• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pidana Kerja Sosial Dilihat Dari Filsafat Pemidanaan

BAB II : DASAR FILOSOFIS PIDANA KERJA SOSIAL

B. Pidana Kerja Sosial Dilihat Dari Filsafat Pemidanaan

Dalam filsafat pemidanaan bersemayam ide-ide dasar pemidanaan yang menjernihkan pemahaman tentang hakikat pemidanaan sebagai tanggung jawab subjek hukum terhadap perbuatan pidana dan otoritas publik kepada negara berdasarkan atas hukum untuk melakukan pemidanaan.

Pada satu sisi, para ahli filsafat memusatkan diri pada persoalan mengapa kita memidana. Sedangkan pada sisi lain, para ahli hukum dan ahli penologi mengkonsentrasikan diri pada persoalan apakah pemidanaan itu berhasil, efisien, mencegah atau merehabilitasi.64

Filsafat pemidanaan mempunyai dua fungsi. Pertama, fungsi fundamental yaitu sebagai landasan dan asas normatif atau kaidah yang memberikan pedoman, kriteria atau paradigma terhadap masalah pidana dan pemidanaan. Fungsi ini secara formal dan intrinsik bersifat primer dan terkandung di dalam setiap ajaran sistem filsafat. Setiap asas yang diterapkan sebagai prinsip maupun kaidah itulah yang diakui sebagai kebenaran atau norma yang wajib ditegakkan, dikembangkan dan diaplikasikan. Kedua, dalam hal ini sebagai meta teori. Maksudnya filsafat pemidanaan berfungsi sebagai teori yang mendasari dan melatarbelakangi setiap

64 Rudolph J.Gerber dan Patrick D.McAnany, The Philosophy of Punishment dalam The

Sociology of Punishment and Correction, Norman Johnston, Leonard Savitz dan Marvin E.Wolfgang

teori-teori pemidanaan.65 Melalui filsafat pemidanaan, dapat ditemukan konsepsi

filsafati tentang siapa manusia itu, sehingga terhadapnya diizinkan atau tidak diizinkan pengenaan suatu sanksi baik berupa pidana atau tindakan.66

Menurut teori absolut, pembalasan adalah legitimasi pemidanaan.67 Negara

berhak menjatuhkan pidana karena penjahat telah melakukan penyerangan dan pemerkosaan pada hak dan kepentingan hukum yang telah dilindungi.68 Tujuan

dijatuhkan pemidanaan pada masa ancient regime berlandaskan pada tujuan retributif, yaitu menjadikan pemidanaan sebagai sarana pembalasan atas kejahatan yang telah dilakukan seseorang. Tujuan pemidanaan dilepaskan tujuan apapun, sehingga pemidanaan hanya mempunyai satu tujuan yaitu pembalasan. Pembalasan ini dirasakan adil sebagai tujuan pemidanaan karena kejahatan dipandang sebagai perbuatan yang amoral dan asusila di dalam masyarakat sehingga pelaku kejahatan sangat pantas mendapat pembalasan yang setimpal.69 Pada masa lalu, bentuk

hukuman bagi siapa saja yang dinilai melanggar hukum adalah hukuman badan. Artinya, hukuman bagi pelanggar hukum adalah penyiksaan badan. Tiap orang yang dinilai bersalah, kedua kaki dan tangan diikat tali, lalu ditarik dua kuda yang berlawanan arah. Hasilnya, kaki-kaki dan tangan-tangan terpisah dari badan. Hukuman ini dijalankan karena saat itu filosofi hukuman adalah balas dendam dan

65 Teguh Prasetyo dan Abdul Halim Barkatullah, Politik Hukum Pidana, Kajian Kebijakan

Kriminalisasi dan Dekriminalisasi, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), hlm.109

