• Tidak ada hasil yang ditemukan

Nomor Halaman

1. Diskribsi Variabel yang Digunakan dalam Mengukur Kinerja Pembangunan Ekonomi Daerah dan Kinerja Sistim Agropolitan ... 174 2. Keterkaitan Variabel yang Digunakan dalam Mengukur Kinerja

Pembangunan Ekonomi Daerah dan Kinerja Sistim Agropolitan ... 179 3. Factor Scores Kinerja Pembangunan Ekonomi Daerah ... 184 4. Factor Scores Kinerja Pengendalian Ruang ……… 185 5. Factor Scores Kinerja Sumberdaya Manusia dan Sosial ……….. 186 6. Factor Scores Kinerja Sumberdaya Alam ……… 187 7. Factor Scores Kinerja Penganggaran Belanja ……… 188 8. Factor Scores Kinerja Infrastruktur dan Fasilitas Publik ……… 189 9. Factor Scores Kinerja Aktifitas Ekonomi ……….. 190 10. Lahan yang Sesuai Untuk Tanaman Padi, Umbi-Umbian,

Sayur-Sayuran, Kacang-Kacangan dan Buah-Buahan ... 191 11. Peta RTRW Kabupaten Banyumas ……… 192 12. Peta Penutupan Lahan Kabupaten Banyumas ... 192 13. Peta Kelas Lereng Kabupaten Banyumas ... 193 14. Peta Kesesuaian Lahan Untuk Tanaman Padi di Kabupaten

Banyumas ... 193 15. Peta Kesesuaian Lahan Untuk Tanaman Umbi-Umbian (Ubi Kayu)

di Kabupaten Banyumas ……….. 194 16. Peta Kesesuaian Lahan Untuk Tanaman Kacang-Kacangan (Kacang

Tanah) di Kabupaten Banyumas ……… 194 17. Peta Kesesuaian Lahan Untuk Tanaman Sayur-Sayuran (Kacang

Panjang) di Kabupaten Banyumas ... 195 18. Peta Kesesuaian Lahan Untuk Tanaman Buah – Buahan (Rambutan)

di Kabupaten Banyumas ………. 195 19. Kode Kecamatan ……….. 196 20. Matrik Jarak Antar Kecamatan ……… 197 21. Matrik Antar Kecamatan yang Berbatasan Langsung ... 200 22. Variabel-Variabel Nyata dalam Analisis Spasial Durbin ... 202 23. Variabel Tujuan Y ( Kinerja Pembangunan Ekonomi Daerah ) ... 204 24. Variabel – Variabel Penjelas (X) Kinerja Pembangunan Ekonomi

Daerah di Wilayah Tetangga yang Berbatasan Langsung (W1) dan Kinerja Pembangunan Ekonomi Daerah di Wilayah Sekitar dalam Satu Kawasan ( W2 ) ... 204 25. Variabel – Variabel Penjelas (X) Kinerja Sumberdaya Alam di

Wilayah Sendiri ... 206 26. Variabel – Variabel Penjelas (X) Kinerja Sumberdaya Alam di

Wilayah Tetangga yang Berbatasan Langsung (W1) dan Kinerja Sumberdaya Alam di Wilayah Sekitar dalam Satu Kawasan (W2 ) ... 207 27. Variabel – Variabel Penjelas (X) Kinerja Sumberdaya Manusia dan

Sosial di Wilayah Sendiri ... 208 28. Variabel – Variabel Penjelas (X) Kinerja Sumberdaya Manusia dan

Sosial di Wilayah Tetangga yang Berbatasan Langsung (W1) dan Kinerja Sumberdaya Manusia dan Sosial di Wilayah Sekitar dalam Satu Kawasan (W2 ) ... 209 29. Variabel – Variabel Penjelas (X) Kinerja Pengendalian Ruang di

Wilayah Sendiri ... 210 30. Variabel – Variabel Penjelas (X) Kinerja Pengendalian Ruang di

