• Tidak ada hasil yang ditemukan

DAFTAR LAMPIRAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Prediksi Kenaikan Muka Air Laut

4.2 Peta Wilayah Genangan

Peta wilayah genangan diprediksi dengan menggunakan perangkat lunak khusus. Perangkat lunak tersebut dibuat dengan memanfaatkan Macro VBA Excel. Perangkat lunak akan menghitung panjang garis pantai, kemiringan pantai, dan luas wilayah genangan. Perangkat lunak dibuat dengan menggunakan algoritma empat titik. Algoritma tersebut dipilih guna menghindari kesalahan akibat adanya wilayah cekungan yang terdapat di wilayah pantai.

Hasil prediksi kenaikan muka air laut dari satelit altimetri dijadikan sebagai input perangkat lunak khusus. Dari hasil olah data menggunakan perangkat lunak diperoleh peta wilayah genangan. Peta keluaran model berupa peta DEM ASCII dengan nilai 0, 1 dan 2. Angka–angka tersebut mewakili lautan, daerah yang tergenang dan daratan. Peta hasil keluaran Arc view membedakan jenis wilayah berdasarkan warna. Wilayah yang berwarna biru merupakan wilayah laut, wilayah yang berwarna biru muda merupakan wilayah yang tergenang, sedangkan wilayah yang berwarna hijau merupakan wilayah dartan.

Gambar 15 Peta DEM ASCII pada sebagian wilayah kajian saat kenaikan muka air laut 0,35 m

Gambar 16 Peta DEM ASCII pada sebagian wilayah kajian saat kenaikan muka laut 0,69 m

Terdapat tiga pola genangan yang mungkin terjadi akibat kenaikan muka air laut. Ketiga pola tersebut mewakili jenis topografi yang berbeda. Pola genangan A adalah genangan yang langsung menggenangi wilayah yang lebih renadah dari kenaikan muka air laut dan tidak terahalang topografi. Pada wilayah pantai umumnya mempunyai pola genangan A, sedangkan pada wilayah yang memliki topografi lebih tinggi di bibir pantai umunya mengalami pola genangan B. Pola genangan B adalah air laut yang masuk melalui celah-celah topografi. Pola genangan C terjadi pada wilayah yang dilalui oleh anak sungai. Berdasarkan hasil pengolahan terlihat ada 2 pola genangan yang terjadi. Kedua pola tersebut ada lah pola A dan pola B. Pola A terjadi hampir di seluruh wilayah pantai utara Kota Semarang. Pola B terjadi hanya terjadi di beberapa titik di Kecamatan Genuk.

Tabel 5. Pola Genangan

Pola Keterangan

A

Air laut menggenangi wilayah yang lebih rendah dari kenaikan muka air laut dan tidak terhalang topografi B Air laut masuk melalui celah topografi C Air laut masuk melalui anak sungai 4. 2.1 Luas Wilayah Genangan

Dari hasil pengolahan data diperoleh luas wilayah genangan dengan luas yang terbesar terjadi pada kenaikan 0,35 dan 0,69 meter wilayah yang tergenang hampir sama yaitu 1,828 km2 dan 1,862 km2. Luas wilayah ini akan berpengaruh terhadap kerugian ekonomi dan jumlah pengungsi. Apabila semakin luas wilayah yang tergenang maka akan semakin

13

besar kerugian ekonomi dan akan semakin banyak jumlah pengungsi. Luas wilayah genangan akan semakin luas apabila penurunan muka tanah dihitung.

Tabel 6 Luas daratan yang tergenang akibat kenaikan muka laut

Tahun Luas Daratan Yang Hilang (km2)

2050 1,828

2100 1,862

Wilayah genangan di Kota Semarang didoaminasi oleh pola genangan A. Pola ini mengakibatkan adanya abrasi di sepanjang garis pantai Kota Semarang. Pola ini juga mengakibatkan pergeseran wilayah pantai. Hal tersebut mengakibatkan luas daratan menjadi menyusut.

