BERKELANJUTAN
Kotak 2. Petani padi dan udang di India: sensor mengambil data lahan dan air, mengirimkannya ke Smart Agri Platform
(SAP) di Village Knowledge Centre (VKC). SAP mengintegrasikan data lahan dan air dengan data cuaca dari satelit secara real time, terhubung dengan semua pemangku kepentingan (petani, perwakilan VKC, perusahaan rintisan, industri, pemerintah). Portal web berbahasa lokal sebagai sumber pengetahuan dan pembelajaran berbasis aplikasi seluler bertujuan memanfaatkan teknologi untuk menganalisis kesehatan tanaman, hasil panen, kesuburan tanah, kotoran, penggunaan air, cuaca, dan pola penyakit. Melalui VKC, petani dapat memperoleh pembaruan kebijakan pemerintah, nasihat,
harga pasar, video praktik terbaik, dan memanfaatkan pembiayaan yang disediakan pemerintah.
PENERAPAN PERTANIAN MODERN BERKELANJUTAN DI INDONESIA
Permasalahan dan Tantangan Penerapan Pertanian Modern Berkelanjutan
Indonesia sebagai salah satu negara dengan penduduk besar di dunia dengan laju pertumbuhan penduduk yang masih terus bertambah dari tahun ke tahun. Dengan demikian permintaan pangan untuk memenuhi kebutuhan penduduk juga akan semakin besar. Indonesia juga berkomitmen melaksanakan kebijakan atau program untuk memenuhi 17 target yang telah menjadi kebijakan perekonomian dunia diantaranya target mengurangi kelaparan dan melaksanakan pembangunan termasuk pertanian berbasis berkelanjutan seperti telah dicantumkan dalam RPJM 2020-2024. Pembangunan pertanian dilakukan melalui peningkatan produktivitas lahan, efisiensi produksi dan nilai tambah dengan menjaga kelestarian lingkungan. Pelaksanaan pembangunan ini dilakukan dengan memanfaatkan teknologi modern berbasis informasi dan digital yang berkembang saat ini. Menurut Pasandaran (2019), tantangan yang dihadapi adalah bagaimana pertanian modern mendorong terwujudnya ketangguhan ekonomi, sosial, ekologi sebagai refleksi kesejahteraan masyarakat petani.
Di sisi lain, Indonesia juga mengalami banyak permasalahan dalam memproduksi pangan. Pemenuhan kebutuhan pangan di Indonesia dihadapkan pada lima hal yaitu kendala sumber daya alam, perubahan iklim, dominasi usahatani dengan skala kecil, ketidakseimbangan produksi pangan antar wilayah dan proporsi
kehilangan hasil panen dan pemborosan pangan masih cukup tinggi (Suryana 2014). Dari segi sumberdaya manusia pertanian, berdasarkan data Sensus Pertanian selama kurun waktu 10 tahun (2003-2013), jumlah petani semakin berkurang sebanyak lima juta.
Sekitar 60,8% petani berumur diatas 45 tahun dengan 73,97%
berpendidikan sampai SD, dan kapasitas menerapkan teknologi baru yang rendah.
Jumlah generasi muda atau yang sering disebut milenial cukup banyak sekitar 90 juta, namun mereka kurang berminat bekerja di sektor pertanian (Ariani 2020). Padahal menurut Aoun (2017) dalam Haryono (2018) persyaratan sumber daya manusia untuk mengimplementasikan pertanian modern di era industri 4.0 harus mampu menguasai tiga literasi yaitu data (kemampuan membaca, menganalisis dan memanfaatkan informasi big data dalam dunia digital), teknologi (memahami cara kerja mesin, aplikasi teknologi dan manusia (humanities, komunikasi dan desain). Karakteristik seperti ini dimiliki oleh generasi milenial atau generasi Y seperti pendapat MCaulay and Weiner (2015), generasi milenial menyukai bekerja dalam suatu jaringan komunikasi dengan menggunakan multimedia. Selain itu, masih ada kesenjangan antara komunitas ilmuwan-peneliti dengan komunitas pembuat kebijakan, bisnis dan masyarakat umum berdampak negatif pada pelaksanaan pembangunan pertanian (Simatupang 2017).