Wilayah Tetangga yang Berbatasan Langsung (W1) dan Kinerja Pengendalian Ruang di Wilayah Sekitar dalam Satu Kawasan (W2) 211 31. Variabel – Variabel Penjelas (X) Kinerja Penganggaran Belanja di

Wilayah Sendiri ... 212 32. Variabel – Variabel Penjelas (X) Kinerja Penganggaran Belanja di

Wilayah Tetangga yang Berbatasan Langsung (W1) dan Kinerja Penganggaran Belanja di Wilayah Sekitar dalam Satu Kawasan (W2) 213 33. Variabel – Varabel Penjelas (X) Kinerja Aktifitas Ekonomi di Wilayah

Sendiri ... 214 34. Variabel – Variabel Penjelas (X) Kinerja Aktifitas Ekonomi di Wilayah

Tetangga yang Berbatasan Langsung (W1) dan Kinerja Aktifitas Ekonomi di Wilayah Sekitar dalam Satu Kawasan (W2) ... 214 35. Variabel – Variabel Penjelas (X) Kinerja Infrastruktur dan Fasilitas

Publik di Wilayah Sendiri ... 215 36. Variabel – Variabel Penjelas (X) Kinerja Infrastruktur dan Fasilitas

Publik di Wilayah Tetangga yang Berbatasan Langsung (W1) dan Kinerja Infrastruktur dan Fasilitas Publik di Wilayah Sekitar dalam Satu Kawasan (W2 ) ... 216 37. Variabel-Variabel Indikator Penyusun Kebijakan Strategis

Pengembangan Wilayah dengan Pendekatan Agropolitan ……… 217 38. Eugenvalues dari Variabel-Variabel Penyusun Kebijakan Strategis

Pengembangan Wilayah Dengan Pendekatan Agropolitan …………... 221 39. Factor Loading dari Variabel-Variabel Penyusun Kebijakan Strategis

Pengembangan Wilayah Dengan Pendekatan Agropolitan ………….. 222 40. Factor Score dari Variabel-Variabel Penyusun Kebijakan Strategis

Pengembangan Wilayah Dengan Pendekatan Agropolitan ………….. 223 41. Grafik Nilai Tengah Kelompok variabel Penyusun Hirarki Pusat-Pusat

1 PENDAHULUAN

Latar Belakang

Penekanan pembangunan pada sektor modern perkotaan telah terbukti meningkatkan pertumbuhan di sektor dan lokasi yang hanya memiliki tingkat produktifitas tinggi. Laju pertumbuhan investasi dan akumulasi modal hanya terpusat di sektor modern tersebut. Konsep tersebut menginspirasikan

terbentuknya pusat-pusat pertumbuhan di perkotaan (growth pole economy).

Diharapkan dengan terbentuknya pusat-pusat pertumbuhan tersebut akan terjadi

proses penetesan pembangunan ke daerah-daerah belakang (trickle down

process) dan pemerataan akan terjadi secara "otomatis" dari kutub-kutub

pertumbuhan ke daerah belakang tersebut (hinterland). Namun pada

kenyataannya penetesan pembangunan itu tidak terjadi, dan yang terjadi adalah pengurasan sumberdaya yang dimiliki daerah oleh pusat secara besar-besaran

(massive backwash effect). Paradigma pembangunan yang urban biased tersebut telah menimbulkan berbagai persoalan seperti terjadinya urbanisasi yang berlebihan (over urbanization) karena akumulasi kapital yang berada di perkotaan. Urbanisasi yang berlebihan tersebut pada akhimya menimbulkan berbagai persoalan di kota dan yang terjadi bukan lagi economies of scale (economies of agglomeration) namun justru diseconomies of scale. Kota-kota besar tumbuh dengan cepat sebagai pusat pertumbuhan wilayah yang sering mengabaikan fungsinya untuk memberikan