4. 2.2 Kemiringan Pantai

Kemiringan suatu pantai akan berpengaruh terhadap penggunaan lahan tersebut. Semakin landai lahan maka akan semakin banyak dimanfaatkan sebagai lahan untuk pemukiman dan industri. Karena pembangunan infrastruktur dan transportasi menjadi lebih mudah.

Berdasarkan hasil pengolahan data, diketahui bahwa kemiringan pantai di kota semarang adalah sebesar 0,52%. Berdasarkan klasifikasi kemiringan lahan, nilai 0,52% masuk ke dalam kelas satu dan memiliki kemiringan yang datar.

4. 2.3 Panjang Garis Pantai

Pantai merupakan wilayah daratan yang berbatasan dengan laut. Garis pantai merupakan adalah batas pertemuan laut dan daratan yang posisinya tidak tetap dan dapat berpindah sesuai dengan pasang surut dan erosi atau akreasi pantai yang terjadi.

Terjadinya wilayah genangan akibat kenaikan muka air laut menyebabkan perubahan posisi dan panjang garis pantai. Terjadi perubahan panjang garis pantai yang semula 47,61 km menjadi lebih panjang. Pada saat kenaikan muka air laut 0,35 m panjang garis pantai bertambah menjadi 50,46 km dan pada saat kenaikan muka air laut sebesar 0,69 m panjang garis pantai bertambah menjadi 50.7 km.

Kenaikan muka air laut seharusnya mengakibatkan panjang garis pantai akan

berkurang. Karena panjang garis pantai diukur mengelilingi seluruh pantai yang merupakan daerah teritorial suatu negara. Sehingga, bila luas daratan menyusut maka keliling pantai akan berkurang. Namun dalam penelitian ini akibat kenaikan muka air laut panjang garis pantai menjadi bertambah panjang. Hal tersebut dikarenakan air laut masuk melalui celah daratan yang ada di pantai, sehingga membuat air akan membentuk wilayah seperti sebuah danau yang mengakibatkan panjang garis pantai bertambah panjang. Asumsi yang digunakan dalam menentukan panjang garis pantai adalah bahwa setiap wilayah daratan bertemu dengan lautan dan genangan air laut merupakan wilayah pantai.

Tabel 7 Perubahan panjang garis pantai Tahun Panjang Garis pantai

Sesudah KML (km)

2050 50. 46

2100 50. 7

Perubahan garis pantai tidak hanya ditandai dengan pertambahan panjang garis pantai. Perubahan lain yang terlihat adalah pergeseran garis pantai sepanjang 60 m ke arah daratan. Hampir seluruh garis pantai Kota Semarang bergeser ke arah daratan. Pergeseran ini terjadi karena genangan menggenang dengan pola A. 4. 3 Peta Penggunaan Lahan

Kerugian ekonomi untuk setiap penggunaan lahan akan berbeda nilainya. Besarnya nilai investasi dan produktivitas yang dihasilkan suatu lahan akan sangat mempengaruhi besarnya kerugian ekonomi. Selain itu besarnya nilai ekonomi lahan juga akan bergantung dari rente yang dihasilkan lahan.

Peta penggunaan lahan yang digunakan dalam penelitian ini merupakan Peta Penggunaan Lahan Pulau Jawa tahun 2001 dan Peta Rencana Penggunaan Lahan Kota Semarang tahun 2030. Peta tersebut kemudian di overlay dengan peta wilayah genangan, sehingga diperoleh polygon penggunaan lahan untuk setiap wilayah genangan.

Dari hasil pengolahan peta penggunaan lahan diperoleh persentase perbandingan penggunaan lahan pada wilayah genangan adalah sebagai berikut.

14

Gambar 17 Diagram penggunaan wilayah pada

lahan yang tergenang tahun 2050

Gambar 18 Diagram penggunaan wilayah pada lahan yang tergenang pada tahun 2100

Berdasarkan peta penggunaan lahan tahun 2002 dan 2030 terlihat bahwa wilayah yang tergenang adalah wilayah rawa kemudian persawahan dan pemukiman. Wilayah rawa merupakan wilayah yang dimanfaatkan oleh warga sebagai tambak.