66 M. Sholehhudddin, op cit, hlm.243

67 Eddy.O.S Hiariej, Asas Legalitas dan Penemuan Hukum dalam Hukum Pidana, (Jakarta: Erlangga, 2009), hlm. 10

68 Adam Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana Bagian I, (Jakarta: Grafindo Persada, 2007), hlm.157

fisik yang harus dihukum. Hukuman penyiksaan fisik dititikberatkan pada kemarahan negara yang berlebihan dan tidak rasional, sehingga pelaku kejahatan tidak pernah diharapkan kembali ke masyarakat menjadi orang baik.70 Tuntutan keadilan yang

sifatnya absolut ini terlihat dengan jelas dalam pendapat Immanuel Kant di dalam bukunya “Philosophy of law” sebagai berikut:

“….. Pidana tidak pernah melaksanakan semata-mata sebagai sarana untuk mempromosikan tujuan atau kebaikan lain, baik bagi pelaku sendiri maupun bagi masyarakat, tetapi dalam semua hal harus dikenakan hanya karena orang yang bersangkutan telah melakukan suatu kejahatan. Bahkan walaupun seluruh anggota masyarakat sepakat untuk menghancurkan dirinya sendiri pembunuh terakhir yang masih berada dalam penjara harus dipidana mati sebagai resolusi atau keputusan pembubaran masyarakat itu dilaksanakan. Hal ini harus dilakukan karena setiap orang seharusnya menerima ganjaran dari perbuatannya, dan perasaan balas dendam tidak boleh tetap ada pada anggota masyarakat , karena apabila tidak demikian mereka semua dapat dipandang sebagai orang yang ikut ambil bagian dalam pembunuhan itu yang merupakan pelanggaran terhadap keadilan umum.”71

Menurut Sudarto, pidana bersifat retributif dan represif terhadap tindak pidana. Aliran ini berpaham indeterminisme72 mengenai kebebasan kehendak

manusia yang berfokus pada perbuatan pelaku kejahatan sehingga dikehendaki hukum pidana pada perbuatan dan bukan pada pelakunya.73 Hukuman itu tidak

mempunyai arti dalam dirinya sendiri, ia adalah sarana dan tak lebih dari itu. Dalam

70 Hamid Awaludin, Menyoal Hukum Rajam, Kompas,Senin 28 September 2009

71 Mahrus Ali, op cit, hlm 123-124.Lihat juga Immanuel Kant, Philosophy of Law dalam A

Reader on Punishment, RA Duff dan David Garland, (New York: Oxford University Press, 1994),

hlm.78

72 Sudarto dalam Ediwarman, Selayang Pandang tentang Kriminologi, (Medan: USU Press, 1994), hlm.14. Indeternisme adalah suatu paham yang menganggap bahwa manusia adalah makhluk yang memiliki kehendak bebas, mampu mengendalikan diri dan harus bertanggung jawab penuh terhadap perbuatannya. Lihat juga Wirjono Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia, (Bandung: Refika Aditama, 2003), hlm.28. Bandingkan dengan determinisme adalah paham yang menganggap bahwa tabiat atau watak seseorang yang melakukan kejahatan, ditentukan oleh kekuatan- kekuatan dari luar dan alasan yang mendorong orang itu yang akhirnya mempunyai kehendak tertentu. Kekuatan-kekuatan itu didorong oleh keadaan dalam masyarakat tempat orang itu hidup.

ajaran pembalasan, orang bertolak dari hal bahwa perbuatan melakukan peristiwa pidana itu dapat dipersalahkan kepada seorang pribadi yang bebas. Dari segi kefilsafatan, hukuman dipandang pada dirinya sebagai model normatif. Di dalam hukuman, penjahat itu dipandang secara serius, kepada ia sendiri dikenakan apa yang sesungguhnya (berdasarkan daya jangkau dari tindakannya) telah ia inginkan.Ia melakukan ketidakadilan, ia akan mendapatkannya. Itu tidak berarti “mata untuk mata, gigi untuk gigi” (pembalasan tidak perlu dilaksanakan secara mekanik kuantitatif, seperti pada pandangan zaman dahulu), tetapi suatu harmoni kualitatif antara perbuatan dan hukuman.74 Sistem pemidanaan ditetapkan secara pasti (definite

sentences). Artinya, penetapan sanksi dalam undang-undang tidak dipakai sistem

peringanan atau pemberatan yang berhubungan dengan faktor usia, keadaan jiwa si pelaku, kejahatan-kejahatan yang dilakukannya terdahulu maupun keadaan-keadaan khusus dari perbuatan atau kejahatan yang dilakukan. 75