pelayanan kepada daerah hinterland

Di lain pihak, daerah-daerah belakang menjadi kekurangan sumberdaya akibat pengurasan yang dilakukan oleh kota, baik itu sumberdaya alam, sumberdaya manusia dan sumberdaya modal yang merupakan penentu kemajuan dan pembangunan. Akibatnya kesenjangan spasial antara perkotaan dan perdesaan terjadi dan terakumulasi dari waktu ke waktu. Selain itu kegagalan pemerintah di masa lalu disebabkan karena begitu kuatnya dominasi

pemerintah pusat yang mengarah kepada terjadinya kerusakan moral (moral

hazard). Kebijakan yang ditempuh bersifat top down dan seringkali tidak sesuai dengan kebutuhan daerah (lokal). Kebijakan yang sentralistik dan adanya

2

tidak efisien,dan seringkali merusak tatanilai yang dianut oleh masyarakat, sehingga kemampuan dan daya kreasi masyarakat menjadi lumpuh, masyarakat menjadi tidak memiliki inovasi dalam mengembangkan diri dan daerahnya. Pemerintahan yang sentralistik dengan kekuasaan dan kewenangan yang sangat luas telah memberikan kesempatan kepada oknum pemerintah yang tidak bertanggung jawab dengan berperilaku yang mendahulukan kepentingan dirinya sendiri dari pada kepentingan masyarakat luas. Mereka berusaha selalu

mengejar keuntungan yang sebesar-besarnya (rent seeking), sehingga

menyebabkan terjadinya kegagalan pasar (market failure) dan juga dapat

menyebabkan terjadinya kegagalan pemerintah (government failure). Perilaku tersebut telah menghambat terjadinya perubahan dinamik guna melakukan

penyesuaian penyesuaian ekonomi (economic adjustment) yang diperlukan dan

pada akhirnya perilaku para pencari rente (rent seekers) akan merugikan

kepentingan masyarakat keseluruhan. Berdasarkan pengalaman berbagai kegagalan tersebut, maka diperlukan perubahan paradigma pembangunan wilayah yang lebih membatasi kekuasaan pemerintah hanya kepada bidang-bidang yang disebut "public good" .

Secara definisi pembangunan wilayah adalah suatu proses perubahan terencana ke arah semakin tersedianya alternatif-alternatif bagi setiap orang untuk memenuhi tujuan-tujuan yang paling humanistik sesuai dengan perkembangan tata nilai dan norma-norma yang dijunjung tinggi di dalam masyarakat. Jadi Pembangunan yang dilaksanakan disuatu wilayah / daerah harus lebih didasarkan pada pencapaian tujuan-tujuan pembangunan secara optimal (sesuai dengan harapan dan kebutuhan stakeholder dan tolak ukur pembangunan menjadi penting dalam penentuan tingkat keberhasilan/perkembangan proses pembangunan.

Tolok ukur kinerja pembangunan daerah : a. Pemerataan

b. Pertumbuhan : pertambahan jumlah, jenis, besaran jenis, dan magnitut

c. Keterkaitan : semakin luas dan kuatnya bentuk-bentuk keterkaitan baik antar lokasi, antar sektor, antar stakeholder dan sebagainya di dalam proses pembangunan

3

d. Keberimbangan : struktur keterkaitan yang semakin simetris atau saling memperkuat, semakin berkurangnya kesenjangan baik antar wilayah, antar sektor maupun antar pihak (sesuai dengan kebutuhan, kapasitas, fungsi sifat) e. Kemandirian : semakin meningkat dan berkembangnya kapasitas

masing-masing subsistim di suatu wilayah yang muncul dari dalam, akan semakin kuat berkembangnya kapasitas atau daya tumbuh internal

f. Keberlanjutan : proses perubahan untuk pemenuhan saat ini tidak mengorbankan kapasitas tujuan jangka panjang.