Perubahan penggunaan lahan pada tahun 2030 tidak membawa pengaruh yang signifikan pada penggunaan lahan pada wilayah pantai. Wilayah pesisir masih di dominasi wilayah rawa yang digunakan untuk tambak. Sedangkan pemukiman dan lahan kering lainnya hanya mengalami sedikit perubahan. Perubahan penggunaan lahan akan membawa dampak pada perubahan nilai ekonomi pada lahan.

4. 4 Estimasi Kerugian Ekonomi

Kerugian ekonomi dari lahan dihitung berdasarkan jenis lahan yang tergenang dan peruntukannya. Menurut Sugiyama 2007, jenis

lahan yang hilang akibat kenaikan muka air laut terbagi atas dua yaitu lahan basah dan lahan kering. Lahan basah merupakan lahan yang tanahnya jenuh dengan air baik secara musiman maupun permanen. Yang digolongkan lahan basah antara lain adalah rawa, bakau, dan gambut. Lahan basah merupakan wilayah yang memiliki keanekaragaman hayati yang cukup tinggi. Oleh karena itu akan sangat merugi bila wilayah ini tergenang oleh air laut. Kerugian ekonomi lahan basah ini dihitung menggunakan persamaan Toll yang terdapat dalam Sugiyama (2007). Dari hasil perhitungan diketahui bahwa nilai kerugian dari lahan rawa untuk setiap hektranya adalah 5.431 US$ atau setara dengan 51 juta rupiah.

Lahan yang kedua adalah lahan kering. Definisi yang diberikan oleh Soil Survey Staffs (1998) dalam Haryati (2002), lahan kering adalah hamparan lahan yang tidak pernah tergenang atau digenangi air selama periode sebagian besar waktu dalam setahun. Dari pengertian diatas, maka wilayah persawahan digolongkan menjadi lahan kering. Nilai kerugian ekonomi lahan sawah dihitung berdasarkanEconomicOutput per Segmen Area. Dimana setiap segmen akan mewakili satu hektar sawah. Nilai output sawah untuk setiap wilayah akan berbeda-beda bergantung pada produktivitas lahan dan nilai investasi yang digunkan oleh petani. Nilai output sawah dicari berdasarkan nilai pengganda output (output multiplier). Nilai pengganda output tanaman padi untuk wilayah Semarang berdasarkan data BPS (2001) yang terdapat dalam Ahmad et al

(2007) adalah sebesar 1,263. Dari hasil perhitungan dengan nilai penggada output dikethui bahwa nilai kerugian pada lahan sawah adalah sekitar 30 juta rupiah per hektar. Kerugian ini berasal dari investasi dan keuntunganyang tidak jadi diperoleh para petani karena lahannya terendam banjir pada setiap kali tanam. Lahan yang terendam nilainya tidak dihitung karena hak kepemilikannnya tidak berubah dan masih dapat dimanfaatkan untuk tambak ikan atau kegiatan ekonomi lainnya sebagai kegiatan pengganti.

Wilayah pemukiman merupakan wilayah yang memiliki perhitungan nilai ekonomi tersendiri. Hal ini disebabkan karena lahan pemukiman diasumsikan sebagai lahan yang tidak produktif atau tidak menghasilkan rente ekonomi bagi pemiliknya. Maka kerugian ekonomi wilayah ini dihitung berdasarkan nilai 20% 10% 70% rawa rumah sawah 19% 11% 70% rawa rumah sawah

15

investasi yang dikeluarkan oleh pemilik lahan. Asumsi yang digunakan adalah rumah yang tergenang di wilayah tersebut merupakan rumah semi permanen. Menurut Ali (2010), untuk membuat sebuah bangunan semi permanen di wilayah Semarang dibutuhkan investasi sebesar 20 juta rupiah.