Pembangunan pertanian selain penghasil utama bahan pangan, juga dituntut untuk menghasilkan bahan non-pangan pengganti bahan baku hidrokarbon yang berasal dari fosil bagi industri. Oleh karena itu, tindakan progresif dan komprehensif sangat dibutuhkan dan perlu segera diintensifkan untuk mengurangi ketergantungan pasokan energi dan bahan baku industri dari bahan fosil (Kementerian Pertanian 2014). Secara terinci urgensi menerapkan pertanian dengan memperhatikan aspek keberlanjutan menuju revolusi hayati pada Tabel 5.
Tabel 5. Faktor Pendorong Revolusi Hayati
No. Kecenderungan Konsekuensi
1 Kelangkaan energi asal fosil
makin langka Urgensi sumber energi baru dan terbarukan (bio-energi) 2 Peningkatan kebutuhan
pangan, pakan, energi dan serat
Trade off food-feed-fuel-fibre berbasis bahan pangan dan petrokimia: urgensi pengembangan bio-produk, perubahan pola hidup, pola konsumsi
3 Perubahan iklim global dan internalisasi dalam sistem ekonomi politik
Peningkatan kapasitas adaptasi dan mitigasi sistem pertanian
4 Peningkatan kelangkaan sumber daya lahan dan air
Urgensi meningkatkan efisiensi dan konservasi: pengendalian konversi lahan dan perbaikan jaringan irigasi, pertanian dengan limbah minimal, pertanian dengan minimum input, pertanian ramah lingkungan
5 Peningkatan permintaan terhadap jasa lingkungan dan jasa amenity
Peluang pengembangan pertanian ekologis, kualitas lansekap pertanian (landscape quality agriculture) 6 Peningkatan jumlah petani
marginal Urgensi pengembangan pluriculture (sistem pertanian
agroekologi/agroecological Farming terpadu)
Sumber: Kementerian Pertanian (2014)
Kebijakan Strategi dan Langkah-langkah Operasional Indonesia sebagai salah satu negara yang berkomitmen untuk mengimplementasi dan mencapai setiap tujuan yang tertuang dalam SDGs. Pemerintah mengambil peran aktif dengan meratifikasi SDGs melalui Peraturan Presiden No. 59 tahun 2017 tentang pelaksanaan pencapaian tujuan pembangunan berkelanjutan. Melalui Peraturan Presiden tersebut, pemerintah menetapkan sasaran nasional periode tahun 2017 sampai tahun 2019 dalam RPJM 2015- 2019, yang kemudian dilanjutkan pada RPJM 2020-2024. Beberapa hal penting terkait dengan pertanian berkelanjutan dan pertanian modern dalam RPJM 2020-2024
diantaranya sebagai berikut: a) untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang berkualitas dilakukan dengan transformasi struktural yang salah satunya melalui transformasi pertanian untuk meningkatkan produktivitas lahan dan memperkuat nilai tambah pertanian, b) pertumbuhan ekonomi berwawasan lingkungan yang diarahkan untuk mempertahankan keseimbangan antara pertumbuhan ekonomi, target penurunan dan intensitas emisi serta kapasitas daya dukung sumber daya alam dan daya tampung lingkungan hidup saat ini dan masa depan, c) salah satu prinsip dasar pembangunan nasional dengan menjaga keberlanjutan (keadilan antara generasi, perlindungan keanekaragaman hayati), d) meluncurkan gerakan Making Indonesia 4.0 sejalan dengan era digitalisasi yang memfasilitasi pengintegrasian informasi untuk tujuan peningkatan produktivitas, efisiensi, dan kualitas layanan. Pembangunan ekonomi dan pertanian harus dilakukan dengan menggunakan sumber daya alam secara efisien dengan memanfaatkan inovasi modern yang sedang berkembang saat ini.