Menurut Sahetapy, teori retributif memandang pidana sebagai pembalasan terhadap pelaku kejahatan. Meskipun kecenderungan untuk membalas ini pada prinsipnya adalah suatu gejala yang normal, akan tetapi pembalasan tersebut harus dilihat sebagai suatu reaksi keras yang bersifat emosional dan karena itu irrasional.76

Kaum retributivis telah menyumbangkan pemikiran tentang pemidanaan dari

74 B. Arief Sidharta (Penerjemah), Meuwissen Tentang Pengembanan Hukum, Ilmu Hukum,

Teori Hukum dan Filsafat Hukum, (Bandung: Refika Aditama, 2008), hlm. 103

75 Sahetapy dalam Teguh Prasetyo dan Abdul Halim Barkatullah, op cit, hlm.77

76 J.E Sahetapy, Suatu Studi Khusus Mengenai Ancaman Pidana Mati terhadap Pembunuhan

perspektif filsafat yang menghargai manusia sebagai individu yang matang dan bertanggungjawab sendiri atas perilaku dan tindakan-tindakannya.77

Adapun ciri-ciri pokok dari teori retributif, adalah sebagai berikut: 1. Tujuan pemidanaan hanya untuk pembalasan.

2. Hanya pembalasan yang menjadi tujuan utama (the ultimate aim), dan tidak menjadi sarana untuk mencapai tujuan lainnya, misalnya kesejahteraan masyarakat (social welfare)

3. Kesalahan moral (moral guilt) merupakan syarat satu-satunya untuk penjatuhan pidana.

4. Penjatuhan pidana harus sesuai dengan kesalahan moral pelaku.

5. Pemidanaan melihat ke belakang sebagai suatu pencelaan yang murni dan tujuannya tidak untuk memperbaiki, mendidik atau meresosialisasi pelaku kejahatan.78

Hukuman itu tidak mempunyai arti dalam dirinya sendiri, ia adalah sarana dan tak lebih dari itu. Dalam ajaran pembalasan, orang bertolak dari hal bahwa perbuatan melakukan peristiwa pidana itu dapat dipersalahkan.

Menurut Leo Polak, pemidanaan harus memenuhi tiga syarat ialah:

1. Perbuatan yang dilakukan dapat dicela sebagai suatu perbuatan yang bertentangan dengan etika, yaitu bertentangan dengan kesusilaan dan tata hukum objektif.

2. Pidana hanya boleh memperhatikan apa yang sudah terjadi. Pidana tidak boleh memperhatikan apa yang mungkin akan atau dapat terjadi. Pidana tidak boleh dijatuhkan dengan suatu maksud prevensi. Umpamanya pidana dijatuhkan dengan maksud prevensi, maka kemungkinan besar penjahat diberi suatu penderitaan yang beratnya lebih daripada maksimum yang menurut ukuran- ukuran objektif boleh diberi kepada penjahat. Menurut ukuran-ukuran objektif berarti sesuai dengan beratnya delik yang dilakukan penjahat.

77 M. Sholehhudddin, op cit, hlm.28

78 H.M Hamdan, Pembaharuan Hukum Tentang Alasan Penghapusan Pidana, (Medan: USU Press, 2008),hlm. 14

3. Berat pidana harus seimbang dengan beratnya delik. Beratnya pidana tidak boleh melebihi beratnya delik. Hal ini perlu supaya penjahat tidak dipidana secara tidak adil.79

Menurut Jeremy Bentham ada tiga kemanfaatan dari pemidanaan. Pertama, pemidanaan akan sangat bermanfaat jika hal itu dapat meningkatkan perbaikan diri pada si pelaku kejahatan. Kedua, pemidanaan harus menghilangkan kemampuan si pelaku kejahatan untuk melakukan kejahatan. Ketiga, pemidanaan harus memberikan ganti rugi kepada pihak yang dirugikan.80 Bentham menyatakan bahwa pidana sama

sekali tidak memiliki nilai pembenaran apapun bila pidana itu semata-mata dijatuhkan sekedar untuk menambah lebih banyak penderitaan atau kerugian pada masyarakat. Beranjak dari pemikiran Bentham inilah dimaklumi bahwa pemidanaan dalam sistem peradilan pidana dewasa ini melibatkan korban dan pelaku dalam pengambilan putusan, sehingga sanksi yang dijatuhkan kepada pelaku juga memperhatikan kehidupannya di masa yang akan datang.81