Tabel 8 Nilai ekonomi berdasarkan penggunaan lahan pada tahun 2050

Jenis Luas ( ha) Nilai ekonomi Rawa 35.05 Rp 1,808,834,448 Rumah 19.13 Rp 950,660,143 Sawah 128.02 Rp 3,925,722,984 Tabel 9 Nilai ekonomi berdasarkan penggunaan

lahan pada tahun 2100

Jenis Luas ( ha) Nilai ekonomi Rawa 37.22 Rp 1,920,521,954 Rumah 19.71 Rp 979,400,332 Sawah 129.84 Rp 3,981,342,405 Dari hasil perhitungan diperoleh bahwa peningkatan kerugian ekonomi sejalan dengan peningkatan luas wilayah genangan. Selain itu, diketahui pula bahwa kerugian ekonomi dari lahan pemukiman memiliki nilai yang terkecil dan yang terbesar bearsal dari lahan persawahan. Hal tersebut dikarenakan besarnya biaya investasi yang dikeluarkan oleh pemilik lahan dan tingkat produktivitas yang tinggi pada lahan persawahan.

4. 4. 1 Biaya Lingkungan

Biaya lingkungan merupakan total dari semua komponen biaya yang terjadi pada suatu sumberdaya akibat adanya perubahan lingkungan. Menurut Sugiyama (2007) komponen biaya yang terkait dalam peningkatan muka air laut adalah biaya kehilangan lahan basah, biaya kehilangan lahan kering, dan biaya proteksi pantai. Biaya lingkungan akan bernilai nol apabila besarnya biaya proteksi sama dengan total biaya kehilangan lahan basah dan lahan kering. Dengan demikian besarnya total kerugian ekonomi yang ditimbulkan akan sama besarnya dengan biaya yang dibutuhkan untuk membangun sistem perlindungan atau merehibilitasi pantai. Selain itu, biaya tersebut juga sama dengan biaya yang dikeluarkan untuk

perlidungan pada lahan basah dan hutan

mangrove.

Tabel 10 Total kerugian ekonomi per tahun Tahun Total kerugian ekonomi

2050 Rp 6,713,957,766.00 2100 Rp 6,852,524,503.13 Pada tahun 2050 biaya lingkungan yang harus dikeluarkan oleh masyarakat pada tahun 2050 adalah sebesar 6,7 miliar rupiah atau setara dengan 36 juta rupiah setiap hektarnya. Jumlah tersebut hampir sama dengan kerugian pada tahun 2100.

Biaya tersebut lebih kecil dibandingkan biaya yang dikeluarkan melakukan perlindungan pantai. Biaya yang harus dikeluarkan untuk membangun sebuah seawall adalah sekitar 300 juta rupiah per hektar. Biaya tersebut jauh lebih tinggi dibandingkan biaya kerugian per hektar yang hanya 36 juta rupiah per hektar. Sementara biaya untuk melakukan reklamasi pantai jauh lebih mahal dibandingkan untuk membangun

seawall. Pembuatan rumah panggung atau melakukan relokasi jauh lebih murah dibandingkan dengan pembuatan seawall atau reklamasi pantai. Namun dengan pembangunan

seawall dan reklamasi pantai akan melindungi wilayah yang diprediksi tergenang. Perlindungan terhadap wilayah-wilayah produktif akan mengurangi defisit dari pembangunan biaya perlindungan laut. Seangkan dengan melakukan relokasi atau reklamasi kemungkinan akan menimbulkan masalah baru di wilayah sekitar pesisir.

4. 5 Jumlah Pengungsi

Kenaikan muka air laut tidak hanya menimbulkan kerugian ekonomi. Masalah- masalah lain akan timbul seperti timbulnya wabah penyakit, menurunya kualitas air tanah, dan gejala-gejala sosial. Salah satu gejala sosial yang timbul adalah adanya pengungsi.

Pada saat peningkatan muka air laut 0,35 m pengunsi diperkirakan sebesar 124 jiwa dan pada kenaikan 0,69 m meningkat menjadi sebesar 145 jiwa. Peningkatan tersebut tidak bertambah signifikan karena pertambahaan lahan pemukiman yang tergenang lebih kecil.

16

Tabel 11 Proyeksi jumlah pengungsi akibat kenaikan muka laut

Tahun Kenaikan muka air laut (m)

Pengungsi (Jiwa)

2050 0,35 124

2100 0,69 145

Dengan mengetahui jumlah pengungsi maka pemerintah akan lebih mudah dalam melakukan penanganan bencana. Baik untuk menentukan adaptasi fisik maupun melakukan berbagai macam mitigasi maupun regulasi.