Kementerian Pertanian telah lama menerapkan pertanian berkelanjutan secara konsisten seperti program “Go Organic”, bantuan pupuk organik, UPPO, pendampingan penerapan SLPHT, dan lainnya. Program tersebut masih berlanjut sampai saat ini dengan volume dan areal yang semakin besar. Pada tahun 2014, Kementerian Pertanian meluncurkan Strategi Induk Pembangunan Pertanian 2015–2045. Pertanian: Bioindustri Berkelanjutan. Solusi pembangunan Indonesia masa depan (Kementerian Pertanian 2014). Dalam strateginya, paradigma biokultura yang digunakan dengan cakupan sistem usaha pertanian ekologis terpadu pada tingkat mikro, sistem rantai nilai terpadu pada tingkat industri atau rantai pasok dan sistem pertanian-bioindustri terpadu pada tingkat industri atau komoditas. Landasan yang digunakan adalah pemanfaatan berulang zat hara atau pertanian agroekologi seperti sistem
integrasi tanaman-ternak-ikan dan sistem integrasi usaha pertanian-energi (biogas, bioelektrik, biochar, dan sebagainya) atau sistem integrasi usaha pertanian biorefinery yang termasuk pertanian hijau. Seluruh biomassa yang dihasilkan usaha budidaya pertanian diolah pada biorefinery untuk menghasilkan beragam produk pangan, pakan, pupuk, energi dan bioproduk bernilai tambah tinggi. Pengembangan klaster rantai nilai dilaksanakan dengan mengembangkan industri pengolahan hasil pertanian dan komponen-komponen penunjangnya dalam satu kawasan guna memanfaatkan aglomerasi ekonomi.
Berdasarkan konsep ini, Badan Litbang Pertanian mengembangkan Model pertanian Bioindustri sejak tahun 2015 di seluruh provinsi. Dalam implementasinya, sebagian besar dilakukan dengan mengintegrasikan ternak dan tanaman sesuai dengan potensi di masing-masing wilayah, namun ada juga yang melakukan pertanian bioindustri secara monokultur. Program bioindustri yang mengedepankan pertanian berkelanjutan ini dikembangkan dengan memanfaatkan pertanian persisi dan digitalisasi pertanian. Untuk mendukung hal tersebut, Kementerian pertanian bekerjasama dengan Kementerian Komunikasi dan Informasi menginisiasi digitalisasi pada sektor strategis pertanian yaitu pertanian presisi, hub digital pertanian, keuangan mikro pertanian dan lelang pertanian digital.
Digitalisasi pertanian ini diharapkan memberikan dampak positif pada pelaku pertanian diantaranya meningkatkan produktivitas pertanian dan akses permodalan, memperpendek rantai pasok pertanian dan meningkatkan kesejahteraan petani.
Walaupun diakui, penerapan pertanian modern berkelanjutan tidak dapat dilakukan secara masal untuk seluruh wilayah Indonesia. Hal ini dikarenakan karakteristik wilayah dan sumber daya manusia yang beragam, termasuk budayanya. Menurut Suradisastra (2017), dalam menerapkan pertanian modern berkelanjutan, arah perubahan tidak sepenuhnya mengabaikan
kearifan lokal dan nilai-nilai tradisional, namun memanfaatkan kearifan lokal tersebut sebagai salah satu elemen usahatani regeneratif dan sebagai rambu-rambu yang luwes dalam proses pembentukan sistem usahatani regeneratif berkelanjutan.
Penerapan pertanian modern ini membutuhkan modal yang banyak untuk penciptaan teknologi/invensinya terutama teknologi untuk usahatani sampai aplikasi digitalnya secara keseluruhan. Penguasaan dan penerapan teknologi ini akan dengan cepat diadopsi oleh generasi milenial. Penerapan pembangunan pertanian modern berkelanjutan dilakukan berbasis ekoregion terutama pada daerah DAS dan agroforestry.
Secara prinsip pelaksanaannya dilakukan berbasis komunitas, tidak sendiri-sendiri, dalam kawasan dengan manajemen dan kelembagaan yang kuat serta bersinergi dan bermitra.
Balitbangtan telah dan sedang mengembangkan teknologi pra dan pasca panen untuk beragam komoditas berbasis teknologi modern. Teknologi yang telah dikembangkan, diantaranya autonomous tractor, autonomous riding transplanter, drone untuk menyebar benih, pupuk dan penyemprot hama penyakit tanaman, smart irrigation, smart UPJA, small soil sensing kit, KATAM berbasis android dan web, teknologi mendeteksi aflatoksin pada jagung, pala dan kacang tanah berbasis android dan lainnya.
