• Tidak ada hasil yang ditemukan

DAFTAR LAMPIRAN

II. TINJAUAN PUSTAKA 2 1 Kenaikan Muka Laut

Peningkatan aktivitas manusia mengakibatkan terjadinya kenaikan kualitas dan kuantitas gas rumah kaca di atmosfer. Peningkatan ini memicu terjadinya peningkatan suhu global. Rata-rata suhu permukaan global telah meningkat sebesar 0,6 ± 0,2°C sejak akhir abad ke-19. Akibat terjadinya pemanasan global yang disebabkan oleh manusia, muka air laut mengalami peningkatan secara perlahan. Peningkatan muka laut global akan mencapai ketinggian 9-88 cm pada tahun 2100 dibandingkan tahun 1990 (Church et al. 2001).

Global warming menyebabkan kenaikan tinggi muka air laut, baik akibat ekspansi volume air laut karena naiknya suhu air laut, maupun mencairnya es glasier dan es di kutub utara dan selatan. Meskipun dampak kenaikan tinggi muka air laut hanya menjadi wacana di kalangan ilmuwan, tetapi setiap penduduk terutama yang tinggal di daerah pantai harus tanggap akan risiko terhadap penurunan kualitas kehidupan di lingkungan pantai akibat naiknya tinggi muka air laut. Sementara itu, berbagai hasil studi perubahan iklim menunjukkan bahwa potensi kenaikan tinggi muka air laut akan bervariasi dari 60cm sampai 100cm, sampai dengan tahun 2100 (BAPPENAS 2010).

Kenaikan tinggi muka laut (TML) secara gradual akibat pemanasan global merupakan salah satu aspek yang paling kompleks dari efek pemanasan global, dengan akselerasi tingkat kenaikannya seiring dengan semakin intensifnya progres pemanasan global. Kenaikan TML mempertinggi risiko terjadinya erosi, perubahan garis pantai dan mereduksi daerah wetland di sepanjang pantai. Sebagai tambahan, tingginya gelombang laut pada fase El Nino dan dan La Nina akan mempertinggi intensitas erosi dan abrasi, dengan tingkat kerusakan yang tinggi. Pada akhirnya, dengan intensitas El Nino dan La Nina yang semakin tinggi, dapat mengakibatkan

2

tingkat perubahan garis pantai yang semakin tinggi pula, meskipun tingkat kenaikan TML hanya 1 cm/tahun (KLH 2007).

Wilayah yang paling merasakan dampak dari kenaikan muka air laut adalah wilayah pesisir. Di wilayah ini setidaknya 60% manusia melakukan aktivitasnya. Manusia melakukan aktivitas diwilayah pesisir dikarenakan berbagai hal, diantaranya yaitu kesuburan daerah delta, ketersedian bahan makanan, dan akses transportasi (Vellingga dan Leatherman 1989). 2. 2 DEM (Digital Elevation Model)

Permukaan bumi merupakan suatu bidang lengkung yang tidak beraturan, sehingga hubungan geometris antara titik satu dengan titik lainnya di permukaan tersebut sulit untuk ditentukan. Hubungan geometris tersebut secara praktis dapat dinyatakan dalam bentuk peta topografi, merupakan informasi penting bagi berbagai keperluan baik untuk pembangunan fisik maupun penelitian ilmiah (Sagala 1994).

DEM SRTM (Shuttle Radar Topographic Mission) adalah representasi digital dari topografi permukaan atau terrain. (Ustun 2006). DEM merupakan suatu sistem yang menampilkan kondisi geografi dalam bentuk tiga dimensi. DEM akan diterjemahkan dalam bentuk data spasial beserta data-data tekstual dan data grafis (Qomariyah 2007).

Susunan nilai-nilai digital mewakili distribusi spasial dari karakteristik medan. Distribusi spasial itu sendiri dinyatakan dalam sistem koordinat horisontal X dan Y, sedangkan ketinggian medan dinyatakan dalam Z. Gambaran model relief rupabumi tiga dimensi yang menyerupai keadaan sebenarnya di dunia nyata dapat divisualisaikan dengan bantuan teknologi komputer grafis atau teknologi virtual reality. Sumber data DEM dapat diperoleh dari Foto udara stereo, Citra satelit stereo, data pengukuran lapangan GPS dan Total Station, Echosounder, Peta topografi, maupun dari citra RADAR.

2. 3 Data Citra AVISO

Data citra AVISO merupakan gabungan dari citra Jason-1, Jason-2, Topex dan Envisat. Data- data tersebut telah mengalami koreksi sebelumnya. Koreksi yang dilakukan adalah koreksi kombinsi atmosfer dan koreksi spesifik untuk masing-masing satelit.