4. 5. 1 Adaptasi dan Mitigasi

Adaptasi dan mitigasi terhadap kenaikan muka air laut dapat dilakukan dengan berbagai cara. Adaptasi yang dilakukan berupa adaptasi fisik dan non-fisik. Jenis adaptasi yang dilakukan berbeda pada setiap tipe genangan yang terjadi.

Gambar 19 Wilayah yang tergenang dengan pola genangan A.

Pada wilayah yang memiliki pola genangan A maka lebih tepat dilakukan upaya relokasi, reklamasi atau rumah panggung. Upaya relokasi merupakan upaya pemindahan seluruh masyarakat yang ada di sekitar wilayah pesisir ke tempat yang lebih aman. Relokasi hanya akan menambah wilayah yang tidak terkena dampak kenaikan muka air laut mejadi lebih padat. Reklamasi merupakan upaya peninggian wilayah pantai agar lebih tinggi dari kenaikan muka air laut. Upaya ini lebih sering digunakan pada kota-kota besar yang terletak di wilayah pesisir. Cara ini cukup efektif untuk mengurangi resiko terjadinya wilayah genangan dan menambah luas wilayah daratan. Namun reklamasi banyak menuai kontroversi terkait isu lingkungan, selain itu diperlukan pula biaya yang besar. Cara yang terakhir yaitu rumah

panggung, cara ini banyak dilakukan di wilayah yang sering terkena banjir. Rumah panggung cukup efektif untuk melakukan adaptasi dan tidak memakan biaya yang tinggi.

Gambar 20 Adaptasi pemukiman di daerah pesisir (sumber: kobayashi, dalam wuryanti 2002)

Pada wilayah yang terkena pola genangan B, maka lebih tepat dilakukan upaya dengan pembuatan tanggul atau sea wall sebagai upaya fisik. Hal ini dikarenakan wilayah tersebut masih dapat diselamatkan dari banjir yang terjadi dengan membangun penahan pada celah yang menjadi pintu masuk air laut. Selain itu, penanaman kembali hutan bakau pada wilayah pantai akan sangat membantu dalam upaya adaptasi dan mitigasi kenaikan muka air laut.

Gambar 21 Wilayah yang tergenang dengan pola genangan B.

17

V. SIMPULAN DAN SARAN 5. 1 Simpulan

Berdasarakan citra satelit, peningakatan muka air laut di wilayah Semarang memiliki laju sebesar 6,87 mm / tahun. Artinya muka laut semarang akan bertambah 6,87 mm setiap tahunnya. Dengan adanya peningkatan muka laut ini maka akan ada wilayah genangan yang terjadi di Kota Semarang. Wilayah genangan ini mengalami pertambahan luas sejalan dengan pertambahan tinggi kenaikan muka air laut.

Selain wilayah genangan, kenaikan muka air laut di Semarang juga menyebakan perubahan panjang garis pantai. Perubahan panjang garis pantai ini dari yang semula 47,61 km menjadi 50,7 km pada tahun 2100. Perubahan panjang garis pantai ini menyebabkan terjadinya abrasi pada sepanjang garis pantai Semarang. Selain itu, juga membuat terumbu karang semakin terbenam ke dalam lautan.

Kerugian ekonomi dari setiap penggunaan lahan mempunyai nilai yang berbeda-beda. Nilainya bergantung pada nilai produktivitas dan investasi yang diberikan kepada lahan tersebut. Nilai kerugian ekonomi total meningkat seiring dengan peningkatan luas wilayah genangan. Nilai kerugian pada tahun 2050 diperkirakan adalah sebesar 6,7 miliar rupiah dan pada tahun 2100 sebesar 6,8 miliar rupiah.

