas permasalahan seputar perempuan, unsur dalam film baik itu karakter pemain atau gambar ditampilkan dari sudut perempuan.”Women’s cinema’ can be defined in a number of ways – as films by women, made for women, or dealing with women, or all of these combined (de Lauretis 1987:1442 dalam Chaudhury, 2006:68).

Dalam film perempuan, sudut pandang untuk melihat permasalahan dalam film perempuan dengan menggunakan sudut pandang perempuan karena pembuat film menganggap penontonnya adalah kaum perempuan. Namun banyaknya isu kesetaraan gender membuat sebagian kaum laki-laki yang peduli tertarik untuk mewujudkan adanya kesetaraan. Untuk itu ada juga

commit to user

xlix laki-laki yang membuat film perempuan namun tetap mengarahkan pandangannya dari sudut pandang perempuan.

Representasi stereotype perempuan dalam film akan memudar ketika lebih banyak perempuan yang membuat film. Perempuan digambarkan sebagai perempuan dengan hak-haknya bukan sebagai perempuan yang selalu menjadi subordinat (Mohanna, 1972:7 dalam Chaudhury, 2006:22). Jika perempuan membuat film maka ia akan mewakili seluruh kaum perempuan untuk menyuarakan perasaannya yang selama ini disudutkan oleh pandangan laki-laki. Film perempuan merupakan film alternatif yang mengangkat isu-isu perempuan yang terjadi lokal atau pada suatu kelompok masyarakat, namun dikemas dalam sebuah film yang akan diperlihatkan secara global untuk semua masyarakat diluar kelompok itu. Film perempuan tidak berorientasi pada keuntungan dengan banyaknya penonton, namun lebih pada perjuangan untuk mewujudkan kesetaraan gender dalam film.

Aquarini mengutarakan bahwa film feminis (film perempuan) menampilkan citra perempuan yang berangkat sebagai korban dari struktur masyarakatnya sendiri tetapi kemudian bangkit dan menjadi luar biasa dalam artian memperoleh kekuasaan dan kendali tertentu atas hidupnya (Prabasmoro 2006:337). Maria LaPlace juga mengungkapkan jika film perempuan dibedakan oleh tokoh utamanaya yang perempuan, pandangan perempuan dan narasinya yang sering kali berkutat disekitar realisme tradisional pengalaman

commit to user

l perempuan: keluarga, rumah tangga, dan percintaan, emosi, dan pengalaman yang memunculkan suatu tindakan. ( Joane 2010:53)

Marry Ann Doane menunjukkan bagaimana, di dalam genre klasik, tubuh perempuan adalah seksualitas, menyajikan obyek erotik bagi penonton laki-laki. Namun, dalam film perempuan tatapan harus di ubah karena penonton diasumsikan sebagai perempuan (Brooks, 2009:255). Dalam film perempuan, perempuan memang merupakan objek pandangan, tetapi perempuan juga merupakan penonton. Penonton perempuan bukanlah sekedar penonton pasif, ia memandang permasalahan yang yang ada pada dirinya yang dipresentasikan dalam film dengan menggunakan sudut pandang perempuan karena permasalahan tersebut merupakan yang terjadi dalam dirinya.

Annie N. Duru mahasiswa Howard University Washington DC, USA dalam jurnalnya berjudul Ideological Criticism of a Nigerian Video Film berpendapat bahwa kritik kaum perempuan film adalah sebuah metode analisis yang dapat diterapkan dalam menjelajahi makna tersembunyi dari retorika sebuah film dan memperlihatkan kegigihan/perjuangan perempuan. Film perempuan juga digunakan untuk memberikan hak berbicara kepada perempuan yang digambarkan sebagai sosok negatif dan tak pernah diberi kesempatan untuk berbicara. Dalam jurnalnya Annie menyebutkan:

Feminist criticism is an applicable method of analysis in discovering the underlying meaning of the rhetoric in the film and making visible the struggle of women. Additionally, feminist criticism also works to give a voice to women where women are negatively represented in a film and their voices suppressed. (Duru, Vol.10, No.2, 2010)

commit to user

li Penggambaran stereotipe perempuan dalam film dan kecenderungan yang didapat penonton dari ideologi patriarkhi memperingatkan kaum perempuan untuk menciptakan film balasan untuk menentang atau mengkritik produksi film yang menganut kultur patriarkhi. Beberapa kaum perempuan membuat film feminis untuk membalas ideologi yang dominan dalam hal ini adalah ideologi patriarkhi.