Pemerintah akan terus menciptakan enabling environment baik infrastruktur, insentif yang diperlukan dan regulasi yang memadai untuk mendorong proses transformasi secara kondusif, konsisten dan berkelanjutan (Rohmani dan Pasandaran 2020;
Sumedi dan Heriawan 2017). Mengingat penerapan teknologi ini memerlukan proses yang lama, dari penciptaan/pengembangan teknologi (budidaya, produksi, distribusi serta pemasaran dan konsumen) dalam satu kesatuan pengembangan sehingga data dan informasi akan diperoleh secara real time. Selain itu juga penyiapan sumber daya pelaksana, penyediaan fasilitas, regulasi dan pengelolaan usahatani. Pemerintah menyusun roadmap
pengembangan pertanian modern berkelanjutan dan dijabarkan dalam rencana aksi yang dilakukan untuk setiap tahun. Dalam roadmap menyajikan tahapan kegiatan berdasarkan waktu, pelaksana, sumber dana, pewilayahan (tidak semua wilayah siap untuk menerapkan pertanian modern) dan lain-lainnya.
Pengembangan teknologi harus dirancang dengan seksama.
Badan Litbang Pertanian mempunyai kewenangan dan sumber daya akan terus merancang dan sekaligus mendesiminasikan inovasinya di lapangan. Pengembangan inovasi dilakukan bekerjasama dengan lembaga litbang lainnya, perguruan tinggi dan pihak swasta baik didalam negeri maupun luar negeri dengan spirit open science open innovation (Balitbangtan 2017, 2019).
Ada dua kategori generasi milenial yaitu native milenial yang menyukai teknologi dan immigrants’ milenial yaitu generasi tua yang aktif menerapkan teknologi digitalisasi (Dalton 2012).
Generasi tua ini berperan untuk mendorong generasi native milenial terlibat dalam pembangunan pertanian modern dan menularkan pengalamannya selama ini dalam melaksanakan pembangunan pertanian. Kebijakan pemerintah adalah memfasilitasi munculnya komunikasi efektif diantara kedua kategori milenial. Penyuluh pertanian yang sudah ada menjadi fasilitator komunikasi diantara petani generasi muda dan para entrepreneur pertanian (Pasandaran 2020). Kebijakan lain yang sangat penting adalah membangun kepribadian unggul generasi milenial dalam hal spiritual, akhlak, keilmuan dan profesional sehingga diharapkan mereka memiliki karakter sesuai norma dan etika dalam menjalankan mengembangkan dan bisnis pertanian (Munir 2018).
Membangun rebranding pembangunan pertanian melalui pertanian modern berkelanjutan secara terus menerus melalui berbagai saluran komunikasi dan lembaga pendidikan baik formal maupun non formal. Kegiatan ini bertujuan untuk merubah pola pikir generasi muda terhadap pertanian. Dukungan lain adalah
memberi kemudahan pada petani muda seperti akses pasar, layanan keuangan, lahan, pelatihan dan melibatkan mereka dalam berbagai dialog kebijakan (FAO 2014).
PENUTUP
Implementasi pertanian modern berkelanjutan membutuhkan Iptek yang khusus, yang berbeda dengan alsintan yang selama ini digunakan. Oleh karena itu, penerapan pertanian modern ini harus dipersiapkan sebaik mungkin tidak hanya inovasi berupa teknologi atau kelembagaan namun juga kebijakan dan regulasinya. Pemerintah sudah mencantumkan Making Indonesia 4.0 dalam RPJM 2020-2024 yang dapat menjadi dasar untuk penyusunan kebijakan termasuk roadmap pembangunan pertanian modern. Kemudian dilengkapi dengan regulasi yang mengikat bagi pelaksana sesuai dengan keperluannya. Pelibatan generasi muda di bidang pertanian terus dilakukan seiring dengan upaya meningkatkan ketersediaan teknologi pertanian modern.
Penerapan pertanian modern berkelanjutan dilakukan secara selektif wilayah dengan basis ekoregion, komunitas dan konektivitas, bermitra, serta dengan manajemen dan kelembagaan yang kuat. Selain itu dalam implementasi juga dilakukan tindakan secara progresif dan komprehensif.