Paradigma baru pembangunan yang lebih menitikberatkan kepada pemerataan dan peran serta aktif masyarakat dimulai dengan diberlakukannya Undang-Undang No. 22 tahun 1999 mengenai Pemerintahan Daerah dan UU No 25 tahun 1999 mengenai Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah. Dengan Undang-undang yang baru ini maka pembangunan akan lebih menitikberatkan kepada aspek desentralisasi. Dalam hubungannya dengan desentralisasi tersebut otonomi daerah menurut Undang-Undang nomor 22 tahun 1999 adalah kewenangan daerah otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat lokal. Secara harfiah otonomi daerah berarti hak wewenang serta kewajiban daerah untuk mengatur rumah tangganya sendiri sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku.

Seluruh urusan pemerintahan akan didesentralisasikan kepada daerah-daerah kecuali yang menyangkut urusan keuangan negara, peradilan, hubungan luar negeri serta pertahanan dan keamanan. Dengan otonomi daerah maka wewenang pemerintah pusat menjadi berkurang dan perencanaan, pelaksanaan serta pembiayaan pembangunan diserahkan kepada Daerah (Kabupaten/Kota). Tugas pemerintah pusat akan lebih terbatas, khususnya yang menyangkut kebijaksanaan dan penentuan norma-norma, penetapan standarisasi, penyusunan prosedur dan pengembangan human capital dan social capital. Daerah menjadi memiliki kewenangan yang lebih luas dalam pengelolaan

sumberdaya yang dimilikinya, baik itu sumberdaya alam (natural capital),

sumberdaya manusia (human capital),sumberdaya buatan (man made capital) maupun sumberdaya sosial (socialcapital

4

Kewenangan yang lebih luas, nyata dan bertanggungawab tersebut diberikan kepada daerah secara proporsional yang diwujudkan dengan pengaturan, pembagian dan pemanfaatan sumberdaya nasional, serta perimbangan keuangan antara pusat dan daerah, sesuai dengan prinsip demokrasi, peran serta masyarakat, pemerataan dan keadilan, serta potensi dan keanekaragaman daerah.

Berkurangnya kewenangan pemerintah pusat terutama dalam pembiayaan pembangunan menuntut daerah untuk mandiri dan lebih kreatif dalam menggali potensi sumberdaya lokal. Ciri utama yang menunjukkan bahwa suatu daerah otonom mampu berotonomi terletak kepada kemampuannya untuk menggali sumber-sumber keuangannya sendiri, mengelola dan menggunakannya untuk membiayai pemerintahan daerahnya. Sehingga kondisi yang ideal adalah bahwa ketergantungan kepada bantuan pusat haruslah seminimal mungkin dan pendapatan asli daerah (PAD) harus menjadi bagian dari sumber keuangan terbesar yang didukung oleh kebijaksanaan perimbangan keuangan pusat dan daerah. PAD sebagai salah satu sumber keuangan daerah merupakan sumber pendapatan yang berasal dari potensi ekonomi daerah itu sendiri. Untuk itu penggalian potensi dan sumberdaya lokal mempunyai peran penting. Sehingga harus terdapat usaha atau upaya untuk menciptakan berbagai peluang yang dapat meningkatkan penerimaan daerah baik secara langsung maupun tidak langsung dengan menggali potensi sumberdaya yang dimiliki. Penggalian potensi sumberdaya wilayah merupakan prioritas utama, dengan tujuan untuk meningkatkan pendapatan daerah yang berdasar kepada prinsip-prinsip keadilan dan kemandirian sehingga pada akhimya akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Upaya tersebut dapat

dilakukan dengan memadukan kemampuan sumberdaya manusia (human capital)

dan pemanfaatan sumberdaya alam (natural capital) dengan meningkatkan nilai

tambahnya maupun sumberdaya buatan (man made capital) dan social capital

sehingga akan meningkatkan kemampuan daerah dalam pelaksanaan pembangunan. Keempat aspek sumberdaya tersebut akan dapat dioptimalkan

dengan memperhatikan usaha-usaha ke arah pemberdayaan (empowerment)

terhadap masyarakat lokal (local community) dengan dukungan pasar finansial di perdesaan (rural market financial) menuju ke arah penguatan institusi perdesaan

5

Pembangunan sektor pertanian merupakan bagian dari pembangunan ekonomi nasional yang bertumpu pada upaya mewujudkan masyarakat Indonesia yang sejahtera, adil dan makmur seperti yang diamanatkan dalam UUD 1945. Karena itu pembangunan sektor pertanian sebagaimana pembangunan perekonomian nasional harus dilakukan dengan memberdayakan potensi sumberdaya ekonomi dalam negeri yang dimiliki, serta memperhatikan perkembangan ekonomi dunia yang terus berkembang secara dinamis.