Di pihak pembuat film, gagasan feminis tidak selalu berarti tuntutan untuk membuat film yang menampilkan ‘perempuan yang luar biasa mandiri’ yang tidak memerlukan orang lain, apalagi laki-laki. Tidak juga itu berarti film feminis ialah film tentang perempuan seksual yang sangat bebas melakukan hubungan seksual. Molly Haskel mengemukakan bahwa (Prabasmoro 2006:337):

”Film perempuan yang lebih baik memberikan aspirasi... Fiksi tentang ’perempuan biasa yang menjadi luar biasa’, perempuan yang mulai sebagai korban lingkungan yang diskriminatif tetapi kemudian bangkit, melalui rasa sakit, obsesi atau penyimpangan, untuk menjadi penentu nasibnya sendiri”( Prabasmoro 2006:337).

Dari pernyataan Molly Haskel tersebut film perempuan merupakan film yang merepresentasikan

perempuan yang mampu mengatasi permasalahan perempuan yang dialaminya sehingga mempu menginspirasi

penonton perempuan untuk bisa bangkit dari keterpurukan yang dialaminya. Keterpurukan yang dialami perempuan

bukan hanya dari sisi fisik saja, namun juga dasi sisi psikologis yang membuat perempuan merasa termarginalkan.

commit to user

lii Kesehatan reproduksi saat erat kaitannya dengan perempuan. Perempuan yang dengan kelebihannya bisa melahirkan anak seringkali dianggap sebagai mesin reproduksi bagi sebagian kalangan yang tidak menghargai. Padahal untuk menjaga kesehatan reproduksi perempuan bukanlah hal yang mudah bagi perempuan. Bukan hanya masalah klinis dalam hal ini, namun permasalahan sosial dan kultur budaya masyarakat sering menjadi kendala bagi perempuan terkait dengan kesehatan reproduksinya.

Dalam Jurnalnya Kartono Mohamad menyebutkan isu tentang kesehatan reroduksi perempuan telah menjadi isu global. Dalam Konferensi Kependudukan dan Pembangunan (ICPD) tahun 1994 di Kairo. Chapter (Bab) VII dari Plan of Action hasil ICPD 1994 menyebutkan kesehatan reproduksi adalah keadaan fisik, mental, kelaikan sosial secara menyeluruh dalam segala hal yang berhubungan dengan sistem reproduksi berikut fungsi- fungsi dan proses-prosesnya. Ditekankan bahwa manusia punya kemampuan bereproduksi dan punya kebebasan untuk menentukan jika, kapan, dan seberapa sering melakukannya (Mohamad, 2007: 9). Secara implisit disini adalah hak untuk laki-laki dan perempuan untuk mendapat informasi dan mendapat akses pada perencanaan keluarga yang aman, efektif, terjangkau dan layak, atas pilihan sendiri, sebagaimana juga cara-cara lain untuk mengatur kesuburan, yang tidak melanggar hukum, dan hak untuk mengakses pelayanan kesehatan yang akan memungkinkan perempuan untuk menjalani

commit to user

liii kehamilan dan persalinan dengan aman. Pelayanan kesehatan reproduksi juga termasuk kesehatan seksual, dengan tujuan perbaikan kehidupan dan hubungan pribadi.

Berdasarkan Konferensi kependudukan tersebut di, sudah disepakati perihal hak-hak reproduksi . Dalam hal ini menyimpulkan bahwa terkandung empat hal pokok dalam reproduksi wanita yaitu (http://creasoft.wordpress.com/2008/04/18/kesehatan-reproduksi-wanita/,

diakses pada 5 Desember 2010) :

1. Kesehatan reproduksi dan seksual (reproductive and sexual health) 2. Penentuan dalam keputusan reproduksi (reproductive decision making) 3. Kesetaraan pria dan wanita (equality and equity for men and women) 4. Keamanan reproduksi dan seksual (sexual and reproductive security)

Kesehatan reproduksi banyak menyangkut masalah perempuan karena proses reproduksi dan gangguan kesehatan reproduksi lebih banyak dialami perempuan. Reproduksi merupakan salah satu masalah perempuan yang berkaitan dengan tubuh dan perannya dalam masyarakat. Atas hal ini perempuan sering mengalami penindasan sosial.