Besarnya biaya lingkungan yang harus ditanggung oleh masyarakat adalah sebesar 36 juta rupiah per hektar. Biaya tersebut lebih kecil dibandingkan biaya yang harus dikeluarkan untuk membangun seawall. Biaya yang dibutuhkan untuk membangun seawall adalah sebesar 300 juta rupiah. Dengan demikian perlu adanya sebuah upaya pengganti untuk menanggulangi kenaikan muka air laut dengan biaya yang lebih ringan. Cara lain trsebut antara lain relokasi atau pembangunan rumah panggung untuk wilayah pesisir.

Untuk mengurangi kerugian akibat dampak kenaikan muka air laut masayarakat dapat melakukan adaptasi. Adaptasi dapat dilakukan dengan berbagai macam cara. Adaptasi dan mitigasi dapat dilakukan dengan upaya fisik dan non-fisik. Upaya-upaya tersebut bergantung pada jenis pola genangan. Pada pola genangan A upaya yang dilakukan dapat berupa reklamasi, relokasi dan rumah panggung. Pada pola genangan B upaya yang dilakukan adalah pembangunan seawall.

5. 2 Saran

Penggunaan macro VBA for Excel

menyebabkan keterbatasan luasan wilayah peta yang digunakan. Unuk itu disarankan agar pada penelitian selanjutnya perangkat lunak dapat diubah ke dalam bahasa lain seperti Matlab. Prediksi kenaikan muka air laut seharusnya diintegrasikan ke dalam perangkat lunak. Wilayah genangan yang terjadi lebih baik juga memperhitungkan pasang surut air laut dan laju subsidensi daerah penelitian. Kejadian iklim ekstrim juga akan sangat mempengaruhi kenaikan muka air laut, sehingga perlu juga untuk diperhitungkan. Sarana dan prasana transportasi yang terendam seperti jalan, stasiun, terminal, dan bandara sebaiknya turut diperhitungkan sebagai kerugian ekonomi.

DAFTAR PUSTAKA

Ali M. 2010. Kerugian Bangunan Perumahan Akibat Rob dan Arah Kebijakan Penanganannya di Kelurahan Bandarharjo Kota Semarang [tesis]. Pasca Sarjana. Semarang: Universitas Dipenogoro.

Aviso. 2011. Mean Sea Level Rise and The Greenhouse Effect.

www. aviso. oceanobs. com [2 Februari 2011].

Aviso. 2011. Mean Sea Level Rise. www. aviso. oceanobs. com [2 Februari 2011]

[BAPPEDA] Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Semarang. 2000. Profil Wilayah Pantai dan Laut Kota Semarang [Laporan]. Semarang: BAPPEDA. [BAPPENAS] Badan Perencanaan

Pembangunan Nasional. 2010. Analisis dan Proyeksi Kenaikan Muka Air Laut dan Cuaca Ekstrim [Laporan]. Jakarta: BAPPENAS.

[BPS] Biro Pusat Statistik. 2009. Jawa Tengah Dalam Angka 2009 [Laporan]. Semarang: BPS.

Church J et. al. 2001. Changes in sea level: The Scientific Basis, Contribution of Working Group I to the Third Assessment Report of the Intergovernmental Panel on Climate Change. Cambridge: Cambridge University Press.

Darwin R F. and Richards S J T. 2001. Estimates of the Economic Effects of Sea

18

Level Rise. J Environmental and Resource Economics 19:113-129. Diposaptono S. 2007. Teknologi Adaptasi

Kenaikan Para Muka Air Laut di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Ditjen Kelautan, Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Departemen Kelautan dan Perikanan.

GIS Development. 2006. Application of GIS in watershed. www. gisdevelopment. com [14 Desember 2010]

Idris M. dan Bangun M S. 2008. Analisis LImpasan dan Genangan Air Hujan dengan Digital Elevation Model Menggunakan Software ArcGIS 9. 2. PIT MAPIN XVII, Bandung 10-12-2008 [KLH] Kementrian Lingkungan Hidup. 2007.

Kajian Risiko dan Adaptasi Terhadap Perubahan Iklim Pulau Lombok Provinsi Nusa Tenggara Barat. Analisis dan Proyeksi Kenaikan Muka laut dan Iklim Ekstrim [Laporan]. Jakarta: Kementrian Lingkungan Hidup.