Tabel 1 Koreksi data citra Satelit Combined atmospheric correction Specific corrections Jason-2 High Resolution Mog2D Model [Carrère and Lyard, 2003] + inverse barometer computed from ECMWF model (rectangular grids) Jason-2 / T/P global MSL bias Jason-1 Jason-1 / T/P global MSL bias Topex/ Poseid on Doris/Altimeter ionospheric bias, TOPEX- A/TOPEX-B bias and TOPEX/Poseido n bias Envisat -USO correction from auxiliary files + bias for side-B

-SLA corrected from jump cy85- 86 transition Citra Jason-1, Jason-2, dan Topex/ Poseidon memiliki time series sepuluh harian (dasarian) dan mempunyai ukuran grid 2ox2o. Citra ENVISAT memiliki time series 35 harian. Koreksi dilakukan dengan pembobotan pada setiap grid, bergantung pada zona wilayah tersebut (Aviso 2011).

2. 4 Pesisir

Wilayah pesisir merupakan daerah pertemuan antara darat dan laut; ke arah darat meliputi bagian daratan, baik kering maupun terendam air, yang masih dipengaruhi sifat-sifat laut seperti pasang surut, angin laut dan perembesan air asin; sedangkan ke arah laut meliputi bagian laut yang masih dipengaruhi oleh proses-proses alami yang terjadi di darat seperti sedimentasi dan aliran air tawar maupun yang disebabkan oleh kegiatan manusia di darat seperti pengggundulan hutan dan pencemaran (Soegiarto 1976).

2. 4.1 Panjang Garis Pantai

Pantai adalah sebuah bentuk geografis yang terdiri dari pasir, dan terdapat di pesisir laut. Daerah pantai menjadi batas antara daratan dan perairan laut. Garis pantai adalah batas pertemuan antara bagian laut dan daratan pada saat terjadi laut pasang tertinggi. Garis laut dapat berubah karena adanya abrasi, yang

3

menyebabkan berkurangnya areal daratan. Panjang garis pantai diukur mengelilingi seluruh pantai yang merupakan daerah territorial suatu negara (Triatmodjo 1999).

2. 4.2 Kemiringan Pantai

Kemiringan lahan pantai akan mempengaruhi besarnya kerusakan akibat adanya abrasi oleh air laut. Selain itu, kemiringan lahan akan mempengaruhi pula jumlah sedimen yang terbawa ke wilayah daratan akibat kenaikan muka air laut. Penggunaan lahan pada suatu wilayah juga akan sangat bergantung pada kemiringan lahan. Tabel 2 Kelas kemiringan lahan yang berlaku di

Indonesia (Muhdi 2001)

Kelas Kemiringan Keterangan

1 0 – 8 Datar

2 8 – 15 Landai

3 15 – 25 Sedang

4 25 – 40 Curam

5 >40 Sangat Curam 2. 5 Gambaran Umum Kota Semarang

Kota Semarang merupakan salah satu kota perdagangan di Indonesia. Wilayah kota ini yang strategis menjadikannya sebagai pintu masuk menuju wilayah pulau jawa bagian tengah. Kota Semarang memiliki posisi astronomi di antara garis 6o50’-7o10’ Lintang Selatan dan garis 109o35’-110o50’ Bujur Timur. Kota Semarang merupakan ibukota Provinsi Jawa Tengah dan merupakan satu-satunya kota metropolitan yang ada di Jawa Tengah. Kota Semarang pada tahun 2009 berpenduduk 1.506. 924 jiwa dengan laju pertambahan penduduk 1,4 % per tahun. Penggunaan lahan di Kota Semarang mengalami perubahan setiap tahunnya. Perubahan ini merupakan perubahan dari lahan pertanian ke lahan pertanian, hal ini merupakan gejala yang wajar dari perkembangan kota

Penduduk Kota Semarang sebagian besar bekerja sebagai buruh industri, hanya sebagian kecil saja yang merupakan buruh tani dan nelayan. Gross Domestic Product (GDP) masyarakat Semarang mencapai 23 juta rupiah per kapita per tahun. Wilayah Semarang merupakan suatu kota yang mempunyai ciri khas yaitu terdiri dari daerah perbukitan, dataran rendah dan daerah pantai. Dengan demikian topografi Kota Semarang menunjukkan adanya berbagai kemiringan tanah berkisar antara 0 %

sampai 40% (curam) dan ketinggian antara 0,75- 348 mdpl. Dengan karakteristik wilayah tersebut berpotensi terhadap terjadinya bencana alam dengan dominasi bencana banjir, rob dan tanah longsor (BAPPEDA 2000).