Mariana Amirudin membagi reproduksi memiliki dua definisi persoalan yaitu reproduksi biologis dan sosial (Amirudin, 2003: 5).

commit to user

liv ¾ Reproduksi biologis berkaitan dengan fungsi seksualitas tubuhnya

melahirkan anak untuk melakukan regenerasi.

¾ Sedangkan reproduksi sosial adalah fungsi seksualitas tubuh perempuan yang berhubungan dengan peran sosial masyarakat. Ketika masyarakat sudah terlibat dan mengontrol reproduksi biologis perempuan, seperti ditempatkan dalam peran tertentu dan penempatan peran ini disebut sebagai reproduksi sosial.

Selama ini masalah reproduksi lebih banyak dilihat dari aspek klinis, padahal persoalan ini tidak bisa lepas dari konteks sosial dimana reproduksi dipengaruhi dan mempengaruhi nilai, etika, agama, dan kebudayaan. Dalam penelitian ini lebih menyoroti reproduksi perempuan secara sosial yang menyangkut tentang hak-hak dan diskriminasi perempuan berdasarkan reproduksinya.

Berbicara tentang reproduksi adalah berbicara tentang perempuan sebagai bagian dari sumber daya manusia. Oleh karena itu perempuan sebagai sumber daya manusia perlu memiliki kesadaran atas reproduksinya secara biologis maupun sosial agar mereka lebih jauh memahami hak-hak tubuh dan peran sosialnya.

Pengertian reproduksi perempuan mencakup serangkaian proses sistem kerja reproduksi yang melibatkan alat dan fungsi reproduktif perempuan, serta aspek sosial yang menyertainya. Maka kasus mutilasi, pendidikan seksual, mitos-mitos tentang reproduksi perempuan (seperti

commit to user

lv keperawanan), adalah bagian dari persoalan reproduksi perempuan. (Amirudin, 2003: 6)

Permasalahan reproduksi tidak bisa terlepas dari masalah seksual. Meskipun secara anatomis ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan dalam kehidupan reproduksinya pada dasarnya mereka adalah sama. Mereka sama-sama memiliki hormon seks, sama-sama memiliki hormon libido, dan sama-sama saling mengharapkan untuk pemenuhan hormon libido dan reproduksi. Juga penempilan dorongan seksual mereka sama-sama dipengaruhi oleh emosi, kesehatan fisik dan mental, serta pikiran-pikiran mereka. Perbedaan anatomis tersebut hanya menjadi dasar dari perbedaan mekanisme dalam melaksanakan fungsi reproduksi.

Perilaku seksual manusia bukan hanya cerminan rangasangan hormon semata, melainkan menggambarkan juga hasil pengaruh antara hormon dan pikiran (mind). Pikiran itu sendiri dipengaruhi oleh pengalaman, pendidikan, dan budaya. Sehingga meskipun dorongan birahi itu sendiri bersifat biologis, pola perilaku seksual seseorang akan sangat dipengaruhi oleh tata nilai dan adat istiadat yang berbeda-beda sesuai dengan etnis, agama, dan status sosio ekonominya (Mohamad, 1998:7-8). Namun, sering kali dalam hubungan seksual istri diperlakukan sebagai obyek seksual suami, bukan partner yang memiliki hak seksualitas yang setara. Fenomena inipun oleh masyarakat (termasuk oleh kaum perempuan) acapkali tidak dianggap sebagai sesuatu

commit to user

lvi yang problematis, tetapi merupakan suatu kodrat yang harus diterima dan dijalani perempuan dengan penuh rasa pasrah (Darwin dan Tukiran, 2001:5).

Masalah kesehatan reproduksi erat kaitannya dengan hak-hak

Dokumen terkait