Muhdi. 2001. Studi Kerusakan Tegakan Tinggal Akibat Pemanenan Kayu dengan Teknis Pemanenan Kayu Berdampak Rendah dan Konvensional di Hutan Alam (Studi Kasus di Areal HPH PT. Suaka Jaya Makmur, Kalimantan Barat) [tesis]. Bogor: Pasca Sarjana IPB.

Nicholls R. J. 2003. Case Study on Sea-Level Rise Impacts, OECD Workshop on the Benefits of Climate Policy: Improving Information for Policy Makers. Paris: OECD. http://www. oecd. org/dataoecd/7/15/2483213. pdf. Prahasta E. 2002. Konsep–Konsep Dasar Sistem

Informasi Geografis. Bandung: Informatika.

Qomariyah S, Agus PS, dan Beni D. 2007. Kajian Genangan Banjir Saluran Drainase dengan Bantuan Sistim Informasi Geografi (Studi Kasus: Kali Jenes Surakarta). MEDIA TEKNIK SIPIL/Januari 2007/57

Sagala P. 1994. Mengelola Lahan Kehutanan Indonesia. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta.

Sarbidi. 2002. Pengaruh Rob pada Permukiman Pantai (kasus Semarang). Prosiding Kerugian pada Bangunan dan Kawasan Akibat Kenaikan Muka Air Laut pada Kota-kota Pantai Di Indonesia, Jakarta.

Sasongko DP. 1997. Kajian Radioaktifvitas Alam Laut Pesisir Semarang. Yogyakarta: Program Studi Magister Ilmu Lingkungan UGM.

Schenider SH. dan Chen R S. 1980. Carbon Dioxide Warming and Coastline Flooding: Physical Factors and Climatic Impact. Annual Review of Energy 5. Soegiarto A. 1976. Pedoman Umum

pengelolaan Wilayah Pesisir. Jakarta:: Lembaga Oseanologi Nasional.

Sugiyama M. 2007. Estimating The Economic Cost of Sea-level Rise. Massachusetts Institute of Technology.

Supriyanto A. 2003. Analisis Abrasi Pantai dan Alternatif Penanggulangannya di Perairan Pesisir Perbatasan Kabupaten Kendal – Kota Semarang. Magister Ilmu Lingkungan UNDIP.

Susandi A. 2004. The Impact of International Greenhouse Gas Emissions Reduction on Indonesia. Report on Earth System Science. Max Planck Institute for Meteorology, Jerman.

Susandi A. Indriani H. Mamad T. dan Irma N. 2008. Dampak Perubahan Iklim Terhadap Ketinggian Muka Laut Di Wilayah Banjarmasin. Jurnal Ekonomi Lingkungan Vol. 12/No. 2 /2008. Institut Teknologi Bandung.

Triatmodjo B. 1999. Teknik Pantai. Beta Offset: Yogyakarta.

Ustun Aydin et. al. 2006. An Evaluation of SRTM3 Data: Validity, Problems, and Solutions, Selcuk University.

Vellinga P. dan Leatherman S P. 1989, Sea Level Rise, Consequences and Policies, Climatic. Change 15, 175–189.

Wuryanti W. 2002. Identifikasi Kerugian Bangunan Rumah Dekat Pantai Akibat Kenaikan Muka Laut. Prosiding PUSLITBANGKIM Bandung.

20

21

23

24

Lampiran 4. Panduan penggunaan perangkat lunak

Perangkat lunak ini digunakan untuk menduga wilayah yang tergenang apa bila terjadi kenaikan muka air laut dan menghitung kerugian ekonomi yang diakibatkannya

langkah-langkah penggunaan :

1. Data yang diigunakan adalah peta DEM dengan extensi .asc

<-- bentuk peta DEM ASCII

2. jalankan program, ketika program dibuka maka akan muncul security warning

3. klik options, kemudian akan muncul jendela pilihan seperti ini :

<---- pilih "enable this content", kemudian pilih "OK"

25

4. input data yang akan di di runnig, sama seperti menginput data biasa ke dalam excel

Dokumen terkait