Dalam teori manfaat hukuman menurut John Andenaes dapat diketahui bahwa, hukuman itu dijatuhkan agar dapat bermanfaat untuk mencegah orang melakukan kejahatan (perbuatan pidana). Pencegahan disini termasuk pencegahan yang umum (general preventif) maupun pencegahan yang khusus bagi pelaku kejahatan tersebut (special preventif). Pencegahan kejahatan itu ingin dicapai oleh adanya hukuman yaitu, dengan mempengaruhi tingkah laku orang yang dijatuhi

79 Leo Polak dalam Djoko Prakoso dan Nurwachid, Studi tentang Pendapat-pendapat

Mengenai Efektifitas Pidana Mati di Indonesia Dewasa Ini, ( Jakarta: Ghalia Indonesia, 1985), hlm 20

80 Jeremy Bentham dalam Eddy.O.S Hiariej, op cit, hlm. 11 81 Ibid hlm. 12

hukuman (terpidana) untuk tidak melakukan kejahatan lagi. Di samping pencegahan yang ingin dicapai dengan adanya hukuman, dengan mempengaruhi tingkah laku anggota masyarakat secara umum untuk tidak melakukan kejahatan.82 Pengaruh

pencegahan secara umum (general prevention) ini diharapkan “it may have a

detterent effect, it may strengthen moral inhibition (a moralizing effect), and it may stimulate habitual law abiding conduct”.83 Ketiga pengaruh pencegahan (pengaruh

atau efek dari pencegahan; pengaruh untuk memperkuat larangan-larangan moral dan pengaruh untuk mendorong masyarakat berprilaku patuh pada hukum) inilah yang diharapkan dari adanya penjatuhan pidana tersebut.

Tujuan menakuti atau detterence dalam pemidanaan tidak lain agar timbul rasa takut untuk melakukan kejahatan. Tujuan ini dibedakan dalam tiga bagian yaitu tujuan yang bersifat individual, publik dan yang bersifat jangka panjang. Tujuan detterence yang bersifat individual dimaksudkan agar pelaku merasa jera untuk melakukan kembali kejahatan. Tujuan detterence yang bersifat publik, agar anggota masyarakat lain merasa takut untuk untuk melakukan kejahatan. Sedangkan tujuan detterence yang bersifat jangka panjang atau long term detterence adalah agar dapat memelihara keajegan sikap masyarakat terhadap pidana.84

Pemidanaan dilakukan untuk memudahkan pembinaan. Pembinaan itu ditujukan untuk merehabilitasikan terpidana sehingga ia dapat merubah

82 Roeslan Saleh, Stelsel Pidana Indonesia, (Jakarta: Aksara Baru, 1987), hlm.36.

83 John Andenaes, Some Further Reflections on General Prevention dalam Detterence, The

Legal Threat In Crime Control, Franklin E Zimring dan Gordon J.Hawkins (Chicago and London:

The University of Chicago Press), 1973, hlm. 84

84 Romli Atmasasmita, Kapita Selekta Hukum Pidana dan Kriminologi, (Bandung, Mandar Maju, 1995), hlm.84

kepribadiannya, agar dapat menjadi orang baik yang taat pada hukum untuk waktu- waktu selanjutnya. Teori rehabilitasi ini lebih berorientasi kepada pelanggarnya (offender) daripada kepada pelanggarannya (offense). Pentingnya sifat pelanggaran itu hanya dalam rangka menentukan apa yang diperlukan dalam rangka merehabilitasikan terpidana.85

Seperti dikatakan oleh Herbert L. Packer, “If the rehabilitation is the goal, the

nature of offense is relevant only for what it tells us about what is needed to rehabilitate the offender.” Jika rehabilitasi adalah tujuan, pelanggaran hanya relevan

untuk dibicarakan jika kita membicarakan apa keperluan rehabilitasi pelanggar.86

Menurut John Kaplan, “……The rehabilitative ideal teaches us that we must

treat each offender as an individual whose special neeeds and problems must be known as fully as possible in order to enable us to deal effectively with him”.