Pembangunan sektor pertanian dalam kerangka pembangunan nasional dirancang melalui revitalisasi pertanian dan perdesaan yang dijabarkan dengan 7 upaya yaitu : (1) pembangunan infrastruktur pertanian dan perdesaan, (2) pelaksanaan reforma agraria, (3) peningkatan akses petani terhadap sumberdaya produktif dan permodalan, (4) peningkatan produktifitas dan kualitas petani dan pertanian, (5) pengembangan diversifikasi aktifitas ekonomi perdesaan, (6) pengembangan industrialisasi perdesaan, dan (7) peningkatan kesejahteraan dan kualitas hidup petani dan rumah tangga petani.

Sektor pertanian mempunyai peranan yang cukup besar baik secara langsung maupun tidak langsung dalam pembangunan perekonomian nasional. Secara langsung, sektor pertanian memiliki peranan dalam pembentukan produk domestik bruto (PDB), penciptaan ketahanan pangan, perolehan devisa melalui ekspor hasil pertanian, pengentasan kemiskinan, penyediaan lapangan kerja, dan penampung (reservoar) tenaga kerja yang kembali ke perdesaan sebagai akibat dampak krisis, menanggulangi kemiskinan masyarakat yang semakin meningkat, pengendalian inflasi, dan dengan tingkat pertumbuhan yang positif sektor pertanian berperan dalam menjaga laju pertumbuhan nasional. Secara tidak langsung, pembangunan sektor pertanian berperan dalam penciptaan iklim ekonomi makro melalui pengaruhnya terhadap tingkat inflasi yang sebagian besar dipengaruhi oleh dinamika harga bahan pangan, mendukung pembangunan industri hulu melalui permintaan sarana produksi pertanian, penyediaan bahan baku agroindustri, dan pembangunan industri hilir melalui proses pengolahan bahan pangan dan non pangan produk pertanian yang berkualitas, serta penciptaan sistim pemasarannya.

6 Perumusan Masalah

Orientasi pembangunan ekonomi Indonesia yang lebih menekankan pada

pertumbuhan (growth) turut memperparah ketimpangan antara desa-kota.

Ekonomi perdesaan tidak memperoleh nilai tambah (value added) yang

proporsional akibat dari wilayah perkotaan hanya sekedar menjadi pipa pemasaran dari arus komoditas primer dari perdesaan, sehingga sering terjadi kebocoran wilayah yang merugikan pertumbuhan ekonomi daerah itu sendiri (Tarigan, 2003).

Dalam konteks pembangunan spasial, terjadi urban bias yang cenderung mendahulukan pertumbuhan ekonomi melalui kutub-kutub pertumbuhan yang diharapkan dapat menimbulkan efek penetesan (trickle down effect) ke wilayah

hinterland-nya. Ternyata net-effect-nya menimbulkan pengurasan besar (massive backwash effect). Dengan perkataan lain, dalam konteks ekonomi telah terjadi transfer sumberdaya dari wilayah perdesaan ke kawasan perkotaan secara besar-besaran. Walaupun kawasan perkotaan juga berperan penting dalam mensuplai barang-barang dan pelayanan untuk pertumbuhan dan produktifitas pertanian.