2.6 Nilai Ekonomi Lahan dan Biaya Lingkungan

Meningkatnya permukaan air laut membawa berbagai dampak dalam kehidupan manusia, salah satu dampak yang paling terasa adalah dampak ekonomi. Dampak ekonomi dari meningkatnya permukaan air laut pertama kali dilakukan oleh Scheneider dan Chen (1980), semenjak itu banyak penelitian mengenai dampak kenaikan muka air laut dilakukan. Beberapa isu yang diangkat antara lain meningkatnya resiko kerugian akibat genangan,

wetland dan dryland loss, kerusakan pada produksi beras (karena menigkatnya genangan, salinitas, dan drainase yang buruk), dan meningkatnya biaya untuk perlindungan (Sugiyama 2007).

Gambar 1 Ilustrasi kenaikan muka air laut. (Sumber: Sugiyama 2007)

Estimasi Direct–Cost (DC) sering digunakan ntuk menghitung kerugian ekonomi akibat kenaikan muka air laut. Ada tiga batasan dalam mengestimasi kerugian ekonomi: (i) nilai lingkungan yang rusak tidak diketahui secara pasti; (ii) kerusakan lingkungan tidak dihitung sebagai biaya konsumen; (iii) perdagangan internasional diabaikan (Darwin and Toll 2001).

2. 6.1 Analisis Biaya Lingkungan

Sugiyama (2007) menyebutkan bahwa biaya lingkungan akan bernilai nol ketika biaya proteksi pantai sama dengan biaya kehilangan lahan. Minimalisasi biaya lingkungan diperoleh dari persamaan:

�,ℎ = �,ℎ + �,� +

4

dimana:

, = Biaya proteksi pantai

, = Biaya kehilangan lahan kering = Biaya Kehilangan lahan basah

(,) = Growth land cost

Dimana biaya ekonomi yang keluar berasal dari hilanganya lahan kering yang merupakan wilayah yang biasa digunakan untuk kegiatan ekonomi, kemudian dari kehilangan wilayah lahan basah dimana wilayah ini merupakan wilayah dengan keanekaragaman hayati dan wilayah konservasi. Biaya lainnya yaitu biaya proteksi, yaitu biaya perlindungan pantai dari abrasi dengan cara membangun pemecah ombak dan bendungan. Selain biaya-biaya tersebut terdapat penambahan lahan akibat adanya uplift, yaitu wilayah yang terbentuk karena adanya tekanan dari bawah.

a. Biaya Proteksi Pantai

Biaya Proteksi Pantai merupakan biaya yang digunakan untuk melindungi pantai dari kenaikan muka air laut, abrasi, Tsunami, dan berbagai gangguan lainnya. Perumusan biaya proteksi pantai menurut Sugiyama (2007) adalah:

1= �.

.Λ.Θ(� )

dimana:

1 : Biaya proteksi pantai

: kenaikan muka laut terhadap waktu

Λ : Panjang pantai

� : SDKE cost

Θ(� : Heaviside step function

Salah satu contoh penggunaan biaya ini adalah biaya pembangunan tembok laut atau pemecah ombak.

b. Dryland Loss Cost

Biaya Kehilangan Lahan kering merupakan biaya yang harus ditanggung oleh pemilik lahan apabila kehilangan lahan yang digunakan untuk melakukan kegiatan ekonomi dan merupakan kapital atau modal. Persamaan yang digunakan adalah:

0 = .

�( )

� .Λ.Θ(� )

dimana:

0 : Biaya kehilangan lahan kering

: Economic output

�( ) : Kenaikan muka laut

� : Kemiringan lahan

Λ : Panjang pantai

Θ(� : Heaviside step function

Dalam perhitungan biaya ini digunakan output ekonomi , nilai output ekonomi diperoleh dari pengganda output ekonomi. Semakin besar nilai pengganda output maka semakin besar keuntungan yang diperoleh. Besarnya nilai output ekonomi diperoleh dari persamaan:

= ∗ ���

Nilai pengganda output akan berbeda untuk setiap jenis komoditas. Nilainya dihitung berdasarkan nilai produktivitas per segment area.

c. Wetland Loss Cost

Biaya Kehilangan Lahan Basah merupakan biaya atau kerugian yang harus ditanggung apabila kehilangan lahan yang digunakan untuk kegiatan non-profit. Lahan-lahan ini biasanya digunakan untuk kegiatan pelestarian lingkungan. Hutan bakau merupakan salah satu lahan yang dihtiung kerugiannya, karena banyak terdapat ekosistem hewan dan tumbuhan air. Persamaan yang digunakan adalah sebagai berikut:

= . �( )

tan�.Ω.Θ(� )

dimana:

: Biaya kehilangan lahan basah : Persamaan Toll

�( ) : Kenaikan muka air laut

� : Kemiringan pantai

Ω : Luas total lahan basah

Θ(� : Heaviside step function

Persamaan Toll (2001) digunakan dalam persamaan ini. Dalam persamaan ini, nilai dari setiap km2 lahan yang tergenang adalah 20 juta US$, sehingga untuk setiap hektarnya bernilai 20 ribu US$. Nilai tersebut sama untuk seluruh dunia, sehingga dengan menggunakan perbandingan GDP nasional dan regional maka

5

akan diperosleh besarnya nilai kehilangan lahan per hektar dengan menggunakan persamaan:

= ��� 20. 000

1 + (��� 20. 000)

��� 20. 000

1 + (��� 20. 000) dimana:

GDP = Gross Domestic Product

GDPn = Gross Domestic Product National

d. Growth Land Cost

Biaya ini bukan merupakan kerugian, karena biaya ini menghasilkan lahan baru. Apabila terjadi subsidensi maka akan terjadi uplift di sisi yang lain.