Rehabilitasi mengajarkan kita kepada tiap-tiap pelanggar sebagai seorang individu dengan mengetahui sebanyak mungkin apa keperluan dan masalah mereka sehingga kita dapat melakukan tindakan secara efektif terhadap mereka).87

Menurut Robert D. Pursley, tujuan rehabilitasi berkaitan dengan perilaku kejahatan yang tidak normal atau beberapa bentuk dalam kekurangan dalam kejahatan. Perilaku manusia adalah hasil akibat dari sebab sehingga dalam hubungan efektivitas dengan beberapa perilaku menyimpang, berbagai sebab ini harus

85 Mohammad Taufik Makarao, Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia, (Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2005), hlm. 63

86 Herbert L. Packer, The Limits of Criminal Sanction, (California: Stanford University Press, 1968), hlm. 54

diidentifikasi dengan fisik mereka, moral, mental, sosial, kejujuran atau pendidikan. Masalah-masalah narapidana didiagnosa dan diklasifikasikan untuk perawatan, dan diperbaiki melalui terapi psikologi, konseling, pendidikan atau latihan kejujuran.88

Menurut Gramatica, hukum pidana harus diganti dengan sistem tindakan- tindakan perlindungan masyarakat. Istilah penjahat (delinquent), kejahatan dan pidana harus dibuang jauh-jauh. Tercelanya perbuatan tertentu harus diukur dengan berbahayanya si pembuat terhadap masyarakat dengan melihat perbuatannya. Dan ini ditanggulangi dengan sistem tindakan, yang semata-mata bersifat prevensi spesial yang sesuai dengan kepribadian si pembuat dan bertujuan untuk sedapat mungkin mengintegrasikan orang yang telah mengabaikan masyarakat,kembali ke dalam masyarakat.89 Pemidanaan dalam aliran ini, setelah diadili dan dipidana masih harus

diberi kekuatan agar dapat “mengekang diri sendiri” dan memupuk perasaan tanggung jawab antar sesama manusia. Aliran ini juga mengembangkan model pertanggungjawaban pelaku. Berdasarkan hal tersebut, Sudarto menyatakan dipidananya seseorang tidaklah cukup apabila orang itu telah melakukan perbuatan yang bertentangan dengan hukum atau bersifat melawan hukum. Meskipun perbuatan tersebut memenuhi rumusan delik dalam undang-undang dan tidak dibenarkan (an

objective breach of a penal provision), namun hal tersebut belum memenuhi syarat

untuk menjatuhkan pidana.Untuk pemidanaan masih perlu adanya syarat bahwa

88 Ibid

orang yang melakukan perbuatan itu mempunyai kesalahan atau bersalah (subjective

guilt).90

Sedangkan menurut Marc Ancel, yang menamakan gerakannya dengan

defence sociale nouvollo, ia tidak bermaksud untuk menghapuskan istilah-istilah

pidana, kejahatan dan penjahat, dan tidak ingin pula melenyapkan hukum pidana dengan menggantikannya dengan sistem tindakan perlindungan masyarakat.91

Terhadap pembuat tindak pidana, gerakan ini menghendaki individualisasi dari pidana dan resosialisasi atau pemasyarakatan tertentu. Pemidanaan diarahkan ke pembinaan dan pembinaan itu sendiri merupakan suatu bentuk umum untuk perlindungan masyarakat dan merupakan unsur yang fundamental dalam menanggulangi kejahatan.92

Sistem pemidanaan yang bertolak dari ide individualisasi pidana93 ini

merupakan hal yang harus diperhatikan sehubungan dengan pendekatan humanistik dalam penggunaan sanksi pidana untuk tujuan perlindungan masyarakat (social

90 Sudarto dalam Teguh Prasetyo dan Abdul Halim Barkatullah, op cit, hlm.81 91 Marc Ancel dalam Djoko Prakoso dan Nurwachid, op cit, hlm. 26