Kegagalan pembangunan di wilayah perdesaan selain mengakibatkan

terjadinya backwash effect, juga mengakibatkan penguasaan terhadap pasar,

kapital dan kesejahteraan yang lebih banyak dimiliki oleh masyarakat perkotaan. Sebagai akibatnya kondisi masyarakat perdesaan semakin terpuruk dalam kemiskinan dan kebodohan. Keadaan ini juga dinyatakan oleh Yudhoyono (2004) bahwa pembangunan yang telah berkembang selama ini melahirkan kemiskinan dan pengangguran struktural di pertanian dan perdesaan. Untuk itu tantangan pembangunan ke depan adalah mengintegrasikan pembangunan pertanian dan perdesaan secara berimbang. Melihat kondisi yang demikian, masyarakat perdesaan secara rasional mulai melakukan migrasi ke wilayah perkotaan, yang semakin lama semakin deras (speed up proccesses), meskipun tidak ada jaminan bahwa mereka akan mendapatkan pekerjaan, tetapi bagi mereka kehidupan di kota lebih memberikan harapan untuk menambah penghasilan. Keadaan ini selanjutnya menimbulkan persoalan-persoalan terhadap masyarakat kawasan perkotaan, antara lain timbulnya pemukiman kumuh dan rumah liar, masalah kemacetan, keadaan sanitasi dan air bersih yang

7

buruk, menurunnya kesehatan masyarakat dan pada gilirannya akan menurunkan produktifitas masyarakat di kawasan perkotaan.

Model pengembangan wilayah dengan pendekatan sistim agropolitan sulit dijadikan model pembangunan yang akan dilaksanakan secara berkelanjutan apabila tidak melibatkan peran aktif dari semua stakeholder dari awal perencanaan hingga pasca proyek. Pengembangan wilayah dengan pendekatan sistim agropolitan harus menyentuh (1) pembangunan fisik wilayah, seperti: pembangunan jalan, pasar, terminal, dan lain lain , (2) sumberdaya manusia dan sosial yaitu: koordinasi antar stakeholder dan pemahaman tentang konsep agropolitan, (3) aspek tehnologi yaitu: pengolahan hasil pertanian dan peralatannya.

Masalah yang potensi terjadi dalam pelaksanaan agropolitan: (1) aspek teknologi yaitu pengolahan hasil pertanian dan peralatannya, (2) aspek ekonomi yaitu modal dan pemasaran hasil produksi, dan (3) aspek sosial yaitu koordinasi

antar stakeholder dan pemahaman mengenai konsep agropolitan (P4W-IPB,

2004).

Berdasarkan latar belakang dan permasalahan tersebut di atas maka perlu dilakukan kajian model pengembangan wilayah dengan pendekatan agropolitan yang pada gilirannya dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan mengurangi kemiskinan di daerah perdesaan.

Agropolitan sebagai konsep pengembangan wilayah bukan merupakan hal baru. Dalam penelitian ini, agropolitan di definisikan sebagai salah satu sistim pendekatan pengembangan wilayah perdesaan dengan aktifitas berbasis budidaya pertanian, konservasi sumberdaya alam, dan pengembangan potensi daerah dengan bingkai pembangunan berwawasan lingkungan sehingga dapat memperkecil kesenjangan perkembangan wilayah antara perkotaan dan perdesaan.

Sebagai konsep pendekatan pengembangan wilayah perdesaan yang lebih mengedepankan pemderdayaan masyarakat, maka agropolitan lebih bersifat desentralistis Penentuan jenis komoditas unggulan yang dikembangkan dalam skala agribisnis dan agroindustri di lakukan oleh masyarakat yang disesuaikan dengan kondisi biofisik wilayah dan lingkungan perdesaan.

8

Demikian juga dengan pembangunan infrastruktur dalam mendukung peningkatan produktifitas pertanian, perekonomian perdesaan dan permukiman.

Sebagai konsep pembangunan perdesaan, pengembangannya harus disesuaikan dengan kondisi sosial budaya masyarakat yang ada sehingga pembangunan perdesaan dapat berkelanjutan. Oleh karena itu dalam pengem-bangan wilayah perdesaan, sistim agropolitan bisa menjadi model yang dapat mengkaji tentang berbagai aspek, antara lain: aspek sosial, aspek ekonomi, aspek sarana dan prasarana tehnik budidaya, dan aspek kelembagaan.