�0 = . min �,

tan� .Ω.Θ(� )

Dimana:

�0 : Growth land cost

� : Laju pertumbuhan (50 cm per tahun) : Persamaan Toll

� : Kemiringan pantai

�( ) : Kenaikan muka air laut

Ω : Luas total lahan basah

Θ(� : Heaviside step function

2. 7 Adaptasi dan Mitigasi Perubahan Iklim Daya adaptasi terhadap perubahan iklim adalah kemampuan suatu sistem untuk menyesuaikan diri dari perubahan iklim (termasuk di dalamnya variabilitas iklim dan variabilitas ekstrem) dengan cara mengurangi kerusakan yang ditimbulkan, mengambil manfaat atau mengatasi perubahan dengan segala akibatnya. Menurut Murdiyarso (2001), adaptasi terhadap perubahan iklim adalah salah satu cara penyesuaian yang dilakukan secara spontan maupun terencana untuk memberikan reaksi terhadap perubahan iklim. Dengan demikian adaptasi terhadap perubahan iklim merupakan strategi yang diperlukan pada semua skala untuk meringankan usaha mitigasi dampak.

Mitigasi adalah usaha menekan penyebab perubahan iklim, seperti gas rumah kaca dan lainnya agar resiko terjadinya perubahan iklim dapat diminimalisir atau dicegah. Upaya mitigasi dalam bidang energi di Indonesia, misalnya dapat dilakukan dengan cara melakukan efisiensi dan konservasi energi serta mengoptimalkan penggunaan energi terbarukan. Contoh upaya mitigasi yang lain dalam upaya mengurangi dampak perubahan iklim terhadap

sumber daya air antara lain; Teknologi Modifikasi Cuaca (TMC) dan usaha rehabilitasi waduk dan embung.

Upaya adaptasi terhadap kenaikan muka air laut menurut Subandono (2007) dapat dilakukan dengan dua hal yaitu upaya fisik dan non fisik. Upaya fisik dapat berupa perlindungan alami dan buatan. Sementara upaya non fisik dapat dilakukan dengan membuat peta rawan bencana, informasi public dan penyuluhan, serta pelatihan serta simulasi mitigasi bencana.

Upaya fisik merupakan upaya perlindungan dengan membangun infrastruktur untuk melindungi dari kenaikan muka laut, baik itu banjir rob maupun pasang surut air laut. Upaya fisik dengan metoda perlindungan alami dapat dilakukan dengan membuat mangrove, terumbu karang, atau hutan. Sedangkan upaya fisik dengan metodal alami dapat dilakukan dengan membangun pemecah arus, tembok laut, tanggul, konstruksi perlindungan dan rumah panggung.

Gambar 2 Berbagai bentuk upaya adaptasi Rumah panggung, Reklamasi, Relokasi, dan Tanggul) dalam menghadapi kenaikan muka air laut. (Sumber: Diposaptono 2007)

Upaya non fisik yang dilakukan pemerintah berupa tiga hal. Pertama yaitu pembuatan peta rawan bencana, peta ini digunkanan untuk mengetahui wilayah-wilayah yang rentan terhadap bencana kenaikan muka air laut. Peta ini juga dijadikan sebagai acuan untuk mementukan tempat relokasi dan juga penentuan tata ruang dan tata guna lahan pesisir. Selain itu, peta juga digunakan sebagai zonasi

6

penetapan sempadan pantai dan sungai. Kedua penetapan sempa, pantai dan sungai. Kedua pemerintah harus melakukan penyuluhan dan penyampaian informasi ke publik. Ketiga pemerintah harus mengadakan pelatihan dan simulasi mitigasi bencana.

Kenaikan muka air laut tidak hanya merusak bangunan fisik tetapi juga lahan pertanian akibat adanya intrusi air laut. Intrusi air laut mengakibatkan menigkatnya kadar garam dalam tanah. Perlu adanya upaya rehabilitasi untuk mengurangi kadar salinitas lahan. Selain itu, juga untuk memperbaiki sifat fisik, kimia dan biologi tanah.

III.METODOLOGI

Dokumen terkait