92 Djoko Prakoso,Masalah Pemberian, Pidana dalam Teori dan Praktek Peradilan. (Jakarta: Ghalia Indonesia.1984), hlm. 37

93 Lihat Barda Nawawi Arief, op cit, hlm.36. Individualisasi pemidanaan ini mengandung beberapa karakteristik yaitu pertanggungjawaban pidana bersifat pribadi atau perorangan (asas personal), pidana hanya diberikan kepada orang yang bersalah (asas culpabilitas), pidana harus disesuaikan dengan karakteristik dan kondisi si pelaku; ini berarti harus ada kelonggaran atau fleksibilitas bagi hakim dalam memilih sanksi pidana dan harus ada kemungkinan modifikasi pidana dalam pelaksanaannya (asas fleksibilitas dan asas modifikasi pidana). Sistem pemidanaan yang bertolak dari individualisasi pidana tidak berarti memberi kebebasan sepenuhnya kepada hakim dan aparat-aparat lainnya tanpa pedoman atau kendali. Perumusan tujuan dan pedoman pemidanaan dimaksudkan sebagai fungsi pengendali atau kontrol dan sekaligus memberikan dasar filosofis, dasar rasionalitas dan motivasi pemidanaan yang jelas dan terarah.

defence). Hal ini tersurat dalam tujuan umum kebijakan kriminal yaitu perlindungan

masyarakat untuk mencapai kesejahteraan masyarakat (social welfare).94

Ide menyangkut konsepsi social defence tersebut ternyata telah diterima oleh ahli hukum pidana di Indonesia terbukti dalam:95

1. Kesimpulan Seminar Kriminologi ke-3 tahun 1976 yang menyatakan bahwa: “Hukum pidana hendaknya dipertahankan sebagai salah satu sarana untuk social

defence dalam arti melindungi masyarakat terhadap kejahatan dengan

memperbaiki atau memulihkan kembali (rehabilitate) si pembuat tanpa mengurangi keseimbangan kepentingan perorangan (pembuat) dan masyarakat.” 2. Salah satu laporan dari Simposium Pembaharuan Hukum Pidana Nasional Tahun

1980 yang menyatakan bahwa :

- Sesuai dengan politik hukum pidana, maka tujuan pemidanaan harus diarahkan kepada perlindungan masyarakat dari kesejahteraan serta keseimbangan dan keselarasan hidup dalam masyarakat dengan memperhatikan kepentingan masyarakat atau negara, korban dan pelaku.

- Atas dasar tujuan tersebut, maka pemidanaan harus mengandung unsur-unsur yang bersifat :

1. Kemanusiaan, dalam arti bahwa pemidanaan tersebut menjunjung tinggi harkat dan martabat seseorang.

2. Edukatif, dalam arti bahwa pemidanaan itu mampu membuat orang sadar

94 M. Sholehhudddin, op cit, hlm.58 95 Ibid, hlm.58-59

sepenuhnya atas perbuatan yang dilakukan dan menyebabkan ia mempunyai sikap jiwa yang positif dan konstruktif bagi usaha penanggulangan kejahatan.

3. Keadilan, dalam arti bahwa pemidanaan tersebut dirasakan adil (baik oleh terhukum maupun oleh korban ataupun oleh masyarakat).

Van Ness menyatakan bahwa landasan restorative justice theory dapat diringkaskan dalam beberapa karakteristik:

1. crime is primarily conflict between individuals resulting in injuries to victims, communities and the offenders themselves; only secondary is it lawbreaking. 2. the overarching aim of the criminal justice process should be to reconcile parties

while repairing the injuries caused by crimes.