Sebagai konsep pengembangan wilayah perdesaan di Indonesia, permasalahan yang ingin dipecahkan dalam penelitian ini adalah :

a. Masih besarnya kesenjangan pembangunan dan perbedaan kesejahteraan

masyarakat (quality of life) antar desa – kota yang diperkirakan akan

semakin meningkat di era desentralisasi dan otonomi daerah apabila faktor-faktor penyebabnya tidak segera ditangani secara mendasar.

b. Lemahnya keterkaitan kegiatan ekonomi, baik secara sektoral maupun spasial, yang tercermin dari kurangnya keterkaitan antar sektor pertanian (primer) dan sektor industri pengolahan (sekunder) dan jasa penunjangnya (tersier) di Kabupaten Banyumas

c. Terbatasnya alternatif lapangan pekerjaan berkualitas, yang ditandai dengan terbatasnya kegiatan ekonomi diluar sektor pertanian, apakah itu pada industri kecil yang mengolah hasil pertanian, maupun pada industri dan jasa penunjang lainnya

d. Rendahnya kualitas sumberdaya manusia di perdesaan sehingga akan memperlemah kelembagaan dan organisasi yang berbasis masyarakat serta lemahnya koordinasi lintas bidang dalam pengembangan kawasan perdesaan di Kabupaten Banyumas

e. Terjadinya kerusakan sumberdaya alam sehingga dapat mengancam kebutuhan generasi sekarang dan generasi masa datang (berkelanjutan).

Hal ini dapat dicerminkan dengan mengetahui produktifitas ekonomi suatu wilayah dengan melihat PDRB tiap kecamatan dan laju pertumbuhan PDRB per kapita di tiap kecamatan kabupaten Banyumas. Ada 5 kecamatan yang memberikan sumbangan cukup dominan terhadap perekonomian Kabupaten Banyumas, antara lain: Kecamatan Purwokerto timur, Kecamatan Cilongok,

9

Kecamatan Purwokerto Barat, Kecamatan Ajibarang, dan Kecamatan Wangon (Tabel 1).

Semakin berkembang dan meluasnya kesenjangan di kabupaten Banyumas sampai saat ini masih menjadi salah satu permasalahan pembangunan regional dan daerah yang belum dapat diselesaikan secara baik. Salah satu indikatornya adalah adanya kesenjangan wilayah dan antardaerah. Kesenjangan ini pada akhirnya dapat menimbulkan masalah dalam konteks makro. Potensi konflik antar daerah/wilayah menjadi besar terutama wilayah-wilayah yang dulu kurang tersentuh pembangunan. Demikian pula hubungan antar wilayah telah membentuk suatu interaksi yang saling memperlemah. Wilayah-wilayah hinterland menjadi lemah karena eksploitasi sumber daya yang berlebihan.

Tabel 1: PDRB dan PDRB per kapita atas dasar harga berlaku dari beberapa kecamatan dominan di Kabupaten Banyumas th 2005

No. Kecamatan PDRB atas

dasar harga berlaku (ribuan rupiah) Peranan terhadap PDRB Kab. Banyumas ( % ) PDRB per kapita atas dasar harga berlaku ( Rp ) 1. Purwokerto Timur 687.246.511 12,31 10.739.121 2. Cilongok 373.729.974 6,20 3.377.627 3. Purwokerto Barat 337.966.691 6,06 6.673.916 4. Ajibarang 337.272.812 6,04 3.902.415 5. Wangon 304.764.978 5,46 4.263.938

Keseimbangan pembangunan perkotaan dan perdesaan terganggu sehingga keterkaitan kegiatan ekonomi antara perkotaan dan perdesaan tidak dapat terwujud. Akibat lebih lanjut pembangunan perkotaan yang diarahkan agar dapat menjadi pusat koleksi dan distribusi hasil produksi di wilayah perdesaan tidak terjadi.

Terganggunya sistim hubungan desa-kota mengakibatkan penelantaran sumberdaya lokal. Hal ini bisa mengakibatkan ketergantungan terhadap luar negeri, seperti masalah rawan pangan di daerah-daerah. Status rawan pangan tersebut bukan karena tidak adanya pangan tetapi lebih karena pangannya tergantung dari pihak lain. Jika kita menilik angka impor pangan dari tahun ketahun selalu melonjak

10

akibat dari pertambahan penduduk, semakin rendahnya produktifitas lahan pertanian serta menurunnya minat petani untuk berproduksi akibat tidak adanya kebijakan dalam meningkatkan kesejahteraan petani penghasil pangan.

Melihat kondisi yang demikian ini maka sistim agropolitan perlu dikembangkan sebagai pendekatan pembangunan perdesaan, dengan melakukan: 1. Pengembangan kerjasama antar daerah sehingga tercipta kondisi saling

menguntungkan. Kerjasama antar daerah diarahkan dalam rangka efisiensi pelayanan publik maupun pembangunan lainnya melalui kerjasama pembiayaan, ataupun pemeliharaan dan pengelolaan sarana dan prasarana sehingga dapat berbagi manfaat diantara daerah yang bekerjasama.

2. Mengembangkan ekonomi lokal yang dilakukan dengan memberi dukungan

terhadap pengembangan kawasan perdesaan dengan kegiatan pokok berupa pembangunan jalan desa, jalan usaha tani, terminal, pasar tradisional/pasar desa, dan sarana penunjang lainnya; meningkatkan pengembangan usaha agribisnis.

3. Peningkatan kualitas sumberdaya manusia di perdesaan sehingga

ketergantungannya terhadap input import berkurang dengan melakukan pengelolaan sumber daya alam secara baik.

12 Tujuan Penelitian

Dengan memperhatikan permasalahan dan latar belakang, kemudian dirumuskan beberapa tujuan seperti di bawah ini :

1. Menganalisis dan mengidentifikasi ukuran kinerja sistim agropolitan. 2. Menganalisis kinerja pembangunan ekonomi daerah

3. Menganalisis hubungan antara kinerja sistim agropolitan dan kinerja pembangunan ekonomi daerah.

4. Merekomendasikan model pengembangan wilayah dengan pendekatan agropolitan.

Manfaat Penelitian

Dengan tercapainya tujuan dari penelitian ” Model Pengembangan Wilayah Dengan Pendekatan Agropolitan” diharapakan akan menimbulkan manfaat bagi:

1. Revitalisasi Pembangunan Perdesaan dengan mencermati permasalahan dan dinamika perkembangan pembangunan perdesaan, sehingga terjadi: a. penumbuhan kegiatan ekonomi nonpertanian yang memperkuat

keterkaitan sektoral antara pertanian, industri dan jasa penunjangnya, serta keterkaitan spasial antara kawasan perdesaan dan perkotaan

b. Peningkatan kapasitas dan keberdayaan masyarakat perdesaan agar mereka dapat menangkap peluang pengembangan ekonomi serta memperkuat kelembagaan dan modal sosial masyarakat perdesaan

c. Mendorong pengembangan usaha mikro, kecil, dan menengah di bidang usaha unggulan daerah yang memiliki keterkaitan kuat dengan usaha ke depan (forward linkages) dan ke belakang (backward linkages).

d. Peningkatan ketersediaan infrastruktur perdesaan dengan melibatkan

partisipasi dan peran serta masyarakat (community based development)

dalam pembangunan dan/atau pemeliharaannya.

2. Pengurangan Kesenjangan pembangunan perkotaan dan Pedesaan

Berkaitan dengan usaha mengatasi kesenjangan antara perdesaan dan perkotaan, di masa depan pemerintah akan mengarahkan kebijakan

13

pembangunan perkotaan dan pembangunan perdesaan sebagai satu kesatuan

Dokumen terkait