3. the criminal justice process should facilitate active participation by victims, offenders and their communities. It should not be dominated by government to the exclusion of others.96

Secara lebih rinci Muladi menyatakan bahwa restorative justice model mempunyai beberapa karakteristik yaitu:97

1. Kejahatan dirumuskan sebagai pelanggaran seorang terhadap orang lain dan diakui sebagai konflik;

2. Titik perhatian pada pemecahan masalah pertanggungjawaban dan kewajiban masa depan;

3. Sifat normatif dibangun atas dialog dan negosiasi;

4. Restitusi sebagai sarana perbaikan para pihak, rekonsiliasi dan restorasi sebagai tujuan utama;

5. Keadilan dirumuskan sebagai hubungan-hubungan hak, dinilai atas dasar hasil; 6. Sasaran perhatian pada perbaikan kerugian sosial;

7. Masyarakat merupakan fasilitator di dalam proses restoratif;

96 Van Ness dalam Elsam, Pemidanaan, Pidana dan Tindakan dalam Rancangan KUHP

2005, Position Paper Advokasi RKUHP Seri#3, hlm.12-13

97 Muladi, Kapita Selekta Hukum Pidana, (Semarang: Universitas Diponegoro, 1995), hlm. 127-129

8. Peran korban dan pelaku tindak pidana diakui, baik dalam masalah maupun penyelesaian hak-hak dan kebutuhan korban. Pelaku tindak pidana didorong untuk bertanggungjawab;

9. Pertanggungjawaban si pelaku dirumuskan sebagai dampak pemahaman terhadap perbuatan dan untuk membantu memutuskan yang terbaik;

10. Tindak pidana dipahami dalam konteks menyeluruh, moral, sosial dan ekonomis; 11. Stigma dapat dihapus melalui tindakan restoratif.

Restorative Justice Model diajukan oleh kaum abolisionis yang melakukan

penolakan terhadap sarana koersif yang berupa sarana penal dan diganti dengan sarana reparatif.98 Paham abolisionis menganggap sistem peradilan pidana

mengandung masalah atau cacat struktural sehingga realistis harus dirubah dasar- dasar struktur dari sistem tersebut. Dalam konteks sistem sanksi pidana, nilai-nilai yang melandasi paham abolisionis masih masuk akal untuk mencari alternatif sanksi yang lebih layak dan efektif daripada lembaga seperti penjara.99

Restorative Justice menempatkan nilai yang lebih tinggi dalam keterlibatan

langsung dari pihak. Korban mampu untuk mengembalikan unsur kontrol, sementara pelaku didorong untuk memikul tanggung jawab sebagai sebuah langkah dalam memperbaiki kesalahan yang disebabkan oleh tindak kejahatan dan dalam membangun sistem nilai sosialnya. Keterlibatan komunitas aktif memperkuat komunitas itu sendiri dan mengikat komunitas akan nilai-nilai untuk menghormati dan rasa saling mengasihi antara sesama. Peranan pemerintah secara substansial berkurang dalam memonopoli proses peradilan sekarang ini. Restorative justice

98 Ibid, hlm. 125

99 Romli Atmasasmita, Sistem Peradilan Pidana, Perspektif Ekstensialisme dan Abolisionisme, (Bandung:Binacipta, 1996), hlm.101

membutuhkan usaha-usaha yang kooperatif dari komunitas dan pemerintah untuk menciptakan sebuah kondisi dimana korban dan pelaku dapat merekonsiliasikan konflik mereka dan memperbaiki luka-lukan mereka.100

Restorative justice mengembalikan konflik kepada pihak-pihak yang paling

terkena pengaruh seperti korban, pelaku dan kepentingan komunitas mereka dan memberikan keutamaan pada kepentingan-kepentingan mereka. Restorative justice juga menekankan pada hak asasi manusia dan kebutuhan untuk mengenali dampak dari ketidakadilan sosial dan dalam cara-cara yang sederhana untuk mengembalikan mereka daripada secara sederhana memberikan pelaku keadilan formal atau hukum dan korban tidak mendapatkan keadilan apapun. Kemudian restorative justice juga mengupayakan untuk merestore keamanan korban, penghormatan pribadi, martabat dan yang lebih penting adalah sense of control.101

Sedangkan pidana kerja sosial yang akan dijatuhkan memenuhi unsur pembinaan dan memberikan perlindungan kepada masyarakat. Unsur pembinaan yang berorientasi pada individu pelaku tindak pidana. Dengan pidana kerja sosial, maka terpidana terhindar dari dampak negatif pidana perampasan kemerdekaan

Dokumen terkait